Kitab Nahum: Kebinasaan dan Jalur Gaza (2)

Oleh Tony Doludea

Disebutkan bahwa Allah memerintahkan Yunus bin Amitai (793-753 SM) untuk pergi ke Niniwe, kota yang besar itu. Untuk berseru dan menyampaikan firman Allah karena kejahatan mereka telah sampai kepada TUHAN. 

Niniwe, kota yang sangat mengagumkan besarnya, tiga hari perjalanan luasnya, sekitar 100 KM keliling. Berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tidak dapat membedakan tangan kanan dari tangan kiri.

Atas perintah Allah itu Yunus justru melarikan diri ke Tarsis, jauh dari hadapan TUHAN. Yunus menolak memberitakan kasih TUHAN kepada Niniwe. Karena Niniwe adalah musuh dan ancaman besar, yang dapat menghancurkan bangsa Israel, umat pilihan Allah.

Ia pergi ke Yafo dan mendapat sebuah kapal, yang akan berlayar ke Tarsis. Ia membayar biaya perjalanannya, lalu naik kapal itu, jauh dari hadapan TUHAN. 

Tetapi angin ribut datang, lalu terjadilah badai besar. Sehingga kapal itu terpukul nyaris hancur. Awak kapal menjadi takut, mereka berteriak-teriak kepada allahnya masing-masing sambil membuang segala muatan kapal ke dalam laut untuk meringankannya.

Tetapi Yunus malah turun ke dalam ruang kapal yang paling bawah dan tidur nyenyak di situ. Kemudian nakhoda kapal itu membangunkannya, “Bagaimana mungkin engkau tidur begitu nyenyak? Bangunlah, berserulah kepada Allahmu, barangkali Allahmu itu mau mendengar, sehingga kita tidak binasa.”

Yunus lalu berseru kepada mereka, “Aku seorang Ibrani, aku takut akan TUHAN, Allah yang menciptakan langit, yang telah menjadikan lautan dan daratan.” Orang-orang itu menjadi sangat takut, lalu berkata kepadanya, “Apa yang telah kauperbuat?” Sebab orang-orang itu tahu bahwa ia melarikan diri, jauh dari hadapan TUHAN Allah. 

Sahut Yunus, “Karena akulah badai besar ini menyerang kamu. Angkatlah dan campakkanlah aku ke dalam laut, maka laut akan reda dan tidak menyerang kamu lagi.” 

Kemudian mereka mengangkat Yunus dan mencampakkannya ke dalam laut, lalu laut berhenti mengamuk. Orang-orang itu menjadi sangat takut kepada TUHAN. Maka atas kehendak TUHAN datanglah seekor ikan besar dan menelan Yunus dan tinggal di dalam perut ikan itu tiga hari tiga malam lamanya.

Niniwe (sekarang Mosul, Irak) adalah salah satu kota kuno dalam sejarah dunia, yang telah ada antara 6000 SM sampai 3000 SM. Awalnya dikenal sebagai Ninua, pusat perdagangan dan pusat agama yang penting bagi penyembah Ishtar, dewi kesuburan.

Niniwe berawal di bawah kekuasaan Shamashi Adad I (1813-1791 SM) penguasa Asyur. Namun mencapai puncak kejayaannya pada pemerintahan Sanherib (705-681 SM), raja Asyur yang paling termasyhur. Kemudian Niniwe hancur pada 612 SM oleh serangan kekuatan gabungan Babel dan Media.

TUHAN Allah mengutus lagi Yunus untuk menegur Niniwe, supaya mereka bertobat dari segala kecongkakannya. Setelah mendengar Firman yang disampaikan Yunus, Niniwe bertobat, raja mengenakan kain kabung dan duduk di abu. 

Ia memerintahkan semua orang dan ternak, berselubung kain kabung dan berseru dengan keras kepada Allah, serta masing-masing berbalik dari tingkah lakunya yang jahat dan dari perbuatan kekerasan. 

Semua manusia dan ternak, lembu sapi dan kambing domba tidak boleh makan apa-apa, tidak boleh makan rumput dan tidak boleh minum air. Ketika Allah melihat perbuatan mereka itu, maka Ia menyesal dan berbalik menyayangi Niniwe.

********

Ketakutan Yunus atas kasih TUHAN kepada Niniwe itu ternyata terbukti. Hampir seratus tahun kemudian. Pada 721 SM di bawah Raja Salmaneser V (727-722 SM), pasukan Asyur merebut Samaria, ibu kota Kerajaan Israel Utara. Semua penduduknya ditawan dan dibuang ke dalam pengasingan. 

Orang-orang Asyur sangat terkenal dengan kekejamannya. Hiasan-hiasan dalam istana-istana mereka yang megah itu menggambarkan mereka sedang menjarah, membakar dan menghancurkan negeri demi negeri. Mereka membanggakan diri telah membalut sebuah tiang dengan kulit dan kepala musuh-musuhnya. Musuh-musuh mereka bakar, cungkil mata, potong hidung, telinga dan jari-jari mereka.

Salmaneser V digantikan oleh Sargon II (721–705 SM), Sennacherib (705–681 SM), Esarhaddon (681–669 SM) dan Ashurbanipal (669–627 SM). Raja Asyur terakhir adalah Sinsharishkun pada 612 SM jatuh ke tangan Babel dan Media. Kitab Nahum menuliskan nubuatan kejatuhan bangsa Asyur ini.

Banyaknya kejahatan dan kekejaman di atas memberi petunjuk bahwa pertobatan yang mereka alami pada zaman Yunus itu tidak sempat bertahan lama. Pada masa pelayanan Nahum, kota Niniwe telah kembali kepada keberdosaannya. Tidak mengherankan jika nubuatan yang disampaikan Nahum tidak bernada pertobatan, melainkan penghukuman.

Pada pemerintahan Ashurbanipal itu, Nahum atas perintah TUHAN bernubuat kepada Niniwe.

“TUHAN itu Allah yang cemburu dan pembalas, TUHAN itu pembalas dan penuh kehangatan amarah. TUHAN itu pembalas kepada para lawan-Nya dan pendendam kepada para musuh-Nya. TUHAN itu panjang sabar dan besar kuasa, tetapi Ia tidak sekali-kali membebaskan dari hukuman orang yang bersalah. Ia berjalan dalam puting beliung dan badai dan awan adalah debu kaki-Nya. Ia menghardik laut dan mengeringkannya dan segala sungai dijadikan-Nya kering. Basan dan Karmel menjadi merana dan kembang Libanon menjadi layu. Gunung-gunung gemetar terhadap Dia, dan bukit-bukit mencair. Bumi menjadi sunyi sepi di hadapan-Nya, dunia serta seluruh penduduknya. Siapakah yang tahan berdiri menghadapi geram-Nya? Dan siapakah yang tahan tegak terhadap murka-Nya yang bernyala-nyala? Kehangatan amarah-Nya tercurah seperti api, dan gunung-gunung batu menjadi roboh di hadapan-Nya. TUHAN itu baik; Ia adalah tempat pengungsian pada waktu kesusahan; Ia mengenal orang-orang yang berlindung kepada-Nya dan menyeberangkan mereka pada waktu banjir. Ia menghabisi sama sekali orang-orang yang bangkit melawan Dia dan musuh-Nya dihalau-Nya ke dalam gelap.” 

(Nahum 1: 2-8)

Nubuat Nahum tentang hukuman atas Niniwe ini diawali dengan ungkapan bahwa Allah itu cemburu dan pembalas, TUHAN itu pembalas dan penuh kehangatan amarah. TUHAN itu pembalas kepada para lawan-Nya dan pendendam kepada para musuh-Nya.

Allah yang pekerjaan-Nya sempurna, segala jalan-Nya adil, yang setia, dengan tiada kecurangan, adil dan benar. Adalah Allah yang juga cemburu dan pembalas, pembalas dan penuh kehangatan amarah kepada para lawan-Nya dan pendendam kepada para musuh-Nya.

Niniwe adalah musuh dan lawan Allah karena mereka mencintai dosa, tidak taat dan tidak benar. Allah telah memberi kesempatan bagi mereka untuk bertobat, ketika Ia mengutus Yunus untuk mengingatkan mereka atas penghukuman-Nya. Namun pertobatan Niniwe itu tidak berumur panjang, kini saatnya Allah mencurahkan murka-Nya atas mereka.

Tetapi amarah dan pembalasan Allah kepada Niniwe ini merupakan sisi yang tidak dapat dipisahkan sisi yang lain dari sifat-Nya yang panjang sabar dan besar kuasa. Meskipun demikian Ia tidak sekali-kali membebaskan orang yang bersalah dari keadilan kasih-Nya.

Nahum menggambarkan murka Allah itu bernyala-nyala. Kehangatan amarah-Nya tercurah seperti api sehingga gunung-gunung batu roboh di hadapan-Nya. Dengan amarah-Nya Allah berjalan dalam puting beliung dan badai, dan awan adalah debu kaki-Nya. Ia menghardik laut dan mengeringkannya, dan segala sungai dijadikan-Nya kering. 

Basan, Karmel dan Libanon adalah daerah paling subur saat itu, menjadi merana dan layu. Gunung-gunung gemetar dan bukit-bukit mencair. Ia menghabisi sama sekali orang-orang yang bangkit melawan Dia dan musuh-Nya dihalau-Nya ke dalam gelap. Bumi, dunia serta seluruh penduduknya menjadi sunyi sepi di hadapan-Nya.

Namun Allah yang murka itu adalah juga Allah sebagai tempat pengungsian pada waktu kesusahan, Ia mengenal orang-orang yang berlindung kepada-Nya dan menyeberangkan mereka pada waktu banjir.

Dalam budaya masa kini, pengadilan Allah seperti itu dinilai sebagai salah satu ajaran yang paling ofensif. Sehingga hal ini menjadi sulit diterima oleh sebagian besar orang.

Pada pasal 3 Kitab Nahum, TUHAN membeberkan bukti dan alasan mengapa Allah melawan dan memusuhi Niniwe dan mengapa mereka harus mendapat murka-Nya. 

“Celakalah kota penumpah darah itu! Seluruhnya dusta belaka, penuh dengan perampasan dan tidak henti-hentinya penerkaman! Dengar, lecut cambuk dan derak-derik roda! Dengar, kuda lari menderap dan kereta meloncat-loncat! Pasukan berkuda menyerang, pedang bernyala-nyala dan tombak berkilat-kilat! Banyak yang mati terbunuh dan bangkai bertimbun-timbun! Tidak habis-habisnya mayat-mayat, orang tersandung jatuh pada mayat-mayat! Semuanya karena banyaknya persundalan si perempuan sundal, yang cantik parasnya dan ahli dalam sihir, yang memperdayakan bangsa-bangsa dengan persundalannya dan kaum-kaum dengan sihirnya. Lihat, Aku akan menjadi lawanmu, demikianlah firman TUHAN semesta alam; Aku akan mengangkat ujung kainmu sampai ke mukamu dan akan memperlihatkan auratmu kepada bangsa-bangsa dan kemaluanmu kepada kerajaan-kerajaan. Aku akan melemparkan barang keji ke atasmu, akan menghina engkau dan akan membuat engkau menjadi tontonan. Maka semua orang yang melihat engkau akan lari meninggalkan engkau serta berkata: “Niniwe sudah rusak! Siapakah yang meratapi dia? Dari manakah aku akan mencari penghibur-penghibur untuk dia?” Adakah engkau lebih baik dari Tebe, kota dewa Amon, yang letaknya di sungai Nil, dengan air sekelilingnya, yang tembok kotanya adalah laut dan bentengnya adalah air? Etiopia adalah kekuatannya, juga Mesir, dengan tidak terbatas; Put dan orang-orang Libia adalah pembantunya. Tetapi dia sendiripun terpaksa pergi ke dalam pembuangan, terpaksa masuk ke dalam tawanan. Bayi-bayinyapun diremukkan di ujung segala jalan; tentang semua orangnya yang dihormati dibuang undi dan semua pembesarnya dibelenggu dengan rantai. Engkaupun akan menjadi mabuk, akan menjadi tidak berdaya; engkaupun akan mencari tempat perlindungan terhadap musuh. Segala kubumu adalah seperti pohon ara dengan buah ara yang masak duluan; jika diayunkan, maka jatuhlah buahnya ke dalam mulut orang yang hendak memakannya. Sesungguhnya, laskar yang di tengah-tengahmu itu adalah perempuan-perempuan; pintu-pintu gerbang negerimu terbuka lebar-lebar untuk musuhmu; api telah memakan habis palang pintumu. Timbalah air menghadapi pengepungan, perkuatlah kubu-kubumu! Pijaklah lumpur, injaklah tanah liat, peganglah acuan batu bata! Di sana api akan memakan engkau habis, pedang akan membabat engkau, akan memakan engkau seperti belalang pelompat. Sekalipun engkau berjumlah besar seperti belalang pelompat, berjumlah besar seperti belalang pindahan, sekalipun kauperbanyak orang-orang dagangmu lebih dari bintang-bintang di langit, seperti belalang pelompat mereka mengembangkan sayap dan terbang menghilang. Sekalipun para penjagamu seperti belalang pindahan dan para pegawaimu seperti kawanan belalang, yang hinggap pada tembok-tembok pada waktu dingin, namun jika matahari terbit, mereka lari menghilang, tidak ketahuan tempatnya. Celaka! Alangkah terlelapnya para gembalamu, hai raja negeri Asyur! Para pemukamu tertidur, laskarmu berserak-serak di gunung-gunung dan tidak ada yang mengumpulkan. Tiada pengobatan untuk cederamu, lukamu tidak tersembuhkan. Semua orang yang mendengar tentang engkau bertepuk tangan karena engkau; sebab kepada siapakah tidak tertimpa perbuatan jahatmu terus-menerus?” 

 (Nahum 3: 1-19)

Nahum menyatakan bahwa TUHAN murka atas Niniwe karena kota Kerajaan Asyur ini haus darah dan penuh dengan penumpahan darah. Seisi kota seluruhnya berdusta, merampas dan menerkam sesamanya. 

Mereka penuh kekerasan dan suka sekali berperang. Pedang mereka bernyala-nyala dan tombak mereka berkilat-kilat. Banyak orang mati terbunuh dan bangkai bertimbun-timbun. Tidak habis-habisnya mayat-mayat, orang tersandung jatuh pada mayat-mayat itu.

Pesan Nahum adalah bahwa Allah akan membalas bangsa yang kejam terhadap bangsa lain. Allah akan membalas kekejian mereka sesuai dengan takaran beratnya. Dan tidak ada seorangpun yang peduli dan sedih atas keruntuhan Niniwe. Bahkan mereka akan meninggalkannya, sambil berseru “Niniwe sudah rusak”.

Meskipun Niniwe merupakan kerajaan yang sangat kuat dan perkasa, namun itu tidak berguna dan tidak dapat menolongnya serta menghindarkannya dari pengadilan Allah. Rajanya, para pemimpinnya, pasukan dan kekayaannya tidak juga dapat menyelamatkannya. Allah telah menyatakan akan melawannya, Allah akan membawa mereka pada kebinasaan.

********

Setiap tanggal 1 dan 2 bulan Tishrei, bulan ke-7 dalam Kalender Yahudi, mendahului hari raya Yom Kippur yang diperingati tanggal 10 Tishrei. Dalam kalender Masehi jatuh antara bulan September-Oktober, saat matahari terbenam pada 6 September dan 8 September, perayaan hari suci Yahudi Rosh Hashanah dimulai. 

Dalam Kitab Taurat, Imamat 23: 24-25, Tuhan memerintahkan Musa supaya orang Israel merayakan hari pertama bulan ketujuh sebagai hari istirahat dan menandainya dengan tiupan shofar, terompet dari tanduk domba jantan.

Bunyi shofar itu merupakan simbol seruan sedih. Alat musik kuno ini berfungsi sebagai seruan untuk bertobat dan mengingatkan orang-orang Yahudi bahwa TUHAN adalah raja mereka. 

