Membaca Kembali Bicycle Thieves

Oleh Sarah Monica*

Dengan tertunduk pilu, Antonio Ricci menahan tangis yang tak terbendung. Ia menyeret langkah di tengah kerumunan seraya menggenggam erat jemari anak lelakinya, Bruno yang juga berkali-kali mengusap air mata. Bersama puluhan buruh dan pengangguran lain, mereka berjalan menuju ketidakpastian, masa depan yang semu. Kekalahan dan keputusasaan adalah gambaran menyayat dari kondisi dua insan bapak-anak tersebut. Demikian penutup sebuah film klasik berjudul “Bicycle Thieves” yang akan menggores luka batin penonton. Luka dari ironi moral.

film Bicycle Thieves

Poster film Bicycle Thieves (1948). (Sumber Foto: www.pinteres.com)

Berulang kali pun menonton Bicycle Thieves, efek getirnya tak pernah pudar. Film itu seperti menampar wajah humanisme dalam keseharian kita. Ada nilai-nilai moralitas yang dipertanyakan dan perlu dirumuskan ulang. Vittorio De Sica, sutradara neorealis Italia, berhasil menciptakan karya masterpiece tersebut pada tahun 1948 untuk melukiskan kehidupan masyarakat Roma pasca Perang Dunia II. Secara jujur, ia menyajikan fenomena sengit pertarungan antar kelas dalam negara yang masih berbenah diri usai runtuhnya pemerintahan fasis.

Antonio dan Maria istrinya beserta dua anak mereka, tokoh-tokoh utama dalam Bicycle Thieves itu hanyalah contoh kecil. Mereka mewakili nasib golongan melarat Italia secara khusus, dan masyarakat kelas bawah dunia secara umum yang tiap hari harus babak-belur bergulat dengan kemiskinan, ketidakadilan, serta kemalangan demi mampu bertahan hidup. Sebuah kondisi sosial ekonomi politik yang tak ayal melahirkan berbagai kejahatan sebagai anak kandungnya. Ditayangkan dengan hitam-putih, film tersebut sangat kuat memancarkan aura kemurungan dari realitas depresif masa itu. 

Film Bicycle Thieves menjadi salah satu karya monumental Neorealisme yang juga dikenal sebagai the Golden Age gerakan perfilman Italia (1943-1952). Sutradara yang termasuk di dalamnya selain De Sica ialah Roberto Rossellini, Luchino Visconti, Giuseppe De Santis, Cesare Zavattini, dan beberapa nama lainnya. Genre ini berfokus menyoroti gurita kehidupan sehari-hari masyarakat miskin ataupun kelas pekerja dengan melakukan pengambilan gambar dari lokasi riil. Selain itu, pilihan para pemeran seringnya berasal dari kalangan non profesional. 

Sejauh kesan, meski Bicycle Thieves tidak menampilkan aktor papan atas, performa para tokohnya sangat berkarakter. Bruno Ricci adalah favorit saya. Bocah tersebut tersentak dalam tatapan patah hati saat ditampar Antonio tanpa alasan. Ia menangis, lalu berjalan menghindari ayahnya yang sedang dalam tekanan serta ketergesaan mencari sepeda yang hilang. Wajah Antonio terlihat merasa bersalah pada sang anak, cukup menambah beban frustasinya, namun ia tak sabar ingin melanjutkan pencarian. Baik raut Bruno maupun Antonio, keduanya begitu ekspresif, begitu autentik.

Tafsir atas Moralitas

Autentisitas ialah ciri utama dari film Neorealisme. Plot yang sederhana, tetapi didukung oleh kekuatan karakter, tema keseharian, dan pertarungan nilai menjadi elemen-elemen esensial dari autentisitas tersebut. Secara garis besar, alur Bicycle Thieves mengisahkan perjuangan Antonio Ricci dan anaknya, Bruno Ricci yang berkeliling kota mencari sepeda mereka yang hilang. Perjuangan tersebut sesungguhnya refleksi atas perjuangan mencari keadilan di dunia yang tidak adil. Upaya keras mereka dalam pencarian, dihantam kesulitan dan kegagalan, merupakan sebuah pesan untuk mengutamakan proses daripada destinasi. Sebab dalam destinasi, seringkali tidak sesuai ekspektasi. 

Film tersebut diawali dengan tokoh Antonio Ricci yang baru memperoleh pekerjaan dari dewan lokal sebagai penempel poster di dinding-dinding kota. Namun dilematis, pekerjaan itu mengharuskan ia mempunyai sepeda. Sedangkan sepeda miliknya telah digadai beberapa waktu lalu agar ia sekeluarga bisa tetap hidup. Di sisi lain, orang-orang di sekitar Antonio yang juga membutuhkan pekerjaan mengaku memiliki sepeda dan bersiap merebut pekerjaan itu jika ia masih ragu. Dalam desakan Antonio langsung menyanggupi, meski belum tahu bagaimana menebus sepedanya kembali. Ia sudah terlampau frustasi, tidak ingin kehilangan pekerjaan lagi.

film Bicycle Thieves (1948).

Foto salah satu adegan dalam film Bicycle Thieves (1948). Lamberto Maggiorani sebagai Antonio Ricci, dan Enzo Staiola sebagai Bruno Ricci.(Sumber Foto: https://en.wikipedia.org)

Dilema dapat kesempatan kerja, tetapi tak memiliki sepeda ditumpahkan Antonio pada Maria. Sang istri mengambil solusi cepat dengan menggadai semua seprai mereka yang baru maupun bekas untuk melunasi sepeda di tempat pegadaian yang sama. Sepeda pun berhasil ditebus, wajah pasangan tersebut lekas berbinar bahagia bercampur lega. Bagi mereka sepeda itu bukan lagi semata benda atau alat transportasi, melainkan sumber penghidupan, uang makan dan biaya sewa bulanan, bahkan nyawa dari empat anggota keluarga Ricci. 

Urat kemiskinan begitu menjerat dalam keluarga Ricci. Bruno, anak pertama mereka yang berusia 8 tahun pun terpaksa bekerja di sebuah stasiun pengisian bahan bakar. Saat langit fajar masih kelabu, Antonio berangkat kerja dengan membonceng Bruno. Mereka bersepeda bersama kawanan pekerja lainnya yang sebagian berdesakkan dalam trem. 

Pada hari pertama bekerja, ketika Antonio masih gagap menempelkan poster, sepeda yang tersandar persis di sisi kanannya tiba-tiba dibawa lari seorang pemuda. Pencuri tersebut berkomplot 3 orang yang masing-masing mempunyai tugas agar pencurian berlangsung lolos. Antonio bergegas mengejar, tapi segera kehilangan jejak karena sengaja dialihkan oleh salah satu rekan pencuri. 

Keesokan harinya Antonio dan Bruno, bersama bala bantuan menelusuri pasar sepeda untuk menemukan sepedanya yang sangat mungkin sudah terjual. Namun, nihil. Ketika teman-temannya menyerah, Antonio tetap penasaran meneruskan pencariannya dibantu oleh Bruno. Keduanya begitu gigih. Dari terik ke hujan, pakaian basah hingga kering lagi, bahkan Bruno sempat terjatuh dan nyaris dua kali tertabrak mobil, mereka berlari menyusuri gang dan sudut-sudut kota. Berharap mendapat secercah jejak.

Membentur kebuntuan, Antonio mendatangi perempuan peramal (The Wise Woman) untuk meminta petunjuk. Perempuan itu pernah ia skeptiskan saat Maria pergi menemuinya untuk membayar hutang ramalan mengenai Antonio yang akan mendapat pekerjaan. Secara kebetulan, tepat sekeluarnya Antonio dan Bruno dari rumah peramal mereka berpapasan dengan si pencuri sepeda. Pengejaran berlangsung hingga di wilayah kediaman pencuri. Akan tetapi, dengan sigap keluarga dan para tetangganya berkumpul melakukan pembelaan. Bahkan ketika seorang polisi dipanggil untuk mengadili, ia justru menyarankan Antonio agar melepaskan tuduhan tanpa saksi tersebut.

Menuntut keadilan di tengah masyarakat lapar yang harus menutupi kejahatan demi bisa makan adalah tindakan bunuh diri. Petugas polisi melihat ancaman itu, sehingga ia meyakinkan Antonio agar lebih memprioritaskan keselamatan jiwanya dan anaknya. Tak ada bukti yang cukup untuk menghakimi. Kalaupun ada, si pencuri akan dilindungi mati-matian oleh segenap kerabat dan masyarakat setempat yang melihat bahwa tindakan kriminal tersebut masuk akal. Sebab pada hakikatnya, pelaku kriminal hanyalah korban dari kejahatan yang lebih besar, yakni kemiskinan itu sendiri. 

Kenyataan ironis macam itu adalah ekses kegagalan sistem politik ekonomi yang tak mampu memberikan pekerjaan serta penghidupan layak bagi tiap-tiap orang. Hal menyedihkan lain, korban kriminalitas tak lebih baik takdir hidupnya dibandingkan sang pelaku. Kemelaratan menyebabkan mereka saling menikam dan memakan satu sama lain. Kondisi dalam film tersebut mengungkapkan kritik sosial yang keras di mana moralitas berhadapan dengan jurang hidup dan mati. Persis ungkapan Thomas Hobbes bahwa manusia akan menjadi serigala bagi manusia lainnya (Homo Homini Lupus) ketika terjebak dalam pertarungan bertahan hidup. 

Menurut Hobbes, pada dasarnya tidak ada nilai baik dan buruk. Manusia digerakkan oleh sifat alami persaingan di tengah kebrutalan dunia. Kebutuhan dan keinginan mendorong manusia untuk mengambil apapun yang dia mampu. Meskipun itu adalah milik saudara sesama kaum papa yang bisa jadi jauh lebih sengsara.

Foto salah satu adegan dalam film Bicycle Thieves (1948). (Sumber Foto: https://steemit.com)

Puisi Tragedi Kemanusiaan

Kehilangan sepeda bagi Antonio berarti lenyapnya pekerjaan, penghasilan, bahkan masa depan. Sebelum bekerja, ia sudah menghitung total pendapatan yang sekiranya akan diterima. Namun, sekarang segalanya telah raib. Kehilangan sepeda sama dengan keruntuhan semesta. Hatinya seketika remuk membayangkan nasib keluarga Ricci kembali seperti semula, sekarat dalam kemiskinan. 

Menderita kelelahan, guncangan, kebimbangan, putus harapan, Antonio sekonyong-konyong mencuri sepeda yang terlihat tak dijaga. Dan gagal. Ia nyaris dihakimi massa. Pedihnya, semua tragedi itu disaksikan oleh mata kepala Bruno. Dengan ekspresi terluka penuh ketidakpercayaan, Bruno mengejar ingin menyelamatkan sang ayah yang telah diseret kerumunan orang. Peristiwa tragis itu sungguh membuat penonton terenyuh. 

Barangkali, satu-satunya kebaikan moral yang diperoleh Antonio ialah saat pemilik sepeda mengurungkan niat tuntutan lantaran iba pada Bruno. Mereka dibiarkan pergi untuk menyesali apa yang baru saja terjadi. Seluruh adegan di akhir film itu menjelma puncak tragedi yang patut ditangisi. Tangisan atas tragedi kemanusiaan.

Dalam Bicycle Thieves, kesederhanaan cerita tidak mengurangi kedalaman pesan nilainya. Film tersebut menampakkan realitas masyarakat kelas bawah secara utuh. Keributan kaum buruh yang berebut trem saat pergi dan pulang kerja, bangunan apartemen kumuh dengan krisis airnya, rumah pegadaian yang tak pernah sepi, pertemuan rahasia kelompok komunis-sosialis, pertunjukan teater bawah tanah, pedofil yang mencari mangsa di pasar loak sepeda, jamaah fakir yang memenuhi ritus gereja Katolik demi semangkuk sup, atau mantel penuh lubang yang dikenakan Bruno, semuanya menggambarkan fragmen-fragmen kemiskinan secara puitis. 

film Bicycle Thieves (1948).

Foto salah satu adegan dalam film Bicycle Thieves (1948). (Sumber Foto: https://en.wikiquote.org)

Kemiskinan adalah hasil penemuan peradaban, menurut Marshall Sahlins. Dan peradaban saat film Bicycle Thieves dibuat merupakan periode sejarah pasca terbebasnya negara-negara dunia dari cengkeraman kolonialisme maupun fasisme. Tidak terkecuali Italia. Selepas dari rezim kediktatoran pada tahun 1943, Italia masih berdarah-darah menghadapi perang sipil yang mengakibatkan pergantian perdana menteri beberapa kali, hingga kemudian dipimpin agak cukup lama oleh partai Demokrat Kristen (1945-1953). 

Ketidakstabilan negara, kebobrokan moral, dan berbagai wujud ketimpangan ditanggung oleh rakyat Italia. Potret Bruno saat disenangkan hatinya dapat makan di resto, lalu melirik iri ke meja sebelah yang penuh makanan mewah merupakan visualisasi atas situasi nyata.

You’d need a million a month to be able to eat like them,” ujar Antonio. Di momen haru itu, Bruno meletakkan rotinya dengan ketakutan dan rasa bersalah. Sorot matanya tak tega memikirkan beban sang ayah untuk membayar makanan mahal.

Jika menonton film sebagai salah satu cara untuk memahami fenomena politik, kultur, sejarah, dan realitas moral umat manusia, maka Bicycle Thieves merupakan sebuah karya abadi yang akan senantiasa relevan ditonton sepanjang zaman. Sekarang pun sudah mencapai hampir tiga perempat abad. Bicycle Thieves adalah puisi perjuangan atas humanisme. Panggilan universal untuk terus merawat prinsip kemanusiaan, walaupun dalam kenyataan hidup sehari-hari selalu ada pertarungan yang tak mampu dimenangkan dan nasib yang takkan sanggup diperbaiki. 

*Sarah Monica. Penulis esai dan puisi; mahasiswa pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia.