Catatan 1200 Tahun Candi Borobudur

Oleh Budi Murdono 

Minggu lalu, tepatnya 20-22 Januari, saya mengikuti peringatan 1.200 Tahun Candi Borobudur. Acara yang diberi tajuk “Borobudur Meditation Forum” ini diselenggarakan oleh Borobudur Writers and Culture Festival (BWCF) Society bekerjasama dengan Asosiasi Perguruan Tinggi Agama Buddha Indonesia (APTABI) dan Yayasan Dharmayatra Nusantara (Dharmanusa).

Kegiatannya meliputi, antara lain, praktik spiritual yang terkait langsung dengan keberadaan Candi Borobudur, seperti meditasi pagi di pelataran candi, pradaksina mengeliling candi dan puja di puncak candi yang dilaksanakan pagi hari. Kegiatan-kegiatan lainnya adalah ceramah tentang Candi Borobudur, oleh ahli arkeologi dan ahli agama Buddha, serta peluncuran buku mengenai relief Candi Borobudur, yang dilakukan sore hari. Malam harinya, ada sesi meditasi yang dilaksanakan di pusat rekreasi tengah sawah Svarga Bumi.

Selama tiga hari berturut-turut, saya hadir dan berpartisipasi dalam acara tersebut bersama para peminat dari berbagai kalangan, seperti praktisi meditasi, arkeolog, seniman, budayawan, dan komunitas Buddhis dari tiga aliran (Theravada, Mahayana dan Tantrayana), termasuk para bhikkhu/bhiksu, athasilani, samanera dan samaneri.

Meditasi pagi di Lapangan Kenari/Pelataran Candi Borobudur. (1). (Foto: Arsip BWCF)

Meditasi pagi di Lapangan Kenari/Pelataran Candi Borobudur. (2). (Foto: Arsip BWCF)

Meditasi pagi di pelataran Candi Borobudur dilaksanakan selama kurang lebih 60 menit. Pada hari pertama, meditasi dibimbing oleh Bhante Ditthisampanno Thera, Ph.D. dari aliran Theravada. Selesai meditasi, dilakukan ritual pradakasina, mengelilingi dinding-dinding candi, lantai demi lantai hingga dan berhenti di stupa induk candi, tempat para peserta kemudian melakukan puja bhakti yang juga dimpimpin oleh Bhante Dithi. Dalam Puja Bhakti ini, Bhante Dithi membimbing para peserta melantunkan pujian kepada Adi Buddha, Triratna dan Pancatathagatha. Puja bhakti hari pertama ini ditutup dengan pelimpahan jasa: semoga kebjaikan yang telah dilaksanakan dapat mengikis kekotoran batin.

Ritual pradakasina, mengelilingi dinding-dinding candi, lantai demi lantai sampai ke stupa induk. (Foto: Arsip BWCF)

Hari kedua, meditasi pagi dibimbing oleh Acharya Chanyuan dari aliran Mahayana dan dilanjutkan dengan pradaksina mengelilingi candi dan puja bhakti di puncak candi (stupa). Dalam puja bhakti ini, Acharya membimbing peserta menyanyikan mantra kelahiran Amitãbha dan mantra Bhaisajyaguru (Buddha Pengobatan). Acharya juga membimbing peserta membacakan Sumpah Agung Bodhisatva (The 4 Great Vows), Tiga Perlindungan, Doa Cinta Kasih Universal (Metta). Puja bhakti di hari kedua ditutup dengan pelimpahan jasa: semoga semua makhluk bebas dari penderitaan.

Ritual pradakasina di stupa induk. (Foto: Arsip BWCF)

Ritual puja bhakti di puncak candi Borobudur. (Foto : Arsip BWCF)

Hari ketiga, meditasi pagi dibimbing oleh Lama Konchok Norbu dari aliran Tantrayana. Seperti hari-hari sebelumnya, setelah meditasi pagi acara dilanjutkan dengan pradaksina mengelilingi candi dan puja bhakti di puncak candi (stupa). Puja bhakti hari ketiga ini diisi dengan, antara lain, pelantunan Mantra Avalokitesvara dalam bahasa Tibet, Mantra Tara (Om Tare Tuttare Ture Soha) dan Matra Om Mani Padme Hum.

Ceramah-ceramah tentang Borobudur diselenggarakan siang hari di Balkondes Borobudur. Ceramah hari pertama menampilkan Dr. Hudaya Kandahjaya yang secara online memaparkan ceramah berjudul “Borobudur Menurut Prasasti Kayumwungan”. Ceramah hari kedua menampilkan Prof. Noerhadi Magetsari yang materi berjudul “Refleksi 1.200 Tahun Candi Borobudur” dan  pembicara Hendrick Tanuwijaya yang menyampaikan materi tentang Borobudur sebagai pusat peradaban Nusantara. Sesi ceramah hari ketiga diisi dengan ceramah dan peluncuran buku  Karmavibhanga Sutra oleh Drs. Handaka Vijjãnanda, Apt.

Ceramah “Karmavibhanga Sutra” oleh Drs. Handaka Vijjãnanda, Apt.(Foto : Arsip BWCF)

Presentasi Dr. Hudaya Kandahjaya “Borobudur Menurut Prasasti Kayumwungan.” (Foto: Arsip BWCF)

Prof. Dr. Noerhadi Magetsari dalam paparannya tentang “Refleski 1200 tahun Candi Borobudur. (Foto: Arsip BWCF)

Hendrick Tanuwijaya yang menyampaikan materi tentang “Borobudur sebagai pusat peradaban Nusantara.” (Foto : Arsip BWCF)

Meditasi malam hari dilakukan mulai jam 19:30. Di hari pertama, meditasi malam hari dibimbing oleh Upasaka Agus Santoso yang mengajarkan praktik meditasi Zen (Chan). Dalam latihan meditasi Zen ini, Upasaka Agus Santoso membimbing para yogi untuk melakukan body scanning, mengobservasi sensasi (vedana) yang dirasakan pada bagian demi bagian tubuh mulai dari jari-jari kaki sampai ke mahkota kepala. Latihan body scanning ini dilakukan dalam dua posisi berbaringi dan duduk bersila.

Meditasi malam di hari kedua dibimbing oleh Dr. Turita Indah Setyani yang mengajarkan meditasi untuk kesehatan dengan cara mengamati nafas yang keluar dalam posisi kechari mudra (ujung lidah menempel di langit-langit). Di hari ketiga, meditasi malam dibimbing oleh Sister Brenda ie Mc-Rae yang mengajarkan meditasi cinta kasih dan meditasi pemaafan. Selama sesi meditasi ini cinta kasih, Sister Brenda membimbing para yogi untuk memancarkan cinta kasih (metta), pertama kepada diri sendiri dan selanjutnya kepada teman spiritual. Dalam meditasi ini, para yogi dibimbing untuk merasakan kebahagiaan, ketenangan dan kedamaian ketika menebar metta kepada teman spiritual itu. Menyadari bahwa latihan meditasi ini tidak mudah bagi beberapa orang, di akhir sesi meditasi malam ini, Sister Brenda mengajarkan meditasi pemaafan sebagai latihan pembersihan hambatan mental sebelum mempraktikkan meditasi cinta kasih.

Meditasi malam di Svarga Bumi yang dibimbing oleh Upasaka Agus Santoso. (Foto: Arsip BWCF)

Meditasi malam di Svarga Bumi yang dibimbing oleh Dr. Turita Indah Setyani. (Foto: Arsip BWCF)

Meditasi malam di Svarga Bumi yang dibimbing oleh Sister Brenda ie Mc-Rae. (Foto: Arsip BWCF)

Menarik untuk disoroti secara khusus, dua acara ceramah tentang Borobudur yang disampaikan oleh Dr. Hudaya dan Prof. Noerhadi. Materi ceramah Dr. Hudaya  diambil dari bukunya, Borobudur Biara Himpunan Kebajikan Sugata. Intinya, beliau mengaskan bahwa Borobudur adalah sebuah mandala yang dirancang menurut pedoman pembuatan mandala yang ditetapkan oleh guru agama Buddha, Vajrabodhi dan siswanya, Amoghavajra. Lalu, mengapa Borobudur berbentuk seperti sekarang, jawabannya terkait dengan adanya perubahan rancangan arsitekturnya sehingga terjadi perubahan-perubahan signifikan di bagian puncak dan bawah Borobudur. Perubahan rancangan arsitektur ini dapat dilihat dari adanya alas teratai besar yang sekarang tertimbun di bawah tiga teras melingkar dan kaki asli yang sekarang tertutup lapisan kokoh batuan yang membentuk sebuah lantai tambahan bagi Borobudur. Namun, samping itu, perubahan arsitektur itu juga terbaca pada sajak yang tertulis pada prasasti Kayumwungan. Dari teks prasasti Kayumwungan yang telah diterjemahkan kembali oleh Dr. Hudaya sendiri, tersirat adanya  konflik karena penolakan terhadap rancangan semula. Situasi konflik ini diselesaikan oleh Raja Samaratunga dengan memodifikasi rancangan arsitektur tersebut hingga menjadi seperti yang sekarang ini.

Mereka yang sudah membaca buku  “Borobudur Biara Himpunan Kebajikan Sugata” tentu tidak merasa asing dengan pemaparan Dr. Hudaya. Tidak ada yang baru dari pemaparan Dr. Hudaya, kecuali adanya foto-foto kondisi Venuvana dan Kutagara sekarang. Venuvana (hutan bambu) adalah tempat di Vaisali, India, yang disebut-sebut dalam prasasti Kayumwungan sebagai tempat yang mulia dan Borobudur “serupa dengan Venuvana yang mulia” itu.

Buku “Borobudur Biara Himpunan Kebajikan Sugata” yang ditulis oleh Dr. Hudaya Kandahjaya. (Foto : Arsip BWCF)

Sedangkan Kutagara adalah nama tempat dekat kota Rajagraha, Bihar, India, yang disebut-sebut dalam kitab Lalitavistara dan Gandavyūha  yang visualisasinya terpahat pada dinding-dinding relief candi Borobudur. Kutagara dipandang setara dengan teras-teras melingkar di Borobudur.

Sementara itu, dalam ceramahnya, Prof. Noerhadi menjelaskan, untuk memahami Borobudur diperlukan teks yang mudah dibaca, dan teks itu tersedia dalam  kitab Sañ Hyañ Kamahàyànikan yang  ditulis sejaman dengan masa pembangunan candi Borobudur (abad ke 8).

Dari wujudnya, Borobudur terbagi atas bagian-bagian kaki, badan dan puncak, dan Prof. Noerhadi membatasi pembahasan hanya pada badan candi di mana terletak relief dan arca Buddha. Relief-relief yang terdapat di dinding-dinding candi dapat diidentifikasikan sebagai penggambaran atas isi kitab-kitab Mahayana yang terdiri atas Karmavibhañga, Lalitavistara, Jātaka, Avadāna,  Gandavyūha danBhadracari. Sementara arca-arca Buddha yang terdiri atas Buddha Amitabha, Buddha Aksobhya, Buddha Vairocana, Buddha Amogasiddhi dan Ratna Sambhawa bersumber dari kitab Tantrayana, khususnya Guhyasamãja. Berdasarkan kitab Sañ Hyañ Kamahàyànikan, dapat diidentifikasikan bahwa kelima arca tersebut merepresantasikan lima Tathãgata (pancatathãgata). Yang tidak nampak pada arca-arca Buddha di Candi Borobudur adalah arca-arca yang merepresentasikan Ratna Trayaya yang di dalam kitab Sañ Hyañ Kamahàyànikan mewujud dalam Buddha Sãkyamuni (yang melahirkan Buddha Vairocana), Buddha Avalokitesvara (yang melahirkan Buddha Aksobhya dan Ratna Sambhawa) dan Buddha Vajrapãni (yang melahirkan Buddha Amitãbha dan Buddha Amogasiddhi). Di sinilah terdapat perbedaan pandangan antara Prof. Noerhadi dan Dr. Hudaya terkait keberadaan arca-arca Ratna Trayaya.

Kitab Sañ Hyañ Kamahàyànikan terjemahan Dr. Hudaya Kandahjaya. (Foto : Arsip BWCF)

Berdasarkan pengamatannya terhadap bentuk stupa yang berbeda-beda di teras melingkar lantai atas candi Borobudur, Dr. Hudaya berkesimpulan bahwa arca-arca Buddha dalam stupa di lantai melingkar teratas itu menampilkan Buddha Sãkyamuni dan arca-arca dalam stupa di dua lantai melingkar di bawahnya adalah Buddha Avalokitesvara dan Buddha Vajrapãni. Sementara itu, Prof. Noerhadi berpendapat, arca-arca Ratna Trayaya memang tidak terdapat di candi Borobudur, melainkan di tempat lain, yaitu di candi Mendut yang jaraknya kurang lebih 5 km dari candi Borobudur.

Candi Mendut memiliki keterkaitan yang kuat dengan candi Borobudur. Sebagaimana diketahui, antara candi Mendut dan candi Borobudur terbenuk garis lurus dengan candi Pawon berada persis di tengah keduanya. Candi Pawon sendiri yang terletak di dusun Brajanalan, menurut Prof. Noerhadi keberadaanya terkait erat dengan ritual abhiseka (inisiasi) yang melibatkan ritual vajranala, yaitu menyalakan badan hingga menjadi vajra (intan) atau menyalakan mata hingga menjadi vajracaksu (mata intan). Dari keterkaitan antara Borobudur, Mendut dan Pawon ini, dapat disimpulkan bahwa dari segi ritual dan ajaran, candi Borobudur tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari satu komplek percandian yang sangat besar (mahavihara).

Terkait dengan pertanyaan apakah Borobudur merupakan sebuah mandala, Prof. Noerhadi dengan tegas menyatakan bahwa Borobudur adalah sebuah mandala, tepatnya mandala Vairocana. Namun, untuk dapat melihat penampakan Borobudur sebagai mandala, seseorang harus melalui ritual abhiseka yang dimulai dengan penghormatan kepada Ratna Trayaya di candi Mendut, lalu ritual vajranala di candi Pawon agar dapat memiliki vajracaksu, dan terakhir menuju candi Borobudur untuk melakukan meditasi perenungan terhadap rupa skandha sesuai dengan fungsi Borobudur sebagai mandala Vairocana.

Acara peringatan 1.200 tahun Candi Borobudur ini berjalan cukup lancar, meskipun sesi meditasi, pradaksina dan puja di area dalam candi selalu diiringi hujan gerimis. Beberapa yogin menggunakan jas hujan, bahkan payung, selama meditasi, pradaksina dan puja bhakti, terutama di hari kedua dan ketiga.😊 Sebagai acara yang  memadukan aktivitas spiritual dan intelektual serta melibatkan guru agama, guru meditasi, akademisi dan peneliti, acara ini cukup menarik. Namun, di samping itu, acara ini juga mengandung unsur rekreatif dan pengetahuan praktis lainnya dengan adanya sesi demo masak masakan vegan di sela-sela sesi cermah dan meditasi. Para peserta selain dapat mencicipi makanan Vegan yang dimasak oleh chef Joschi Saadeekhun, juga mendapat pengetahuan tentang “vegetarianisme” dari Samaneri Shimacarini.

Demo masakkan vegan oleh chef Joschi Saadeekhun.(1). (Foto : Arsip BWCF)

Demo masakkan vegan oleh chef Joschi Saadeekhun.(2). (Foto : Arsip BWCF)

Acara Borobudur Meditation Forum ini merupakan persiapan bagi acara puncak Peringatan 1.200 Tahun Candi Borobudur yang akan dilaksanakn pada 26 Mei 2024 di Borobudur, sesuai dengan penanggalan yang tertera pada prasasti Kayumwungan. Semoga acara puncak nanti dapat berjalan dengan lebih menarik, lebih mencerahkan dan lebih lancar lagi, dan saya berharap dapat berpartisipasi lagi di dalamnya.

—-

Budi Murdono adalah pengajar  yoga-meditasi freelance