Bertutur Arsip Tutur

Oleh Agus Dermawan T.

 

Arsip seni rupa Indonesia masih jauh dari komplit, sehingga sejarah seni rupa acap ditulis dalam ruang setengah gelap. Arsip tutur jadi alternatif pelengkap.

—————————-

KAMUS BESAR Bahasa Indonesia menyebut : “Arsip adalah dokumen tertulis yang mempunyai nilai historis, sehingga perlu disimpan dan dipelihara di tempat khusus untuk referensi”. Ini sefaham dengan Kamus Bahasa Indonesa Kontemporer yang menyebut bahwa arsip adalah : “Simpanan surat-surat penting untuk referensi”. Yang menarik, definisi ini ditandai imbuhan tanda penjelasan bahwa : kata “arsip” bermula dari bahasa Belanda, archief  (yang dalam bahasa Inggris ditulis : archive). Maka dari yang tersurat, nyata bahwa etimologi arsip diambil dari kata archium (Yunani), yang artinya peti untuk menyimpan sesuatu yang dianggap bernilai, berharga. 

Merujuk kepada archium yang dibikin oleh orang-orang Yunani kuno itu, ingatan kita boleh untuk segera hinggap kepada “peti” yang dibikin orang-orang Jawa Kuno sejak ratusan tahun lalu (yang mungkin diwarisi dari kebudayaan Tiongkok). Syahdan masyarakat di era lampau itu punya tradisi membuat peti kayu dengan hiasan ukir-ukiran. Peti indah ini juga difungsikan sebagai meja. Haryono Haryo Guritno (ahli pewayangan dan perkerisan) mengatakan : masyarakat memfungsikan peti-meja ini sebagai penyimpan berbagai barang yang bernilai, seperti data dan aksara mantra yang ditulis di daun lontar, manuskrip sastra yang tertulis di kertas, aneka skriptorium, sampai gambar-gambar yang dimaktupkan di atas kulit atau kain. Masyarakat Jawa menyebut peti-meja ini sebagai gerobok. 

Go Tik Swan Panembahan Hardjonagoro, desainer dan kolektor batik ternama di Indonesia bertutur : ketertarikannya kepada batik-tulis berawal dari sebuah gerobok yang mengarsipkan gambar desain, catatan motif, cara pembuatan serta berlembar-lembar kain batik tulis adikarya. Kolektor dan pengembang batik-tulis era sekarang, Hartono Sumarsono, juga mengatakan hal yang senada. “Secara ritual, batik adiluhung wajib diarsipkan dulu ke dalam gerobok, sebelum dipindahkan ke lemari ruang display,” katanya. 

Maka gerobok adalah archium, alias peti arsip bangsa Indonesia. Walaupun pada akhirnya harkat benda istimewa ini terdegradasi, ketika gerobok juga dipakai untuk menyimpan segala benda yang tak jelas nilainya, seperti alat-alat jahit rongsokan, baju-baju amoh (lama dan lusuh) sampai sepatu tua.

Dengan menyandingkan sejarah archium di Yunani dan gerobok di Jawa, diam-diam tersimpul bahwa bangsa Nusantara (dalam konteks ini, Jawa) adalah mahluk yang menyadari benar arti penting dari penyimpanan benda-benda bernilai (catatan tulis, gambar dan material lain) yang diprediksi akan sangat bermanfaat sebagai dokumen bagi banyak orang, pada era-era kemudian. Dalam kebudayaan Indonesia sekarang, kumpulan dokumen benda yang bernilai historis itu dikategori sebagai arsip. 

Erosi minat berarsip

Namun kecenderungan untuk berarsip-ria nampaknya tidak berketerusan dengan mulus, terutama ketika bangsa Indonesia memasuki era modern ujung abad ke-20. Tak hanya pada ranah masyarakat kelas bawah, yang memang tak memungkinkan membuat catatan, lantaran hidupnya selalu dirundung kesibukan mencari makan. Namun juga di ranah kelas menengah, yang sudah agak lama melupakan pekerjaan kuno memenuhi “buku harian”. 

Erosi minat untuk mengarsipkan hal-hal penting ini juga melanda (sebagian besar) perupa Indonesia. Sehingga, jangankan menyimpan dokumen yang berkenaan dengan hal-hal di sekitar kehidupan penciptaannya, dokumen yang menyangkut riwayat hidupnya sendiri saja mereka tidak memperhatikan. Sebagai penulis buku monografi seni saya melihat, mendengar serta ketanggor persoalan itu berkali-kali.

Selarik cerita. Pada tahun 1992 saya berhasrat membuat buku tentang karya dan riwayat hidup Abas Alibasyah, pelukis, dosen dan birokrat yang pernah jadi Inspektur Kebudayaan dan Ketua Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia “Asri” Yogyakarta. Untuk melengkapi data kehidupannya yang gemuruh, saya ingin mencopy berbagai dokumen yang tersimpan dalam arsipnya. Dengan antusias sang pelukis membawa saya ke kediamannya. Sang pelukis lantas menunjukkan belasan koper berbagai ukuran yang ditaruh di atas rak dan lemari, di rumahnya.  “Dokumen penting terarsipkan di dua koper di antaranya. Tapi koper yang mana, saya lupa,” kata pelukis dengan tertawa terkekeh. 

Beberapa tahun sebelum itu pelukis Srihadi Soedarsono menggerutu, berkenaan dengan rekannya yang sedang diajukan sebagai profesor di jurusan seni rupa ITB. Alkisah, untuk melengkapi reputasi calon profesor, tim pengaju menyertakan dokumen rancangan logo Ganesha ITB sebagai bagian dari porto-folio. Padahal logo tersebut dirancang Srihadi Soedarsono. Apa alasan kekeliruan penyertaan materi porto-folio itu? Begini : Dewan penilai tidak menemukan arsip yang valid, siapa yang merancang logo Ganesha ITB.

Dalam dunia seni rupa Indonesia memang sulit mencari arsip (kumpulan dokumen) yang bisa dirangkai menjadi ihwal yang valid. Baik dokumen untuk perseorangan maupun dokumen untuk perkumpulan seni. Baik itu dokumen-induk, yang saya sebut Dokumen Tingkat 1 (DT-1), yang mencatat data secara formal dan tertulis, dalam bentuk warkat, surat, akta. Ataupun dokumen sub-induk (DT-2), yang mencatat peristiwa dan nuansanya, dalam catatan personal atau kliping. 

(- Walaupun tentu tak semua perupa dan perkumpulan seni rupa Indonesia buruk dalam pengarsipan. Sudjojono, Basoeki Abdullah, Sudjana Kerton, Nasjah Djamin, Srihadi Soedarsono, Nyoman Gunarsa dan sedikit yang lain, termasuk relatif memiliki ketertiban dalam mengarsip. Pada perkumpulan seni yang beraksi sejak sebelum Indonesia merdeka : Sanggar Tjipta Pantjaran Rasa pimpinan Barli, Sanggar Pejeng milik Dullah serta Sanggar Kambodja-Bali, termasuk punya tradisi menyimpan dokumen sekitar kegiatannya dalam arsip. Termasuk Sanggar Bumi Tarung, yang pengarsipannya dilakukan dengan relatif tertib oleh Misbach Tamrin. -)

Namun umumnya arsip-arsip perkumpulan itu disimpan oleh perseorangan. Sementara tak jarang si penyimpan ini memposisikan arsip sebagai harta personal, alias bukan sebagai warisan untuk publik. Maka apabila penyimpan arsip itu “pamit”, harta budaya itu juga raib. Padahal alangkah baik apabila (minimal copy) arsip itu “dititip” di lembaga arsip resmi, seperti Lembaga Arsip Nasional, rumah dokumentasi Dewan Kesenian, Taman Budaya dan lembaga pendidikan budaya, serta institusi dokumentasi swasta semacam IVAA (Indonesian Visual Arts Archive) dan semacamnya.

