Benny Benke

Kans Perjalanan Pertama di Malaysia

Oleh Benny Benke

Adakah cara paling indah menyongsong kematian selain dengan cara paling sederhana. Tidak merepotkan orang lain, nir biaya, dan meninggalkan kisah juga pelajaran berharga kepada cucunda tercinta?

Adakah yang lebih berharga selain budi pekerti dan pertalian keluarga yang kuat, dan tak terpermaknai kekuatannya, di atas mihrab vespa?

Ya, vespa butut berwarna orange memesona dalam film “Perjalanan Pertama,” tak ubahnya sebuah mihrab. Ceruk menjorok ke dalam yang menjadi tempat imam memimpin shalat dalam sebuah surau atau langgar. Yang sekaligus akan menuntun ke manapun perjalanan nasib menyongsongkan kejutan dan kedalamannya. Penuh makna. Merasuk ke atma.

film Perjalanan Pertama

Poster film Perjalanan Pertama (Sumber Foto: Penulis)

Demikianlah film “Perjalanan Pertama” memikat penontonnya. Sederhana dalam kelirisannya. Lirih seperti air mata yang acap pelan-pelan nyaris tak terasa menghampiri peri kehidupan kita. Saking dalamnya pesan yang diusung dan dibisikkan ke penontonnya.

Setelah merilis film “Kemarin”, Mahakarya Pictures merilis film ketiga dari penulis dan sutradara Arief Malinmudo berjudul “Perjalanan Pertama”. Sebelumnya Mahakarya Pictures merilis “Surau dan Silek” di tahun 2017 yang kemudian melakukan world tour screening, lalu “Liam dan Laila” di tahun 2016, yang diputar di beberapa Benua.

Di film terkininya ini, buah dari kerjasama dua rumah produksi dari dua negara, Mahakarya Pictures dari Indonesia, dan D’Ayu Pictures dari Malaysia.

Dengan dua aktor utama dari dua negara, dan dari dua generasi yang berbeda. Aktor dari Indonesia adalah Murakki Ramdhan, aktor muda berbakat yang sudah terlibat sejumlah film. Yang beradu akting dengan aktor kawakan asal Malaysia, Ahmad Tamimi Siregar. Selain ada nama Andinda Thomas, Randy Pangalila, dan Gilang Dirga.

 

Ahmad Tamimi Siregar

Foto atas dan bawah, adegan Ahmad Tamimi Siregar bersama Andinda Thomas. (Sumber Foto: Rumah Produksi Mahakarya Pictures)

Film “Perjalanan Pertama” berlatar cerita keluarga, hubungan cucu dan kakeknya. Atau Gaek dalam bahasa Minangkabau. Nyaris tidak ada yang istimewa. Ihwal dinamika hubungan Gaek dan cucundanyalah yang akan banyak menguras air mata penontonnya.

Meski bukan tanpa cacat dari segi penceritaan. Seperti apa latar belakang orang tua, ayah ibu tokoh cucu memilih memutuskan tali silaturahmi kepada ayahandanya (Gaek) sendiri dan anak semata wayang mereka, tak jelas muasalnya.

Semudah itukah orang tua menelantarkan darah dagingnya sendiri. Sebelum dititipkan di kakek dan neneknya? Hanya demi mengejar cita-cita ke negeri seberang.

Randy Pangalila dalam adegan film Perjalanan Pertama. (Sumber foto: Rumah Produksi Mahakarya Pictures)

Juga nasib Gaek, yang notabene peraih penghargaan Nobel Perdamaian yang seperti sirkus, terpuruk di jurang nasib entah berantah. Padahal kita tahu, berapa banyak hadiah jumlah mata uang yang digelontorkan pemenang Nobel Perdamaian. Setara US$1.2 juta. Atau Rp.17.400.000.000. 17 miliar dengan kurs rupiah atas dolar AS 14.500,-

Di kemanakan uang sebanyak itu? Tidak ada bekasnya untuk cucunda tersayang?

Tapi kita tahu. Hidup memang sesak misteri, penuh ketidaksempurnaan, dan tak harus senantiasa bisa dieja dan dibaca, apalagi dijelaskan.

Demikian pula film “Perjalanan Pertama”. Karenanya memang jauh dari sempurna, meski tetap berhasil menarik air mata penontonnya. Mungkin dalam kasus film ini, yang tidak sempurna adalah yang sempurna. Demikian sebaliknya.

Apakah film yang akan mulai diputar di Indonesia per tanggal 14 Juli, atau Kamis kemarin ini, akan berhasil menarik perhatian penonton Tanah Air? Juga penonton film Malaysia? Tidak ada yang tahu. Karena, tabiat penonton film Indonesia seperti banyak kisah yang bolong di film berdurasi 111 menit ini; penuh misteri.

Adegan Kakek naik Vespas bersama sang cucu dalam film Perjalanan Pertama. (Sumber Foto: Rumah Produksi Mahakarya Pictures)

Adegan Murakki Ramdhan

Adegan aktor muda Murakki Ramdhan dalam film Perjalanan Pertama. (Sumber Foto: Rumah Produksi Mahakarya Pictures)

Buktinya film sebagus Naga Naga Naga dan Satria Dewa Gatotkaca entah ke mana penontonnya.

Meski kita tahu, sejumlah film perjalanan dari Hollywood juga dari Bollywood, seperti Into The Wild (2007), dan Lion (2016), bagusnya tidak kira-kira. Tapi nyatanya, raihan penontonnya, sangat biasa.

Apakah yang membuat penonton film Indonesia, cenderung mengambil jarak dengan film perjalanan, seperti “Perjalanan Pertama”, jika dibandingkan mengasup film bergenre horror serupa Pengabdi Setan dan KKN Desa Penari, misalnya.

Entahlah. Yang pasti, tidak rugi menyaksikan film “Perjalanan Pertama”. Tidak kaleng-kaleng ceritanya. Apalagi gambarnya.

Adegan tampilan Vespa yang sinematik dalam film Perjalanan Pertama. (Sumber Foto: Rumah Produksi Mahakarya Pictures)

Meski sayangnya kita tahu, di Indonesia, nyaris tidak ada sama sekali proteksi terhadap film nasional. Jaringan bioskop di Indonesia bukan milik BUMN, alias milik swasta murni. Yang memperlakukan produk film berdasarkan prinsip bisnis semata. Tidak lebih dan kurang.

Film laris, sebagaimana toko barang lainnya, akan memajang produknya di barisan paling muka, yang tidak ada peminatnya, tidak lebih dari empat hari tayang, hilang dengan sendirinya.

Sedangkan di Malaysia, rerata film produk lokal, bertahan selama lebih dari dua Minggu. Karena UU Perfilman-nya mengatakan demikian. Akibatnya, banyak film sepi penonton, tetap tidak boleh diturunkan dari gedung bioskop. Akibatnya, pemilik jaringan bioskopnya yang gantian mangkel.

Tapi dengan proteksi demikian, film nasional Malaysia mendapatkan perlindungan negara. Tidak seperti di Indonesia yang UU Perfilman-nya mengatakan 60 persen layar bioskop harus memutar film nasional, sisanya 40 persen film mancanegara, tapi dalam prakteknya? Kita tahu jawabnya.

*Benny Benke. Pengamat Film.