Budi Juniarto

Upeti buat Charon (Kisah seorang manusia biasa ber-meditasi dengan kematian)

Oleh Budi Juniarto

Malam semakin larut ketika diskusi yang diselenggarakan melalui fasilitas “Zoom Cloud Meetings” menjadi semakin intens. Sang Guru yang malam itu menjadi pembabar tiba pada materi pamungkasnya,yaitu tentang kematian.

“Arwah manusia yang baru saja meninggal akan tiba di tepian Sungai Styx, sungai keabadian yang tiada berujung dan berpangkal. Sang arwah harus menunggu dijemput perahu yang dikemudikan Charon, juru perahu. Diantar Charon, sang arwah menyeberang sungai Styx menuju “Underworld”, yaitu alam keabadian. Lama atau tidaknya sang arwah menanti dijemput Charon serta berapa lama penyeberangan tersebut tergantung amal kebaikannya sewaktu hidup di bumi”

“Ketika datang menjemput, Charon akan langsung meminta bayaran untuk jasa penyeberangannya berupa dua keping emas bertuliskan “Quod est superius est sicut quod inferius”. Tanpa bayaran tersebut, sang arwah tidak diperkenankan naik perahunya. Oleh karena itu, ketika seorang manusia meninggal, matanya harus ditutup dengan dua keping emas. Nantinya ketika tiba di tepian Sungai Styx mereka berfungsi sebagai upeti buat Charon, sang nakhoda alam kematian”

Demikianlah Sang Guru mengakhiri pembabaran beliau malam itu. 

“Chat” langsung dibanjiri oleh ucapan terima kasih yang tulus dari para peserta yang mengikuti sesi Zoom tersebut. Sebagian besar mereka, kalau bukan semuanya, adalah pejalan spiritual.

Selanjutnya wanita paruh baya yang menjadi moderator mempersilahkan para peserta untuk mengajukan pertanyaan. Bisa melalui “Chat” atau langsung dengan “Raise Hand” katanya.

Sang Guru dibanjiri berbagai pertanyaan yang tidak jauh dari persoalan teknis seputar uang emas yang harus dipersiapkan buat Charon. Bahkan ada yang bertanya apa yang terjadi kalau uang emas itu tidak disiapkan.

Ketika tiba giliranku, akupun segera mengajukan pertanyaan, suatu yang mengganjal di benakku semenjak awal pembabaran Sang Guru.

“Terima kasih, Pak Guru atas sharing-nya malam ini. Ada suatu yang ingin saya tanyakan. Setiap bangsa, setiap peradaban manusia mempunyai perspektif sendiri-sendiri mengenai makna kehidupan, termasuk apa yang terjadi pada manusia ketika dia mati. Bagaimana saya tahu bahwa pandangan mereka itu benar?”

“Kalau saya tanyakan langsung kepada jenazah, “Apa yang sedang kamu lalui? Kamu di mana?”, tentu saja dia tidak akan menjawab”.

“Saya sering menonton di “National Geographic” tentang bangsa Mesir Kuno. Mereka percaya bahwa ketika mati, sang arwah akan dibawa ke pengadilan yang dipimpin Dewa Osiris. Di hadapan Osiris, jantungnya dikeluarkan dan ditimbang. Kalau berat amal kebaikannya, sang arwah boleh melanjutkan perjalanannya menuju keabadian. Sebaliknya kalau ringan timbangan kebaikannya, jantungnya akan dimakan oleh buaya. Kalau boleh melanjutkan perjalanan, sang arwah masih membutuhkan badannya. Itulah sebabnya bangsa Mesir bersusah payah untuk melanggengkan jenazah orang yang meninggal dalam bentuk “mummy””.

“Belum lagi bangsa Viking. Arwah-arwah yang pantas akan menuju “Valhalla”, Aula Para Pemberani. Di sana mereka berperang seharian sampai mati. Keesokan harinya mereka dibangunkan lagi untuk berperang lagi. Demikian seterusnya”.

“Saya bingung, Pak Guru. Bukankah kehidupan itu tunggal? Bukankah semua manusia menjalani kehidupan dan kematian yang adalah tunggal, sama? Memang isi hidup kita berbeda-beda tapi bukankah proses dan perjalanan kehidupan dan juga kematian adalah tunggal? Mengapa setiap bangsa, kelompok manusia mempunyai pandangan berbeda -beda tentang kematian itu sendiri?”

Sang Guru tersenyum sebelum melanjutkan dengan jawabannya.

“Bahwa arwah harus menyeberang Sungai Styx dengan perahu yang dikemudikan Charon, hal itu ada tertulis di Kitab Budhi Wasis, tulisan Eyang Budhi Jati  yang tercerahkan, yang adalah Guru Besar kita semua. Dalam pencerahannya, beliau melihat semuanya. Adapun pandangan-pandangan selain itu berasal dari ketidaksadaran”.

Akupun bertambah bingung.

“Mohon maaf sebelumnya kalau pendapat saya kurang populer. Apakah sesuatu itu otomatis benar karena tertulis di suatu buku? Kitab Budhi Wasis adalah tulisan manusia. Saya tidak mengenal langsung sang penulisnya, Eyang Budhi Jati. Semoga saja beliau memang tercerahkan. Apakah Spiderman dan Thor itu memang ada, nyata karena tertulis di buku-buku yang adalah buku komik terbitan Marvel?”

Sedikit gusar, Sang Guru-pun menjawab.

“Sebaiknya kamu perbanyak meditasi agar “aku kecil”-mu (pikiran, ego) terhubung dengan “Aku Besar” (kesadaran alam semesta). Dalam Keheningan, ketika terjalin hubungan dengan “Aku Besar”, berbagai pengetahuan akan terungkap jelas, termasuk mengenai perjalanan arwah sesudah kematian. Kamu akan semakin “cetho” (bahasa Jawa: jernih). Demikianlah yang dicapai oleh Eyang Budhi Jati, guru kita sebagaimana beliau tuangkan dalam “magnum opus” beliau, Kitab Budhi Wasis”

Sebenarnya aku sudah berupaya menanyakan kepada “Aku Besar”. Hasilnya hanyalah kebingungan lebih lanjut.

Kematian itu sungguh menakutkan. Semakin aku takut kepada kematian, semakin aku mencari pegangan, yaitu suatu jawaban, perspektif mengenai apa yang akan aku lalui ketika aku mati. Akan tetapi, semakin aku mencengkeram erat suatu pegangan, aku malah semakin takut. 

Mengapa? Karena aku tidak pernah bisa tahu dengan pasti apakah peganganku itu, suatu perspektif tentang kematian itu benar adanya atau tidak. 

Barangkali aku tidak pernah akan bisa tahu kematian itu apa sampai aku menjalani kematian itu sendiri.

Lamunanku tiba-tiba buyar ketika ada pemberitahuan di layar komputer bahwa sesi Zoom malam itu telah berakhir.

*Penulis adalah Peminat Meditasi