Sigit Susanto

Seratus Tahun Ulysses

Oleh Sigit Susanto

Would you let Shakespeare and Company have the honour of bringing out your Ulysses?
(Sylvia Beach to James Joyce 1921)

Pada ulang tahun James Joyce yang ke 40, tepatnya pada 2 Februari 1922 ia mendapat hadiah istimewa, yakni novelnya Ulysses selesai diterbitkan dan ia mendapatkan 2 eksemplar. Hampir setiap hari Joyce mendatangi toko buku itu dan ikut membungkus sendiri novelnya untuk calon pembaca yang memesannya. Sylvia Beach pemilik toko buku Shakespeare and Company di Paris menerbitkannya dalam format mewah sebanyak 1000 eksemplar. 

Bagi Sylvia merupakan yang pertama kali toko bukunya menerbitkan buku. Pada tahun yang sama Ulysses dengan sampul hijau tua itu dicetak ulang. Joyce menghabiskan waktu 8 tahun di tiga kota, Trieste, Zürich dan Paris untuk menuliskan novel biografinya itu.

Jika mengingat pertemuan pertama antara Sylvia dan Joyce itu agak lucu. Sylvia tampak malu-malu, lalu memberanikan diri menyapa, “Anda James Joyce yang terkenal itu?” Joyce menjawab singkat dengan menyebutkan namanya sambil mengulurkan tangan, “James Joyce.”

Dari pertemuan tersebut, secara resmi Ulysses terbit dalam bentuk buku utuh. Sebab sebelumnya sebagian draf Ulysses ini pernah diterbitkan di jurnal.  

“Saya telah menyusupkan banyak enigma dan teka-teki, supaya para profesor sibuk membahasnya berabad-abad, dengan cara seperti itu nama seorang tak akan pernah mati,” ungkap Joyce kepada penerjemah Ulysses ke dalam bahasa Prancis.

Awalnya banyak kritik bermunculan. Antara lain dari André Gide dan William Butler Yeats yang tak simpati dengan Ulysses. Virginia Woolf mengejek dengan sebutan, “Novel itu seperti pemuda nakal yang sedang menggaruk-garuk bisulnya. Buku jenis sampah yang tak pantas dibaca kaum intelektual.”

Kemudian mulai berdatangan pujian dari Ezra Pound, T.S. Eliot, Valery Larbaud dan Hemingway muda. Marcel Proust mengaku menyesal tak membaca Ulysses. Sebaliknya Joyce juga tak pernah membaca karya Proust.

Ada kejadian unik di Paris, ketika Joyce dan Proust sama-sama memasuki sebuah kafe. Berbondong-bondong penulis dan wartawan muda hendak mendengarkan apa isi pembicaraan dua maestro prosa modern dunia itu? Kedua sastrawan itu duduk bersebelahan. Ternyata anak-anak muda menunggu percakapan mereka, tapi tak satu katapun terucap.

Sigrid Löffler, kritikus sastra asal Austria menyebut, “Joyce tidak mengandalkan fantasi, melainkan ingatan.” Sejalan dengan itu Klaus Reichert, seorang profesor dari universitas Frankfurt mengatakan, “Joyce dalam menulis menggunakan re-membering dan re-collecting. Joyce mengumpulkan peristiwa yang kecil-kecil, lalu dia himpun menjadi besar dalam Ulysses.”

Banyak pengamat meyakini, bahwa Joyce memakai model epiphany artinya penampakkan kejadian secara serempak. Biasanya berasal dari tema yang sederhana, keseharian, di tempat umum atau berdasar pengalaman.

Carl Gustav Jung sangat terpikat dengan bab 18 yang tak memakai tanda baca, hanya ada dua titik dalam 40-an halaman. Ia anggap bab Penelope, dimana Molly sedang mengumbar igauan memakai model Stream of Consciousness bagaikan mutiara. Joyce membuat eksperimen monolog-interior dari sastrawan Prancis, Edouard Dujardin dengan bukunya Les lauriers sont coupés.

