Buku Arsip tentang Gusmiati Suid Diterbitkan BWCF

Jakarta, 25 Juni 2023 – Suasana gerak rantak kaki dan hentakkan tubuh dalam balutan musik Minangkabau menyelimuti Studio Tari Salihara, pada Sabtu, 24 Juni 2023, menghipnotis seluruh tamu undangan yang hadir pada sore hari itu. Sesaat kemudian, suasana berubah menjadi lebih emosional, ketika satu per satu tamu undangan yang memiliki ‘hubungan’ erat dengan Gusmiati Suid, mulai mengisahkan kenangan-kenangannya dengan sang maestro. Penerbit BWCF (Borobudur Writers and Cultural Festival) SOCIETY, bersama dengan penerima Program Dokumentasi Pengetahuan Maestro – Dana Indonesiana, Ditjenbud, Kemendikbudristek, yang didukung oleh Komunitas Salihara, pada tanggal tersebut menggelar program peluncuran buku “Gusmiati Suid: Arsip dan Refleksi”.

Gusmiati Suid, atau yang kerap disapa dengan panggilan Bu Yet, merupakan seorang maestro tari berdarah Minang, yang lahir pada 16 Agustus 1942, di Parak Juar, Batusangkar. Sejak belia, Gusmiati muda berguru tari kepada seorang seniman tari Minangkabau, yakni Huriah Adam. Dari beliau, Gusmiati belajar mengenai tari tradisi Minangkabau. Mengingat Huriah Adam -yang menurut Helly Minarti- merupakan seorang koreografer pasca-kolonial Indonesia pertama, yang mengulik kedalaman khasanah tari dan kebudayaan Minangkabau sebagai inspirasi, untuk kemudian ditransformasikan menjadi ekspresi artistik individual.

Gusmiati juga menggeluti dunia silek, yang diwajibkan untuk dipelajari oleh Mamaknya (paman dari garis Ibu) yang bernama Wahid Sampono Alam. Latar belakang dan kombinasi antara tari dan silek tersebutlah, yang kemudian membentuk diri Gusmiati Suid menjadi seorang koreografer yang kuat dan melekat dengan roh tradisi. Pada tahun 1982, Gusmiati mendirikan sanggar Gumarang Sakti di kampung halamannya, Batusangkar, yang kemudian ‘hijrah’ pada tahun 1987 menuju sebuah kota kecil di pinggiran Jakarta, yakni Depok. Di Sanggar inilah kemudian yang menjadi laboratorium Gusmiati untuk terus memproduksi karya-karyanya setiap tahun.

Potret Gusmiati Suid

Sepanjang karirnya, Gusmiati telah melahirkan puluhan karya, dan beberapa diantaranya adalah “Rantak” (1978), “Gandang” (1981), “Limbago” (1987), “Bakaba “Kiat” (1992-1993), “Seruan” (1995), dan “Kabar Burung” (1997). Sementara itu, “Api dalam Sekam” (1998), sebuah karya berdurasi 60 menit yang ditampilkan pada pembukaan ASI II 1998 (Art Summit Indonesia) adalah salah satu karya monumental Gusmiati Suid.

Bagi peneliti tari Helly Minarti, “Api dalam Sekam” merupakan puncak pencapaian artistik seorang Gusmiati Suid, yang mengangkat isu politik pada periode itu. Oleh karenanya, Seno Joko Suyono (wartawan Tempo), menyebut Gusmiati bukan hanya sekedar seorang penari, melainkan juga pengamat sosial.

Salah satu titik penting dalam pencapaian Gusmiati Suid adalah ketika ia memperoleh penghargaan The Bessie Award, sebagai The Outstanding Creative Achievement during the 1990-19991 season dari New York Dance and Performance Award pada Festival Kebudayaan Indonesia Amerika Serikat (KIAS) di tahun 1991.

Penyusunan buku “Gusmiati Suid: Arsip dan Refleksi”, berangkat dari kepedulian putri bungsu Gusmiati Suid, Yessy Apriati/Eci (54), terhadap arsip-arsip berupa liputan media massa hingga catatan metode kerja sang ibunda, yang hingga saat ini belum didokumentasikan dengan baik. Lebih lanjut Yessy mengungkapkan bahwa, ia ingin membuka arsip ini kepada umum sehingga pencapaian-pencapaian Gusmiati Suid dapat dibaca kembali oleh berbagai kalangan dan berharap dapat menginspirasi generasi muda. Sementara itu di sisi lain, kekhawatiran Yessy menjadi semakin memuncak karena berdasarkan keterangannya, sejauh ini ada banyak publikasi dan penelitian mengenai Gusmiati Suid yang memuat data-data kurang akurat. Oleh karena itu, dengan kehadiran buku ini diharapkan kedepannya tidak lagi terjadi kesalahan-kesalahan, terutama dalam penulisan biografi dan pemikiran Gusmiati Suid.

Untuk merealisasikan tujuan tersebut, Yessy kemudian menggandeng Diana Trisnawati, seorang sejarawan yang juga memiliki kepedulian yang sama terkait dengan pendokumentasian perjalanan karir Gusmiati Suid. Diana berhasil memperoleh bantuan fasilitasi Program Dokumentasi Pengetahuan Maestro, Dana Indonesiana untuk penulisan buku Gusmiati Suid.

Buku yang diterbitkan BWCF Society ini adalah kumpulan kliping pilihan dari media massa tentang pertunjukan-pertunjukan yang dipentaskan Gusmiati Suid bersama Gumarang Sakti. Hampir semua media massa mainstream di Indonesia, dari Tempo, Kompas, sampai Jakarta Post, pernah mengulas pementasan Gumarang Sakti. Buku ini juga menyertakan tulisan lima pengamat seni pertunjukan yang dianggap sangat mengenal karya-karya Gusmiati. Mereka adalah Sal Murgiyanto, Helly Minarti, Efix Mulyadi, Nirwan Dewanto, dan Afrizal Malna. Efix Mulyadi sebagai wartawan Kompas, misalnya, sangat sering datang ke studio Gumarang Sakti di Depok pada 1990-an untuk mengamati latihan-latihan Gumarang Sakti.

Buku setebal 254 halaman ini selesai dicetak pada minggu ketiga bulan Juni, dan diluncurkan pada hari Sabtu, tanggal 24 Juni 2023 di Studo Tari, Komunitas Salihara, atas kerjasama antara penerbit BWCF Society bersama dengan Komunitas Salihara. Acara peluncuran buku ini dihadiri oleh puluhan tamu undangan, yang berasal dari berbagai kalangan mulai dari seniman tari, akademisi, jurnalis, hingga tokoh-tokoh budaya, pemerhati seni pertunjukan serta yang pernah bekerjasama dengan Gusmiati Suid.

Cover depan buku Gusmiati Suid: Arsip & Refleksi.

Acara pada sore hari itu dibuka dengan demo gerak cuplikan karya Gusmiati Suid, yang ditampilkan oleh Benny Krisnawardi dan David Fitrik, serta diiringi oleh musik dari Epi Martison. Benny Krisnawardi dan David Fitrik merupakan penari yang ‘diasuh’ langsung oleh Gusmiati Suid, yang masih aktif menari dan mengajar hingga saat ini. Selain itu, Benny Krisnawardi, atau yang kerap disapa Uda Ben, pada tahun 1990 menjadi asisten koreografi untuk beberapa karya dari Gumarang Sakti, sehingga beliau menyimpan banyak memori gerak tari Gusmiati Suid. Sementara itu Epi Martison, merupakan komposer musik, yang telah mengiringi banyak karya dari Gusmiati Suid dan Gumarang Sakti. Penampilan ketiganya berhasil memukau seluruh tamu undangan yang hadir. Dari pertunjukan yang hanya berlangsung selama kurang lebih 10 menit tersebut, penonton dapat merasakan kebertubuhan Benny Krisnawardi dan David Fitrik. Barangkali karena mereka menari dengan hati, sekaligus mengenang kembali memori-memori bersama Gusmiati Suid.

Pemutaran Arsip Film Limbago (1987 – 1991) dan Seruan (1995 – 1997). (Sumber: Dokumentasi Pribadi).

Puncak acara adalah “Bincang Buku”, bersama dengan Helly Minarti, Epi Martison, Bondan Kanumoyoso, dan Diana Trisnawati yang dimoderatori langsung oleh Seno Joko Suyono dari BWCF Society. Bondan Kanumoyoso, seorang sejarawan dan Dekan FIB Universitas Indonesia, berusaha untuk membaca kembali Gusmiati Suid dari buku yang diluncurkan saat itu. Menurut Bondan, dengan membaca buku ini kita tidak hanya diceritakan mengenai perjalanan Gusmiati Suid dari Batusangkar ke Depok, lebih dari itu, buku ini mengajak para pembaca untuk menyelami lebih dalam pemikiran Gusmiati Suid, sebagai seorang maestro tari dan pemikir budaya yang berangkat dari akar tradisi yang kuat, serta berani membuka jalan untuk perkembangan seni tari tradisi.

“Jangan sampai buku ini hanya berakhir di rak-rak buku perpustakaan atau hanya dibuka dan dilihat halamannya saja. Tapi baca buku ini, terutama para seniman-seniman muda yang ingin menyelami lebih jauh tentang sejarah seni tari tradisi. Baca buku ini!” pungkasnya, pada acara Bincang Buku Gusmiati Suid: Arsip dan Refleksi (24/06/2023).

Puncak acara “Bincang Buku”, bersama dengan Helly Minarti, Diana Trisnawati, Epi Martison, Bondan Kanumoyoso, dan dimoderatori oleh Seno Joko Suyono. (Sumber: Dokumentasi Pribadi).

Perupa Teguh Ostenrik, Nirwan Dewanto, Edy Utama serta Nungki Kusumastuti menambahkan kesaksiannya tentang pemikiran Gusmiati Suid.

Program Bincang Buku kemudian ditutup dengan pemberian buku secara simbolis, kepada beberapa sahabat dan rekan-rekan Gusmiati Suid yang hadir pada sore hari itu. Beberapa dari mereka adalah Nirwan Dewanto, Felia Salim, Teguh Ostentrik, Soniny Sumarsono, Edi Utama, Nungki Kusumastuti, dan Katia Angel.

Foto bersama di penghujung acara. Dari kiri ke kanan: Edy Utomo, Sonny Soemarsono, Katia Angel, Teguh Ostentrik, Felia Salim, Nungki Kusumastuti, Suwita Yanti “Ina”, Helly Minarti, Yessy Apriati “Eci”, Diana Trisnawati, Epi Martison, Bondan Kanumoyoso, Seno Joko Suyono, Nirwan Dewanto). (Sumber: Dokumentasi Pribadi).

Hadirnya buku ini, dan dengan kebaruan-kebaruan yang ada di dalamnya, diharapkan dapat memberikan sumbangsih baru bagi khazanah ilmu pengetahuan seni di Indonesia. Kemudian, seperti apa yang disampaikan oleh pihak keluarga, buku ini diharapkan dapat menjadi rujukan utama dalam penelitian, baik mengenai Gusmiati Suid dan pemikiran-pemikirannya, maupun sejarah tari Indonesia secara umum. Lebih dari itu, buku ini bukan hanya sekadar sebuah biografi dan kumpulan arsip, melainkan pertunjukkan imaji, tari, dan narasi seorang Gusmiati Suid dari panggungnya yang telah abadi.

 

*Lesi L.