Puisi-Puisi Kurnia Effendi

Ia Bukan (Sekadar) Ekalaya

Ia bukan Ekalaya
Tanpa ibu jari, sama titisnya dengan Arjuna
: Memanah kijang yang melompat di antara lindap
Pohon rimba

Tangan kiri itu bahkan tiada sejak
Kelas lima. Salto yang dikira penanda gagah
Malah menunjukkan pemuda kecil itu gegabah

“Ini salahku!” Andai kupingnya mendengar
Jatuhnya titik bening dari mata ayahanda
Namun tak satu menit pun waktu mampu diulang
Bila sesal tak lekang, hidup hanya akan penuh erang

Masih lebih banyak yang tersisa termasuk
Semangat dan kegigihan mengolah daya
“Kibarkan namamu dengan cara yang paling
Kamu mampu.”

Tiada lagi waktu buat tersedu:
Kaki melincah tangan kanan diayun bulu ditangkis
Lampaui jaring empasan demi empasan membanting
Tetes keringat membasahi jejak dari tanah Banten
ke Swarnabhumi. Singa bertangan satu itu mengaum

Usia dan napas trengginas selalu punya batas
Perjalanannya pun berubah cara. Dada dan mata dibuka
Melebar seperti halnya cahaya kejora dan cakrawala

Tidak ada yang patut berhenti
Tidak terpekik satu kata penalti
Ia ciptakan balada dari titik satu ke lain ranah
Yang ditempuh dengan perasaan bungah

“Catat segala yang kaudapat!” Ingatan itu menyengat
Puisi-puisi sahabat dititah mengawali kisah berjimat
Yang membuatnya terus gegas melompat

Ia bukan Ekalaya yang dibenci Dorna. Tanpa hirau
Cemburu Arjuna, dibangunnya pertala demi pertala
Kepada kekasihnya ia lantang menantang:
“Aku akan hidup untuk kepentingan banyak orang.
Bersediakah kau setia di samping dan belakang?”

Dengan lima jari tangan ia pindahkan dunia dalam
Banyak cerita. Mengangsu pengalaman dan meringkasnya
Sebagai pustaka – pusaka sesungguhnya: pundi-pundi
Sepanjang zaman

Raga dan pikirannya selalu beranjangsana, berkelana
Meminta setiap mata muda gemar membaca
Menemukan rasi pencerah dari langit yang disingkap
Entah sampai kapan, setelah duri mahkota ia serahkan
Dari satu ke lain kepala tanpa beban

Entah sampai kapan bacaan dikeramatkan
Mungkin seperti isyarat namanya, menerima rahmat
Dan amanat membuatnya terus berjalan
Sampai serupa bunyi akhir lantunan gamelan

Jakarta, 2022

 

Di Tengah Keramaian Kuingat Kemalangan
dalam Kesedihan Kukenang Perayaan

Ini tentu perjalanan kesekian kali
Tanpa berani menyebut ribuan langkah, kulihat
Malam di Asia Afrika selalu meriah
Namun, tahukah kalian kini?
Setan dalam wujudnya yang palsu gentayangan
Mencari sekaligus memberi hiburan demi recehan

Dari puluhan babak teater, para penontonnya
Turut naik panggung: Braga selalu berubah wajah
Entah generasi keberapa setelah Braga Stone lenyap
Setiap orang merasa diri aktor, mabuk cerita
Dalam prosenium ungu dan jingga

Di kanvas sejarah yang semakin pudar, Gedung Sate
Berjubah kelam memberi punggung layar selatan
Lampu-lampu menghangatkan denyut darahnya
Tubuh dingin sedang bertanding dengan waktu
Bagi para pelari di Gasibu, kenyataan tak mampu berseteru

Bandung adalah (tentu saja) Bandung
Banceuy yang dulu murung, di dasar lukanya
Berdiri pusat niaga. Ketika aku lewat: ia seperti
Bukit terkurung mendung. Tak didengarnya lagi
Kericik membosankan Kali Cikapundung

Membelah malam menjadi dua bagian:
Sekian depa Jalan Ganesha dan sekujur Dipati Ukur
Lajur pendakian itu akhirnya mencapai Dago Pakar
Hanya untuk melihat betapa kebahagiaan ditandai korintian
Sedang yang terhampar luas bisa jadi letup duka menyala

Jakarta, 2022

 

Menyisir Lengkong Kecil

Tahun-tahun merambat mengantar kami dewasa
Tanpa berhasil mengajukan jeda, misalnya
Sekian bulan kami dihukum menjadi remaja

Lihat sejenak: segala yang ditawarkan bagai mengejek
Kerentaan tulang-belulang tak bertahan lama tegak
Memandang etalase jalanan yang ingin menyulap usia
Tawar-menawar rasa antara cemas dan menanggung sakit

Yang asing dalam pendengaran, menampilkan wujud
Di seberang memori. Semisal mi lidi dan pempek pop corn
Bayi kepiting dan sate gurita yang dibakar dengan api sembur
Donat di luar bentuk yang terbayangkan selama ini
Takoyaki pindah dari Shinjuku ke gang-gang sempit Bandung
Daging dan tepung diolah menjadi bakso, belum juga
Memuaskan penyiksanya. Mereka dikeringkan lalu dirajang tipis
Digoreng didih minyak dengan taburan serbuk sambal
Melawan batagor kuah di lidah atau seblak yang meradang

Seperti halnya pertunjukan tonil atau sandiwara
Ketika matahari pertama menyapu tepi jalan kanan dan kiri
Jejak luka bakar dan aroma bumbu lenyap dalam usapan pagi
Kembali Lengkong Kecil disesaki lalu lintas menuju sekolah
Pegawai kantoran memikirkan pekerjaan sejak dari rumah

Keramaian hanya serupa sirkus
Boleh dilupakan atau harus dikenang
Demi mengulang ketika ingin kembali
Menjadi anak kecil yang terpesona gulali

Jakarta, 2022

 

Truntum
dari ratu kencana kepada pakubuwono 3

Bintang-bintang itu
Lintang-lintang tatu

Jangan sentuh aku, jangan! Seribu depa jarakmu, aku mau
Biar kabur pandangku tersebab leleh mataku
Jangan sentuh aku, jangan! Sebelum padam seluruh dendam
Kau akan lebur dalam diang dan lebuh jadi abu

Langit gelap itu
Kuhiasi letik latu

Izinkan aku bermalam di tilam tanpa sekat ini
Demi kuhayati prosesi embun menjelang pagi
Membasuh dan menabur kembang tanjung wangi
Aku berjanji akan membuka kunci
Namun tak perlu kau lekas kembali

Jakarta, 2022

 

Setelah Lewat Setahun
Anno September 2020

Sejauh ini hanya gambar dan debar
Melayang ulang-alik
Bukan hanya melintasi langit dan samudra
Melainkan perbedaan waktu
Antara seperlima dan seperempat
Hari-hari yang lincah melompat

“Seharusnya—katamu, berulang, entah siang
Atau malam—aku sudah masuk ke dalam mimpimu.”
Aku tentu tak sekadar menghendaki yang palsu
Biarlah aku atau engkau yang masuk
Dalam rengkuhan kenyataan

Seperti di rumah yang sama, selalu
Kulihat engkau sibuk bekerja (atau berkarya?)
Tak netes peluh setitik sebab kaugunakan mesin pikir
Tiada sendi berputar, toh batin yang kauajak bermain
Selalu kuingatkan meniru bunyi alarm
Jika benar ingin lenyap dalam pelukan, tentu
Upayakan kedua ujung tanganku berjalinan

Pagi dan senja dalam perbedaan
Siang dan malam bukan semata berkejaran
Tak ubahnya kanak-kanak, kau dan aku mendambakan
Saling menembak tanpa jarak

Jakarta, 2022

 

Badui

Apa yang kaucari, Ayah?
Meniti setapak, jalan lurus ke surga
Cericit burung kericik air kali dan desau angin di rumpun bambu
Menyambut wangi golak didih kuah santan dari kuali
Dengung lebah ramah memanggil-manggil 
Lantai tanah rumah makin padat dan kuat
Tak penat menyimpan tapak kaki demi kaki
Serupa kitab dengan jutaan halaman

Apa yang kaucari, Ambu?
Terpisah dari ramai memilih bersunyi dari bunyi
Lebih tersimak lantunan alam bernyanyi
Memilin kapas jadi benang menjalin benang jadi kain
Tenun yang digarap di pangkuan – di atas selonjor kaki
Mewartakan cinta seharian, setahunan, selamanya
Mengaji perjalanan siang dan malam, terang dan kelam
Menyapih anak susuan, mencoba peta perantauan

Apa yang kaucari, Baraya?
Hitam yang teguh dan selalu tabah
Langkah tanpa keluh namun terarah
Cinta yang tidak melenceng ke mana-mana
Menjaga irama, lagu bahasa, pikir dan rasa
Membuka ladang, merawat hutan, mematuhi karuhun
Ke dalam ceruk mata dalam: telaga bijak bestari
Bentang kain merentang ingin melampaui angin

Titah Pu’un: jaga tanah ulayat, ziarah Seba Leutik
Turun-temurun berbenah dan mengharap selamat
Gunung nteu meunang dilebur
Lebak nteu meunang diruksak
Lojor nteu meunang dipotong
Pendek nteu meunang disambung¹

Sowan kunjung ke Gunung Karang, Gunung Pulosari,
Ujung Kulon, Sang Hyang Sirah, setahun sekali
Niti lampah tanpa terompah Banten sing barokah

Jakarta, 2021

  ¹Peribahasa dari Karuhun Badui

 

Paksi Naga Liman

Akulturasi itu berlangsung lembut, ditenun dari zaman ke zaman tanpa kesumat kecuali saling merawat dan memberi hormat. Serupa perjamuan antarumat, mereka berkisah tentang hal-hal keramat tidak dengan siasat sembari menyesap wedang dan saling menjaga wejang. Sungguh tak terpikir ujaran tamat. Hindu terpelihara, Tionghoa anjangsana, Jawa membuka jiwa, Islam memadu rasa. Di negeri gemah ripah ini, rupiah mudah beralih rupa. Dari nilai ke harga dan sebaliknya. Maka burung itu mewujud kuda bersayap dengan surai naga dan memiliki belalai gajah. Hendakkah ia berlari atau terbang? Tinggal bagaimana engkau yang duduk di pelana bertumpu sanggurdi dan menarik temali kendali mengarah tujuan.

Benar ini kawasan pesisir—ah, apa yang kaupikir—dengan jutaan ikan jinak terperangkap jala.Seluas kebun mangga dermayu dan semburat minyak bumi, dari mercu suar syahbandar sibuk mengatur kapal datang dan pergi.

Ranah yang masyhur pasangan kawin muda ini tak sempat berhalusinasi tentang harta gono-gini. Lepas dari mitologi among budaya paksi naga liman, tergambar di bentang kain-kain lebar: iwak etong, kembang srengenge, kapal kandas, ganggeng, manuk puyung, pring sadapur, jati rombeng, jarot asem, jahe srimpang, anggunan manuk tetingkring, lasem urang, teluki, pentil kuista, dara kipu, kembang karang ….

Dengarlah sayup tembang biduan tarling, orkes dan sandiwara keliling, epos yang tak akan membuat engkau pangling. Sepanjang 24 jam pantura alpa pada hening. Selain yang sedang berkidung di tangga puncak malam atau mutih pati geni. Lihat rupaku! Kukila? Turangga? Liong? Dirada? Dan kudengar suara: ―Terbanglah seperti buraq!

Jakarta, 2021

 

Sepanjang Prawirotaman

Sebelum alun-alun selatan, kita berjalan
Bergenggam tangan berdendang perlahan
Sepanjang Jalan Prawirotaman

“Masih ingat janji Pangeran Mangkubumi?”

Aku tak ingin mengenang lagi, apa pun terjadi
Di beringin kembar itu – di luka mekar itu
Di sisimu bahkan rembulan jadi gagu

Jarikmu kembang setaman
Teles ketiban udan
Lirikanmu setajam gaman
Durung wancine aku kedanan

“Kita ditunggu rindu di Sosrowijayan.”

Jauh dari Gejayan tak dekat dari Ketandan
Aku masih ingin memandang paras ayumu
Untuk selain bisikmu biarlah aku tunarungu
Air mata netes sepanjang Prawirotaman

Jakarta, 2021

 

*Kurnia Effendi lahir di Tegal, 20 Oktober 1960. Menulis untuk media massa pertama kali tahun 1978. Telah menerbitkan 25 buku tunggal aneka genre, tujuh di antaranya kumpulan puisi: Kartunama Putih (1997), Mendaras Cahaya (2012), Senarai Persinggahan (2016), Hujan Kopi dan Ciuman (2017), Percakapan Interior (2018), Mencari Raden Saleh (2019, beroleh Anugerah Pustaka terbaik 3 bidang puisi dari Perpustakaan Nasional), Setelah Lima Belas Kabisat (2021). Tinggal dan bergiat di Jakarta. Dapat ditemui di WA 0811859603.