Hidayat Raharja

Toron; Kembali ke Kampung Halaman

Oleh Hidayat Raharja

“Sajegghâ êaddheg glâdhâk Suramadu, toron kaêlangan bhungana. Lambâ’ sabellunna bâdâ glâdhâk Suramadu toron rassana cê’ pêragghâ. Nyiap aghi kalambhi anyar, sapatu anyar bân lê-ollê êbâddhâi kardus. Antrean lanjang ê palabbhuwân Ujung Anyar sê ongghâah ka kapal tongkang “Jokotole” nyabranga ka palabbhuwân Kamal. Ê bulân molod, tellasan ajjhi, bân idul fitri bannya’ orêng toron ka Madhurâ.” (sejak dibangun jembatan Suramadu, tradisi “Toron” hilang kebanggannya. Dulu sebelum ada jembatan Suramadu, “Toron” terasa sangat menyenangkan. Saya menyiapkan pakaian baju baru, sepatu baru, dan oloeh-oleh diwadahi kardus. Antrean panjang di dermaga Ujung Anyar untuk naik ke kapal ferry “Jokotole” menyeberang ke pelabuhan Kamal. Di bulan Maulid, lebaran Haji, dan Idul Fitri banyak orang “Toron” ke Madura)

Kutipan di atas merupakan potongan percakapan saya dengan Addul tetangga dekat rumah di desa Omben – Sampang  di saat Idul Fitri. Addul salah satu bagian dari masyarakat yang merasakan  makna “Toron” mengalami perubahan. Toron, pulang kampung dari tanah rantau, mulanya memiliki makna yang sangat berarti, sebab saat toron para perantau kembali ke  tengah keluarga. Mereka seperti kembali menemui tanah leluhur dengan sanak kerabat yang memendam rindu dan haru. Kepulangan yang ditunggu karena lama tak bertemu. Pesan hanya disampaikan melalui sahabat dan kerabat, tetangga yang pulang kampung. Betapa berat pertemuan sehingga pesan lewat tetangga atau saudara sudah mampu menghapus kerinduan yang mengambang. 

***

Kondisi geografis pulau Madura, tanahnya tandus dan banyak dihampari batu karst menyebabkan  tanah kurang subur dan hanya bisa ditanami tumbuhan tertentu. Padi hanya tumbuh di saat musim hujan atau di beberapa lahan yang mendapatkan irigasi dari mata air atau sungai. Hanya jagung, singkong dan ketela yang bisa tumbuh baik di tanah kapur yang tandus. 

Secara kultural ada dua pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh masyarakat Madura, jika di pesisir sebagai nelayan dan jika di pebukitan dan pedalaman sebagai petani. Pekerjaan tani di musim hujan dan banyak yang nganggur di musim kemarau. Keadaan menganggur karena lahan pertanian tak bisa  dikelola, menyebabkan banyak orang Madura pergi ke luar daerahnya (merantau) sampai kembali di musim tanam tiba.

Orang Madura melakukan migrasi (onggha) memiliki dua pola, ada migrasi yang bersifat sementara dan menetap. Migrasi yang bersifat sementara, terjadi ketika jeda musim tanam sampai saat musim panen tiba. Mereka Toron saat musim panen tiba. Sedangkan pola yang kedua migrasi yang menetap, karena memang niat berdagang di luar Madura sehingga mereka biasanya Toron di waktu hari raya (Kuntowijoyo, 2002:1978)

Ditengarai mereka melakukan Toron selain karena dua hal (Hari Raya Idul fitri dan Idul Adha), juga karena ada pernikahan, selamatan tahlil, ada anggota keluarga yang meninggal dunia, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, dan selamatan keberangkatan menunaikan ibadah Haji ke tanah suci Makkah (Djakfar, Muhammad: 2012).

tradisi di Madura

Iringan pengantar jenazah, salah satu tradisi di Madura takziah bagi orang yang wafat mengantarnya sampai ke liang lahad.

Mereka berangkat merantau mengistilahkan dengan “Ongghâ” dan kembali pulang ke kampung halaman dengan sebutan “Toron”. Ongghâ secara harfiah berarti  naik dan ada beberapa  yang memaknai  Ongghâ  sebagai upaya untuk memperbaiki ekonomi dengan anggapan di luar Madura ekonominya lebih baik dari pada di Madura. Namun lebih jauh “Ongghâ” dimaknai menaikkan harkat dan martabat kemanusian secara luas. Upaya berinteraksi dengan orang di luar suku Madura. Belajar memahami orang lain di luar tradisi dan kebiasaannya, mengisi kekosongan waktu di masa tanam, juga Ongghâ” untuk menuntut ilmu dan memperkaya pengalaman hidup. 

Apa yang mereka kerjakan di tanah rantau setelah “Ongghâ?”. Semua pekerjaan yang menurut mereka baik. Mereka tidak malu untuk bekerja sebagai kuli, penarik becak, atau bekerja sebagai pemulung. Satu hal yang dapat dicatat, mereka tidak punya niatan seumur hidup berkeja untuk orang lain tetapi juga memiliki keinginan untuk mempekerjakan orang lain atau menjadi pengusaha. Orang-orang di kampungku banyak yang sukses menjadi pengusaha pengolahan plastik bekas, pengusaha besi tua, dan semacamnya. Mereka mulanya adalah pekerja gigih  namun berhasil menjadi pengusaha dengan banyak pekerja.

Karkarkar Colpê” merupakan filosofi orang dalam bekerja bekerja keras untuk bisa berhasil menafkahi anggota keluarganya. Hasil yang sedikit disisakan untuk ditabung sehingga memiliki “harta” yang diinginkannya. Mereka pekerja yang ulet dan pekerja keras menurut iistilah mereka bekerja “Apello Konêng” (secara harfiah berati berpeluh kuning) yang dimaksudkan adalah bekerja keras banting tulang, bersungguh-sungguh dalam bekerja sehingga mereka berhasil meraih hidup yang diimpikan.

Sejauh-jauh mereka meninggalkan rumah ada saatnya pulang ke kampung halaman menemui kerabat dan keluarga dan bertukar kisah dan pengelaman dengan sanak keluarga yang memiliki pengalaman berbeda. Saatnya mereka “Toron” ke kampung halaman untuk menyempurnakan beberapa hal, antara lain:

Pertama, menyambung silaturrahmi dengan  keluarga dan kerabat. Setelah sekian lama berada di tanah rantau, maka “Toron” waktu yang dinantikan untuk kembali ke tengah keluarga. Kedatangan yang membawa aneka kisah dari tanah rantau. Saat untuk menyambung kembali silaturrahmi dengan  sanak keluarga. Kepulangan yang menumbuhkan kembali spirit hidup untuk berbakti dan kembali bekerja lebih keras menghidupi keluarga yang ada di kampung halaman. Pertemuan di antara keluarga perantau akan berbagi kisah dan pengalaman berharga. Kisah kegagalan dan sukses dalam melakoni hidup yang penuh warna. 

Maka setiap “Toron” di Hari  Raya Idul Fitri setelah Shalat Ied di masjid, mereka akan melakukan  kunjung-kunjung ke tetangga dan famili. Di saat kunjungan mereka akan disuguhi makan. Sebuah makan besar yang jarang dilakukan. Sehingga jika sehari lima kali melakukan kunjungan keluarga, maka akan disuguhi makan sebanyak lima kali. Bagi mereka menolak makanan tak elok, sehingga harus makan meski sedikit. Dalam silaturrahmi mereka minta maaf dan berharap doa kesuksesan jika mereka kembali ke tanah rantau.

Warga masyarakat di Sumenep

Warga masyarakat di Sumenep pulang dari Shalat Idul Fitri. Salah satu perayaan yang mewajibkan orang Madura toron ke kampung halaman. ( foto Moh. Azmil Ramadhan)

Kedua, menemui guru ngaji atau Kyai. Satu hal yang mereka lakukan saat “Toron”, berkunjung ke kyai atau guru ngaji. Peran Kyai bagi masyarakat Madura terutama masyarakat tradisional sangat penting. Kyai merupakan tokoh tempat mereka berkonsultasi dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan. Maka, ketika mereka Toron berkunjung ke Kyai adalah wajib sebagai rasa syukur dan hormat kepada guru juga untuk mempererat tali silaturrahmi dan  memohon doa restu akan kembali ke tanah rantau.

Ketiga, memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW (Molodan). Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan hal penting dan “wajib” bagi sebagian besar orang Madura. Penting karena memperingati kelahiran Rasulullah merupakan salah satu bentuk cinta dan meneladani akhlak Rasul. Maka, di bulan Maulid, mereka akan Toron ke Madura untuk merayakan Maulid Nabi (Molodan). Jika mereka tak sempat pulang, dapat dipastikan mereka akan mengirim sejumlah uang atau bahan-bahan untuk mengolah makanan dan kue untuk turut serta meryakan dari tanah rantau. Barang atau uang yang dititipkan pada kerabat atau famili yang pulang kampung halaman. Juga mereka akan Toron ketika Kyai yang menjadi pembimbing hidup mereka merayakan Maulid Nabi, mereka akan Toron dan memberikan sumbangan untuk turut serta merayakannya. Betapa penting bulan Maulid Nabi Muhammad bagi orang Madura.

Keempat,  “Nganyarê Kabin,” memperbaharui pernikahan. Toron di bulan Haji memiliki makna yang sangat berarti. Mereka pulang untuk merayakan telasan ajji, Shalat Idul Adha di masjid dilanjutkan makan bersama anggota keluarga. Hal yang paling penting, berkunjung ke Kyai untuk mempererat tali silaturrahmi juga menambah tugas (biasanya bacaan pujian atau zikiran) yang dilakukan setiap selesai shalat wajib dan shalat malam. Pada saat ini sebagian dari mereka memperbaharui nikah. Mereka melakukan akad nikah di hadapan  Kyai. Ini dilakukan untuk menjaga dari hal-hal yang membatalkan pernikahan mereka. Juga di bulan haji, banyak warga menikahkan putra-putrinya. Mereka percaya kalau bulan haji merupakan bulan baik untuk menikahkan putra-putrinya.

Masyarakat  Sumenep

Iringan perempuan membawa lamaran dari pihak pengantin pria, diserahkan ini diberikan saat menjelang akad nikah. (Foto – Moh. Azmil Ramadhan)

Kelima, Toron dilakukan karena ada hal mendesak didalam kehidupan keluarga. Ada anggota keluarga atau sanak famili yang meninggal dunia. Juga ada diantara kerabat dan keluarga yang melaksanakan pernikahan. Dua hal tersebut yang mengharuskan orang Madura Toron.  Musibah kematian adalah duka bagi seluruh anggota kleluarga. Setelah kematian biasanya diadakan tahlilan selama tujuh hari. Di antara waktu tujuh hari banyak kerabat dan keluarga bertakziah untuk menyatakan belasungkawa dan dukalara.

Pesta pernikahan merupakan tempat seluruh anggota keluarga bertemu. Pertemuan bukan sekadar silaturrahmi tapi sering kali untuk balas budi atau bertanam budi baik bagi anggota keluarga. Sebab, jika dirinya sendiri mengadakan acara yang sama juga akan dihadiri oleh anggota keluarga yang lain. Sebuah kegiatan pengikat hubungan kekeluargaan dan saling membantu di antara anggota keluarga. Biasanya sumbangan yang diberikan pada acara pernikahan tercatat dengan rapih dan jika yang diundang mengadaklan pesta pernikahan maka minimal akan memberikan sumbangan dengan jumlah nilai pemberian yang sama.

Pasangan pengantin di desa Omben –  Sampang

Pasangan pengantin di desa Omben – Sampang. Gaun pengantin sudah banyak dipengaruhi dari negara luar, gaun tradisional sudah jarang dipergunakan. (Foto – Muhammad Azmil Ramadhan)

***

Tradisi Toron” merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat Madura. Pulang kembali ke kampung halaman dari tanah rantau. Mobilitas warga yang berpengaruh terhadap hubungan kekeluargaan dan dalam kehidupan bermasyarakat. Toron akan membawa hal-hal baru yang akan masuk ke kampung halaman. Kebiasaan-kebiasaan baru yang memungkinkan munculnya budaya hibrida, baik dalam cara berkomunikasi, berpakaian, ataupun dalam bidang arsitektur. Mereka yang merantau ke Malaysia untuk bekerja, membangun rumah dengan arsitektur modern sebagai perlambang keberhasilan mereka di tanah rantau. Dunia luar dari kampung memberikan gambaran dan harapan baru dalam bidang arsitektur. Juga dalam berpakaian, kerap kali sebagai perubahan atas perantauan, mereka mengadopsi gaun di perkotaan dan dijadikannya simbol perabahan dirinya setelah berinteraksi dengan orang luar (lain).

Mereka (anak muda) yang belum pernah keluar dari kampung halamannya untuk menggali pengalaman di luar Madura dianggap sebagai lelaki yang tak punya keberanian. Sehingga pergi merantau merupakan salah satu bagian dari hidup mereka untuk  mencari dan belajar hidup di daerah lain. Pengalaman hidup berharga yang akan dikisahkan pada keturunan mereka.  Umumnya dari pengalaman merantau (ongghâ) ke luar pulau Madura memberikan mereka pengalaman hidup yang berharga. Pentingnya berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang di luar sukunya, sampai kesadaran akan pentingnya keberadaan orang lain di sekitar dirinya. Kesadaran akan harkat dan martabat kemausiaannya sebagai mana tersirat dalam ungkapan ; “mon  êtobi’ sake’  jhâ’ nobi’an orêng laên.” (kalau merasakan sakit saat dicubit, maka jangan mencubit orang lain) sebuah petuah untuk menjaga hubungan persaudaraan. Menghargai orang lain sebagai upaya untuk menghargai diri-sendiri. Begitulah cara mereka memelihara persaudaraan, sehingga kalau  berteman sebagaiamana bersaudara, “Mon beras kenca palotan, mon kaca taretan.

Toron, bukan sekadar balik kampung halaman, rindu pulang tak tertahan. Pulang bukan sekedar kembali ke rumah, tetapi membasuh kembali semangat yang telah luluh di tempat kerja, pun di tanah rantau. Maka semangat “Toron” bagi orang Madura di rantau bukan sekadar “pulang” melainkan yang biasa dilakukan tiga kali dalam setahun yaitu di Hari Raya Fitri, Idul Adha, dan di Bulan Maulid untuk merayakan kelahiran Rasulullah. Maka pulang bukan sekadar kembali ke rumah tetapi mengisi rohani dengan memperbaharui spirit kebersamaan dan keberagamaan.

Perkembangan alat transportasi, alat komunikasi telah memberikan perubahan makna yang sangat berarti terhadap tradisi Toron. Keinginan untuk pulang melihat sanak keluarga dapat diatasi dengan telepon dan video call yang disediakan oleh aplikasi. Keinginan untuk pulang sewaktu-waktu dimudahkan dengan kemudahan alat transportasi – sepeda motor sebagai barang yang sudah umum dipunyai masyarakat. Keberadaan Jembatan Suramadu, menjadikan Toron lebih  mudah tanpa harus antri lama menyeberang selat madura.

Tapi di era teknologi komunikasi yang semakin maju, rasa rindu keluarga di kampung halaman bisa tersampaikan lewat pesan pendek (SMS), panggilan video, atau pesan lewat jejaring internet melalui akun WhatsApp. Jarak itu telah tereret menjadi dekat, dan rindu percakapan disimpan dalam rekaman video yang sewaktu-waktu bisa dibuka kembali. Kondisi ini barangkali yang dirasakan Addul, ketika penyeberangan Ujung Anyar – Kamal sudah sepi tak ada lagi antrean panjang kendaaran bermotor untuk menaiki ferry menyeberang selat Madura. Hadirnya jembatan Suramadu memudahkan akses dari dan ke Madura, berlangsung dalam waktu yang lebih cepat dan mudahnya alat transportyasi memungkinkan dan memudahkan warga Madura yang merantau di Pulau Jawa bisa pulang sewaktu-waktu untuk melunasi rindu.

Mereka bisa setiap saat pulang ke kampung dengan naik motor, kendaraan yang mudah dijangkau dan melewati jembatan Suramadu dan langsung balik kembali lagi ke Surabaya. Perkembangan dan kemudahan alat transportasi telah menggeser kebiasaan kebiasan yang semula dilakukan bersama-sama di hari besar, dapat dilakukan sendiri setiap akhir pekan. Makin banyaknya kendaraan pribadi telah merubah mobilitas para perantau kian kerap dan cepat. Toron dilakukan kapan  saja mereka sempat dan memiliki waktu luang.

Namun ada ada yang tidak tergantikan lewat teknologi, yaitu keinginan untuk bertemu menemui para guru untuk meminta restu, menghadiri undangan keluarga, dan meminta doa restu kepada kedua orang tua. Keharusan yang mewajibkan mereka harus Toron, pulang ke kampung halaman.

Dalam kutipan di awal pembuka tulisan ini, Addul berkisah bahwa  Toron” telah kehilangan rasa kebanggaannya. Sebelum ada jembatan Suramadu mereka yang akan Toron, janjian bersama-sama untuk pulang kampung. Mereka akan mempersiapkan apa yang akan dibawa ke kampung halaman, oleh-oleh khas di pelabuhan Kamal yaitu salak Bangkalan dan jambu biji yang dagingnya merah dalam kemasan  anyaman bambu.  Toron” menjadi “perayaan” untuk menunjukkan keberhasilan di kampung orang (tanah rantau). Kesibukan pelabuhan kamal telah diambil alih keramaian jembatan Suramadu. Jambu merah dengan wadah anyaman bambu tak lagi ditemukan. Lahan kebun salak Bangkalan telah kehilangan habitatnya menjadi hunian manusia. “Toron” telah kehilangan kebanggaannya.

*Hidayat Raharja, adalah penulis, penyair dan pengelola SMAN 4 Sampang, Madura.