Ulysses adalah sebutan dalam bahasa Inggris, sedang dalam bahasa Latin disebut Ulixes, di dalam bahasa Yunani sebagai Odyssey, yang merupakan novel epos karya Homer yang terbit pada abad ke 7 Sebelum Masehi.

Anthony Burgess dalam bukunya berjudul Joyce untuk Setiap Orang (Joyce für Jedermann) menyebut, Joyce sudah sejak remaja menjadikan Odysseus sebagai pahlawan favoritnya. Ia tak meniru kisah kepahlawanan perang yang brutal, tapi mengubah dengan kisah yang cerdik dan masuk akal.

Kalau Odyssey dibuka dengan mitos, Ulysses dimulai dengan misa di gereja. Joyce mengubah dari kisah Greek Warrior menjadi Wandering Jew. Dari epos kekuasaan Yunani kuno berganti menjadi kehidupan sehari-hari di Dublin.

Frank Budgen, seorang pelukis Inggris sebagai sahabat Joyce di Zürich menulis buku berjudul James Joyce dan Lahirnya Ulysses (James Joyce und die Enstehung des Ulysses). Joyce sebutkan, “Buku saya tentang Odyssey yang modern. Sementara ini saya sedang menulis pada episode The Lestrygonians. Jika pada Odyssey tentang kanibal, tokoh saya sedang makan siang.”

Lebih jauh Joyce mengatakan kepada Budgen, bahwa ia ingin menghadirkan potret Dublin secara lengkap, siapa tahu kota itu lenyap, maka bisa direkonstruksi lagi dari Ulysses. Saat bertemu Budgen itu Joyce sudah menuliskan novelnya selama lima tahun. 

Keluarga besar Joyce di Dublin sering tinggal berpindah-pindah dari apartemen satu ke apartemen lain. Demikian pula saat Joyce tinggal di Zürich, ia sempat berpindah sampai tujuh apartemen. Salah satu apartemennya dimana ia sedang menulis Ulysses diberi tulisan oleh pemerintah kota sebagai berikut:

In diesem Haus wohnte

Der Irische Dichter

James Joyce

Von Januar bis Oktober 1918

Er arbeitete hier an seinem Roman Ulysses

Pemerintah kota Zürich tak hanya memahatkan nama Joyce di apartemen tingkat dua, tempat keluarga Joyce tinggal, tapi tak jauh dari apartemen Joyce itu ada halte tram dan halte tram itu diberi nama halte Ulysses. 

 

Ulysses Dibajak di USA

Perjalanan Ulysses menjadi buku bukanlah mulus. Pada akhir tahun 1920-an, Samuel Roth, pemilik sebuah penerbitan di New York membajak dan memuat beberapa bagian Ulysses ke dalam koran miliknya Two World Monthly.

Richard Ellmann, penulis biografi Joyce menyebut bahwa Roth berhasil menjual korannya sebanyak 50.000 eksemplar. 

Atas pembajakan itu, Joyce memprotes Roth. Kedua pihak menyewa pengacara ternama. Ada 167 sastrawan dunia membela Joyce dengan memberikan tanda tangan. Mereka antara lain, T.S. Eliot, Hemingway, D.H. Lawrence, Virginia Woolf, Yeats, Hofmannsthal, Andre Gide, dan Albert Einstein. 

Perkecualian Bernhard Shaw menolak tanda tangan. Mungkin Shaw masih jengkel, karena ia pernah akan meminjam karya Joyce di Zürich, tapi tidak diizinkan. Yang menarik Ezra Pound, satu sisi ia banyak membantu keuangan Joyce, tapi dalam kasus ini, Joyce dituduh oleh Pound hendak mempromosikan karyanya secara pribadi.

Tapi sikap pengarang memang berbeda melihat persoalan pembajakan ini. Gide dan Woolf termasuk sastrawan yang mengkritik Ulysses, tapi khusus pembajakan mereka berbalik arah di pihak Joyce.