Secara tradisi peniup shofar memainkan empat kumpulan nada, yaitu tekiah, tiupan panjang; shevarim, tiga tiupan pendek; teruah, sembilan ledakan staccato dan tekiah gedolah, tiupan yang sangat panjang. Rosh Hashanah dikenal juga sebagai Yom Teruah, hari dibunyikannya shofar.

Rosh Hashanah adalah Tahun Baru Yahudi, salah satu hari paling suci dalam Yudaisme. Rosh Hashanah, “kepala tahun” atau “tahun pertama” merupakan perayaan untuk memperingati penciptaan dunia dan menandai dimulainya Hari Kekaguman (Aseret Yemei Teshuvah), yaitu waktu 10 hari perenungan dan pertobatan, yang berpuncak pada hari raya Yom Kippur (Hari Pendamaian). Rosh Hashanah dan Yom Kippur adalah dua “Hari Raya Agung” dalam agama Yahudi.

Menurut tradisi, Tuhan menghakimi semua makhluk dalam 10 Hari Kekaguman, antara Rosh Hashanah dan Yom Kippur itu dan memutuskan apakah mereka akan hidup atau mati di tahun mendatang. 

Oleh sebab itu orang-orang memiliki waktu hingga Yom Kippur untuk melakukan teshuvah, pertobatan. Hari-hari itu merupakan waktu untuk berdoa (Tefillah), berbuat baik (Tzedakah), merenungkan kesalahan masa lalu dan menebus (meminta maaf/ampunan) serta memaafkan dan mengampuni kesalahan orang lain (Teshuvah). Rosh Hashanah adalah hari libur yang tenang dan kontemplatif. 

Teshuva (תשובה), berasal dari kata Shuv (שׁוּב) merupakan kata penting di dalam Perjanjian Lama (Taurat), yang digunakan hampir 1050 kali. Shuv berarti berbalik, kembali atau bertobat dari dosa, karena dosa membuat umat-Allah menjauh dan manusia terpisah dari TUHAN Allah. 

Pertobatan merupakan salah satu gagasan utama dan mendasar dalam ajaran Taurat. Konsep ini dikembangkan dalam Kitab Yunus. Pada perayaan Yom Kippur, Kitab Yunus dibacakan seluruhnya di sinagoge.

Ada empat langkah dalam proses pertobatan:

1. Mengakui dan menghentikan sikap dan tindakan yang tidak benar.

2. Secara verbal mengakui sikap dan tindakan jahat tersebut.

3. Menyesali sikap dan tindakan itu. Merenungkan dampak negatif sikap dan tindakan jahat itu baik kepada orang lain maupun diri sendiri.

4. Memutuskan tidak akan pernah lagi mengulang sikap dan perilaku jahat itu. Membayangkan cara terbaik mengatasi hal ini.

Pertobatan menunjukkan terjadinya perubahan sikap hidup yang drastis, yang dapat diamati dan dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya. Pertobatan juga merupakan sebuah proses evaluasi dan pengembangan diri. Pertobatan adalah perubahan hati, pikiran, sikap dan pandangan, berputar balik dari dosa kepada Allah, lalu mengabdi kepada-Nya. 

Kitab Perjanjian Lama menekankan cakupan pertobatan itu melampaui duka cita, penyesalan dan perubahan tingkah laku lahiriah. Dalam keadaan apapun pertobatan yang sejati mencakup merendahkan diri batiniah, perubahan hati yang sungguh dan benar-benar merindukan TUHAN Allah disertai pengenalan yang jelas dan baru tentang diri-Nya dan jalan-Nya.

Pertobatan akan menghasilkan kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Jika buah roh ini tidak nampak dalam diri orang yang mengaku telah bertobat, maka pertobatannya tersebut perlu dipertanyakan. 

Dalam peristiwa-peristiwa itu manusia tidak memiliki andil apa pun. Manusia hanyalah menanggapi, karena Allah telah lebih dahulu bekerja dalam dirinya untuk menghantarnya kepada pertobatan. Allah menarik manusia kepada-Nya dengan daya ilahi yang nyaris dapat ditolak, kadang sepertinya tidak dapat dilawan oleh manusia. Tradisi Taurat percaya bahwa pertobatan itu adalah karya ilahi. 

Tuhan menghendaki supaya setiap orang tidak binasa, namun diselamatkan dan Tuhan hendak mengampuni dan menghapus dosa, serta hendak menghakimi dunia dengan adil agar kerajaan-Nya dapat segera datang.

Sedangkan Yom Kippur (יום כיפור), Hari Penebusan atau Hari Pendamaian dirayakan 10 hari setelah Rosh Hashanah. Kata “kippur” berasal dari kata “kafar”, artinya “tebusan”, yaitu “menebus melalui memberikan hewan kurban untuk menggantikan orang yang bersalah”. Dalam ritual kurban, imam memercikkan darah hewan kurban itu kepada orang yang bersalah, sebagai simbol dosa dan kecemarannya sudah dihapuskan.

Yom Kippur ditetapkan setelah bangsa Israel keluar dari tanah perbudakan Mesir dan tiba di Gunung Sinai, di mana Allah memberi Musa Sepuluh Perintah Allah. Namun saat turun dari gunung itu, Musa mendapatkan bangsa Israel sedang menyembah patung lembu emas. Dengan marah Musa lalu menghancurkan batu yang bertulis Sepuluh Perintah Allah itu. Setelah mereka bertobat dari penyembahan berhala itu, Allah mengampuni dosa Israel dan memberi pengganti Sepuluh Hukum tersebut kepada Musa.

Pada Yom Kippur Allah memberikan pengampunan dosa bagi orang yang bertobat. Maka mereka harus saling memohon ampunan/maaf dan memberi maaf. Karena saling mengampuni adalah tanda paling nyata bahwa TUHAN Allah telah mengampuni mereka semua.

Allah dipercaya mengampuni dosa mereka yang secara sungguh-sungguh bertobat dan memperlihatkan pertobatannya itu dalam perilaku dan perbuatan baik.

Terkait dengan manusia lain dan Allah, pertobatan mensyaratkan pemulihan dan perdamaian. Fokus utamanya adalah permintaan maaf dan pemberian maaf. Ini merupakan ungkapan dalam bentuk perangai dan perilaku, yang mengungkap diri orang yang telah bertobat itu.

Permintaan maaf dan pengampunan adalah penghapusan kejahatan dan pelanggaran dari ingatan orang yang terhina oleh perbuatan tersebut. Saat dihapuskan, kejahatan itu tidak lagi mempengaruhi hubungan antara pelaku dan korban, sehingga keselarasan dan perdamaian dipulihkan di antara mereka.

Ketika orang menyatakan diri bertobat, permintaan maaf adalah langkah berikutnya, diikuti oleh pemberian maaf sebagai tanggapan bebas dari pihak penderita. Karena Tuhan sendiri telah mengajarkan, “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.” (Matius 5: 23-24)

Tanda orang tidak memaafkan dan mengampuni orang yang telah bersalah kepadanya adalah ia menjauh darinya, daripada hidup selaras dan bersama dengannya. Orang ini selalu memikul beban berat, yaitu kepahitan, putus asa dan kekesalam. Maka, orang harus sabar terhadap yang lain dan saling mengampuni seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuninya.

Mengampuni artinya berhenti membenci dan dendam atas kejahatan yang telah dilakukan orang terhadapnya. Ini meliputi memaafkan dan memulihkan hubungan yang telah rusak. Mengampuni dan memaafkan adalah tindakan meninggalkan marah dan sakit hati terhadap orang itu. Karena siapa menutupi pelanggaran, mengejar kasih, tetapi siapa membangkit-bangkit perkara, menceraikan sahabat yang karib. (Amsal 17: 9)

Mengampuni merupakan tindakan yang paradoks, karena orang harus terus berjuang untuk melawan pandangan masyarakat, untuk dapar memahami apa yang sedang terjadi dengan tindakan ini. Menurut Derrida, pengampunan itu hanya bagi sesuatu yang tak terampuni, tak termaafkan. Pengampunan adalah suatu yang tidak mungkin, karena ia hanya mungkin jika mengesampingkan hukum kemungkinan.

Pengampunan adalah sebuah tindakan komunikasi dan relasi, untuk mengampuni, orang yang telah berbuat salah dan kejahatan apa yang telah dilakukannnya harus dinyatakan. Maka kesetaraan, amnesti, rekonsiliasi dan reparasi tidak akan terjadi tanpa acuan dari cakrawala pengampunan yang murni.

Bagi Derrida pengampunan dan pemaafan itu sesuatu yang terjadi di luar ruang persidangan dan peradilan hukum dan undang-undang. Meskipun penjelasan tentang pengampunan itu dapat ditemukan hanya dalam hukum dan undang-undang tersebut dan yang tidak dapat diragukan memiliki hak untuk memberi pengampunan.

Saat korban kejahatan menuntut keadilan, lalu pelaku muncul di ruang sidang, dalam hati ia dapat memberi maaf. Jika korban mengerti, berbicara dan sepakat dengan pelaku, maka saat itu terjadi rekonsiliasi, tetapi bukan pengampunan, bukan pemaafan. Juga saat ia menyatakan tidak memberi maaf, maka proses rekonsiliasi baru saja dimulai. Jika korban, pelaku dan saksi memahami dan mengakui tindakan pelanggaran hukum itu, maka pengampunan telah sirna.

********

Sejak 7 Oktober 2023 hingga memasuki bulan Februari 2024 ini, Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan sedikitnya 26.083 orang tewas dan 64.487 orang luka-luka. 70 persen dari korban jiwa itu adalah perempuan dan anak-anak, 8.000 orang hilang dan 1,7 juta orang telah mengungsi. Sedangkan pejabat Tel Aviv melaporkan sekitar 1.200 orang tewas, sebagian besar warga sipil dan sekitar 250 orang lainnya disandera oleh Hamas di Jalur Gaza.

Pada Kamis 11 Januari 2024, sidang perdana gugatan Afrika Selatan terhadap Israel di Mahkamah Keadilan Internasional (International Court of Justice atau ICJ) telah dilaksanakan. Afrika Selatan membacakan dakwaannya terkait tindakan genosida yang dilakukan Israel terhadap Palestina. Lalu Israel mengajukan bantahannya terhadap tuduhan tersebut.

Pada Jumat 26 Januari 2024, Mahkamah Keadilan Internasional (ICJ) kemudian memutuskan supaya Israel dengan segala daya upayanya mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya genosida terhadap warga Palestina di sana. Israel juga harus mencegah dan menghukum penghasutan untuk melakukan genosida di Jalur Gaza.

Namun Mahkamah Keadilan Internasional (ICJ) tidak mengabulkan permohonan Afrika Selatan terkait gencatan senjata sepihak segera oleh Israel terhadap Hamas di Gaza.

Sekitar 663 SM, Nahum bernubuat tentang kehancuran kota besar Niniwe (612 SM). Nahum menyampaikan pesan Tuhan tentang keruntuhan bangsa Asyur, yang telah membuat banyak bangsa menderita. Bahwa TUHAN murka atas Niniwe karena kota Kerajaan Asyur ini haus darah dan penuh dengan penumpahan darah. Seisi kota itu seluruhnya berdusta, merampas dan menerkam sesamanya. 

Mereka penuh kekerasan dan suka sekali berperang. Pedang dan tombak mereka bernyala-nyala dan berkilat-kilat. Banyak orang mati terbunuh dan bangkainya bertumpuk-tumpuk. Mayat-mayat tertimbun, orang tersandung jatuh pada mayat-mayat itu. 

Nubuatan yang disampaikan Nahum ini tidak bernada pertobatan, melainkan penghukuman. Allah telah menyatakan akan melawan Asyur, Allah akan membawa mereka pada kebinasaan.

Meskipun Niniwe merupakan kerajaan besar, kuat dan perkasa. Tetapi itu tidak sanggup menghindarkannya dari pengadilan Allah. Rajanya, para pemimpinnya, pasukan dan segala kekayaannya tidak akan pernah dapat menyelamatkannya. 

