Persepsi Tentang Kebahagiaan

Oleh Adi Prayuda

“Kebahagiaan yang selama ini kita cari sedang mengamati kita yang sedang berjuang mencarinya. Bahkan, keinginan kita untuk mencari kebahagiaan hanya bisa hadir dalam keluasan kebahagiaan itu sendiri.”

Sudahkah kita benar-benar memahami apa itu kebahagiaan? Ataukah segala tindakan kita dalam hidup inihanya sekedar berputar-putar untuk memuaskan sesuatu yang sifatnya hanya sementara saja? Ketika keinginan yang satu terpenuhi, seolah-olah muncul kebahagiaan, namun tak berapa lama lagi, muncul keinginan lain yang minta dipenuhi, tentu dengan takaran yang berbeda dari sebelumnya. Bagaimana kalau keinginan tidak tercapai? Mungkin muncul rasa sedih atau kecewa, yang kemudian kita tekan atau coba tutupi atau kelola atau transformasikan menjadi rasa yang dianggap “positif”dengan mencari-cari hikmah yang mungkin bisa dipetik dari suatu kejadian. Hidup kita jadi seperti bandul yang simpangan maksimumnya adalah rasa senang dan rasa sedih. Bergoyang-goyang pada seutas tali yang terus bergerak dan tidak bisa dikontrol.

Namun, pikiran tidak “menyukai” hidup yang sepenuhnya mengalir tanpa kontrol. Diciptakanlah tujuan agar hidup manusia memiliki arah yang jelas. Mungkin tujuannya adalah uang atau harta benda, mungkin juga jabatan atau kedudukan dengan jumlah bawahan atau pengikut tertentu, atau penguasaan keahlian tertentu, atau pencapaian suatu pemahaman, atau kekuatan berupa kekuasaan, atau kekuatan supranatural, atau pencapaian tempat yang indah ketika kehidupan usai, bisa juga terpenuhinya rasa dicintai, diakui, dihargai, dihormati, disegani, dianggap baik, dianggap ada, namun bila disederhanakan, semua tindakan kita dalam hidup adalah untuk mencapai sesuatu yang dipersepsikan sebagai kebahagiaan.

Untuk mencapai persepsi tentang kebahagiaan, kita sangat mungkin mengambil jalur yang berbeda satu sama lain. Karena berupa persepsi, dibutuhkan objek atau tujuan, bisa berupa hal yang tampak oleh mata (seperti harta benda, gelar atau jabatan), bisa juga sesuatu yang lebih halus (tergenapi rasa-rasa yang dianggap kurang atau kosong). Subjeknya adalah kita, sebagai tubuh, yang melakoni hidup ini. Dan dari semua variasi objek-objek itu, benang merahnya adalah semuanya bisa dipersepsikan sebagai sesuatu yang memicu terciptanya kebahagiaan bila dicapai dengan upaya tertentu. Namun, apakah kita hanya sebatas tubuh ini? Itu yang perlu kita selami dalam meditasi atau hening. Bila persepsi kita dominan terhadap tubuh, ketakutanterbesar tentulah ketiadaan tubuh atau kematian raga, sedangkan kebahagiaan terbesar adalah pengumpulan hal-hal yang sifatnya menopang eksistensi tubuh ini agar bertahan lebih lama.

Orang yang sudah bergelimang harta benda mungkin tidak menjadikan harta sebagai objek pengejaran lagi, bisa jadi pada kekuasaan. Orang yang sudah menduduki posisi puncak mungkin meletakkan kebahagiaannya pada rasa dicintai. Dorongan tiap orang sangat bisa berbeda-beda terkait persepsinya tentang kebahagiaan. Sekarang pertanyaannya adalah, apa yang salah dengan uang? Apa yang salah dengan jabatan? Apa yang salah dengan rasa dicintai atau dihargai? Tidak ada yang salah. Semuanya netral saja, sampai kita yang membalutkannya makna, kemudian terciptalah tindakan-tindakan yang kita kira mengarahkan pada kebahagiaan.Kebahagiaan jenis ini tentulah tidak ajeg, sangat ditentukan oleh kondisi-kondisi eksternal. Dan kondisi-kondisi eksternal itu pun sifatnya selalu berubah. Pemenuhan seperti apa yang bisa diharapkan pada kondisi yang terus berubah dengan sesuatu yang berubah pula? Saat ini terpenuhi, tinggal menunggu waktu, sampai pemenuhan itu tidak lagi memberi kepuasan.

Setiap hati kita bergelut dengan ini. Menganggap bahwa apa yang kita kerjakan, apa yang kita upayakan dengan susah payah mengantarkan pada kebahagiaan, padahal hanya memenuhi ekspektasi dari persepsi tentang kebahagiaan. Meminum air untuk menghilangkan dahaga, tapi sayang yang diminum adalah air laut, sehingga dahaga tidak kunjung hilang, namun perut kekenyangan. Kita perlu meluangkan waktu sejenak untuk merenungi apakah yang kita lakukan selama ini memberi kepuasan bukan hanya bagi tubuh fisik ini, tapi juga sesuatu yang lebih dalam dan luas dari diri kita. Butuh permenungan yang mungkin pikiran kita tidak menyukainya. Pikiran cenderung memproyeksikan hal-hal yang seolah-olah bisa membuat kita bahagia, tapi sebenarnya hanya kesenangan sesaat. Tentu tidak salah dengan itu. Namun, kalau kita hidup dengan terus mengejar hanya proyeksi-proyeksi pikiran, kita sesungguhnya tidak benar-benar hidup. Kita tidak “menyentuh” aliran hidup. Kita hanya menyentuh “citra-citra” pikiran akan hidup ini. Kita bernapas, bergerak, berbicara, bekerja, seolah-olah hidup, tapi tidak benar-benar hidup.

 

*Penulis adalah Pengasuh “Ruang Jeda”