Nasib Ulysses tak hanya dibajak, tapi dicekal oleh pengadilan di New York, karena beberapa bagian Ulysses dimuat jurnal sastra The Little Review edisi Maret 1918. Pada September 1920 John M. Woolsey, hakim pengadilan di New York menuduh, “The words and make Ulysses technically a very dirty book.” Diksi-diksi yang dianggap berbau pornografi itu antara lain, shit, cunt, fuck, bugger, shite, arse, dan prick.

Respon Joyce waktu itu, “Ulysses did not enjoy American Copyright.”

Seiring perkembangan peradaban modernitas Amerika, 13 tahun kemudian, tepatnya pada 6 Desember 1933, pengadilan melakukan peninjauan ulang. Hasilnya Ulysses tak terbukti melanggar pasal pornografi.

Setahun kemudian, tepatnya pada Februari 1934 Ulysses pertama kali diterbitkan di Amerika. Dua tahun berikutnya pada 3 Oktober 1936 Inggris menyusul menerbitkannya.

 

Edisi Gabler

Joyce meninggal di Zürich pada pukul 02.15, tanggal 13 Januari 1941. Ia meninggal pada usia 59 tahun, akibat inveksi perut dan sempat koma. Ia dimakamkan di kuburan Flunten, Zürich bersebelahan dengan Elias Canetti, sastrawan Austria. Di dekat makamnya didirikan patung Joyce dari metal Tercatat Ezra Pound pernah mengunjungi makam Joyce itu.

Sejak kematian Joyce, hak cipta penerbitan karyanya menjadi rebutan banyak pihak.

Bern Convention mengeluarkan peraturan baru mulai 1 Januari 1942, berlaku perlindungan hak cipta selama 40 tahun, sejak sastrawan meninggal.

Artinya semua penerbitan karya James Joyce harus menyerahkan royalti kepada James Joyce Estate. Empat puluh tahun kemudian (1942-1982) seharusnya copyright karya Joyce sudah menjadi public domain. 

Ternyata setiap negara mempunyai peraturan sendiri dalam melindungi karya sastrawannya. Di Inggris tahun 1991 terbit buku berjudul The Scandal of Ulysses. Pada buku itu ada subjudul The Gabler Era, yakni Dr. Hans Walter Gabler, seorang profesor bahasa Inggris di universitas Munich, Jerman mengajukan kritik penyuntingan pada Ulysses.

Sementara beberapa pengamat menganggap bahwa ada banyak kesalahan dalam penyuntingan. James Joyce Estate menyambut baik, sehingga Gabler dipersilakan melanjutkan kerja penyuntingan. Ternyata langkah Gabler ini menuai polemik baru. Sistem penyuntingan di Inggris dan Amerika lebih mengacu kepada penulisnya, sebaliknya sistem penyuntingan di Jerman dan Prancis lebih mengutamakan integritas sejarah teksnya. 

Untuk menjembatani dua sistem yang berbeda ini, maka dipadukan antara memperhatikan penulis dan sejarah teks. Pada perayaan Bloomsday tahun 1984 telah terbit ulang Ulysses dengan model baru memakai label The Corrected Text Uysses atau lebih dikenal dengan istilah Edisi Gabler.

Sejak penyuntingan itu, maka James Joyce Estate yang dikelola oleh cucu Joyce bernama Stephen James Joyce dan tinggal di pulau Ile de Ré, Prancis dekat Inggris punya alasan baru untuk memberlakukan copyright lagi. 

Empat tahun berselang, tepatnya pada 1988, John Kidd, seorang Joycean muda Amerika memprotes keras kepada Gabler. Alasannya Ulysses semakin kurang greget, kehilangan unsur jurnalistik, dan kurang tegas.

Terhadap kritik itu Gabler membantah, bahwa Joyce sendiri masih merevisi Ulysses menjelang naik cetak hingga akhir Januari1922. Pada tahun 1989 Gabler memberi pernyataan lagi, “I mean, as an editor one owes more ultimately to the intention of the text than (to) the intention of the author.”