Pesan Nahum tentang kehancuran Niniwe itu bukan untuk menyatakan kekejaman Allah. Melainkan keadilan-Nya, untuk menyatakan pembelaan-Nya terhadap orang yang menderita karenanya.

Nahum mengungkapkan kecongkakan, kesombongan, kekejian dan penindasan yang dilakukan oleh bangsa Asyur. Hal tersebut merupakan dosa berat, yaitu menghina Allah dengan merusak ciptaan-Nya. Nahum mewartakan bahwa penghukuman TUHAN akan segera datang bagi kota yang jahat itu.

Secara biblikal kebinasaan berarti nasib orang fasik, yang tidak memiliki hidup kekal, hidup sejati. Binasa merupakan kebalikan dari hidup sejati. Hidup kekal itu tidak dialami setelah orang meninggal dunia. Hidup kekal dimulai dan dialami orang sejak saat ini, di dunia ini. Sebaliknya dengan kebinasaan, juga sudah dimulai dan dialami sejak saat ini, di dunia ini. 

Kekal tidak hanya terkait dengan kehidupan sesudah mati. Kekekalan itu juga dialami orang yang hidupnya saat ini terpisah dari TUHAN Allah.

Binasa merupakan keadaan yang sangat mengerikan, yang dialami oleh manusia. Keadaan itu tidak dapat digambarkan dengan cara apa pun, dengan kalimat bagaimanapun. Ini adalah kengerian yang yang tidak terbayangkan. 

Binasa itu bukan sekadar lenyap atau hilang, namun “tidak memiliki nilai sama sekali”. Manusia tidak bernilai sama sekali karena ia terpisah dan tidak memiliki hubungan dengan Allah. Ini adalah kedahsyatan yang luar biasa, tidak terbayangkan, kedahsyatan yang tak terkirakan.

Jika orang tidak segan berbuat dosa, melanggar firman Allah, melukai dan merugikan sesama, tidak memiliki beban terhadap penderitaan orang lain. Mencintai diri sendiri, menjadi hamba uang, membual dan menyombongkan diri. Pemfitnah, tidak tahu berterima kasih, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu dan tidak dapat mengekang diri. Secara lahiriah mereka menjalankan agama dan beribadah. Namun orang seperti ini sesungguhnya telah binasa.

——————-

Kepustakaan

Allen, Leslie C. The Books of Joel, Obadiah, Jonah, and Micah. Eerdmans, Grand Rapids, Michigan, 1976.

Bakker, F.L. Sejarah Kerajaan Allah Jilid 1 Perjanjian Lama. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2007. 

Blommendaal, J. Pengantar Kepada Perjanjian Lama. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1979.

Bullock, C. Hassell. An Introduction to the Old Testament Prophetic Books. Moody Publishers, Chicago, 2007.

Christensen, Duane L. Nahum: A New Translation with Introduction and Commentary. Yale University Press, Connecticut, 2009.

Darmawijaya, St. Warta Nabi Sebelum Pembuangan. Kanisius, Yogyakarta, 1990.

Darmawijaya, St. Warta Yunus dan Pesannya. Kanisius, Yogyakarta, 1990.

Darmawijaya, St. Jiwa dan Semangat Perjanjian Lama 2. Warisan Para Nabi. Kanisius, Yogyakarta, 1991.

Derrida, Jacques. On Cosmopolitanism and Forgiveness. Routledge, London, 2001.

Harrison, R.K. Introduction to the Old Testament. Hendrickson Publishers, Illinois, 2004.

Lasor, W.S. Pengantar Perjanjian Lama 2: Sastra dan Nubuat. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994.

Renz, Thomas. The Books of Nahum, Habakkuk, and Zephaniah. Eerdmans, Grand Rapids, Michigan, 2021.

Roberts, J. J. M. Nahum, Habakkuk, and Zephaniah. Westminster John Knox Press, Kentucky, 1991.

Snoek, I. Sejarah Suci. Jakarta: BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1981.

Veitch, J.  Tafsiran Nahum. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1977.  


Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia.