Efek Musikalitas dan Pergulatan Spiritual dalam “Jogéd Transendental”

Oleh Abu Ma’mur MF

Telaah Karya Sastra Sejarah

Sebelum mengulik perihal karya sastra (berlatar) sejarah, mari kita telisik pengertian masing-masing. Kalem, Nyai. Ini bukan sejenis tulisan akademik dan tidak mengandung timbunan karnaval pengertian. Setiap istilah saya kasih jatah cukup satu pengertian. Masuk?

Terry Eagleton, ahli teori sastra dan kritikus berkacamata penganut Marxisme ini menawarkan pengertian menarik. Sastra, menurutnya, merupakan karya tulisan indah (belle letters) yang mencatatkan sesuatu dalam bentuk bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjangpendekkan dan diputarbalikkan, dijadikan ganjil atau cara penggubahan estetis lainnya melalui alat bahasa.

Silakan cermati lagi kalimatnya. Baca perlahan dan pahami maksudnya. Sudah? Kita lanjut ke pengertian sejarah. Sejarah, ujar Kuntowijoyo, merupakan ilmu pengetahuan yang mengkaji secara sistematis keseluruhan perkembangan perubahan dinamika kehidupan dengan segala aspek kehidupan di masa lalu.

Ruang lingkup sejarah memiliki empat konsep. Pertama, sejarah sebagai peristiwa (history as event). Ciri-cirinya: unik, abadi, dan berpengaruh. Kedua, sejarah sebagai kisah (history as narrative). Ciri-cirinya: bersifat subjektif, sarana untuk mengungkapkan kembali, nyata, dan hasil karya. Ketiga, sejarah sebagai ilmu (history as science). Ini bercirikan: empiris, objek, teori, kesimpulan umum, dan metode ilmiah. Keempat, sejarah sebagai seni (history as arts). Bisa dikatakan demikian bila memenuhi ciri-ciri begini: intuisi, imajinasi, emosi, dan gaya bahasa.

Berpijak pada konsep di atas, novel tegalerin karya Lanang Setiawan ini agaknya termasuk ke dalam kategori sejarah sebagai seni (history as arts). Meskipun karya Lanang ini bukanlah buku sejarah memang, melainkan karya sastra (berlatar) sejarah. Karena begitu maka saya sengaja mengunakan kata “agaknya”.

Merakit karya sastra berlatar sejarah tidak sekadar mengandalkan kekuatan imajinatif semata. Riset mendalam perlu dilakukan untuk menghadirkan nuansa, suasana, dan atmosfer sejarah dalam cerita yang disajikan. Ini juga  berguna untuk memperkuat fakta sejarah (historical truth) sehingga keabsahan kisahnya valid dan terhindar dari kerancuan maupun ambiguitas. Maka selain menekuri teks hipogram, kaidah penulisan sejarah sangat perlu dikuasai. Bila tidak maka karya tersebut akan terancam menjadi suatu karya yang wagu.

Perkembangan karya sastra berlatar sejarah di Indonesia cukup menggembirakan, baik berwujud puisi, cerpen, maupun novel. Rupanya genre ini cenderung lebih menarik ketimbang buku teks sejarah. Tiga judul karya sastra berlatar sejarah layak kita sebutkan. Pertama, Post Kolonial dan Wisata Sejarah dalam Sajak karya Zeffry Alkatiri (kumpulan puisi): bertema sejarah Indonesia dan dunia dengan rentang tahun variatif mulai 300-an Masehi sampai 2011.

Kedua, Semua untuk Hindia karya Iksaka Banu (kumpulan cerpen): berisi 13 cerita pendek tentang kolonialisasi Belanda di Indonesia. Ketiga, Pulang karya Leila S. Chudori (novel): mengisahkan tiga peristiwa sejarah besar di Indonesia dan dunia yaitu peristiwa 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998.

Ketiga karya sastra tersebut memenangkan penghargaan sastra ter-gemladag di Indonesia: Kusala Sastra Khatulistiwa dan dianggap berhasil mengangkat isu sejarah ke dalam bentuk narasi sastra yang menarik.

Di wilayah kesusastraan ini Lanang tak sekadar turut ambil bagian. Dia menunjukkan dirinya bukan sekadar epigon. Istilah ini berarti orang yang tidak memiliki gagasan baru dan hanya mengikuti jejak pemikir atau seniman yang mendahuluinya. Sebagaimana saya pernah uraikan dalam tulisan “Mengurai Daya Pikat ‘Kidung Kemat’ Besutan Lanang Setiawan,” dia hadir sembari mengusung kesetiaan “njunjung kamulyan basa tegalan” dan mendobrak tatanan mapan. 

Penerima Hadiah Nobel Sastra termuda kedua dalam sejarah, Albert Camus, pernah berujar, “Seni, seperti pemberontakan, adalah sebuah gerakan yang pada waktu bersamaan bersifat mengagungkan sekaligus mengingkari.” Ucapan filsuf Prancis ini tidak ditujukan kepada Lanang memang, tapi ternyata memiliki relevansi.

Begini Nyai. Lanang Setiawan merupakan sejenis spesies yang memiliki stamina nggilani dalam merawat konsistensi berkarya secara persisten. Tingkat produktivitasnya dubilah setan! Dalam hitungan bulan, dia menerbitkan tiga buku sastra (sejenis novel) berlatar sejarah. Perbuatan semacam ini kiranya tidak berlebihan bila dikategorikan sebagai tindakan mengagungkan karya sastra, bukan? Namun, di saat yang sama dia sengaja mengingkari kemapanan konvensi novel.

Novel umumnya diartikan sebagai jenis prosa panjang. Pada ketiga karya terbarunya (saya akan sebutkan belakangan), Lanang melakukan tindakan inovatif yang agaknya belum pernah dilakukan oleh bangsa jin, dedemit maupun manusia sebelumnya.

Sejujurnya saya tidak berurusan dengan bangsa dedemit. Mungkin ada pembaca yang terampil berkomunikasi dengan entitas gaib ini, tolong tanyakan ya. Jadi bila saya keliru menyimpulkan, saya akan koreksi. Yang jelas, Lanang berhasil mengawinkan secara silang antara novel dan puisi. Alhasil lahirlah satu spesies atau genre baru—sejenis karya sastra eksperimental—yang dia namai “novel tegalerin 2-4-2-4”. 

Baiklah, Jon.  Memang perbuatan inovatif semacam ini pernah dilakukan oleh makhluk hidup selain Lanang. Sebutlah Linus Suryadi AG. Sastrawan yang pernah ditempa di Persada Studi Klub (PSK)-nya Umbu Landu Paranggi ini sempat mengegerkan jagat kesusatraan Indonesia. Dia menulis sajak panjang berjudul “Pengakuan Pariyem” setebal 180 halaman. Karyanya ini lalu dikenal dengan sebutan prosa liris. Pengakuan Pariyem diterbitkan Sinar Harapan, Jakarta, dan dicetak oleh PT Harapan Jakarta tahun 1981 dengan tebal 244 halaman. 

Lalu apa bedanya karya inovatif Linus Suryadi AG dengan novel tegalerin 2-4-2-4? Secara tipografi, konvensi maupun medium bahasa yang digunakan jelas tidak sama. Novel tegalerin 2-4-2-4 adalah suatu jenis karya sastra berupa cerita atau kisah naratif, terdiri atas beberapa babak/bab. Masing-masing babak berisi puisi dengan pola tuang 2-4-2-4 (bait pertama dan ketiga: dua baris, bait kedua dan keempat: empat baris). Antarpuisi memiliki korelasi, saling terpaut, dan menjadi jalinan cerita utuh. Medium ungkapnya menggunakan bahasa tegalan.

