Carito dari Ombilin: Kisah Orang Rantai di Negeri Rantau

Sumber: Home Page ‘Carito Dari Ombilin’ (https://www.caritodariombilin.com/home)

Oleh: Rangga Ardia Rasyid*

Tambang Ombilin di Sawahlunto, Sumatera Barat kerap menangkap imajinasi para pengunjungnya. Pameran dengan tajuk ‘Carito dari Ombilin’ menghidupkan kembali masa lalu melalui kenangan, pengalaman, dan cerita masyarakat Sawahlunto. Sejak ditemukannya deposit batu bara pada pertengahan abad ke-19 oleh Willem Hendrik de Greve, tambang Ombilin memulai masa operasinya. Pertama kali dibuka pada tahun 1876, tambang Ombilin pada akhirnya melahirkan pemukiman dan kota yang mengikuti irama ekonomi pertambangan. Keadaan ini mendorong Ombilin untuk berkembang menjadi salah satu tambang batu bara terbesar di Asia Tenggara. Memori kolektif Ombilin sebagai suatu pusat perekonomian negara kolonial, mengharuskannya bergulat dengan masa lalu yang sarat akan kuasa dan kekangan. Dalam pameran ‘Carito dari Ombilin’, situs tambang ini mengalami sebuah transformasi dari situs arkeologi masa kolonial yang penuh eksploitasi, menjadi lokus pertemuan memori dan budaya yang hidup hingga hari ini. Pameran ini mendapat dukungan dan bimbingan dari Southeast Asia Museum Services (SEAMS), Dinas Kebudayaan Kota Sawahlunto, bersama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda (OCW). ‘Carito Dari Ombilin’ adalah sebuah perwujudan dari semangat Indonesia ketika memasukkan tambang Ombilin sebagai salah satu UNESCO World Heritage Site pada tahun 2019.

Menjajaki kisahnya yang penuh pilu dan harapan, pameran ini menangkap bagaimana Ombilin dibentuk oleh para manusianya. Pameran ‘Carito Ombilin’ adalah sebuah usaha untuk menyuarakan manusia yang dahulu terbelenggu siklus eksploitasi kolonialisme Hindia Belanda, agar memperlihatkan ‘nyawa’ yang masih hidup di dalamnya. Menggunakan sejarah lisan untuk menyampaikan pamerannya, ‘Carito Dari Ombilin’ secara aktif memberikan kesempatan bagi para keturunan pelaku sejarah dan para penduduk dari Sawahlunto, untuk menjadi aktor utama dalam menceritakan kesejarahan Ombilin.

Sumber: Penambang di Ombilin sekitar tahun 1920 (KITLV 29970)

Salah satu elemen menarik dari identitas masyarakat di Sawahlunto adalah kebudayaannya yang unik. Penemuan deposit batu bara di sepanjang sungai Batang Ombilin, mendorong pemerintah kolonial untuk melakukan memulai sebuah ekspedisi penambangan. Demi mengisi kekosongan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menambang, banyak buruh dari Jawa dan wilayah Sumatera lainnya dibawa ke Ombilin. Pameran ‘Carito dari Ombilin’ memperlihatkan bagaimana kondisi pertemuan tersebut melahirkan jiwa manusia Ombilin yang khas. Para pendatang ini disebut sebagai ‘Orang Rantai’, karena mayoritas merupakan para tahanan penjara pemerintah kolonial dan harus bekerja dengan terikat oleh rantai besi. Kedatangan ini menciptakan suasana asimilasi di mana budaya Minang, Jawa, Batak, hingga Peranakan dapat hidup berdampingan. Ekspresi kebudayaan seperti festival dan pagelaran budaya bukanlah hal yang asing di Sawahlunto. Bahkan, kehidupan yang bercampur ini menciptakan sebuah bahasa sendiri yang bernama Bahasa Tangsi yang terbentuk sebagai bahasa kreol.

Orang-orang yang berlatarbelakang dari Jawa, Batak, juga Minang dan Peranakan bertemu di Sawahlunto sebagai bagian dari sistem eksploitasi yang dibuat oleh pemerintah kolonial. Namun otoritas kolonial dan kondisi eksploitasi yang mereka hadapi, tidak menggusur nilai-nilai kebudayaan mereka. Alih-alih, kondisi ini mendorong suatu pemaknaan ulang dari Ombilin. Nama tempat seperti ‘Goedang Ransum’ dan ‘Tangsi Baru’, yang jelas berakar dari kefungsian suatu bangunan suatu tempat,telah  menjelma menjadi nama dengan makna emosional. Ita Wardani, seorang warga Sawahlunto yang lahir dan dibesarkan di Goedang Ransum menceritakan memori masa kecilnya di tempat tersebut. Dalam wawancara yang berjudul “Carito Sawahlunto dari Masa ke Masa”, ia menceritakan kenangan masa kecilnya yang bahagia tak dapat dilepaskan dari rumahnya di Goedang Ransum. Terlihat ironis, mengingat lokasi tersebut tidak lain hanyalah suatu gedung untuk mendukung kegiatan eksploitasi batu bara kolonial.

Wawancara tersebut memperlihatkan kekuatan memori untuk mendefinisikan ulang makna dan masa lalu. Penggunaan memori di dalam pameran ini jelas memperlihatkan pergeseran makna Ombilin dari tempat yang penuh akan eksploitasi kolonial, menjadi suatu tempat di mana budaya lokal bersatu dan hidup secara harmonis.

Sumber: https://www.caritodariombilin.com/videos/carito-orang-rantai-dan-keturunannya

Dengan demikian, ‘Carito Dari Ombilin’ membungkus pergeseran makna ini dari perspektif paling mendasar dan fundamental; memori manusia. Disadari maupun tidak, tambang Ombilin yang dijadikan sebagau UNESCO World Heritage Site bukan untuk mengingat  peninggalan dari hegemoni kolonial. Melainkan untuk merayakan perkembangan kehidupan masyarakat serta budayanya. Makna ini lah yang menghidupi pameran ‘Carito Dari Ombilin’. Sejarah lisan tidak hanya mendekonstruksi arti dari tambang Ombilin secara historis, tetapi juga menyuarakan masyarakatnya yang hidup dan dekat dengan perjalanan sejarah Sawahlunto. Untuk itu, pameran ini patut dikunjungi baik secara daring maupun luring, karena formatnya yang unik membawa angin segar bagi pameran kesejarahan.

Video wawancara ‘Carito dari Ombilin’ dapat diakses sepenuhnya melalui website www.caritodariombilin.com dan terdapat juga beberapa video pembukaan pameran ini. Sementara itu, ada juga galeri yang meunjukkan ruang fisik dari pameran dan momen-momen saat pembukaannya. ‘Carito dari Ombilin’ bisa disaksikan langsung di Museum Goedang Ransoem, Jl. Abdurrahman Hakim, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat pada 13 April – 31 Oktober 2023, sesuai dengan jam buka museum. Ada juga kompetisi ‘Carito Urang, Carito Awak’ yang mengajak masyarakat untuk berbagi pengalaman dan kenangannya tentang Sawahlunto.

 

 

*Penulis saat ini merupakan asisten riset sejarah pada Bank Indonesia Institute.