Stupa Ber-Chattra Di Goa Gajah Bali

Oleh Sramanera Guna Sagara

Situs Goa Gajah bertempat di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Bali. Keberadaan situs ini pertama kali diwartakan oleh L.C. Heyting di buletin arkeologi pemerintah Hindia Belanda, Oudheidkundig Verslag (OV) tahun 1923. Lalu pada tahun 1925, Stutterheim melakukan survei lebih lanjut dan melaporkannya lewat media yang sama. Namun, keduanya belum menuliskan tentang keberadaan stupa.

Stutterheim baru memberitakan keberadaan peninggalan Buddhis dari Goa Gajah secara lebih detil pada karyanya, Oudheiden van Bali, yang terbit pada tahun 1929-1930. Di sana ia menceritakan penemuannya pada tahun 1928 akan sebuah ceruk tersembunyi di tengah tumbuh-tumbuhan lebat, yang di dalamnya terdapat pahatan chattra 13 lapis di permukaan ceruk yang telah runtuh.

Gambar reruntuhan stupa tunggal dengan chattra 13 lapis (sumber: Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Bali.

(sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id )

Gambar reruntuhan stupa bercabang tiga (sumber: Digital Collections of Leiden University, No. P-045270)

Setelah dilakukan penelitian lanjutan, diketahui bahwa di bagian selatan situs terdapat dua struktur utama stupa, yakni stupa bercabang tiga dan stupa tunggal. Kesemua stupa tersebut diukirkan lengkap dengan chattranya.

Gambar rekonstruksi percobaan stupa cabang (sumber: Sridanti, 1985:266)

Selain itu, ditemukan pula stupa-stupa yang ukurannya lebih kecil di depan pintu masuk goa. Stupa-stupa itu juga memiliki chattra, namun dengan jumlah tingkatan yang lebih sedikit.

Stupa di depan goa (sumber: dokumentasi pribadi)

Goris, seorang ahli sejarah Bali merujuk kata “antakunjarapada” dari prasasti-prasasti sebagai Goa Gajah. Ia menemukan prasasti Dawan yang berasal dari tahun 975 Masehi dan prasasti Pandak Bandung dari tahun 993 Masehi. Kata “kunja” di dalamnya bermakna gajah. Terdapat pula nama Er Gajah yang bermakna “air gajah” atau “sungai gajah”. Seperti diketahui bahwa situs ini berada di pinggir sungai Petanu dan juga memiliki kompleks petirtaan yang identik dengan air. Prasasti yang dirujuk adalah prasasti raja Marakata dari tahun 1022 M serta prasasti Sri Mahaguru dari tahun 1324 M.

Ada nama lain yang memiliki kata gajah, yakni “Lwa Gajah”. Lwa Gajah muncul dalam teks kakawin Desawarnana (yang lebih dikenal dengan nama Nagarakrtagama) dari tahun 1365 Masehi, pupuh 14 bait 3 dan pupuh 79 bait 3. Desawarnana menyebutkan Lwa Gajah sebagai tempat berdiamnya Boddhadhyaksha. Berdasarkan pernyataan ini diketahui bahwa Lwa Gajah memiliki ciri Buddhis di dalamnya. Hal ini sejalan dengan temuan-temuan yang ada di sana.

Hubungan antara Goa Gajah dan Candi Borobudur

Stupa dari Goa Gajah memiliki ciri payung yang kecil di bawah lalu semakin besar ke atas sampai ke tengah. Kemudian dari tengah menuju ke puncaknya ukuran payungnya semakin kecil. Bentuk chattra seperti ini rupanya dapat ditemukan juga di candi Borobudur.

Gambar stupa berchattra dari Borobudur, relief 98 dari tingkat 2, tembok dalam (sumber: www.photodharma.net)

Selain stupa, ditemukan pula dua buah arca Buddha Amitabha di dekat reruntuhan stupa, dan arca-arca ini kembali memiliki kemiripan gaya dengan arca Borobudur.

Arca Amitabha di Goa Gajah (sumber: cagarbudaya.kemdikbud.go.id)

Arca Amitabha di Candi Borobudur (sumber: Wikimedia Commons)

Beberapa kesamaan ini adalah sebuah fakta yang sangat penting karena memberikan petunjuk bahwa kedua situs ini ternyata memiliki gaya chattra dan arca yang sejenis/sezaman. Oleh karena itu, sehubungan dengan polemik yang belakangan ini kembali menghangat tentang ada atau tidaknya chattra di stupa utama Candi Borobudur, barangkali fakta kesamaan ini bisa menjadi sebuah rujukan tambahan. Karena stupa-stupa yang ada di Goa Gajah memiliki chattra, bisa jadi stupa di Candi Borobudur pun memiliki chattra.

 

*Penulis adalah Penggiat Aksara Kuno