Iwan Pranoto

Belajar Merdeka

Oleh Iwan Pranoto

kita telah mengalami dan menyaksikan
sebuah bangsa yang tidak rusak,
melainkan hanya belum terrampungkan.

Amanda Gorman, The Hill We Climb,
Pelantikan Presiden AS, 20 Januari 2021.

Belajar sebagai bangsa merdeka adalah sebuah tindakan, kalau bukan satu-satunya, yang paling masuk akal untuk dipilih, khususnya oleh bangsa pascapenjajahan. Bagaimana memuliakan, merayakan, serta merawat kemerdekaan diri sendiri sekaligus kemerdekaan sesama sudah semestinya merupakan kecakapan yang perlu dipelajari dan diasah terus menerus. Hanya dengan belajar merdeka, warga negara dapat mengasupi gizi ke dalam janin kemerdekaan bangsanya. 

Setelah mengamati pemberontakan, kekerasan, sampai hilangnya nyawa di gedung wakil rakyat AS tanggal 6 Januari 2021, nyata bahwa usia kemerdekaan belum menentukan kebagasan sebuah republik. Usia hampir dua-setengah abad pun ternyata belum cukup untuk menjadi tauladan serta model sempurna sebuah bangsa merdeka. Apalagi bagi negara demokrasi dan berukuran besar, seperti Indonesia dan India, belajar menjadi bangsa merdeka selalu relevan. Mochtar Pabottinggi dalam esai Berkaca ke Amerika di Kompas (21 Jan 2021), dan Peter R. deSouza dalam esai From the US to India, why do people collude with narcissistic leaders? di Scroll.in (19 Jan 2021), berturut-turut, mengajak warga Indonesia dan India untuk belajar dari ancaman nyata pada tenunan kebangsaan AS. 

Maharddhika

Kata dan pengertian “merdeka” merupakan satu dari perbendaharaan kata dalam Kosmopolis Sanskerta di zaman klasik (300 M – 1300 M). Pengertian ini sudah menyebar dan mengakar dari semenanjung Asia Selatan, di pegunungan Himalaya paling barat, melintasi Sungai Mekong di Asia Tenggara, sampai pulau-pulau yang jadi pintu gerbang ke Samudra Pasifik. Sedang di utara, kosmopolis ini dari lembah Kathmandu sampai di selatan, sampai Srilanka. Kata ini diserap dari kata maharddhika dalam bahasa Sanskerta. Namun, dalam berjalannya waktu, kata maharddhika telah berevolusi dan mengalami semantic shift atau pergeseran makna. 

Kata ini dapat perhatian khusus dari pakar bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno, Jan Gonda, di dalam bukunya Sanskrit in Indonesia (Gonda, 1951, p. 333). Di situ, Gonda mengutarakan bahwa sejarawan yang mempelajari peradaban (pasti) tertarik pada kasus kata ‘maharddhika’ ini. Kata ini di Asia Tenggara penting terutama di masa perjuangan melepaskan diri dari kolonialisme.

Buku Sanskrit in Indonesia

Buku Jon Gonda “Sanskrit in Indonesia (Sarasvati vihara series)”

Menurut Gonda, ‘maharddhika’ bermakna ‘sangat sejahtera dan berdaya’. Kemudian lanjutnya, dalam bahasa Jawa Kuno, kata ‘maharddhika’ juga berarti ‘bijaksana, terpelajar’, dan yang sekarang sudah dikenal baik dan dijadikan arti utama dan satu-satunya ialah ‘bebas, independen’.   

Lalu, di buku Lord Śiva and Buddha in the Golden Isles: In Search of Classical Indonesia (Chandra, 2013), pakar studi keindiaan dan kakawin asal India, Lokesh Chandra, juga menjelaskan secara khusus kata merdeka tersebut. Senada dengan gurunya, Jan Gonda, Lokesh Chandra mengatakan bahwa dalam bahasa Jawa Kuno, kata ‘merdeka’ memiliki beragam makna: ‘sangat sejahtera, sangat kuat, seorang terpelajar, seorang bijak, juga sangat sering menunjuk pendeta’. Chandra menambahkan bahwa hari ini makna merdeka hanya tinggal ‘bebas, independen’ dan tanpa makna sampingan lain. 

Buku Lord Śiva and Buddha in the Golden Isles: In Search of Classical Indonesia

Buku Lokesh Chandra “Lord Śiva and Buddha in the Golden Isles: In Search of Classical Indonesia”

Penjelasan dua buku tadi mengungkapkan bahwa makna kata maharddhika atau merdeka bukan saja sudah mengalami perubahan, tetapi maknanya telah menyempit atau mengerut. Yang di era klasik menyiarkan nuansa atau ciri keberdayaan agar dapat bebas dan independen, hari ini kata ‘merdeka’ hanya bermakna keadaan akhirnya, yakni bebas atau independen. Bagaimana cara mencapai bebas dan independen justru telah terkikis dari makna kata merdeka hari ini. 

Oleh karenanya, jika berangkat dari makna klasiknya, belajar merdeka harus diartikan belajar memberdayakan diri untuk menjadi merdeka. Ini sama dan sebangun dengan makna merdeka yang dipidatokan oleh Ki Hadjar Dewantara pada 17 Agustus 1954 sebagai “kesanggupan dan kemampuan untuk memelihara hidup dan penghidupan atas kekuatan diri sendiri.” Tegas beliau: “Merdeka berarti makan nasi-nya sendiri; tidak diberi makan orang lain.”

Belajar Merdeka

Dengan demikian, belajar menjadi manusia merdeka diwujudkan dengan belajar memberdayakan diri dan sesama. Terutama, memberdayakan diri dalam dimensi akal, badan, dan jiwa. Pada sisi ini, merdeka merupakan hak individu. Namun, pada sisi lainnya, saat belajar menjadi bangsa merdeka, maka menghormati dan menyokong kemerdekaan warga lain dan, bahkan, bangsa lain merupakan suatu keharusan. Pada sisi ini, merdeka merupakan tugas atau kewajiban.

Memahami hak memberdayakan diri untuk menjadi insan merdeka dan kewajiban menjamin kemerdekaan insan lain berada dalam kerangka pendidikan kebangsaan. Secara tradisional, pendidikan kebangsaan sudah berangkat dari dua pangkal pijakan itu: hak dan kewajiban warga negara. 

Pendekatan yang fokus menyoroti tugas atau kewajiban tiap warga terhadap negara dinamai perspektif republik atau citoyen (warga negara). Kemudian, pendekatan yang fokus menyoroti hak tiap warga negara yang dijamin Negara dikenal sebagai perspektif liberal atau homme (manusia). 

Dua fokus atau sorotan tadi, yakni warga negara dan manusia, bersifat inklusif. Artinya, sistem pendidikan bukan harus memilih salah satu dan mengabaikan lainnya, tetapi kedua pendekatan pendidikan kebangsaan itu perlu berkembang seimbang. Oleh karena itu, perlu ditafakurkan apakah kedua pendekatan pendidikan kewarganegaraan itu sudah berjalan berimbang pada sistem pendidikan Indonesia hari ini.

Perlu dicatat, anggapan bahwa belajar merdeka atau pendidikan kebangsaan, secara umum, merupakan lahan garapan mata pelajaran tertentu, seperti matpel Kewarganegaraan, Pancasila, dan Sejarah semata, akan membuat matpel menjadi seperti bilik-bilik terpisah dalam kurikulum. Keadaan ini menyendat pendidikan, dan anggapan merugikan ini harus ditanggalkan. Mencerdaskan diri dan menyokong warga lain mencerdaskan dirinya melalui dimensi akal, badan, dan jiwa dapat dipraktikkan atau diwujudkan melalui semua mata pelajaran dan disiplin keilmuan.  

Namun, dengan dunia semakin terhubung dan interaksi antarmanusia semakin mudah hari ini, dua pendekatan republik-liberal dianggap kurang memadai lagi. Maka, muncul banyak konsep pendidikan kewarganegaraan alternatif atau tambahan yang melibatkan isu kemajemukan dan sesuai dengan zaman sekarang. Dua contohnya, antara lain, kewarganegaraan global (kewargaduniaan) dan kewarganegaraan berbudaya-majemuk. 

Pendidikan kewarganegaraan global menyokong rasa kebersamaan dengan semua orang atau semua bangsa, termasuk dalam hak dan kewajiban, melintasi batas negara (McCowan, 2009). Sedangkan pendidikan berbudaya majemuk berpegang pada prinsip inti bahwa semua kelompok atau masyarakat dalam negara, termasuk kelompok minoritas, harus dapat mempertahankan serta mengembangkan budayanya dan tak dipaksa untuk melebur ke dalam budaya dari kelompok yang dominan (Chimbutane, 2018). Perbedaan dirayakan, bukan diseragamkan. Dengan memanfaatkan kemajuan pengetahuan dalam teori pendidikan kebangsaan untuk dunia terhubungkan akan meremajakan pendidikan kebangsaan di republik ini.

Pada satu sisi, belajar berpikir untuk menyusun pendapat dan menyajikannya merupakan wujud memberdayakan diri sebagai manusia sekaligus warga negara. Pada sisi lainnya, belajar menyimak serta memahami pemikiran dan pendapat sesama juga wujud memberdayakan diri juga sebagai manusia dan warga negara. Dua tabiat nyata saling melengkapi itu merupakan bagian penting dari kecakapan berbangsa secara konkret perlu dan dapat dibelajarkan melalui semua mata pelajaran dan kegiatan sekolah. Mendalami serta mendiskusikan kembali dua tabiat itu, yang mungkin sebelumnya dianggap sudah kuno, ternyata semakin relevan dengan semakin masifnya pelibatan sains dan teknologi dalam cara berkomunikasi politik. Pengertian hak seseorang berpendapat serta tugas menjaga hak berpendapat sesama dalam dunia yang teralgoritmakan ini menjadi jauh dari isu sepele dan mengundang untuk ditelaah ulang.

Pendeknya, bagaimana agar tiap siswa dapat belajar merdeka dan menjadi bangsa merdeka merupakan upaya besar seluruh pendidik, tanpa kecuali, dan ini perlu diperbaiki terus-menerus. Dengan meminjam kata-kata Amanda Gorman secara bebas, mewujud sebagai sebuah bangsa merdeka lebih dari sekadar kebanggaan yang kita warisi, ini adalah masa lalu yang kita masuki dan bagaimana kita perlu terus mengapikkannya.

*Iwan Pranoto adalah Pengajar di ITB