Lepas dari polemik itu terjadi, Marcel Proust pernah mengeluarkan pernyataan bahwa karya itu baru bisa dinikmati, setelah karya itu diedit.

Sekarang ini Ulysses versi Gabler dianggap layak dan umum dipakai. Perlahan-lahan para pengamat karya Joyce mulai menerimanya, sedang John Kidd lebih aktif sebagai ketua James Joyce Research Center di universitas Boston. 

Marilyn Monroe, selalu menaruh Ulysses di mobilnya. Ia membaca dari halaman mana saja, dianggapnya indah.

Banyak orang gagal membaca Ulysses dan berhenti di tengah jalan, karena faktor kerumitan. Atas kerumitan novel itu, maka ada buku pendampingnya, salah satunya buku Ulysses Annotated karangan Don Gifford. Buku anotasi ini sangat detil, tak hanya menjelaskan diksi dan idiom sulit, namun pada setiap bab dibuatkan peta di mana percakapan itu berada. 

The New York Times menganggap Ulysses sebagai novel terbaik di abad 20.

Sementara waktu melaju dan Copyright karya-karya Joyce telah menjadi public domain pada tahun 2012.

Kini beredar Ulysses dari berbagai penerbit, bahkan ada edisi terbitan Trinity College, Dublin, 2012 yang sangat tebal, karena menggabungkan dengan buku anotasi dari Sam Slote berjudul Ulysses, James Joyce.

 

Dublin Seolah Pindah ke Zürich

Hingga kini usia penerbitan Ulysses sampai 100 tahun (1922-2022). Para kritikus telah berguguran, banyak pujian dan novel itu menginspirasikan para penulis baru. Yang menarik lahirnya banyak ahli karya Joyce yang sering dijuluki sebagai Joycean.

Ulysses

Foto Ulysses edisi pertama terbit tahun 1922 milik James Joyce Foundation, Zürich. (Sumber foto: James Joyce Foundation, Zürich)

Salah satu Joycean yang terkenal adalah Fritz Senn. Ia presiden Zürich James Joyce Foundation di Switzerland. Ia memimpin reading group Ulysses dan Finnegans Wake.

“Hati-hati membaca Ulysses bisa kecanduan. Tapi kecanduan intelektul,” kata Fritz Senn sering terlontar menasihati siswa-siswanya dalam reading group.

Latar cerita pada Ulysses berada di kota Dublin, Irlandia mulai pukul 08.00 sampai pukul 02.00 dini hari tanggal 16 Juni 1904. Zürich James Joyce Foundattion merayakan ke 100 tahun Ulysses dengan memindahkan Dublin di kota Zürich.

Deret kegiatan digelar selama tiga bulan, mulai tanggal 2 Februari sampai 1 Mei 2022 di gedung Strauhof, Augustinergasse 9. Zürich.

Ada 18 bab dalam Ulysses yang menggambarkan 18 titik objek di kota Dublin, dibuatkan duplikatnya ke 18 objek itu di Zürich. Pihak Foundation mengemas Ulysses dalam selembar kertas yang dilipat berisi penjelasan serta peta kota.

Pada tanggal 5 Februari 2022 diadakan Reading Marathon, yakni para hadirin membaca teks secara ringkas dari bab 1 sampai ke bab 18 dengan berpindah-pindah objek di kota Zürich. Dublin seolah berpindah ke Zürich.

Ulysses

Pembacaan Ulysses serba angka 100. (Sumber Foto: James Joyce Foundation, Zürich)

Bahkan ada kegiatan membaca serba angka 100, yaitu ada pembacaan Ulysses selama 100 menit dan 100 halaman. Yang paling menarik adalah hadirin bisa melihat langsung novel Ulysses edisi pertama yang dimiliki Zürich James Joyce Foundation. Edisi pertama ini sangat legendaris dan langka.

*Penulis tinggal di Zug, Switzerland dan sebagai siswa Reading Group Ulysses di Zürich James Joyce Foundation sejak tahun 2006 hingga kini.