Romo Kuntara Wiryamartana SJ

Menghidupkan Lamentasi Romo Kuntara Untuk Doa Pandemi

Hari hari ini yang kita butuhkan adalah kekuatan batin. Kekuatan batin dan harapan bahwa pandemi akan berakhir dan kita akan kembali hidup normal. Di mana-mana di dunia angka mereka yang terinfeksi covid naik turun. Kawasan-kawasan yang memiliki kebijakan warganya boleh melepas masker, kembali disengat lagi oleh gelombang Covid. 

Spanyol, Amerika yang mengklaim bahwa negaranya – sudah mulai mampu mengontrol pandemi – masih tidak sepenuhnya aman. Kuba, salah satu negara yang dipuji di awal pandemi karena sistem kesehatan publiknya mampu menangkal penyebaran virus- dan secara cepat  berinisiatif membuat vaksin sendiri bernama Marti (diambil dari nama penyair anti kolonialis dan pejuang Kuba Jose Marti) juga mulai dilanda demonstrasi warga yang kekurangan obat.   

Dan di kita di bulan Juli ini – angka Covid meroket. Naik menembus angka 50 ribu perhari – mengalahkan Brazil dan India. New York Times sampai menulis: The Pandemic Has a New Epicenter: Indonesia. Adalah wajar bahwa siapapun panik, ketakutan dan cemas. Adalah masuk akal siapapun bisa ditekan stress dan mengalami kekacauan psikologis. Betapapun demikian itu harus diimbangi suatu keyakinan bahwa virus yang ganas pun memiliki titik nadirnya. Karena pada dasarnya itu adalah fitrah. Virus memiliki batas-batas kehidupannya. Dan pasti akan melemah. Memudar. Tunggu waktu saja.  

Pada situasi begini. Dibutuhkan suatu ketenangan. Mengonsumsi secara berlebihan berita-berita Covid di media sosial yang terlalu banyak memamerkan info-info duka cita justru akan melemahkan imun, mempertinggi kelabilan dan mengombang-ambingkan perasaan. Hal demikian akan bisa menimbulkan krisis dan kekosongan diri yang justru malah menjadi kontra produktif. Pada masa pandemi ini, karakter asli suatu bangsa akan bisa tampak. Apakah berbagai elemen bangsa itu mampu cepat bersatu – meninggalkan kepentingan-kepentingan golongannya – untuk bersinergi melawan penyebaran Covid atau malah saling ribut sendiri.

Menampilkan perspektif dan tindakannya sendiri-sendiri dan tidak mau bekerja sama pada situasi darurat seperti ini – bukanlah suatu bentuk kritisisme – namun suatu ketidak matangan ego dan intelektual. Pada titik genting seperti ini konsesus jauh lebih prioritas daripada disensus.  Amat disayangkan di tengah upaya keras pemerintah untuk melakukan PPKM dan vaksinasisasi masal – masih ada saja  – mereka yang melawan, dan menjadi “pembonceng” menyulut aksi-aksi di sana-sini – yang makin memperunyam dan memperkeruh keadaan. Sungguh suatu  paradoks. 

Maka dari itulah – di tengah situasi yang semi “chaos” ini apapun yang mampu – menenangkan – dan membuat emosi stabil serta menghidupkan kepercayaan bahwa epidemi ini bisa berakhir  adalah sesuatu yang berharga .Tidak perlu itu harus berupa sebuah kebijakan besar –semacam pembagian sembako pada setiap warga atau misalnya tindakan “heroik” cum “filantropis” membagi-bagikan uang lembaran seratu ribu uang kepada para pengemudi sepeda motor di lampu merah yang kemudian divideokan. Tapi juga hal-hal sederhana sehari-hari – seperti mengkampanyekan tindakan-tindakan yang sangat berguna untuk keseimbangan mental yang  bisa dilakukan siapa saja di rumah semacam :  kegiatan menyiram bunga, latihan pernafasan yang melegakan paru-paru, latihan tidur yang bermutu, menyenandungkan suluk, menzikirkan Asmaul Husna, mendaras mantra-mantra Paritta seperti Ratana Sutta Atanatiya Paritta dan lain-lain.

Pada titik inilah adalah menarik mengamati viralnya lagu Panyuwunan di media sosial minggu ini. Lagu ini dibuat oleh komponis Dimawan Krisnowo Adji dari Yogya berdasar sajak berbahasa Jawa berjudul: Panyuwunan ciptaan almarhum Romo Kuntara Wiryawartana SJ. Lagu ini bagian dari Proyek Sraddha jalan Mulia yang dibuat oleh Romo G. Budi Subanar SJ dan perupa Samuel Indratma di Yogya. Di masa pandemi ini – mereka berdua memiliki proyek memusikalisasi sajak-sajak yang dibuat oleh almarhum – pakar studi Jawa Kuno  Romo Kuntara Wiryamartana SJ. 

Romo G. Budi Subanar SJ

Romo G. Budi Subanar SJ

Romo Kuntara sendiri semasa hidupnya dikenal sebagai seorang spiritualis. Dia amat menekuni khazanah spiritual yang dikandung oleh kakawin-kakawin (sajak-sajak) yang dibuat oleh para Mpu-Mpu Jawa Kuno. Kakawin bagi Romo Kuntara adalah juga sebuah candi. Bukan sebuah candi fisik – yang terbuat dari batu – tapi sebuah candi bahasa. Kakawin dibuat oleh seorang mpu – melalui sebuah proses asketis – menyelami, menangkap momen-momen keindahan ilahi. Menangkap epifani-epifani ilahi yang bertebaran di alam semesta. Masih hangat dalam kenangan- puluhan tahun lalu- bagaimana dalam sebuah seminar di Sanata Dharma Yogya, Romo Kuntara yang tengah membahas Lubhdaka, sosok pemburu dalam Kakawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung, tiba-tiba berhenti berbicara sepersekian menit. Diam. Dan menangis. Karena ia begitu menyelaminya kisah Lubhdaka yang diangkat ke surga oleh Siwa. Saat itu sampai para peserta seminar hening. Tercekam.  

Prestasi besar Romo Kuntara sendiri, sebagai seorang akademisi adalah dia bersama filolog Dr Willem van der Mollen dari Universitas Leiden mengangkat naskah-naskah dari sekitar lereng Merapi Merbabu yang disimpan di Perpustakaan Nasional yang sebelumnya jarang diteliti karena secara aksara susah dipahami. Naskah-naskah ini diperkirakan ditulis oleh berbagai pertapa di lingkungan Gunung Merapi-Merbabu pada era Jawa kuno dan Pertengahan (mulai sekitar abad 8 M- sampai sekitar abad 18 M). Romo Kuntara berpendapat naskah-naskah para rsi lereng Merapi Merbabu itu merupakan sumber penting bagi khazanah teks-teks spiritual Jawa.   

Perupa Samuel Indratma

Perupa Samuel Indratma

Sajak Panyuwunan sendiri adalah sajak yang ditulis oleh Romo Kuntara sebelum dirinya belajar bahasa Jawa Kuno pada Romo Zoetmulder di UGM. Sajak itu bertema pengharapan agar Yang Ilahi memberkahi keselamatan dan kesehatan dirinya. Sajak itu bersahaja. Kalimat-kalimatnya sederhana namun mengena. Sajak itu yang kemudian diaransemen oleh Dimawan Krisnawan Adji. Komposisnya menyentuh. Meski hanya dikerjakan dengan MIDI – yang bagi kalangan musisi masih sering dianggap “sampling mentah” bukan lagu yang sudah digarap benar dengan instrumen-instrumen asli yang lengkap. Tapi karena komposisi dan liriknya – mampu mengetuk rasa bagi yang mendengarnya – lagu itu tiba-tiba beredar cepat dari grup WA satu ke grup WA lain. 

Gusti, Kula Nyuwun Saras:

Sarasing Sukma –Resiking Maras

Gusti, Kula Nyuwun Tamba: 

Tambaning Jiwa- Segering Raga 

Gusti, Kula Nyuwun Seneng :

Senenging Manah –Tulaking Sereng

Gusti, Kula Nyuwun Sabar:

Sabaring Budi – Nalar Jembar

Tak dinyana, setelah beredar di grup-grup WA, berbagai kalangan dari pribadi dan komunitas menyanyikan ulang dan membuat video klip amatir sendiri. Dari anak-anak sampai eyang sepuh menyanyikan lagu itu dengan syahdu dan menyebarkannya. Rata-rata mereka menganggapnya sebagai doa. Seorang murid SD di Yogya bernama Garda Gandara yang masih berumur 7 tahun misalnya menyanyikan lagu itu dengan suara kekanakannya yang polos – dan menggetarkan. Sementara seorang sepuh bernama Eyang Soegito, perempuan berusia 79 tahu yang masih aktif dalam Paduan Suara EFATA Gereja Kristen Jawa, Condong Catur Yogyakarta juga menyanyikan Panyuwunan dengan sangat khusyuk. Keduanya meski berpaut umur puluhan tahun – saat menyanyikan Panyuwunan seolah mengumandangkan suasana pasrah. Suasana sumarah. Suasana sumeleh. Yang meyakini dengan optimis bahwa Tuhan akan bertindak dan mendengarkan doa-doa umatnya agar pandemi ini segera selesai. 

Lagu-lagu seperti Panyuwunan  adalah contoh kecil hal sederhana yang bisa memperkuat batin kita. Mampu menumbuhkan daya hidup. Mampu mensirkulasikan energi positif.  Mampu menyemangati bahwa – berakhirnya pandemi bukan suatu ilusi tapi suatu kemestian yang alamiah. Mendengarkan dan menyebarkan lagu-lagu yang membuat jiwa kita tenang dan sumarah seperti Panyuwunan betapapun sederhana maka dari itu penting dan lebih bermanfaat – daripada ikut membesar-besarkan aneka konflik yang penuh kepentingan mengenai pandemi atau ikut-ikutan menyebarkan ketakutan-ketakutan massal yang tidak bertanggung jawab.   

 

—©BWCF2021—