Puisi-Puisi Farras Pradana

Dunia Selembar Taplak

di atas meja kayu tua, dunia cuma selembar taplak merah
yang di duduki stoples plastik berisi peyek dan secangkir teh
yang dingin di udara malam.
keremajaan tidak lagi menyambutmu dengan banyolan
tua hinggap di ternit-ternit coklat berkerak dan kelaparan.
seorang manusia dengan jantungnya yang terbagi
antara pulang dan pergi, duduk memegangi sobekan puisi
ia telah lewat sebelum terlewat membaca
corak kusut pada tubuhnya terpotong di beberapa bagian huma

Ngramang, 5 Agustus 2019

 

Ke dalam Doamu

aku ingin melepaskan merpati di malam hari
di dalam gelap yang menjadikan matanya buta
seperti mesin printer kehabisan tinta
tanpa keluar kata-kata. dan menjadi putih
halaman tanpa rumput dan aksara
angkasa menarikku masuk menari di keindraannya
akan ke mana kucuri diri?
gantung jiwa di atas langit rumahmu
sementara kamu sedang sembahyang
pulang bersujud Tuhan
aku kemanakan aku dalammu yang membawakan sepi
menunggu tinta diisi bersama pengantre skripsi

utara menerbitkan musim yang melepas gugur dalam sebungkus api
yang membakar tali
dan aku tercebur ke dalam doamu

Banguntapan, 10 September 2019

 

Tempatnya Dante

Dua puluh anak tangga menggulingkan diri ke dalam gulungan tubuh yang kacau.
Napas berhembus menuruni lereng yang dianggapnya lurus,
Dan jejak sepatu berkata, “Angkatlah pada ketinggian, di mana ketakutan datang bersama.”
Dewan yang melayang, dan kuingin Dante menunjuk pandang
Akan dibawa ke mana aku dalam tubuh jiwamu
Sebuah komedi atas neraka, penyucian, dan tempat yang hilang dariku.

FIS, 20 Oktober 2019

 

Wejangan dari Seorang Pengembara

Rusak sudah tiada yang jadi baik

Siang-malam bersembunyi
Menundukkan kepala memandangi bumi
Kehidupan seseorang telah lepas dari dirinya
Dan semua ingatan terputus begitu saja

Ia mengembara tanpa diam
Mengoceh dan tertawa mengakak

Suara pagi yang serak
Mimpi apa yang mengisi tidurnya semalam
hingga ia akhirnya kehilangan suara

Kutanya padanya, apa yang terjadi

Lebih baik sekarang aku pergi
Dunia hanyalah dunia
yang kita sendiri tidak miliki

11 April 2019

 

Wajah yang Hancur

Segalanya jadi mundur
Aku terbirit-birit menjauh

Kulihat wajah sendiri dalam bungkus yang hancur
Hingga tidak ada lagi yang sudi mencintai
Kekecewaan apa lagi yang tak dapat kuterima
Aku terlupakan merana

 

Akhir Pekan

Hari Minggu sama dengan hari lainnya
Bedanya aku tak ke mana-mana
Duduk di ruang tamu, memandang dari balik jendela
wara-wiri orang pergi
Aku menguap panjang tanpa menutup mulut
Akhir pekan masih punya waktunya
dan diriku tinggal sia-sianya
Hening terpintal dari sekian saat aku terdiam
Lama rahasia satu jam ke depan belum terbongkar
Aku sedang tidak menunggu misteri
Hanya saja akan ke mana ujungnya
Sore menjelang tiba dari aku bangun
Tidur menyimpan gugur yang gagal dalam mimpi
Aku mandi dalam satu pertanyaan yang sama
seperti minggu lalu:
Di mana hidupku kan bermuara?

 

Kental

Kental di wajahku
Tebal, banal dan kaku
Mengerak berlapis-lapis beku
Mengintan berwujud batu

Aku tengah rusak
Bangkit setengah mampus terkoyak
Terbelenggu sapuan arak
Kulihat dimatamu madu yang masak
Kutahan tapi percuma
Aku pun tak pernah merdeka darinya

2019

 

 

*Farras Pradana, telah menerbitkan kumpulan cerpennya Sekelompok Babi dan Rumah-Rumah (Semut Api, 2021).