Puisi-Puisi Marsten L. Tarigan

Menjajaki Nimpa Bunga Benih

Sebelas kali runcing kayu menusuk melubang
bumi, di situlah mulanya benih padi terpacak.
Sejak itu syukur kami ikut tertanam dan tumbuh
bersama satu kata, amin. Maka iman kami terjaga
ketika hari-hari layur ataupun angin lembab
memburu pucuk kemuning membusuk. Kami
tafsir relung itu sebagai jiwa kasih Beru Dayang.
Agar di tampuk masa panen jelai padi
merunduk menanggung asa. Agar tunai
gemerusuk kesah yang kian merapat pada keluh
lelah dan tersudut di sikut-sikut sengkedan.

Telah dua bulan padi itu mulai menjulang,
menggapai-gapai ke arah langit, yang mulai
bergoyang seturut arah angin. Selumbar waktu
telah melenting kala turun terik menyengat
berganti gelap menjungkit. Istirah hanya
sekelebat pejam mata, namun peluh serasa
mengucur sepanjang sulur-sulur sirih melantun
lagu tentang Tanah Karo. Maka sampailah kami
pada runggu, mufakat yang tak dapat lagi
menunggu. Cukera Dudu, hari baik ke tiga belas
yang menanti, kami pilih mengikat Nimpa Bunga
Benih sebagai pemilik gelisah panen dan lisan
doa-doa pengantar syukur.

Ya Dibata, Ya Beru Dayang, telah kami tatak
cimpa sebagai sesajian di tempat mulanya padi
terpacak. Kami tabur pula menir untuk siangi
segala rumpun bala yang barangkali datang
dari cela kami. Berilah petunjuk bagi gelisah
purba yang melingkar-lingkar mencari akarnya
sendiri. Hantarlah harapan pendek yang terus
berjalan di titian aksara bertemu dengan titiknya.

Kami telah mengenal gaib-gaib musim yang tak
baik, sebab kami diajarkan memohon dengan doa
yang genap dalam erpangir. Kami menemukan
sawah sebagai bentangan kitab yang membangun
penghormatan seperti sungai belah dua yang mengalir
di arus bisikan Dibata. Jauhlah segala musibah yang
bakal melecut jiwa kami runtuh, turunlah tutur-
tutur dongengan tentang maslahat di lembah-
lembah perbukitan Tanah Karo.

Napas kami beriring-iringan dengan langkah
yang berkelok dalam petakan. Kami menata
kesabaran menanti panen seperti menghimpun
jejak kaki kami yang ditampung gembur tanah
garapan. Senandung kami terdengar lurus dan
menggema di antara cericit burung dan kersak-
kersak daun di hutan-hutan yang menyusup
melalui celah reranting, siuh terbawa angin.
Sebelum yang kami nanti tiba, telah kami cecap
hasilnya sebelum matang mewujud, sebelum
merunduk padi yang menampung asa kami.

 

Riwayat Tarigan dan Manuk Si Gurda

Ia menyerang, bagi kami sama dengan
meminta darahnya dialirkan, disahkan untuk
bersatu dengan air terjun Sipiso-piso. Maka itu
sesiapapun engkau, ketahuilah, Makhluk tujuh
kepala ini telah kami jambak bulu-bulunya hingga
tercerabut rasa perih daripadanya. Hingga tak lagi
sampai ia pada teriak paling lengking dan geming
tak lagi dalam kuasanya. Sebab perang berdalih
bagi rasa pukah, luka kerontang atau hasrat
yang meradang.

Tarigan Pertendong
Membukalah jurus jitu demi peluh Si Gurda
berkepala tujuh. Garis-garis jarak pikiran telah
teranyam rapi, agar jadi lapik bagi coret-moret
gertak siasat. Tak sekejap jua engkau mau patuh
atau lekas pergi ke ranah jauh. Maka tabas akan
segera menembus akalmu, menyayat urat nadimu
secepat kilat. Aminku masih dikepit selembar
sirih bersama gambir, pinang, dan kapur, jadi
sihir menumpas nyawamu.

Tarigan Pengeltep
Peluru berdesing, nyawamu jadi bahan bidik.
Segeralah bergidik karena ragamu akan gugur
sebelum rasa gugup datang menakik padamu.
Tidak. Tujuh kepala ini akan menjadi bumbung
bagimu, mematikan silsilah perburuanmu, katamu.
Tapi angin hanya berpihak padaku, maka lekas
melesutlah tujuh runcing sumpit. Puh! Puh! Jadilah
enam kepala membusut, satu menyebat ke balik
pohonan. Sedang dari siar darahnya nan tumpah,
neraka selalu lebih leluasa memandangnya
tanpa sembunyi.

Tarigan Penangkih
Seumpama memar engkau sengsara, akan
kutanam dalam-dalam dendam di kepalamu
yang tersisa satu. Hanya padamu, kematian dan
kilau mata pisau tersampir, berkejaran di ufuk
waktu. Kertak! Gemeretak kayu pohonan begitu
dekat pada patahnya. Sepanjang petang kakiku
memanjang, memanjat pohonan tanpa pincang.
Tajam tikam akan kuhunjam ke dahimu, hingga
retak hanya gumam yang kehilangan gema
sebagai muara dari himpunan nyawamu.

 

Musabab Ukumen Serbangen

Jiwa-jiwa yang pergi meninggalkan badan telah
berhadap-hadapan dengan kematian. Ngkicik
tendi mesti digelar memanggil jiwa yang pergi,
memulihkan sakit dari badan yang mulai diam.
“E mari terteren tendina ku rumah…”, Guru si Baso
mengucap tabas, suara sumbang yang jadi tajam
bagi makna seutas.

Api menyala di ujung kampung, setiap teriakan
karenanya adalah lolong anjing bergaung. Entah
ladang siapa dilanda hangus atau sapau siapa
rubuh jadi abu. Kami percaya bahwa tendi yang
lepas bukanlah tanda nyali yang retas. Tulah itu
tak ingin lekat, jadi jiwa yang menerima kejut
berlanjut sakit sengkarut. Siapa memantik api,
dari siapa asap berlari?

Di antara kami, seseorang tak pandai mengajak
takdir menghindar, sebab Guru si Baso lebih dulu
melihat sebelum mata menaruh minat. Ia-lah
tertuduh mengebat tapak dengan asap, meruyak
api sampai tepi daun-daun berserak. Ia berhenti
tapi kaki-kaki api terlanjur menjejak, ia membisu
karna asap melindap kata-katanya. Jika menuai
duri, apatah mungkin bunga mengembang dari
yang tidak bermula?

Maka ukumen serbangen mesti dibayarkan
sebanyak seratus dua puluh serpih logam. Agar
kau jiwa-jiwa kembali dengan perasaan lapang
kayu tualang. Bunyi penutup dari Guru si Baso
jadi pengikat tendi yang sehat dalam tubuh yang
kuat.

Sebelas lembar sirih dikepit jari Guru si Baso jadi
lapik bujuk rayu. Pulang, pulanglah ke rumah oh
jiwa, janganlah engkau terhenti di perjalanan.
Cik.. cik… kercik… Dengarlah ricik beras dalam
gantang, suara penuntunmu pulang. Luruslah
jalanmu pulang, terus segaris akar enau kian
memanjang.

 

Cerita Nini, Sejarah, dan Puisi

/1/
Terik siang jadi kering ludah, kelak kami
akan mengusut sejarah, menyangsikan catatan
dan cideranya di kulit bambu. Di ladang terkepung
tabas itu kami berbahagia, mendengar cerita Nini
tentang seluk muasal kami dan sihir dikandung sirih.
Nini berkata, kami adalah bangsa pertama yang
diturunkan di lembah perbukitan Tanah Karo,
sejarah pertama yang terlipat, sebelum halaman
selanjutnya yang adalah nganga tak terpenuhi.

/2/
Sebuah sejarah yang merapat pada kesunyian,
juga ketakterbacaan yang memilih pertapaan pulang
pada imannya sendiri. Berkali kami membaca kembali
sejarah tanah kami, mengeja Haru sebagai nama awal,
dan bertahan dalam sunyi lipatan kertas-kertas baru
yang sementara menolak untuk dituliskan. Sebab telah
terekam sekali dalam Sumpah Palapa, sejak waktu
mulai menghapus, dan sejarah menyisihkannya,
tapi tak ada yang persis habis terbawa arus.

/3/
Kami terus menembus lapis-lapis zaman yang tak
habis-habis, lantas terus berusaha melipat masa,
lapik demi lapik. Meski setiap kemungkinan sejarah
leluhur kami kian pupus pucuk daun mengering.
Tapi dari sana akan datang penyair-penyair baru
yang dilahirkan ingatan kampung halaman dan
dibesarkan buku-buku di tanah rantau.

/4/
Puisi-puisi terus tumbuh menggantikan tabas,
seperti giris menemukan perlawanannya dan
mengikis tebing lantas mengalirkan sepahnya
ke danau di antara pulau dalam pulau. Tanah Karo,
menuliskanmu adalah menemukan kembali jalan
pulang, susur sejarah pada leluhur dari jalan sajak
setapak di balik nama belakang kami. Cerita Nini
masih ngiang, membiang kata tak akan senyap.

 

Amsal Daun Sirih

Maka kamilah untaian itu, setiap rasa pedas
dan sepah getir yang terbersit dari lidah Nini. Kami
bukan lagi hijau lembut yang bakal menyegarkan
matamu, hingga merah tak lagi darah, hingga luka
tak lebih berwarna dari padanya. Sulur sirih
bergetar, membisikkan sihir dari Tanah Karo
yang terselip di antara daun-daunnya.

Sebelum ujung sulur sirih itu, kami memikat
sihir yang memanjat sambil menghafal riwayat
yang terkelupas kulitnya. Tapi di tanah asal
kami masih hidup dengan kemurnian embun pagi
yang tertampung di pucuk-pucuk sirih. Kelak akan
terhimpun segala sihir di tangan, segala bunyi
runcing yang diriwayatkan lidah kami.

Akhirnya rasa pedas jua yang melanjam
di lidahmu, jadi perih parah mengundang liur,
mengutuk setiap rutuk yang dapat kau ucap. Sirih
adalah rupa sihir yang bangkit dari pesona yang
tak dimengerti, terjebak, dan tak tereja kala
rumpang jiwa semaput. Puah! Gugur, gugur sudah
jiwa yang tugur dalam dirimu.

Sirih akan menyisakan merah dan kering liur
pada bunyi terakhir sebagai tabas penolak bala.
Ilmu yang rumpang tak akan sampai pada Dibata,
cakap yang lumpuh akan terseok lantas berhenti
tak mengakar. Kami tak akan memaki, tapi
mintalah berapa kali kau ingin mati. Sebab tiap
kata yang akan terucap, tak akan kau temukan
artinya di ujung jurus yang beradu.

 

Pangir, Pelepas Tuju bagi Kami

Bulan raya membayang pada gelombang riak-riak
sungai belah dua. Kami lepas ingatan sedari hulu
menuju hilir, terpecah entah di mana, terbelah
hampa jadi rima. Sebutlah apa yang telah berlalu
sebagai waktu yang diputihkan dalam cawan di
atas altar sajian. Sesiapapun akan menduganya,
mendambanya sebagai berhala atau gergasi yang
tenang di gumpalan awan dongengan.

Yang jadi penghalang akan melintang, melenceng
dari usut niat jahat yang menantang. Kata-kata
dalam lirih lagu menentukan siapa pemiliknya,
jalan lurus yang tertangkap memeluk kami
selaras dengan harap. Terkalah segala maksud
kami ya Dibata Kaci-kaci, engkau si mengetahui
langit, bumi, bawah tanah dan segala rahasianya
yang jinjit.

Suatu mimpi buruk telah datang merayap, dari
ketajaman ia telah bangkit, sempurna bakal
menyayat irama gurit. Maka kami Erpangir ku
lau, memeras rimo mukur ke dalam mangkuk
putih. Bersucilah kami, usapkan pangir ke kepala
tempat segala sumber petaka bersarang.
Biranglah ia tersebab sudip telah terucap, bau
masam telah mengejapkan sirat mata jala si jahat.
Gelapnya kamus yang paling dangkal, sesal seribu
getir telah ditangkal.

Di sungai ini, terimalah sesembah kami ya Nini
Bulang lewat selembar belo cawir yang kami
haturkan dalam kepit salam. Lalu kami lepas ia
sebagai cibal-cibalen sedari hulu menuju hilir
bersama ingatan. Lantas bergeraklah, tangan
kami bergerak dalam landek beriringan sesama
kami, terbuka meniru lukah yang siap
menampung berkah.

 

*Marsten L. Tarigan, lahir di Pematangsiantar-Sumatera Utara, 23 februari 1991. Saat ini tinggal di Bandung, bergiat di PRFRMNC.RAR. Buku kumpulan puisinya adalah Mengupak Api yang Hampir Padam (2016).