Foto Tony Doludea

Membaca Subjek Hasrat bersama Judith Butler

Oleh Tony Doludea

Judith Butler (24 Februari 1956) adalah guru besar Maxine Elliot in Rhetoric and Comparative Literature di Universitas California Berkeley. Butler dikategorikan sebagai filsuf post-strukturalis Amerika yang dikenal dalam lingkup feminisme, queer theory, filsafat politik dan etika. Seluruh karya tulis Butler berusaha menjawab pertanyaan mengenai pembentukan identitas dan subjektivitas, dengan melacak proses yang olehnya seseorang menjadi subjek manakala identitasnya digagas kepadanya oleh kekuatan struktur. 

Foto Judith Butler

Foto Judith Butler (1)

Butler terlibat dalam sebuah pemeriksaan berkelanjutan mengenai subjek di mana dia mempertanyakan melalui proses apa subjek itu muncul. Apa yang dimaksud bahwa subjek itu digagas dan bagaimana penggagasan tersebut berhasil atau gagal. Bagi Butler subjek itu bukanlah seorang individu, melainkan sebuah bentuk struktur bahasa. Ke’subjek’an tidak terberi, karena subjek selalu terlibat dalam proses menjadi tanpa akhir, hal yang mungkin adalah terjadinya pengulangan ke’subjek’an dalam berbagai cara.

Analisa Butler tentang subjek dimulai dalam buku pertamanya, Subjects of Desire (1987), yang pada bentuk awalnya merupakan sebuah disertasi. Buku tersebut pada dasarnya membahas tentang pengaruh Phenomenology of Spirit Hegel pada filsuf-filsuf Perancis tahun 1930-1940an. Kata Spirit atau Geist dalam bahasa Jerman dapat diartikan secara longgar sebagai roh atau pikiran, dan dalam pengertian Hegel ini berarti kemajuan peningkatan kesadaran diri Roh kepada pengetahuan absolut. 

Roh Hegel ini tidak dapat disamakan begitu saja dengan subjek Butler. Roh Hegel seperti pahlawan dalam sebuah cerita perjalanan metafisik di mana pahlawan ini mengalami berbagai pengalaman yang membawanya pada tingkat kebijaksanaan yang lebih tinggi. Phenomenology Hegel adalah sebuah cerita, cerita tentang Roh atau setiap orang “individu universal”, dalam sepanjang perjalanan menuju kepada pengetahuan absolut. 

Pengetahuan absolut yang dimaksudkan oleh Hegel di sini adalah suatu pencapaian ketika pikiran menangkap fakta bahwa realitas itu tidak terlepas darinya, dan bahwa yang hendak diketahuinya itu sesungguhnya adalah dirinya sendiri. Kemajuan pengetahuan diri ini berjalan dalam sebuah gerak dialektis. Posisi awal, yaitu tesis ke pada posisi yang berlawanan dengannya, anti tesis, kemudian didamaikan dalam sebuah sintesis. Subjek Hegel adalah sebuah subjek dalam perkembangan, dengan menolak segala sesuatu tanpa kepastian akhirnya yang bahagia.

Yang mendorong Roh dalam perjalanannya dan yang mencegahnya untuk menyerah saja ketika ia tidak menemukan kebenaran di sana, adalah hasrat. Hasrat untuk mengatasi rintangan yang menghadang, hasrat untuk mengerti dirinya sendiri. Dengan kata lain, hasrat dikaitkan kepada proses kesadaran dan peningkatan kemampuan pemahaman diri. Walaupun secara umum hasrat (Begierde) dipahami sebagai nafsu hewani.

Hegel menulis bahwa hanya melalui pengenalan dan pengetahuan tentang Yang Lain, Diri dapat mengenal dirinya sendiri, sehingga hasrat itu selalu hasrat untuk sesuatu Yang Lain, yang lalu berubah menjadi hasrat bagi diri subjek sendiri. Dalam Phenomenology terdapat dua jenis hasrat: hasrat terhadap Yang Lain, yang mengakibatkan hilangnya Diri; dan hasrat terhadap Diri sendiri, yang berakibat seseorang kehilangan dunia. 

Subjek hanya dapat memahami Dirinya melalui Yang Lain, tetapi di dalam proses pengenalan itu sendiri dan pembentukan kesadaran diri itu ia harus melampaui Yang Lain, jika tidak maka keberadaan Diri ada dalam bahaya. Hasrat adalah sama dengan mengkonsumsi atau melahap habis Yang Lain. 

Nampaknya kesadaran diri itu selalu berupa suatu proses penghancuran yang negatif, dan Butler menyebutnya sebagai Roh yang lapar. Proses ini digambarkan dalam istilah Aufhebung yang diterjemahkan sebagai pengangkatan ke tempat yang lebih tinggi. Butler mengartikan Aufhebung sebagai rangkaian perkembangan hasrat, hasrat yang mengonsumsi, hasrat pengenalan, hasrat terhadap hasrat Yang Lain. Hanya melalui pengangkatan Yang Lain Roh dapat mengenali Dirinya sendiri, hubungan penaklukan ini oleh Hegel digambarkan sebagai dialektika antara tuan dan budak.

Dalam tahap perkembangannya ini, kesadaran diri terpecah, hilang, terasing dalam narsisime negatif yang ditandai oleh kekerasan dan kebencian. Hal penting yang harus disadari di sini adalah tempat di antara kesadaran diri yang saling bertentangan itu terpecah. Hegel menggambarkan bagian kesadaran yang berdiri sendiri sebagai tuan dan kesadaran yang bergantung pada sesuatu Yang Lain sebagai budak. 

Hegel menegaskan secara paradoks bahwa tuan membutuhkan orang lain, dalam hal ini budak untuk mempertahankan kemandiriannya itu. Sementara budak sibuk bekerja untuk meraih kemandirian, terlepas dari tuannya. Dalam pekejaannya si budak memperoleh kebebasan melalui objek yang diciptakannya. Sang tuan harus menghancurkan baik budak dan apa yang dihasilkannya dalam pekerjaannya itu, sekaligus hasrat yang mendorongnya untuk itu. 

Butler menjelaskan pertikaian antara tuan dan budak sebagai pergumulan maut, karena hanya melalui kematian Yang Lain-lah kesadaran diri mendapatkan kembali kebebasannya. Keberlainan yang dicari oleh kesadaran diri untuk diatasi sebenarnya adalah keberlainan dirinya sendiri, sehingga kesadaran diri harus menghancurkan berulang-ulang dirinya sendiri untuk dapat memahami dirinya sendiri. 

Diri dan Yang Lain adalah sebenarnya tidak hanya saling terkait, melainkan mereka adalah satu sama yang lainnya. Melalui saling mengenal, Diri dan Yang Lain masing-masing menghadirkan diri mereka sendiri juga. Butler mengatakan bahwa hasrat bukanlah kegiatan konsumsi murni, tetapi tindakan saling bertukar di mana dua kesadaran diri pada saat yang sama menegaskan kemandirian dirinya sekaligus saling mengasingkan satu dengan yang lainnya.

Pergumulan antara hidup dan mati itu oleh Butler digambarkan sebagai perjumpaan erotis di mana subjek berusaha menaklukan batas tubuhnya untuk mengetahui Yang Lain dan juga dirinya sendiri. Dalam hal ini hasrat tuan adalah hasrat untuk hidup, karena kematian merupakan akhir dari hasrat, dan budak mengungkapkan hasrat hidup ini melalui kerja mereka. 

Nampaknya ada dua jenis hasrat: hasrat untuk diakui oleh kesadaran diri lain sehingga ia dapat mengenali dirinya sendiri; dan hasrat untuk mengubah dunia supaya mendapatkan kebebasan dan pengakuan diri. Orang mendapatkan pengakuan baik melalui tubuhnya dan pekerjaannya, sehingga ada suatu hubungan yang penting antara subjektivitas, pekerjaan dan komunitas. 

Hanya ketika berada dalam sebuah komunitas subjek dapat memperoleh identitas yang dicarinya. Butler menegaskan bahwa subjek yang sesungguhnya berkembang hanya dalam komunitas yang memberikan pengakuan secara timbal-balik, seseorang tidak menjadi dirinya sendiri hanya melalui pekerjaan saja, melainkan melalui pengakuan Yang Lain yang mengakui dirinya.

Butler juga berusaha memahami pandangan Hegel tersebut melalui Alexandre Kojeve (1902-1968). Kojeve melihat dialektika tuan-budak didorong oleh hasrat, yang berpuncak pada emansipasi budak melalui kerja. Kojeve menekankan historisitas daripada kekekalan, Roh merupakan proyeksi diri manusia, dan pada akhir sejarah manusia mengetahui bahwa Allah sebenarnya adalah ciptaan. 

Subjek Kojeve mengetahui Dirinya sendiri melalui hasrat tetapi hasrat itu hanya dapat diatasi melalui pengingkaran Yang Lain, orang mengenali Dirinya dari adanya usaha saling mengingkari tersebut. Hasrat tidak dapat diatasi dan diselesaikan, bagi Butler hal ini yang membuat Kojeve terbebas dari teleologisme Hegel. Keperkasaan subjek Kojeve terletak pada menangnya individualitas atas kolektivitas. 

Sementara itu Jean Hyppolite (1907-1968), sama seperti Kojeve, menolak teleologisme Hegel, yang berati bahwa ia menolak gagasan yang absolut dan ada (Being) yang tetap dan final, dan memandang ada sebagai sebuah proses menjadi melalui perbedaan dan selalu terbuka dan tak ada akhirnya. Hyppolite menekankan proses menjadi atas ada (Being) dan hasrat dipandang sebagai pertukaran antara Diri dan Yang Lain tetapi bukan sebuah pertentangan yang sengit. Diri menemukan dirinya melalui perjumpaan dengan Yang Lain atau yang berbeda dengan dirinya, dan bagi Hyppolite masalah hasrat dan kesadaran diri berpusat pada pertanyaan bagaimana mempertahankan identitas seseorang di tengah perbedaan. 

Bagi Jean-Paul Sartre (1905-1980), kesadaran merupakan sebuah proses perwujudan bertahap. Butler menggambarkan subjek Sartre sebagai sebuah perwujudan dan peletakan menyejarah diri. Bagi Sartre hasrat adalah sebuah proses penciptaan diri tekstual dan sebuah kesempatan untuk mengenali kebebasan. Hasrat menuliskan Diri. Butler mencatat bahwa bagi Sartre hasrat manusia adalah suatu cara tetap menggubah dunia imajinatif. 

Jacques Derrida (1930-2004) memahami subjek Hegelian yang berusaha melawan dan mengalahkan keberlainan Yang Lain demi pengenalan dirinya sendiri melalui konsep differance. Istilah ini berarti bahwa dalam bahasa, makna tidak pernah hadir dalam dirinya sendiri tetapi selalu bergantung pada apa yang tidak ada atau tidak hadir di dalamnya. 

Menurut Butler, melalui differance Derrida ingin menegaskan kegagalan subjek Hegel bahwa ambisi subjek untuk mencapai keberadaannya secara absolut itu tidaklah mungkin. Michel Foucault (1926-1984) menentang pandangan Hegel bahwa sejarah itu mamiliki asal dan tujuan satu tadi. Bagi Foucault sejarah merupakan perjuangan berbagai macam kekuatan yang berbeda dan saling bersaing, yang ada di sini bukan asal dan tujuan. Foucault menyebut hasrat itu sebagai keinginan jahat untuk mengetahui.

Sementara Jacques Lacan (1901-1981) melihat bahwa subjek itu adalah kenyataan yang tidak tetap dan tidak lengkap yang lahir dari larangan. Perintah yang melarang untuk menikmati jouissance ini datangnya dari Yang Lain. Diri sadar akan dirinya karena ada larangan dari Yang Lain yang bukan Dirinya itu. 

Foucault dan Gilles Deleuze (1925-1995) menolak gagasan subjek Lacan tersebut. Deleuze melihat hasrat merupakan daya pendorong yang produktif bukanlah larangan. Dengan menggunakan Ubermensch Nietzschean, Deleuze mendesak bahwa subjek tidak harus berhadapan melawan Yang Lain untuk memahami dirinya, karena Ubermesnch-lah yang menentukan dirinya sendiri dan tidak bergantung pada orang lain.

Namun bagi Butler, Deleuze telah salah memahami Phenomenology dengan memandang hasrat sebagai suatu kekuatan yang gagah berani menanti untuk bangkit dan dilepaskan. Oleh sebab itu, bagi Butler, Lacan dan Deleuze sama-sama masih berada pada wilayah janji metafisis hasrat sebagai pengalaman imanen Roh Absolut. Baik Derrida, Lacan, Deleuze dan Foucault menjadikan subjek Hegel sebagai dasar bagi pengkonseptualisasian subjektivitas mereka. 

Foto Judith Butler

Judith Butler (2)

Kemudian Butler mengajukan Julia Kristeva (1941), yang memandang tubuh sebagai sebuah entitas singular yang terdiri dari dorongan (drive) dan kebutuhan (need). Bagi Butler yang dibutuhkan sekarang adalah memandang hasrat sebagai sebuah sejarah tubuh-tubuh yang tidak direduksi kepada budaya, di mana kedudukan hukum berada di atas tubuh. Dari Hegel sampai Foucault, menurut Butler, hasrat membuat orang menjadi keberadaan (Being) fiktif yang aneh sekali.

Di sini perlu ditilik juga pandangan Francis Fukuyama (1952), salah seorang pembela setia Hegel. Fukuyama mengangkat kembali penjelasan Plato (427-347 SM) tentang kepribadian manusia di dalam bukunya Republic. Menurut Plato jiwa manusia terdiri dari tiga bagian: pemikiran (logos), keberanian (thymos) dan keinginan (epithumia). Oleh Plato, secara fisiologis pemikiran digambarkan ada di bagian kepala, keberanian terletak pada bagian dada dan keinginan terletak pada bagian perut dari tubuh manusia. 

Sebagian besar perilaku manusia merupakan hasil gabungan antara keinginan dan pikiran. Keinginan mendorong manusia untuk mencari hal-hal di luar dirinya, sedangkan pikiran menunjukkan jalan terbaik untuk mendapatkan hal tersebut. 

Namun di samping itu, manusia juga berusaha memahami dirinya sendiri, orang lain, hal-hal di sekitarnya dan prinsip-prinsip. Kecenderungan mengaitkan diri dengan suatu nilai tertentu dan tuntutan untuk diakui berkaitan dengan nilai tersebut, dalam istilah saat ini dikenal sebagai self esteem. Kecenderungan ini didorong oleh bagian jiwa manusia yang disebut sebagai thymos tadi. Apabila seseorang diperlakukan tidak sesuai dengan nilai yang dipegangnya, maka ini akan mengakibatkan kemarahan. 

Lalu, apabila orang tersebut tidak mampu untuk hidup menurut nilai yang diyakini itu, maka ia akan merasa malu. Dan, apabila dia merasa hidupnya telah sesuai dengan nilai tersebut, maka dia akan merasa bangga. Hasrat untuk mendapatkan pengakuan yang diikuti oleh perasaan amarah, malu dan bangga merupakan bagian penting dalam kepribadian manusia bagi kehidupan politik. Menurut Hegel, sebegaimana dilihat oleh Fukuyama, hasrat keberanian itulah yang mendorong seluruh proses sejarah.

Dalam pandangan Hegel, hasrat untuk diakui sebagai manusia yang bermartabat mendorong manusia sejak awal sejarah ke dalam pertemburan berdarah dan kematian untuk sebuah gengsi. Hasil pertempuran itu adalah munculnya pembagian dalam masyarakat ke dalam kelas tuan, yaitu mereka yang mau mempertaruhkan hidupnya; dan kelas budak, yaitu mereka yang menyerah pada ketakutan akan kematian. Hubungan tuan-budak tersebut selalu tidak berimbang. 

Budak-budak selalu tidak mendapatkan pengakuan dari para tuan; pada saat yang sama, para tuan juga hanya menikmati sebagian pengakuan, karena di antara para tuan ada sebagian yang tidak mendapatkan pengakuan dari sesama tuan lainnya. Ketidakpuasan tersebut menciptakan sebuah kontradiksi yang kemudian melahirkan tahap sejarah selanjutnya. 

Menurut Fukuyama, Hegel percaya bahwa kontradiksi tersebut dapat diatasi oleh revolusi demokratis yang menghilangkan perbedaan antara tuan dan budak melalui penyusunan prinsip kedaulatan rakyat dan kekuasaan hukum di mana budak menjadi tuan. Kontradiksi itu diganti oleh saling mengakui antara tuan dan budak yang bersifat universal, di mana setiap warga mengakui martabat dan kemanusiaan setiap warga lainnya dan martabat itu diakui oleh negara melalui pemberian hak. 

Fukuyama menegaskan bahwa Hegel melihat hak ini adalah puncak dari pencarian hasrat tersebut. Karena apa yang sungguh-sungguh dapat memuaskan umat manusia adalah pengakuan akan status dan martabatnya, bukan kemakmuran material. Fukuyama juga mencatat, berkaitan dengan Amerika dan Revolusi Perancis, Hegel menegaskan bahwa sejarah telah sampai pada sebuah akhir karena kerinduan yang mendorong proses sejarah, yaitu perjuangan untuk diakui telah dipenuhi dalam masyarakat yang ditandai oleh saling mengakui secara universal tadi. Tidak ada pengaturan lembaga masyarakat yang dapat lebih baik untuk memenuhi kerinduan ini, dan olehnya tidak ada perkembangan perubahan sejarah yang mungkin lagi. 

Kojeve, menurut Fukuyama, menegaskan bahwa sejarah telah berakhir karena the universal and homogeneous state, yaitu sebutan lainnya adalah demokrasi liberal, yang memecahkan masalah tuan budak tadi dengan menciptakan pengakuan yang setara dan sederajat secara universal. Namun Fukuyama mendeteksi bahwa demokrasi liberal ini bagi Kaum Kiri dianggap tidak lengkap karena kapitalisme menciptakan ketidakadilan, sehingga pengakuan itu pun menjadi tidak setara. 

Kemakmuran material suatu negara pun tidak memecahkan masalah ini, karena secara relatif masih ada kaum miskin yang tidak kasat mata bagi sesama warga negara lainnya. Dengan kata lain, demokrasi liberal tetap melanjutkan pengakuan yang tidak sejajar itu. Kaum Kanan melihat demokrasi liberal menciptakan last man atau man without chest, manusia yang terdiri dari keinginan (perut) dan pikiran (kepala), namun tanpa thymos (dada). Manusia jenis ini pandai menemukan cara baru untuk memenuhi sejumlah keinginan remeh melalui perhitungan cermat jangka panjang. Manusia ini tidak memiliki hasrat untuk diakui lebih besar daripada yang lainnya, artinya dia menjunjung pengakuan diri yang setara (isothymia) di antara sesamanya. 

Bagi Kaum Kanan, tanpa hasrat untuk diakui lebih besar dari sesamanya tidak akan mungkin ada keunggulan dan pencapaian, maksudnya kemajuan. Dipenuhi rasa bahagia dan tak dapat merasa malu dan marah karena tidak memperoleh pengakuan, manusia ini berhenti menjadi manusia. Inilah mungkin jawaban Fukuyama terhadap pertanyaan orang tentang Amerika tadi. Setelah membaca Fukuyama Amerika rupanya tidak ingin berhenti menjadi manusia. Amerika justru menegaskan diri untuk menjadi Megalothymia, mahluk yang terus mencari pengakuan diri lebih tinggi atau superior dari sesamanya. Amerika selalu menolak untuk diakui sejajar dengan manusia lainnya.

Namun ada sedikit catatan bagi Fukuyama ketika ia mengangkat konsep jiwa dari Plato di atas tadi. Secara kasar Fukuyama sebenarnya telah menyunat Plato, karena tidak mengungkapkan secara lengkap konsep itu. Ketiga bagian jiwa manusia tadi, yaitu pikiran, keberanian dan keinginan itu bagi Plato masing-masing memiliki satu keutamaan tertentu. Keinginan memiliki pengendalian diri sebagai keutamaan khususnya. Keberanian mempunyai kegagahan sebagai keutamaan khasnya. Pemikiran dikaitkan dengan kebijaksanaan sebagai keutamaan spesifiknya. Plato lalu menambahkan keadilan ((δικαιοσύνη, dikaiosune) sebagai keutamaan yang bertugas untuk menjamin keseimbangan di antara ketiga bagian jiwa ini. 

Foto Judith Butler

Judith Butler (3)

Dengan demikian Plato menggabungkan keempat keutamaan itu sebagai hakikat dasar jiwa utuh manusia. Keempat keutamaan ini dikenal dalam istilah the cardinal virtues (temperance, fortitude, prudence, justice). Tiga bagian jiwa ini dilukiskan dengan rupa mitos. Pikiran adalah seorang sais yang mengendarai dua kuda bersayap. Yang satu mau ke atas (keberanian), yang lainnya selalu menarik ke bawah (keinginan). Roh Hegel dalam pandangan Fukuyama tidak memiliki keutamaan-keutamaan dan selalu hendak menghela kuda thymos ke atas sana. 

Van Der Weij telah memperingatkan orang akan pandangan Hegelian seperti di atas tadi. Menurut Van Der Weij, pandangan Hegel telah memberi pengaruh begitu besar dalam sejarah, antara lain memengaruhi nasionalisme kegila-gilaan dan militerisme di Prusia (Jerman Utara). Sebab, nampaknya Roh itu telah merasuki bangsa Prusia dan mengejawantah dalam politik Bismarck (1815-1898). Pertama-tama Prusia berusaha merebut kekuasaan dalam perang melawan Denmark dan Austria, kemudian mencoba meruntuhkan kekuasaan Perancis. Dilihat dari kacamata Hegelian, Jerman boleh menganggap kemenangan itu sebagai pertanda pemilihannya dan haknya atas kekuasaan. 

Raja Prusia dinobatkan sebagai kaisar atas semua orang Jerman. Di mata banyak orang yang berhaluan Hegelian, kaisar itu menjadi der weltprasente Gott (Tuhan yang hadir di dunia). Oleh banyak politisi Jerman Hegel dianggap memiliki bakat kenabian. Namun setelah cukup lama bersusah payah mempelajari pemikiran Hegel dengan perjalanan Rohnya ini, apakah orang masih saja menganggap pandangannya itu sesuatu yang luhur, bermartabat dan manusiawi?  

Oleh sebab itu Butler mengaskan bahwa yang dibutuhkan sekarang adalah memandang hasrat sebagai sebuah sejarah tubuh-tubuh, yang tidak boleh direduksi kepada budaya, di mana kedudukan sistem berada di atas tubuh. Hasrat seperti itu telah menjadikan manusia menjadi hanya sebagai keberadaan (Being) fiktif yang aneh sekali. 

Bagaimana dengan perjalanan hidup bangsa Indonesia? Adakah manusia-manusia di sini memperlakukan dirinya dan orang lain hanya sebagai keberadaan fiktif yang aneh seperti itu, hanya sebagai metanarasi budaya dan agama, bahkan hanya sebagai struktur bahasa saja? Ataukah manusia itu diperhitungkan sebagai pribadi-pribadi bertubuh yang historis, yang unik dan yang tidak akan pernah terulang? Ataukah orang memahami dua hal yang bertentangan secara dualisme ini sesungguhnya merupakan dualitas, dari suatu proses dialog yang sangat wajar dan sehat bagi pembentukan, perjalanan dan pertumbuhan suatu masyarakat, bagi bangsa Indonesia itu sendiri?

—————–

Kepustakaan

Butler, Judith. Subjects of Desire. Columbia University Press, New York, 1999.

Fukuyama, Francis. The End of History and the Last Man. Avon Books, New York, 1992.

Salih, Sarah. Judith Butler. Routledge, London, 2002.

Van Der Weij, P.A. Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia. Gramedia, Jakarta, 1988.

*Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia.