Syamz Tabrizi: Jalan Pengenalan Diri

Oleh Rae Wellmina

Barang siapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya. Demikian Kanjeng Nabi bersabda untuk umatnya. Beliau memberikan gambaran betapa pentingnya mengenal diri sendiri. Bahkan sejauh mana seseorang mengenal Tuhannya, bisa terlihat dari sedalam apa dia mengenal dirinya. Filsul Tiongkok kuno, yang hidup di masa 320 SM juga memberikan pernyataan menarik perihal diri. Kata Lao Tzu, mengenal orang lain adalah kebijaksanaan, sedang mengenal diri sendiri adalah sebuah pencerahan. Dari sini kita melihat betapa mengenal diri ini memiliki posisi yang sangat sentral dalam kehidupan. Melampaui sekat agama dan bangsa. Namun haruslah diakui bahwa mengenal diri adalah  sesuatu yang  sulit dilakukan. Ternyata sesuatu yang paling sulit dilihat bukanlah sesuatu  yang berada di kejauhan, tapi justru sesuatu yang sedemikian dekat dan melekat, yaitu diri kita sendiri. Sungguh tak mudah mengenal diri sendiri.

Ada banyak jalan untuk mengenal diri, barangkali sebanyak tarikan nafas manusia itu sendiri. Namun salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengenal diri adalah melalui cara menulis. Pernah suatu waktu dulu, seorang Guru memberikan nasihat padaku untuk menulis. Dan akupun kebingungan dengan saran tersebut. Akupun bertanya-tanya pada diri sendiri, apa yang mesti aku tuliskan. aku tak tahu apa-apa, jawabku kala itu. Lalu sang Guru berkata, Jika tak ada yang kamu tahu. Tuliskan saja tentang dirimu sendiri”. Begitu sarannya. Waktu berlalu tanpa aku mencoba mengindahkan nasihat beliau. Hingga dalam satu titik dari hidupku, kegiatan menulis menjadi kegiatan yang membetot seluruh eksistensiku. Dan samar-samar akupun teringat akan saran yang pernah terabaikan..

Tapi tetap saja aku masih selalu ada rasa ragu dan bertanya-tanya sendiri. Apakah perlu aku menulis tentang diriku, diriku sendiri yang bukan siapa-siapa ini ? Bukankah menulis tentang diri sendiri lebih dekat dengan egois dan tak lebih dari tindakan narsis. Dan bukankah akan lebih baik jika aku menulis sesuatu tentang hal-hal hebat dan besar-besar, bukan tentang diriku. Jadi untuk apa aku menulis tentang diriku. Berkali-kali keraguan seperti ii menghantui setiap kali aku mencoba menyusun kata.

Dalam benakku, menjelaskan diriku seolah hanyalah sia-sia belaka, seperti menggoreskan pastel biru ke langit, yang mana sedari dulu langit sudah biru. Karena Orang-orang yang menyukaiku, yang menjadi sahabatku, teman-temanku, dan saudaraku, tak memerlukan penjelasan apapun atas diriku. Sebaliknya, orang-orang yang memusuhiku, membenciku dan memang tidak suka pada diriku, takkan pernah akan percaya dengan penjelasan tentang diriku. Jadi untuk apa aku menulis tentang diriku ?

Jikapun akhirnya aku menuliskan sesuatu tentang diriku. Tak lain hanyalah usaha yang aku lakukan untuk mengenali diriku. Tapi untuk apa aku mengenali diriku, tak lain adalah untuk mengenali orang-orang yang kita cintai. Agar aku bisa lebih baik mengenal mereka, memahami mereka, dan mencintai merkea dengan lebih sempurna. Karena bagaimana mungkin aku mengenali, memahami, dan memperhatikan orang lain. Jika aku sendiri masih belum tahu, masih belum mengenal, siapa diriku sendiri. Jadi langkah pertama, aku harus berusaha mengenali diriku bukan karena aku narsis, atau egois, tapi pada puncaknya adalah  agar aku mampu mengenal, memahami, melayani dan mencintai orang lain dengan lebih baik.

Apakah kamu pernah berujar, atau mendengar, bait puisi terindah seperti ini, aku mencintaimu ? Dalam bait pendek puisi yang bisa memabukkan siapa saja yang mendengarnya, yang telah membawa terbang orang tak terbilang banyaknya. Sesungguhnya terkandung tiga hal yang seringkali banyak orang tak menyadari, yaitu : aku, cinta, dan kamu. Maka hanya orang-orang yang mengenal dengan baik dirinya sendiri yang akan mengerti arti cinta. Dan hanya orang-orang yang telah berhasil memahami dirinya, memahami cinta dengan baik, yang akan mampu mencintai dengan sempurna.

Jadi perjuangan mengenal diri, bukanlah tindakan yang egois, tapi justru pada puncaknya adalah berorientasi ke luar, kepada orang lain, kepada sesama makhluk dan kepada semesta seisinya. Karena mengenal diri yang paripurna bukan jalan mengisolasi diri dari pergaulan sosial, lalu menyepi di goa-goa. Boleh saja jika itu dilakukan secara periodik sebagai latihan. Namun pada puncaknya tetap harus kembali ke tengah masyarakat.

Dalam hal perjalanan mengenal diri, menarik bagi kita  untuk merenungkan kata-kata Syamz Tabrizi, Guru dari Maulana Rumi. Syamz Tabrizi menyusun 40 kaidah cinta, sebuah kaidah bagi para pesuluk (penempuh laku spiritual). Salah satu kaidahnya adalah sebagai berikut, Jika dalam kehidupan ini engkau sendirian dan mengasingkan diri di sudut kesunyian. Dan engkau hanya mendengarkan pantulan suaramu sendiri, maka ketahuilah engkau tetap tidak akan mampu menyingkap hakikat. Karena hanya dalam cerminan manusia yang lain engkau dapat menyingkap dirimu dengan sempurna.

Syamz Tabrizi, seorang darwis sufi yang “menyulap” seorang Jalaluddin Rumi, yang sebelumnya adalah seorang ahli tafsir, ahli fikih, teolog dan juga “rektor” ilmu agama, berubah menjadi seorang penyair spiritual. Syamz menghentak kesadaran Jalaluddin Rumi dengan pertanyaan yang sangat menyengat di pertemuan pertama mereka. “Siapakah yang lebih mulia maqam spiritualnya, Nabi Muhammad atau Bayazid Busthami” Tanya Syamz kepada Jalaluddin Rumi yang saat itu tengah mengajar. “Rasulullah tentu lebih mulia”. Jawab Maulana Rumi dengan spontan dan mantap. “Jika begitu, kenapa Bayazid Busthami mengucapkan Maha Sucinya diriku dan Maha Agungnya diriku (subhani ma’ada masya’ni) sedangkan Rasulullah tidak?” Jalaluddin Rumi terdiam. Ia tersentak dengan pertanyaan orang asing tak dikenal itu. Rumi menyadari, orang asing dengan penampilan gembel darwis pengelana ini tentu bukan orang sembarangan. Kemudian sejak itu Jalaluddin Rumi mengikuti Syamz, dan Rumi pun berubah menjadi seperti yang kita kenal saat ini, sebagai penyair mistik Islam terbesar.

Menarik sekali bahwa seorang darwis sufi, Syamz Tabrizi, memberikan penekanan jalan menuju pengenalan diri yang paripurna adalah hanya dengan melalui orang lain. Orang lain menjadi cermin yang memantulkan sifat-sifat dan karakter sejati diri kita. Dari cermin orang lain tersebut, kita akan lebih mudah melihat bopeng-bopeng kekurangan diri. Jika kita membaca perjalanan spiritual Jalaluddin Rumi, kita akan dapati bagaimana luka, derita dan perih yang dialami Rumi yang merupakan respon masyarakatnya saat itu. Namun Rumi tegar di jalan spiritual yang dipilihnya dan dia tidak menghindar dari tengah masyarakatnya. Apa yang disampaikan Syamz, sesungguhnya senafas dengan rumusan dari psikolog modern, Carl G Jung, yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak kita sukai dari sifat-sifat buruk orang lain, sesungguhnya membantu kita untuk menemukan sifat itu di dalam diri kita sendiri. Karena setiap kita memiliki keburukan yang mirip.

 

*Rae Wellmina adalah penulis buku Embun Kerinduan, dan aktif di Rumi Institute Jakarta