Svadhyaya: Mengenal Diri Dalam Yoga

Oleh Budi Murdono

Svadhyaya (pengenalan diri) adalah salah satu dari lima niyama (latihan disiplin) dalam yoga. Sebagaimana latihan disiplin yoga lainnya, svadhyaya harus terus-menerus dipraktikkan secara teratur, hari demi hari, dalam keadaan apapun dan di mana pun praktisi yoga berada, bahkan jika dia hidup sendiri dan terisolasi sepenuhnya dari semua hubungan sosial. Ini berbeda dengan yama (landasan etis), yang meskipun sudah menjadi bagian dari sumpah agung seorang yogi, kelima prinsip yama(ahimsa, satya, asetya, brahmacarya dan aparigraha) tidak dipraktikkan ketika seseorang tidak berinterasksi dengan manusia atau makhluk lainnya.

Bersama dengan dua latihan disiplin lainnya (tapa dan isvara-pranidhana), svadhyaya atau pengenalan diri ini juga merupakan latihan pendahuluan yang harus dilakukan. “Tapah svadhyayesvara-pranidhanani kriya-yogah” (pengenalan diri, kehidupan asketis dan berserah diri adalah tiga persyaratan mendasar untuk mecapai realisasi yoga). Sutra ini mengandung arti bahwa sebelum seseorang dapat berlatih yoga lebih jauh dan mendalam, dia harus terlebih dulu mempraktikkan ketiga bentuk latihan spiritual itu. Atau dengan kata lain, seorang praktisi tidak mungkin merealisasikan tujuan yoga tanpa mempraktikkan tiga niyama ini secara terus-menerus, dari hari ke hari di mana pun ia berada.

Betapa penting dan mendasarnya ketiga niyama ini dalam pencapaian tujuan yoga, dikatakan dalam sutra berikut: “Samadhi-bhavanarthah klesa-tanu-karaaarthas ca” ([Kriya-Yoga]) dipraktikkan untuk melemahkan klesa (kotoran batin) dan mewujudkannya samadhi). Klesa atau kotoran batin adalah penghalang realisasi yoga. Praktik kriya-yoga yang mengikis secara perlahan hambatan-hambatan itu tentu saja memudahkan pencapaian realisasi yoga itu (samadhi).

Kata svadhyaya terkadang diartikan secara sempit sebagai kegiatan mempelajari kitab suci karena mungkin, bagi mereka yang relijius, seseorang hanya dapat menemukan dirinya dalam kitab suci. (Atau, di lingkungan yang akademis, perenungan tentang diri dilakukan melalui kajian literatur filasafat atau sains). Bahkan pada beberapa terjemahan, svadhyaya diartikan sebagai perapalan mantra. Memang di bagian lain, Patanjali mengatakan bahwa melalui svadhyaya, dimungkinkan terealisasikannya penyatuan dengan yang Ilahi (svadhyayad ista-devata-samprayogah). Dalam banyak tradisi keagamaan, Hindu khususnya, perapalan mantra, atau mungkin juga pelantuan ayat-ayat kitab suci di agama lain) adalah salah satu cara untuk mendekatkan diri dengan yang ilahi (ista-devata). Konsep keilahian dalam ajaran Yoga di sini tentu agak berbeda dengan konsep keilahian dalam agama monoteis. Ista-devata (ilahi yang berada di dalam) lebih bersifat panteis, ada dalam diri semua makhluk.

Svdhayaya dalam arti mempelajari kitab suci atau literatur bukanlah tidak berguna sama sekali. Paling tidak kegiatan ini bisa menjadi langkah pertama bagi para praktisi untuk memahami secara teoritis apa itu yoga dan berbagai aspeknya, sebagaimana dia lakukan dalam studi sains atau filasafat. Dengan cara ini dia memperoleh pengetahuan tentang prinsip-prinsip, teori dan metode yang terdapat dalam praktik Yoga. Ia juga mendapat gambaran tentang nilai-nilai relatif dari metode dari berbagai perspektif yang berbeda tentang yoga. Pemahaman teoritis juga berguna sebagai bekal awal bagi para praktisi agar mereka tidak memandang sederhana praktik yoga atau mengharapkan hasil yang tidak masuk akal. Tidak sedikit orang yang kecewa, putus asa dan frustasi karena pemahaman awal yang salah. Banyak di antara mereka kemudian menjadi mangsa orang-orang tidak bermoral yang berpura-pura sebagai Yogi hebat dan menjanjikan segala macam hal yang fantastis untuk menarik orang ke dalam kelompok mereka.

Namun perlu juga diingat, svadhyaya dalam pengertian mempelajari kitab suci atau literatur ilmiah ini bukanlah jalan yoga yang otentik. Bahkan, pembelajaran seperti ini, jika tidak disertai dengan perenungan diri secara batiniah, tidak jarang menciptakan kemelakatan pada doktrin keagamaan atau teori atau pandangan flosofis yang dapat menimbulkan fanatisme, keterpakuan dan akhirnya perselisihan atau perdebatan dengan praktisi lain yang memiliki latar belakang intelektual berbeda.

Buku atau teori seperti peta jalan atau pedoman bagi mereka yang berada dalam perjalanan. Tapi peta bukanlah wilayah, tempat atau jalan sebenarnya, dan simbol-simbol yang digambarkan dengan kata-kata dalam buku juga tidak akan dapat menggantikan pengalaman langsung. Untuk mengetahui “diri”, kita harus belajar dari pengalaman langsung. Para yogi tidak menerima definisi dari buku-buku atau ajaran keagamaan, melainkan dengan mempelajari diri setiap saat melalui praktik meditasi. Inilah pengertian svadhyaya yang sebenarnya, mempelajari, mengamati, dan akhirnya mengetahui secara langsung sifat sejati diri kita.

Meditasi tidak selalu berarti kita harus duduk diam dengan sikap teratai atau sikap sempurna. Dalam berlatih asana dan pranayama pun kita dapat mengalami kondisi meditatif bila kita melakukannya dengan penuh perhatian. Kita dapat mengalaminya ketika kita memberi perhatian penuh pada posisi dan gerak tubuh kita. Kita dapat mengetahui secara langsung keterhubungan kita dengan lingkungan sekitar melalui perhatian penuh pada nafas yang kita hirup dari udara di luar tubuh kita.

Tentu saja meditasi dalam pengertian mengarahkan batin secara terus-menerus pada tubuh, indera dan pikiran (dhyana) adalah praktik svadhyaya yang tertinggi. Melalui meditasi inilah seseorang mampu mengetahui hakikat diri itu.

*Penulis adalah pengajar yoga-meditasi freelance