Sejak beberapa belas tahun lalu saya tak henti mengais dokumen yang berkait dengan sejumlah perupa dan perkumpulan seni ikonik Indonesia. Dan itu terbilang sulit. Kesulitan itu tentulah juga merangsek para mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi atau disertasi, yang secara akademis harus menghimpun arsip yang paling tidak terkategori dalam DT-1 dan DT-2.

Atas Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia) misalnya. Pasalnya, arsip lengkap mengenai perkumpulan ini tak ada di rumah arsip resmi yang terkategori DT-1. Sampai akhirnya terdengar kabar bahwa sebagian arsip Persagi ternyata dibawa oleh Otto Djaya, yang pada 1980-an memang sering mengoyong-oyong sebundel arsip ke mana-mana, untuk dipamerkan ke teman-temannya. Begitu juga dengan arsip perkumpulan SIM (Seniman Indonesia Muda) yang ternama itu. Sementara untuk melacak perjalanan lengkap Bataviasche Kunstkring yang aktif pada 1930-1942, kita harus masuk ke ruang arsip di Belanda.

Cerita lain : atas dokumentasi lengkap perkumpulan Yin Hua yang didirikan oleh Lee Man Fong pada 1955, CM Hsu, salah satu pendirinya, angkat tangan. “Sebagian besar dokumentasi itu ada di Yap Thay Hua dan Ling Nan Lung, yang kalang kabut ketika peristiwa G30S. Mungkin bundel dokumen itu sudah dibakar,” kata CM Hsu. 

Atas DT-1, DT-2 perkumpulan Pelukis Rakyat serta Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi di bawah PKI, budayawan Joebar Ajoeb pernah mengatakan : “Kini yang terbanyak mungkin ada pada saya. Karena lembaga arsip milik Negara sudah menggunting sebagian arsip lengkap itu, dan dibuang sebagai dokumen terlarang.” 

Maka ketika (pada 1994) saya minta dokumentasi “terbanyak” itu kepadanya, ia hanya menyampaikan puluhan halaman manuskripnya yang berjudul “Mocopat Kebudayaan”, yang ia anggap sebagai kristalisasi dari arsip. Manuskrip itu akhirnya terbit sebagai buku pada 2004.

Pentingnya menggali “arsip-tutur”

Terseraknya, tersembunyinya, tereduksinya, hilangnya, rusaknya, dan minimnya arsip seni rupa di Indonesia menyebabkan kita harus mencari alternatif arsip lain. Salah satu alternatif itu adalah “arsip-tutur”, atau arsip yang dicatat oleh ingatan. Terbitnya “arsip tutur” (oral archive) ini diberangkatkan dari potensi mengingat atau potensi kognisi (cognition) narasumber. Kita tahu bahwa kognisi adalah bentuk dari keyakinan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses mengingat (sambil menganalisis dan menalar) tentang hal ihwal yang berkait dengan konteks. Arsip tutur ini saya kategorikan sebagai Dokumen Tingkat 3, atau DT-3.

 Arsip tutur itu tentu saja harus didapat dari narasumber terpercaya. Mereka adalah pelaku sejarah, atau orang-orang yang berada di samping terdekat pelaku sejarah. Ingatan narasumber itu kemudian ditarik keluar lewat percakapan (santai atau wawancara resmi), agar menjadi perkataan, dan ditulis sebagai data dan deskripsi fakta. Atau bahkan Dokumen Tingkat 4 atau DT-4, apabila data dan fakta “hanya” terungkap dalam selipan tutur cerita. 

Berkait dengan itu saya teringat tutur Affandi : “Saya ini bodo. Lha wong bodo kok disuruh menunjukkan arsip. Kalau saudara mau data, tanya-tanya saja, saya akan beri cerita.” Cerita itulah yang disebut arsip-tutur. Walaupun banyak orang tahu bahwa “si bodo” Affandi termasuk penyimpan dokumen yang tidak buruk. 

Mungkin dalam dunia akademis arsip-tutur DT-3 dan DT-4 ini kurang absah, karena posisinya agak jauh dengan DT-1 atau DT-2. Namun dalam kenyataannya arsip-tutur bisa dipakai sebagai jalan untuk menuju kepada DT-2, bahkan melompat ke DT-1.

Contohnya : pada menjelang 1990 saya menemukan foto Basoeki Abdullah sedang menyelesaikan lukisan Jika Tuhan Murka, pada 1950. Di sisi Basoeki tampak isterinya, Maria Michel alias Maya. Dari foto itu Basoeki lalu membuka arsip-tuturnya, dengan sedikit bercerita kepada saya. Dikatakan bahwa Jika Tuhan Murka adalah lukisan yang difungsikan guna melunakkan hati Maya, yang pernah mencurigai dirinya pernah “membocorkan informasi rahasia”, yang merugikan pemerintah Belanda. Lalu terungkaplah sebuah “dokumen besar” : Basoeki pernah dicurigai sebagai pembocor rahasia politik. 

Basoeki Abdullah dan Maria Michel di hadapan lukisan “Bila Tuhan Murka”. Menurut penuturan Basoeki, lukisan itu adalah “visualisasi sumpah”nya kepada Maria, bahwa dirinya bukan seorang informan atau mata-mata. (Foto : Arsip Agus Dermawan T.)

DT-4 ini sedikit menemukan koridor ketika saya rujuk kepada tulisan jurnalis bernama Marhaen yang dimuat suratkabar Asia Raja medio Agustus 1950. Dalam tulisan yang berkait dengan pameran Basoeki di Hotel des Indes, Jakarta, itu Marhen menulis : “Seakan-akan keluh kesah semata jang kita dengar dari mulut Basoeki…..Kepahitan mana sebetulnja berdasar pula pada alasan-alasan psychologis jang ditimbulkan oleh adanja perselisihan politis dan militer antara bangsa Indonesia dan Belanda,” tulis Marhaen. 

Penuturan Basoeki Abdullah kepada saya, plus tulisan Marhaen yang samar-samar, beserta foto yang termaksud, lantas dikonfirmasi oleh Dutasena (famili Basoeki, staf galeri Basoeki Abdullah) kepada pejuang kemerdekaan Jusuf Ronodipuro dan kepada sejarawan Solichin Salam. Hasilnya adalah cerita ini.

Basoeki memang dicurigai memberikan info rahasia kepada Sukarno, Rum, serta Sultan Hamid Algadrie (wakil dari Biejeenkomst voor Federal Overleg), dalam rangka KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag pada Agustus-September 1949. Pembocoran info rahasia tersebut (dianggap) jalin-menjalin dengan pembentukan Komisi Timbang Terima dari tangan Belanda ke Indonesia di Yogyakarta pada 10 Juni 1949 yang melibatkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, sahabat Basoeki. Indikator lain yang (dianggap) menegaskan “keinformanan” Basoeki adalah : untuk menyambut KMB itu Basoeki menggelar pameran di Victoria Hotel, Amsterdam, dengan karya-karya bernada patriotik pro Indonesia, dan tidak pro Belanda. 

Kasak-kusuk ini meresahkannya Maya, yang tentu saja sangat pro Belanda. Ia minta kepada Basoeki untuk membuktikan bahwa tuduhan itu tidak benar. Tapi bila benar, ia minta cerai! Basoeki, yang sangat dekat dengan kalangan Istana Soestdijk, tentulah tidak pernah mengaku. Apalagi DT-1 ihwal itu tidak pernah ada. 

Untuk menunjukkan bahwa dirinya bukan manusia yang suka berbuat dosa dan bermain mata-mata, Basoeki lantas menciptakan lukisan yang berkisah tentang neraka (adaptasi dari lukisan John Martin). Basoeki menunjukkan kepada Maya bahwa nasib seorang mata-mata akan berujung di neraka jahanam seperti itu. 

Maka, tanpa disulut penuturan Basoeki yang bersumber dari foto itu, tidak mungkin muncul sejarah keterlibatan Basoeki dalam dunia mata-mata politik Indonesia-Belanda.

Contoh yang lain. Dullah, Pelukis Istana Presiden Sukarno periode 1950-1960 bertutur : bahwa Presiden dan dirinya telah membuat konsep kuratorial pemajangan lukisan di setiap Istana, pada 1955. Istana Negara dengan  lukisan bertema alam budaya Indonesia dan mancanegara. Istana Merdeka dengan tema perjuangan. Istana Bogor dengan tema perempuan. Istana Yogya dengan tema sosok kepahlawanan. Dan Presiden Sukarno juga menentukan karya-karya yang dipajang.

Karya seni di Istana Kepresidenan Republik Indonesia. Lewat penuturan Dullah diketahui bahwa Sukarno juga “kurator seni Istana” sejak tahun 1955. (foto : Arsip Agus Dermawan T.)

Sampai sekarang saya belum menemukan DT-1 atau DT-2 yang menuliskan dasar-dasar kuratorial penting itu, kecuali arsip-tutur Dullah, yang kemudian ditegaskan oleh Lim Wasim, pelukis Istana selanjutnya. Namun hal itu akhirnya sedikit terkuak pada pameran koleksi Istana Presiden Senandung Ibu Pertiwi pada Agustus 2017. Pameran itu memajang dokumen kecil (koleksi Anissa Rahadi, diambil dari Cornell Rare Manuscript Collection) yang berupa surat Claire Holt.

Dalam surat yang ditulis pada tengah Februari 1957 tersebut Holt menulis pengalaman kunjungannya ke Istana Negara, Istana Merdeka pada 9 Februari, dan Istana Bogor pada 10 Februari. Di situ ia menulis bahwa di Istana Merdeka Holt melihat lukisan Henk Ngantung, Sudjojono, Trubus, Affandi, Kartono Yudhokusumo sampai Sudjana Kerton, yang semua bertema perjuangan. Juga karya Mochtar Apin yang menggambarkan pahlawan Husni Thamrin. 

Lukisan Sudjojono, “Kepala Gombal”, 1982. Selama berbelas tahun lukisan ini disalah tafsirkan sebagai kritik atas kepemimpinan korup pejabat Orde Baru. Pada tahun 2000-an tafsir tersebut diluruskan oleh penuturan Sudjojono : “Kepala Gombal” sebenarnya hanya mengeritik petugas PLN, yang berhari-hari mematikan listrik di rumah Sudjojono. (Foto : Agus Dermawan T.)

Di Istana Negara ia melihat lukisan Abdullah Suriosubroto, Surono, sampai lukisan Soedibio berjudul Potret Sumilah yang surealistik, dengan bayang-bayang penari srimpi, ikon budaya Jawa. Dalam jajaran tema lukisan yang beragam, tampak lukisan Jawa-tua, yang oleh Holt dicatat sebagai junjungan kepada Ki Hadjar Dewantara. Di sini juga terpajang lukisan Rudolf Bonnet yang menggambarkan keluarga di Itali.

Untuk kunjungan di Istana Bogor Holt mencatat : “Di dinding ada sepotong kepala dan perut wanita terbuat dari batu Gandhara, yang menurut presiden “cantik”, dan dirasa presiden selalu memeluknya… Sementara di atas meja terpajang patung tubuh wanita yang mempesona.”

Dalam kunjungan ke Istana Presiden itu Holt dipandu oleh Dullah, yang menjelaskan dasar-dasar kuratorial untuk setiap Istana. Kita tahu, Holt adalah peneliti seni dari Cornell University, Amerika Serikat, penulis buku Art in Indonesia – Continuities and Change (1967).

Materi baru di luar media massa dan buku

Dari arsip tutur itu pencatat sejarah akan memperolah materi baru. Materi yang berfungsi sebagai dokumen asal-usul dan dokumen pelengkap dari semua yang tertulis dalam berbagai manuskrip, catatan jurnalistik atau buku. Sebagai contoh : tanpa arsip tutur, kita tidak pernah tahu bahwa pada sejumlah momentum seni rupa, Presiden Sukarno pernah berpidato seperti berikut ini. 

 “Saudara-saudara, nama-nama ini perlu dicatet, karena pelaku budaya Tionghoa bukan cuma kolega, bukan cuma vrienden, tetapi adalah bagian yang menyatu dari kita semua, bangsa Indonesia yang terus bergerak menuju kemajuan. Sebagai realiteit broederschap!” (Pidato Presiden Sukarno pada acara pameran perkumpulan pelukis Tionghoa Yin Hua tengah 1950-an. Dituturkan CM Hsu, pengurus perkumpulan Yin Hua.)  

“Tentu baik apabila engkau memahami konotasi kritis sinikal yang dilontarkan pengamat seni nasionalis. Lantaran itu adalah bagian dari artistiek idealistich discours. Tetapi mestinya engkau juga melihat dan merasakan benar betapa Tanah Air yang kau lihat itu memang mooi, memang jelita. Dan bukankah engkau tidak ingin mengkhianati mata dan pikiranmu?” (Reaksi Presiden Sukarno atas gerakan anti Mooi Indie yang berlangsung sejak menjelang tahun 1940-an. Dituturkan oleh Dullah, Pelukis Istana Presiden Sukarno 1950-1960.)

“Saya kataken bahwa sejuk dan panas, lembut dan keras, baik dan buruk, adalah sifat Rwa Bhineda. Adalah sifat dasar dari keseimbangan alam dalam kosmologi Bali. Maka, apabila diumpamaken yang hitam dalam poleng itu sebahagian dari karakter politik, maka yang putih adalah seluruhnya dari karakter seni, atau alles mooi en artistiek. Maka, jangan sampai yang hitam menaklukken yang putih.” (Ucapan Presiden Sukarno di tengah acara pameran Pita Maha di Ubud, Bali, tengah tahun 1950-an. Bagai ditirukan oleh Rudolf Bonnet, dan sering diulang tutur oleh budayawan AAM Djelantik dan Suteja Neka, pendiri Museum Neka, Ubud, Bali.) 

Lukisan “on the spot” Ida Bagus Made Widja, “Masyarakat Bali Menyambut Kedatangan Sukarno dan Hatta”. Padahal, menurut penuturan Widja sebenarnya yang datang ke Bali kala itu hanya Presiden Sukarno saja.

Detil lukisan Widja, yang mengkhayalkan Sukarno dan Mohamad Hatta duduk berdampingan. (Foto : Agus Dermawan T.)

Presiden Sukarno dan Presiden AS John F Kennedy. Siapa yang terlebih dahulu berkata : “puisi membersihkan kekotoran politik.” (Foto : Arsip Agus Dermawan T.)

Arsip tutur ini menjelaskan bahwa ucapan Presiden John F Kennedy tahun 1960-an, “Bila kekuasaan politik itu kotor, maka puisi yang membersihkan”, sudah didahului Sukarno pada 1950-an.

Kini : perangkat digital

Ihwal arsip, Pak De Google bertutur untuk zaman sekarang : Arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima. Apabila dulu arsip tertulis, kini bisa berupa rekaman, audio, video serta foto-foto. Dan penyimpanannya tak lagi dalam “archium”, namun dalam berbagai perangkat digital yang serba praktis. 

Tentu banyak yang berharap, para perupa dan perkumpulan perupa generasi sekarang gemar berarsip-ria, dengan keragaman mediumnya. Sekalian dengan berbagai tingkatan dokumennya : DT1, DT2, DT3, DT4, dan seterusnya.

Akhirul tutur, perupa yang ogah berarsip dan kurang suka bertutur, akan jadi obyek hoax para penulis seni yang malas mengais arsip, tapi gemar mengada-ada dengan buku-buku (asing) yang mendadak muncul di hadapannya. Akibatnya, sejarah seni rupa akan melenceng ke mana-mana. ***

Agus Dermawan T.
Kritikus. Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden RI.