Menguak Pancaran Kekuatan

Sejauh ini Lanang Setiawan telah melahirkan tiga novel tegalerin 2-4-2-4 berlatar sejarah: Pengakon Jonggrang, Kidung Kemat, dan Jogéd Transendental. Dua karya pertama mengandung daya pikat menakjubkan, baik dianalisis dengan pendekatan semantik, heuristik, hermeneutik, sosiolinguistik, stilistik, mrekitik, maupun tik-tik lainnya. Bagaimana dengan karya terbarunya, Jogéd Transendental yang sekarang ada di hadapan sampeyan ini? Apakah sekadar mengulang pencapaian-pencapaian sebelumnya, justru mengalami degradasi kualitas, atau malahan menghadirkan kebaruan mengejutkan?

Deretan pertanyaan skeptis barusan akan terjawab seiring obrolan kita kali ini. Sejenak kita hadirkan A.S. Laksana a.k.a Mas Sulak. Begini dia bilang, “Ketika anda memulai sesuatu dengan baik, pada kesempatan-kesempatan berikutnya anda hanya punya satu pilihan: ialah melahirkan yang lebih baik. Tekanan lainnya adalah bagaimana melepaskan diri dari bayang-bayang karya terdahulu.”

Apakah Lanang Setiawan sanggup dan berhasil “melepaskan diri dari bayang-bayang karya terdahulu?” Jujur saja mula-mula saya ragu, Nyai. Namun, setelah menekuri puisi-puisi Lanang di sepanjang buku ini secara khidmat, cermat, dan bersahaja, saya serasa terkena pukulan telak! “Bajingan!” Saya berteriak keras—dalam hati tentunya. Ternyata dugaan saya meleset, saudara-saudara. Rupanya Jogéd Transendental memancarkan kekuatan yang bahkan melampui dua karya Lanang sebelumnya. Ini di luar perkiraan. Ini di luar perkiraan!

Sebagai pembuktian tesis saya barusan, mari kita kuak bersama secara saksama kekuatan Jogéd Transendental. Pertama, orkestrasi liris dan efek musikalitas puisi. Puisi merupakan ekspresi pengungkapan jiwa yang bernilai sastra dan estetika yang selalu mempertimbangkan aspek bahasa, irama dan peran-peran bunyi dalam suatu kesatuan, begitu menurut Suminto A. Sayuti, guru besar Universitas Negeri Yogyakarta, kelahiran Purbalingga—sama dengan Sumanto; kota kelahirannya, bukan karirnya.

Kecermatan Lanang dalam menggali diksi menjadikan deretan puisinya sarat makna. Keprigelannya dalam mengharmonisasikan komposisi bunyi: rima, irama, kakofoni, dan eufoni menjadikan puisi-puisinya memancarkan efek musikalitas serupa orkestrasi liris, dan bernilai estetis sebagai sebuah karya sastra. Kita simak salah satunya.

SANGGRAMA

Kahuripan surem riyem
tatu berabad nunjem berem

Arya Bharada cendekiawan agung
guru kesohor Jawadwipa jagong
Jéjér silah bareng Mpu Kanwa
penyair termasyhur Arjuna Wiwaha

Sanggrama putri mahkota
jagong ning singgasana

Pasuryan Sanggrama katingal pucet
sorot mripat mbleret
Raga lemes ésem nglangut
sokan nglamun njetatut

Begini terjemahan bebasnya: Kehidupan suram kelam, luka berabad menusuk tajam. Arya Bharada cendekiawan mulia, guru masyhur Jawadwipa duduk, berderet sila bersama Mpu Kanwa, pujangga ternama Arjuna Wiwaha. Sanggrama putri mahkota, duduk di singgasana. Raut muka Sanggrama tampak redup, sorot mata perlina, raga lunglai senyum tiada, kerap melamun senyap.

Puisi barusan mengambarkan nuansa kelam singgasana dan cuaca batin Sanggrama yang tengah dirundung mendung. Mari kita cermati unsur bunyi dalam susunan partitur suasana suram pada puisi tadi. Bunyi dalam puisi tidak hanya berperan sebagai dekoratif semata. Selain memperkuat suasana, bunyi juga bertugas memantik rasa dan imaji pembaca sekaligus mempercantik estetika.

Rima merupakan pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk efek musikalitas atau orkestrasi. Pada puisi Lanang di atas kita bisa melihat rima pada akhiran huruf-huruf yang bercetak tebal (bold).  Sedangkan irama dalam konteks ini berarti bunyi teratur, berpola, menimbulkan bunyi variatif sehingga menciptakan suasana dalam puisi. Misal suasana melankolis menjadikan puisi bertempo lambat, sedangkan suasana meledak-ledak menyebabkan tekanan dinamik tinggi.

Ada dua macam irama: metrum dan ritme. Metrum adalah irama yang tetap dan berpola tertentu sedangkan irama yang disebabkan oleh pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur dan menjadi gema dendang disebut ritme adalah. Kita langsung simak contohnya biar sampeyan merinding:

Tiyang kekalih kaya dibebek
gulu ngeraos ketekek

“Dinten-dinten liplap rikat
wilangan taun mencirat
Jiwa raga kegubed pedut
wegah damén rikala jagad kebek maksiat”

(MRINDING)

Kedua, bahasa figuratif. Ini merupakan gaya ungkap penyair dalam menyampaikan sesuatu dengan cara unik dan tidak langsung sehingga bermakna kias atau perlambang. Definisi ini bisa disederhanakan dengan kalimat Sapardi Djoko Damono, “Bilang begini, maksudnya begitu.”

Kabung duka munjung-munjung dan kekalih tiyang kados kegedig waja dalam puisi Lanang berjudul “DUKA MELEP-MELEP” selaras dengan bahasan kita kali ini. Contoh pertama menggambarkan intensitas perasaan duka secara hiperbolis. Yang kedua Lanang mengayunkan majas simile untuk melukiskan perasaan terkejut sekaligus kekecewaan mendalam. Saya bantu mengartikan: “berkabung duka penuh menggunung” dan “dua orang bagaikan dihantam baja”.

Pertanyaanya, siapa gerangan yang berduka sedemkian lara? Siapa pula yang merasa kecewa? Kunci jawaban tidak akan saya sodorkan. Biar sampeyan penasaran. Biar sampeyan menekuri sendiri puisi-puisi di buku ini. Satu contoh lagi biar marem.

Rongpuluh taun ngalam dunya
ngeraos sepuh ilang dedaya
Munjung gunakaya ning istana
ben dinten direp-rep makhluk raksasa

(DUKA SELANGIT)

Begini terjemahnya: “Dua puluh tahun (hidup) di alam dunia, merasa tua hilang daya, berlimpah harta di istana, (tapi) tiap hari ketindihan makhluk raksasa”. Ketindihan atau rep-repan dalam bahasa Jawa secara harfiah merujuk pada keadaan ketidakmampuan bergerak saat sedang tidur ataupun ketika bangun tidur. Fenomena ini dalam istilah medis disebut sleep paralysis.

Sanggrama terdampar dalam situasi paradoksal. Berada dalam istana berlimpah harta, ia justru merasa lunglai dicekik perasaan horor. Setiap hari seakan ketindihan makhluk menyeramkan berwujud petaora: raksasa. Sekali lagi, setiap hari! Di bagian ini Lanang memanfaatkan kekuatan bahasa figuratif untuk memperkuat daya sugestif cerita terhadap pembaca. Ringkasnya, bahasa figuratif yang dimainkan Lanang menyebabkan puisi-puisinya menjadi prismatis: memancarkan banyak makna, tak sekadar puisi difan yang polos dan fakir estetika.

Ketiga, racikan diksi dan frasa segar. Lanang bukan sekadar penyair pemulung kata. Ia menghidupkan puisi-puisinya dengan menghadirkan ungkapan-ungkapan baru, paduan kata orisinil, dan frasa segar. Baiklah, Jon, demi menghindari persepsi maupun tuduhan bahwa saya melancarkan pujian berlebihan terhadap sastrawan bangkotan, saya akan menyodorkan bukti-bukti otentik. Mari kita ulik.

Saya menemukan lebih dari sembilan racikan diksi maupun frasa segar di sepanjang karya Lanang kali ini. Demi penghematan energi dan halaman, saya cukup paparkan sembilan. Saya runut berdasarkan turunnya ayat. Eh, maaf, saya ralat: urutan puisi. Silakan sampeyan cermati—nanti saya sertakan terjemahannya biar lebih cespleng: koprot nelangsa, pemintal gesang, remuk bata, tabet awor suwung, kegrujug syair ngiris, pitakon Ananda dibayar sekal, mbekep kelu, gerhana batin mbludag, dan gerhana sukma. 

Mari kita prétéli satu persatu, Nyai. Koprot nelangsa dirakit dari dua kata: koprot (babak belur) dan nelangsa (menderita), maknanya mengalami penderitaan level akut. Pemintal gesang berasal dari pemintal (yang memintal) dan gesang (hidup), artinya gairah hidup. Remuk bata bermakna hancur lebur seperti remukan batu bata. Tabet awor suwung disusun dari kata tabet (angker), awor (menyatu), dan suwung (sunyi), ini menggambarkan perasaan atau situasi mencekam level ekstrim. Mrekitik? Lanjut, Jon.

Kegrujug syair ngiris dirajut dari kata kegrujug (tersiram), syair (puisi), dan ngiris (menyayat), ini melukiskan suasana hati disayat-sayat rasa pilu. Pitakon Ananda dibayar sekal arti harfiahnya “pertanyaan Ananda dibayar seketika”. Pertanyaan kok dibayar? Ini menarik, Lanang tidak menggunakan ungkapan lazim. Dia menghadirkan ungkapan baru. Masih ada tiga lagi, Nyai. 

Mbekep kelu dipintal dari kata mbekep (bungkam) dan kelu (kelu), ini tergolong ke dalam frasa adjektiva koordinatif karena frasa ini disusun oleh dua kata sifat yang saling melengkapi seperti aku dan kamu, Nyai. Gerhana batin mbludag (meluber), gerhana batin merupakan frasa puitik untuk melukiskan perasaan saat diliputi kegelapan atau kesusahan. Gerhana batin mbludag dalam konteks puisi Lanang berjudul “GERHANA BATIN” bermakna kepiluan batin kuadrat. Terakhir, gerhana sukma, maknanya kurang lebih sama dengan frasa sebelumnya, sukma dilanda nestapa berlipat ganda.

Saya petilkan satu puisi versi lengkap biar sampeyan lebih mudah menemukan konteksnya. Terjemah bebasnya kurang lebih begini—saya parafrasekan menyerupai prosa: Sanggrama menata hati, sekuat-kuat menghadapi Ramanda. “O, Ramanda, baginda agung Kahuripan, mengapa ditakdir Ramanda jadi raja, takdir Ananda putri mahkota, bukan rakyat biasa?” Ramanda mendadak mendekap kelu, kemelut batin kian menyengat. Semenjak menemui Ananda, firasat kacau melayang dalam bayang, genderang perang tak tertandingi, menghadapi putri mahkota ngeri tak terperi.

NGÉDAP-NGÉDAPI 

Sanggrama nata ati
sekuwat-kuwat ngadepi Ramanda

“O, Ramanda, baginda agung Kahuripan
kaningapa tinadir Ramanda dados raja

Tinadir Ananda putri mahkota
sanés rakyat biasa?” 

Ramanda ndadak mbekep kelu
kemelut batin saya ndadi

Kawiwit sowan marang Ananda
firasat oreg kebayang-bayang
Perang gemladag ngangkir nandingi
ngadepi putri mahkota ngédapi-ngédapi

Keempat, kelembutan rasa, kehalusan bahasa. Karakteristik egaliter dalam bahasa tegalan tercermin dari tidak adanya stratifikasi atau undha usuk basa (tingkatan berbahasa). Perilaku ceplas-ceplos khas tegalan dalam berkomunikasi mengindikasikan sikap merdeka, blak-blakan, dan apa anané (apa adanya)—blakasuta dalam istilah Banyumasan, tanpa membedakan kasta. 

Masyarakat tegalan terbiasa menggunakan bentuk ngoko dalam percakapan sehari-hari, baik dengan jakwir cétém (close friend) maupun rekan sejawat. Sedangkan kepada mitra bicara yang lebih tua atau terhormat, mereka menerapkan etika berbahasa. Bentuk yang digunakan adalah bebasa—semacam krama dalam bahasa Jawa bandhekan atau bahasa Jawa standar.

Bentuk bebasa pada puisi-puisi Lanang di buku ini merepresentasikan kelembutan rasa dan kehalusan bahasa sebagai kekuatan estetik. Inilah yang menjadi pembeda antara Jogéd Transendental dengan dua karya Lanang sebelumnya: Pengakon Jonggrang, dan Kidung Kemat. Kita simak salah satunya.

NGEMU JAHAT 

Karya Lanang Setiawan

Kaya déréng kelar kisah
panguneg ndoro rikat mluntrah

“Singgasana inceran para brandalan
gawé raga nrektek gemeteran
Mboten gableg sahaya semangat
lenggah ning tahta ngemu jahat”

Sanggrama ngerém omong
nyedot ambekan lon-lon dibuang      

“Bapa-bapa ingkang sahaya ormati
sepindah malih sahaya niati
Ing atasé putri mahkota
sahaya wegah ngranggéh tahta”

Terjemahan bebasnya kurang lebih begini: Serasa belum rampung kisah, ganjalan perasaan sontak membuncah. “Singgasana incaran para berandalan, membuat raga merinding, saya tiada hasrat, menduduki tahta begitu jahat. Sanggrama menjeda bicara, menghirup nafas (lalu) perlahan dilepas. “Bapak-bapak terhormat, sekali lagi saya niati, sebagai putri mahkota, saya sungkan meraih tahta”.

Mengolah kisah sejarah menjadi sebuah karya sastra tentu melalui proses penjelajahan referensial, pendalaman, dan pengendapan. Unsur subjektivitas penulis turut mewarnai cerita. Dengan begitu maka kisah yang disajikan merupakan realitas imajinatif. Penggunaan sejumlah kosakata bebasa dalam Jogéd Transendental mencerminkan kecemerlangan Lanang dalam menghayati latarbelakang terjadinya cerita. Karena kisah Sanggrama dkk. terjadi di lingkungan kerajaan maka “bahasa halus” niscaya digunakan. 

Latar belakang sastrawan secara geografis, sosial maupun antropologis berpengaruh terhadap “warna” karya sastra yang diciptakan. Lanang, kita tahu, merupakan sastrawan bangkotan yang lahir, tumbuh, dan menua Tegal. Bahasa tegalan, sekali lagi, tidak memiliki tingkat tutur (speech level). Bebasa merupakan interferensi dari bahasa Jawa bandhek (standar).

Karena begitu, meskipun perhelatan Sanggrama terjadi di lingkungan Kerajaan Kahuripan, percakapan antartokoh dilakukan menggunakan basa krama ala tegalan. Memang, di area ini ada sejumlah celah lemah yang menghantui beberapa puisi Lanang. Urusan ini akan kita kemukakan sesaat lagi, Jon. Namun, Lanang telah mengambil peran dalam membabat stigma awagan yang mengesankan kekasaran bahasa tegalan.

Saatnya Menghunuskan Sebilah Kritik Tajam

Meski saya tidak bisa menyembunyikan kekaguman terhadap karya Lanang, objektivitas dan penglihatan awas tetap saya pelihara. Mengayunkan kritik secara proporsional tetap saya lakukan. Sikap mulia semacam ini bermanfaat bagi kesehatan dan pertumbuhan suatu karya. Selain itu, sayatan-sayatan kritik konstruktif memicu sastrawan selalu meningkatkan kualitas dan melahirkan karya yang better and better. Dampak baik lainnya, sastrawan akan terhindar dari sikap tercela: jumawa. Betul, Jon?

Mari kita mulai. Meski tidak banyak, penggunaan kata secara sewenang-wenang beberapa kali dilakukan Lanang. Saya menemukan frasa maupun kata yang perlu dikoreksi, setidaknya pada empat judul puisi. Pertama, puisi “LAKU CILAKA”. Persisnya pada kata bin dalam frasa ngablu bin nglalu, kata faédah, dan satu lagi, kata maksiat. Dilacak secara genealogis, ketiganya merupakan kata serapan dari bahasa Arab.

“Bin” secara harfiah artinya anak laki-laki dari (biasanya diikuti nama ayah), contoh: Ali bin Abi Thalib berarti Ali anak laki-laki dari Thalib. Memang dalam konteks bahasa pergaulan, masyarakat tegalan biasa menggunakan kata “bin” sebagai penegasan, bisa pula berarti “plus”. Ngablu bin nglalu, misal. Frasa ini dirakit dari tiga kata: “ngablu” (setengah hati, ngawur), bin”, dan nglalu (nekat). Makna kontekstualnya adalah “sangat ngawur” atau “ngawur plus nekat”.

Lalu di mana letak masalahnya? Begini, Jon. Sanggrama merupakan kisah jaman kuna makuna. Bangsa dan bahasa Arab tentu belum merambah tanah Nusantara kala itu. Betul? Jadi penggunaan frasa ngablu bin nglalu oleh Sanggrama kurang pas. Begitu pula dengan kata faédah dan maksiat.

“Ning donya katah tipu-tipu
menungsa ngablu bin nglalu
Sahaya ajrih katut budaya laknat
apa faédah urip awor maksiat?”

Kedua, puisi “RAJA WURAWARI”. Kita cermati kalimat “Pésta témbéké mawon pungkas”. Kata “pésta” memang termaktub dalam Kamus Bahasa Jawa Tegal-Indonesia terbitan Balai Bahasa Jawa Tengah tahun 2017. Tapi Nyai, ini merupakan kata serapan dari bahasa Portugis: “festa”. Sedangkan pelaut terkenal yang memimpin pasukan Portugis masuk ke Nusantara, Afonso de Albuquerque (1453-1515), saat itu belum lahir. Maka mustahil rasanya Mpu Kanwa melafalkan kata “pésta”.

Ketiga, puisi “LEGA”. Kejanggalan saya temukan pada bait ketiga: Tiyang kekalih sujud syukur/ndoro putri nrima tahta. Dalam puisi ini, Lanang melukiskan ekspresi kebahagiaan dua orang (Bharada dan Mpu Kanwa) lantaran ndoro putri akhirnya mau menerima tahta, dengan cara melakukan sujud syukur. Tepat di titik inilah celah lemah mengemuka.

Istilah sujud syukur kini memang tidak hanya dikenal oleh umat Islam saja. Jelantim Sutanegara Pidada dalam Majalah Wartam, Edisi 32, Oktober 2017 menulis begini,

Bhagawadgita III. 11, menyebutkan bahwa dengan yadnya para dewata (para dewa) dalam arti kekuatan-kekuatan yang bercahaya (div) mengatur fungsi kosmos (alam semesta) dalam evolusinya sebagai pernyataan sujud syukur.

Namun, mengekspresikan rasa syukur dalam wujud tindakan “bersujud” adalah khas perilaku umat Islam. Dalam terminologi Islam, sujud syukur merupakan sujud yang dilakukan ketika mendapat nikmat atau terhindar dari malapetaka. Sedangkan Mpu Baradha adalah pendeta sakti agama Buddha dan Mpu Kanwa penganut agama Hindu yang berprofesi sebagai pujangga Kraton Kahuripan.

Kita bandingkan dengan Airlangga: Drama dalam Tiga Babak karangan Sanusi Pane. Naskah ini kali pertama ditulis dalam bahasa Belanda, diterbitkan secara bersambung di majalah Timboel pada tahun 1928. Drama ini kemudian ke dalam Bahasa Indonesia oleh Das Chall dan diterbitkan Balai Pustaka tahun 1985 (pada tahun 2010 mencapai cetakan keempat belas). Agaknya naskah ini menjadi salah satu rujukan Lanang dalam mengolah kisah Sanggrama.

Sanggrama Wijayattunggadewi
Bapa, terima kasih!
(Kanwa bangkit dari kursinya dan bersujud di hadapan Sanggrama.)

Adegan yang saya kutip dari buku karangan Sanusi Pane halaman 25 tersebut memang terdapat tindakan Kanwa bersujud. Namun, Nyai, menurut hemat saya, sujud yang dilakukan Kanwa di hadapan ndoro putri itu merupakan sujud sebagai bentuk rasa hormat—bukan sujud syukur. Akur?

Keempat, puisi “PENDAMPING”. Sakecap Sanggrama mboten nyuara/penjaluk Ramanda raja rudapaksa. Rudapaksa merupakan kata serapan dari bahasa Jawa. Dalam KBBI Daring (https://kbbi.kemdikbud.go.id/), kata tersebut berarti perbuatan yang dilakukan dengan paksa disertai kekerasan. Penggunaan “rudapaksa” dalam puisi Lanang dirasa kurang tepat karena perintah Airlangga kepada nok putri tidak disertai kekerasan. Sebagai sosok raja bijaksana, rasanya muskil dinalar beliau melakukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Kristalisasi Nilai-Nilai Luhur

Fenomena flexing crazy rich atau pamer kemewahan orang sugih anyaran sempat menggila. Khalayak berdecak kagum. Sebagian tersihir dan menjadi pengikutnya. Ujung-ujungnya penipuan dan Sang Junjungan masuk penjara, saudara-saudara. Sanggrama merupakan antitesis dari orang-orang beginian. Hidup dalam istana berlimpah harta, ia malahan didera duka selangit. Pendak wengi ndéprok ngingsor uwit/rundung malang duka selangit”. Ia mengidap lonely crowd, kesepian di tengah keramaian.

Kemarau batin melanda Sanggrama. Ia ingin hidup merdeka: meninggalkan pernak-pernik profan dan menikmati sejuknya kehidupan sakral. Sanggrama bertekad menjalani laku asketis sebagai seorang pertapa, menandaskan pergulatan spiritual, menikmati keheningan transendental. Namun, ia seorang putri raja, sang pewaris tahta. Meninggalkan imperium Kahuripan karya Airlangga begitu saja merupakan hal tercela dan berbahaya. Sanggrama benar-benar mengalami pergolakan batin. 

Begitulah, semua akan mumet pada waktunya, saudara-saudara. Pertanyaanya, bila di tahun politik ini sampeyan mendapatkan kesempatan mirip Sanggrama, apa tindakan sampeyan? Menolak tawaran kekuasaan? Menerima dengan sukacita sekaligus diam-diam menyusun siasat? Wallahu a’lam. (*)

———-

*Abu Ma’mur MF. Nama dan kiprahnya tercatat dalam buku Apa & Siapa Penyair Indonesia terbitan Yayasan Hari Puisi 2018. Proses perjalanan kepenyairannya termuat dalam buku Menanam Kata Menuai Asa: Esai Proses Kreatif terbitan Balai Bahasa Jawa Provinsi Tengah 2020. Sejumlah puisinya tergabung dalam 50-an buku antologi bersama. Buku Antologi Puisi tunggalnya berjudul Genalogi Hikayat Kopi (Sastrabook, Yogyakarta, 2020) Ia juga menulis puisi-puisi Tegalan, di antaranya terhimpun dalam buku Ngranggeh Katuranggan (Yayasan Pustaka, 2009), Balada Asu (Yayasan Pustaka, 2012), Mengikat Tradisi Menguntai Puisi (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2020), dan Kluwung Dewa-Dewi (BBPJT, 2023).