Iwan Burnani Sutradara

Iwan Burnani Toni: “Saya ikut Rendra, dari Mastodon, Perjuangan Suku Naga sampai Cucu Sulaiman.”

Secangkir kopi hitam cukup membuat Iwan Burnani Toni tak berhenti-hentinya bercerita mengenai jatuh bangun kehidupannya di teater. Bila bercerita tentang teater- daya hidupnya seolah keluar. Kata-katanya sangat ekspresif. Ia seolah bisa mengenang hal-hal kecil yang dilakukannya saat latihan-latihan puluhan tahun silam bersama almarhum Rendra. Memorinya masih kuat. Selalu terasa ada suasana – dalam kisah-kisahnya yang mengalir. 

Tahun ini umur Iwan Burnani Toni genap 70 tahun. Rambut panjangnya terlihat seluruhnya memutih. Ia, dikenal sebagai salah satu aktor Bengkel Teater pimpinan Rendra – sejak di Yogya  sampai Rendra bermarkas di Cipayung Jakarta. Pertama kali ia terlibat pentas Bengkel Teater adalah: Mastodon dan Burung Kondor pada awal 70an. Semenjak itu ia terus menerus mengikuti pementasan Bengkel Teater. Ia juga mengikuti suka duka perjalanan Bengkel Teater – saat dilarang untuk berpentas ..  

Sebagai aktor, ia juga sempat terjun ke dunia film. Pernah ia sempat membuat mini seri sinetron Oemar Bakri, dengan Rendra yang berperan sebagai Oemar Bakri. Namun sayang syutingnya berhenti di tengah jalan. Pernah juga ia bekerja sebagai dubber dalam panggung boneka Unyil yang terkenal. Kini ia tetap terlibat aktif dalam dunia film dan teater. Tubuhnya masih terlihat tegap –dan bugar karena dia aktif melakukan latihan-latihan pernafasan seperti yang diajarkan Rendra dahulu. 

Saat BWCF Society bersama Genpi.co dan Ken Zuraida Project – pada Januari 2020, sebelum pandemik meledak, mementaskan versi padat Panembahan Reso, bersama sutradara Hanindawan (Solo) dan pemain utama aktor Whani Darmawan (Yogya), aktris Ine Febriyanti (Jakarta) dan sebagainya, ia terlibat sebagai konsultan. Ingatan-ingatannya mengenai Panembahan Reso yang dipentaskan Rendra tahun 1986 – saat itu cukup memberi wawasan amunisi bagi aktor-aktor yang terlibat..

 

Foto bersama ketika proses karya versi padat naskah Panembahan Reso di Solo. (Dari kiri ke kanan, Iwan Burnani Toni, Hanindawan, Seno Joko Suyono, Kelono Gambuh, Kodok Ibnu Sukodok, Budi Klonthonk, Rudolf Puspa)

Foto bersama ketika proses karya versi padat naskah Panembahan Reso dengan Sutradara Hanindawan di Gedung Teater Tertutup ISI Solo. (Dari kiri ke kanan, Iwan Burnani Toni, Hanindawan, Seno Joko Suyono, Kelono Gambuh, Kodok Ibnu Sukodok, Budi Klonthonk, Rudolf Puspa)

Di masa pandemi ini ia tak tinggal diam. Ia menyutradarai naskah Iwan Simatupang: Petang di Taman namun dalam format film-teater. Para aktornya adalah sutradara-sutradara di Jakarta. ”Pentasnya di panggung Teater Kecil TIM secara terbatas. Pengambilan gambarnya melalui kamera. Dengan sistem cut to cut seperti film” katanya. Mengapa ia memilh Petang di Taman? Saat ramai-ramai pembongkaran di TIM, ia tiba-tiba teringat – pohon di TIM bagian belakang yang dulu sering menjadi tempat teduh dan tiduran seniman di TIM – seperti sebuah taman yang ada dalam naskah Iwan Simatupang. Sebuah taman tempat bertemunya orang-orang yang tidak memiliki rumah .”Saya membayangkan petang di taman itu seperti petang di TIM zaman dulu,” katanya.  

Pengalaman Iwan Burnani berteater bersama Rendra – menarik diketahui karena menjadi bagian dari pengalaman estetika teater Indonesia dan bagian dari pergulatan aktor-aktor teater Indonesia menemukan bentuk keIndonesiaan dalam teater modern. Berikut wawancara penulis  Seno Joko Suyono dengan Iwan Burnani Toni. Wawancara dilakukan di sebuah tempat – di pinggiran Bekasi. Tak semua memang bisa ditranskrip di sini. Tapi bagian-bagian terpenting seperti bagaimana saat ia memerankan tokoh-tokoh utama dalam pementasan Rendra – dan bagaimana ia menjalani metode keaktoran Rendra yang ekstra keras, adalah informasi yang bisa memperkaya wawasan teater Indonesia. Berikut cuplikan wawancara Seno Joko Suyono bersama Iwan Burnani Toni : 

Anda berasal dari Lampung, kemudian kuliah di Yogya. Bisakah Anda cerita bagaimana awal mulanya Anda bisa masuk Bengkel Teater? 

Oke, saya lulus dari SMEA di Lampung lalu kuliah di Yogya. Di Yogya saya masuk di APMD (Akademi Pembangunan Masyarakat Desa). Lembaga itu sekarang menjadi Institut. APMD dulu berada dibawah naungan Universitas Gajah Mada. Mereka yang kuliah di APMD, bisa  meneruskan sarjananya ke jurusan Sosial Politik di UGM. Di Lampung saya sama sekali tak pernah main drama. Tak pernah tahu siapa Rendra. Apalagi mengenal  Rendra..  

Foto wawancara Iwan Burnani Toni bersama penulis

Foto wawancara Iwan Burnani Toni bersama Seno Joko Suyono

Tahun berapa Anda masuk Yogya itu ?

Saya tiba di Yogya tahun 1971. Lalu saya kuliah tahun 1972. Saya ini anak jalanan. Terus terang saja waktu itu  saya pecandu narkoba. Saya seorang morfinis. Sejak tahun 1969 saya sudah kenal morfin, sementara  kalau ganja saya sudah menghisap sejak tahun 65. Di jalanan Yogya itu saya bergaul dengan  seorang namanya Benidictus. Kami suka minum dan mabuk bareng. Saya tak tahu ternyata dia adalah anak Bengkel Teater. Suatu malam Benny ini datang ke kontrakan saya bersama seorang lelaki umur 30 an tahun. Saat itu saya lagi mabuk dengan teman-teman. “Kenalkan ini Rendra…,” kata Benny. Saya saat itu tak tahu sama sekali siapa Rendra. Benny bilang: “Gak kenal sama Rendra? Dia orang teater. Dia orang sangat terkenal loh.” Saat itu saya sama sekali tak mengerti teater. Seumur hidup belum pernah berkesenian. Benny kemudian suatu hari datang lagi ke kontrakan saya lalu bercerita mengenai Bengkel Teater. Benny lalu memperlihatkan kepada saya kliping-kliping koran tentang Rendra: “Nih lihat Rendra banyak dimuat di koran,” kata Benny. Saya lalu baca. Wah asyik juga batin saya. Saya jadi kaget kok mau-maunya orang terkenal seperti Rendra waktu itu main ke kontrakan saya. Kemudian suatu hari dalam kondisi mabuk – entah kenapa saya menuju rumah Rendra.

Rumahnya waktu itu dimana ?

Di Ketanggungan Wetan. Saya mabuk berat. Kalo nggak salah saat itu habis nyuntik, ngeganja trus minum. Saya bawa motor. Lalu motor saya taruh di sekitar rumah Rendra– brakk…saya sempoyongan, teler banget menuju orang-orang yang lagi latihan –entah latihan apa saya tak tahu. Baru belakangan kemudian saat sudah kenal semua – saya tahu saat itu mereka adalah Adi Kurdi, Tertib Suratmo, Fajar Suharno, Areng Widodo dan lain-lain. Jederrr… saya saat itu ambruk, saya berteriak aku mau mati..mati aku, mati . Rendra bilang: “Ya udah kalau mau mati, mati aja, nanti kita kuburin.” Tiba-tiba brukkk. Saya kayak pingsan, saya tergeletak, samar-samar saya melihat mereka memakai musik, bergerak-gerak. Mereka membiarkan saja saya pingsan – mereka tetap terus latihan..

Lama Anda baru sadar?

Ya. Saat bangun ternyata Mas Rendra menunggu di sebelah saya. Setelah melihat saya sadar dia tanya: ”Jadi mati nggak ?“ “Enggak Bang,“ jawab saya. “Trus apa ? Pengen mati? Tadi katanya mau mati? Trus maumu apa?” Tanya Rendra  lagi. Saya tiba-tiba menjawab saya di sini aja ya. “Mau ngapain kamu di sini?” Rendra langsung menyergah. “Ya tadi saya lihat ada yang pada latihan gerak-gerak dengan musik, asyik kayaknya.” “Ya karena kamu mabuk jadinya terlihat asyik-asyik aja. Kamu mabuk tadi. Oke kalau kamu mau di sini kamu tak bisa lagi memakai  morfin,” Rendra tiba-tiba berkata begitu. Saya jawab: “Baik.”Lalu hari itu saya tidak pulang, saya menginap di rumah Rendra.  

Terus benar Anda bisa berhenti dari morfin saat itu?

Ya mulanya masih terasa nagih. Tapi saat terasa ingin fly, Rendra menyuruh saya buka baju, buka celana. Saya digebukin Rendra. Bakk..bukkk..Bakkk..Bukkk.. Setelah dihajar sama Rendra terus saya dikasih minum. Minumnya bau banget. Saya bertanya waduhh apa ini kok bau banget. Rendra membentak: “Minuumm !!”. Saya lalu minum. Ternyata itu air kapur sirih yang diawetkan. Baunya sungguh minta ampun. “Minum trus..katanya mau sembuh,” bentak Rendra lagi. Saya minum terus. Rendra lalu mengatakan bila saya mulai merasa kambuh lagi, saya harus melawan. “Lawan terus ,” kata Rendra. Sama Mas Rendra saya tetap tidak diperbolehkan pulang sampai sembuh benar. Saya ditarok di kamar depan.

Di situ ada kamar-kamarnya ?

Tidak ada. Tapi ada satu kamar tamu, di sebelah kamar anak Rendra. “Sini aja, kalau  kamu mau sembuh. Kalau kamu pulang ke kontrakan, kamu pasti kambuh lagi,” kata Rendra saat itu. Saya jawab ”Saya mau sembuh Bang.” “Ya udah, kamu pulang ke kontrakan sebentar, ambil pakaian seadanya, lalu kamu tinggal di sini,” kata Rendra. Saya kemudian baru tahu Rendra pernah membikin kemah kaum urakan di Parang Tritis. Dan di situ pesertanya banyak yang pecandu tapi kemudian sembuh – dan menjadi anggota Bengkel. Ada Iskandar Woworuntu dan sebagainya, Saya kemudian mulai ikut-ikutan latihan gerak-gerak. Lama-lama saya juga ikut latihan meditasi..

Itu tahun 1972 ?

Ya di situlah  awal saya menjadi anggota Bengkel Teater. Saya mulai ikut latihan-latihan, improvisasi-improvisasi dan diskusi-diskusi. Ada banyak yang mengajar di situ. Saya ingat ada Romo Dick Hartoko, Romo Mangun dan banyak lainnya. Saya mulai berani bertanya saat ada diskusi-diskusi. Saat iku latihan improvisasi. Saya ingat Mas Rendra bilang: “Kamu ada bakat loh..” 

Waktu itu anggota Bengkel Teater siapa aja yang ikut diskusi?

Semua ada. Mas Tertib Suratmo, Mas Fajar Suharno, Mas Adi Kurdi, Areng Widodo, Dahlan Rebo Paing dan sebagainya..  

Dahlan, Rebo Paing – yang kemudian menjadi fotografer Majalah Tempo Jakarta itu, ikut Bengkel Teater semenjak awal ya ?

 Ya, dia masuk Bengkel sebelum aku. Dia sama Areng Widodo masuk Bengkel Teater tahun 1971.

Tatkala latihan improvisasi, masih ingat improvisasi apa yang Anda lakukan?

Aku mengarang-ngarang saja sendiri. Pokoknya harus berani. Rendra bilang kamu mengarang dari apa yang penah kamu alami. Ya udah aku improvisasi-improvisasi sendiri. Nah dari situ masuklah proses-proses latihan menuju Mastodon dan Burung Kondor. Saya latihan tambah giat. Tiap hari latihan..latihan…latihan. Saya ingat, saat itu saya dilatih vokal oleh I Gde Tapa Sudana.

I Gde Tapa Sudana yang kemudian bermukim di Paris?

I Gde Tapa Sudana

Foto I Gde Tapa Sudana

Ya. Waktu itu dia masih menjadi anggota Bengkel Teater. Itu sebelum dia pergi ke  Perancis. Saat itu saya juga dilatih yoga oleh I Gde Tapa Sudana. Mas Rendra saat itu mengatakan, bahwa kita main tidak bisa mengandalkan sound system. Mas Rendra mengatakan Mastodon dan Burung Kondor ini akan dipentaskan di ruang sangat besar. Mau pentas di mana, tapi saya juga tidak tahu. Nah tiba-tiba aku dicasting. 

Dicasting ?

Ya, saya langsung disuruh mencoba memainkan peran. Rendra tiba-tiba bilang:”Coba nih kamu mainkan…”Saya mendapat peran sebagai Kolonel Santos. Saya dites Rendra. Rendra kaget  “Loh kamu bisa nih”.

Waktu itu selain Anda siapa lagi yang mendapat casting?

Mas Adi Kurdi saya ingat menjadi  Prof Topaz, Tapa Sudana, saya lupa  jadi peran apa. Saya ingat Rendra kemudian tiba-tiba juga bilang: “Ini kan pemain sedikit, kamu merangkap dua peran ya.”  “Peran apa lagi Mas ?“ “Kamu kan pernah menjadi mahasiswa. Kamu ikut jadi tokoh mahasiswa.”Disitu saya mulai digembleng mental oleh Rendra. Dalam Bengkel Teater- mulai bangun pagi orang sudah harus disiplin. Saat bangun pagi hari- dalam Bengkel Teater, orang harus segera bangkit atau bangkit seketika .Tak boleh menggeliat-geliat lebih dulu di tempat tidur. Harus bangkit seketika. Dan waspada serta harus merapikan tempat tidur. Seolah tak ada bekas kita tidur di situ. Seperti tentara yang tak meninggalkan jejak. Wah saya kaget- dari mulai bangun pagi harus sudah mulai seperti itu..

Anda saat itu sudah tinggal bersama Bengkel Teater?

Ya, saya sudah tak boleh pulang lagi ke kontrakan. Kami – anggota Bengkel Teater oleh Rendra disewain rumah-rumah kecil seperti pavilyun. Ada empat pavilyun saat itu.  Tempat Adi Kurdi yang paling besar. Di situ Adi Kurdi tinggal bersama Wawan Prahara, Udin Syah, Edi Haryono. Saya  sendiri tinggal bersama Areng Widodo, Dahlan Rabu Pahing, sama Bambang Isworo. Mereka adalah senior-senior saya. Lalu ada satu pavilyun untuk Max Palar dan teman-teman lain. Tidak semua anggota Bengkel yang tinggal di pavilyun. Mas Fajar Suharno dan Mas Tertib Suratmo – yang asli Yogja pulang ke rumahnya masing-masing. Iskandar Woworuntu mengontrak rumah sendiri sama Timmy Woworuntu. Lawu Warta dan Kodok Ibnu Sukodok kalau tak salah ikut tinggal di tempat Iskandar Woworuntu. Bram Mahakekum juga mengontrak sendiri. Udin Mandarin memilih  tinggal di kostnya sendiri. Uang makan kita tidak dapat. Untuk makan kita harus bayar sendiri. Kita sering mengutang di warung Pak Sudre namanya. Habis makan contreng. Nah kami latihan Mastodon dan Burung Kondor  tiap hari. Untuk latihan vocal aku banyak dilatih oleh I Gde Tapa Sudana dan Areng Widodo. Untuk latihan silat dan gerak oleh Max Palar. 

Max Palar Bangau Putih

Foto Max Palar (Sumber Foto: www.thegreatawakening.org)

Silat Bangau Putih ?

Ya. Bangau Putih (Max Palar saat itu merupakan seorang frater muda yang  merupakan murid Suhu Subur Rahardja, pemimpin PGB Bangau Putih-red). Latihannya berat. Bangun pagi. Sementara saya biasa bangun siang. Susah bangun pagi. Tapi ya harus ikut latihan. Alhamdullilah sampai pentas, semuanya lancar.

Pentasnya dimana ?

Pentasnya di  Istora Senayan. Bayangkan.

Tahun 1972 di Istora ?

Bukan. Tahun 1973. Prosesnya yang berlangsung sepanjang tahun 1972. Nah pentasnya di Sport Hall Kridosono Yogya (Tanggal 24 November 1973 – red) dan kemudian di  Gedung Merdeka Bandung (7 Desember 1973 –red) dan baru  Istora Senayan (15 Desember 1973- red). Waduuh..aku kaget-kaget. Aku kan belum pernah pentas main drama. Bahkan pentas di panggung  kecil pun  belum pernah. Tiba-tiba harus pentas di tempat segedhe gitu. Kapasitas penonton di Istora bisa 10.000 itu. Maka dari itu I Gde Tapa Sudana menggenjot melatih saya vokal. Saat itu sound systemnya di panggung kan masih kayak Kethoprak. Mike-mike digantung dari atas. I Gde Tapa Sudana melatih kami artikulasi agar suara jelas sampai penonton. “Kalau di gedung suara bisa bergema Wan,” dia bilang begitu kepada saya. Saya latihan artikulasi terus. I Gde Tapa Sudana akhirnya bilang vokal saya sudah oke, sudah bagus. Wah alhamdullilah. Saat main di Istora, Mas Willy memuji saya.”Bagus kamu main,” katanya. Di Bengkel Teater itu, kalau seorang aktor tidak bisa main bagus akan langsung diganti oleh Rendra. 

Mastodon dan Burung Kondor tahun 1973

Foto publikasi pertunjukan Mastodon dan Burung Kondor tahun 1973

Mastodon sebelum dipentaskan ke kalangan umum, katanya pertama kali dibacakan Rendra  di lapangan basket ITB?

Ya, Betul. Saaat itu dibacakan Rendra di lapangan basket ITB. Saya saat itu juga ikut ke Bandung (awal Oktober 1973 –red). Saya baru masuk Bengkel, ikut rombongan ke Bandung . Itu acara untuk memperingati 3 tahun kematian Rene Conrad, mahasiswa ITB Bandung yang dikeroyok dan ditembak mati oleh taruna polisi (Kematian Rene Conrad pada 6 Oktober 1970. Saat itu digelar pertandingan sepak bola persahabatan antara mahasiswa ITB dan taruna Akademi Kepolisian di kampus ITB. Tim taruna kepolisian kalah 2-0. Rene Conrad yang berambut gondrong dan sama sekali tak terlibat pertandingan, saat itu dengan motor Harley Davidson berpapasan dengan  bus para taruna. Terjadi adu mulut. Ia dikeroyok dan ditembak. Mayatnya dibuang ke atas kendaraan polisi begitu saja, lalu ditaruh di gudang. Menurut sebagian pihak, andaikan Rene segera dibawa ke rumah sakit kemungkinan ia tidak harus mati. -red). Suasananya sangat menegangkan. Sangat ruwet. Intel dimana-mana. Itu pengalaman yang sangat berat bagi saya, apalagi saya baru masuk Bengkel. Ada suara tembakan kalau tidak salah. Menakutkan. Saya baca puisi juga. Puisiku sangat singkat. Saya hanya mengatakan: Bahwa asap ganja sama dengan asap mesiu. 

Iwan-Burnani

Iwan Burnani Toni saat wawancara berlangsung

Saat itu menginapnya dimana ?

Di hotel di daerah Setia Budi. Nah  lantai bawah hotel ada tempat disco. Saat itu zaman disco.  Saya masih muda saat itu, untuk melepas ketegangan kepengin happy-happy ke bawah. Tapi tidak diperbolehkan Rendra: “Iwan, tidak boleh turun ke bawah, kalau mati tanggung jawab sendiri,”katanya. Nah sebulan kemudian Mastodon dipentaskan di Yogyakarta, Gedung Merdeka Bandung, dan Istora Senayan Jakarta. Setelah pentas di Istora kemudian ada tawaran main di Surabaya…..

Tahun berapa itu?

1974. Direncanakan Mastodon dan Burung dibawa  ke Surabaya tahun 1974.  Nah saat latihan untuk persiapan main di Surabaya tiba-tiba Mas Willy bilang ke saya:”Wan, Adi Kurdinya mainnya gak bagus. Kamu ganti peran Adi Kurdi.” 

Peran Prof Topaz ?

Ya, peran Profesor Topaz. Saya langsung bilang ke Mas Willy:” “Wah..apa aku mampu Mas?” “Coba, Kamu mampu,”kata Rendra. Lalu aku dilatih menjadi Prof Topaz. Jadi di Bengkel Teater seperti itu. Kalau ada yang main tidak bagus diganti. Sering diadu lebih dulu. Masing-masing bertanding memainkan sebuah peran. Lalu Rendra memilih mana yang paling bagus. Nah, saat mau pentas di Surabaya itu tapi tiba-tiba meletus Malari. Pentas di Surabaya tidak jadi. Kita dilarang pentas. 

Tahun 1974 jadi Bengkel Teater mulai dilarang pentas ?

Ya. Tahun 1974 Bengkel dilarang main di Surabaya. Tetapi kita tetap latihan. Latihan rutin. Nah di Bengkel itu latihan rutin yang membentuk mental kita. Kita berkebun, kita nyangkul.

Memang Bengkel memiliki ladang atau kebun sendiri? Di Ketanggungan kan gak ada ?

Ya. Bengkel Teater memiliki tanah di kawasan Kali Winongo Yogya. Rendra membeli tanah di pinggir kali. Itu tanah Bengkel Teater. Duitnya dari kas Bengkel Teater. Di situ kami berkebun , mencangkul, menanam, meditasi, latihan-latihan, segala macam. Di situ saya ingat juga ada sebuah kuburan keramat. Katanya kuburan seorang penari keraton. Nah oleh Rendra kita sering disuruh tidur di kuburan itu . Tidur sendiri di kuburan tidak boleh ditemani.

Anggota Bengkel satu persatu disuruh tidur sendirian di kuburan? 

Ya. Nah saya sering diberi tugas ngawasin, bila ada anak teater yang tidur di sana. Saya kerap jahil. Saya bersembunyi, tapi kemudian saya ambil pasir saya siramin ke dia. Ha..ha .. dia pasti takut kan. Saya tetap diam saja, ngumpet. Jadi latihan itu menurut Rendra adalah latihan merasakan mati. Bagaimana kalau kita dapat peran orang mati. Mati itu menurut Rendra merupakan peran yang sangat susah dimainkan. Kalau sekedar..gleepp akting mati ya gampang. Tapi seorang aktor harus mampu merasakan pengalaman dan suasana kematian. Ya dengan tidur di kuburan itu. Nah kadang-kadang memang latihan-latihan Mas Willy di luar nalar. Mas Willy suka mengasih  latihan yang aneh-aneh gitu loh

Omong-omong setahu Anda ,apakah pelarangan Mastodon dan Burung Kondor saat itu dikait-kaitkan dengan Malari. Mengapa?  

Karena Mastodon dianggap memprovokasi mahasiswa. Mastodon itu kan bercerita tentang pemberontakan mahasiswa. Jadi pertunjukan kita dituduh seperti itu. Kolonel Santos itu siapa, Profesor Topaz itu siapa. Jadi peran-peran itu dianggap mengkritik mereka yang lagi berkuasa. Tapi setelah Malari saya ingat, kita diperbolehkan pentas lagi. Hanya saja yang dipentaskan tidak boleh naskah sendiri.

Naskah apa yang diangkat setelah Malari ?

Antigone (pentas 27-28 Juli1974 –red)

Kenapa memilih Antigone saat itu?

 Ya, saya lihat karena kalau Mas Willy mementaskan naskah karyanya sendiri tentu sulit izinnya. Mungkin saat itu Mas Willy lalu memilih naskah Yunani (bagian dari trilogi Oedipus karya Sophocles) dan kemudian menerjemahkannya. Tapi tetap saja kan. Antigone di tangan Mas Willy juga dilari-lariin ke situasi Indonesia.. 

Antigone sebenarnya juga berkisah tentang kekuasaan kan. Antigone – anak Oedipus ia mau mengubur kakaknya: Polynices namun tidak diperbolehkan oleh penguasa Thebes saat itu Kreon..

Ya seperti itu. Mas Willy saat itu  menjadi Kreon. Sementara aku jadi anaknya Mas Willy. Aku menjadi anak  Kreon. Namanya Haemon. (Haemon ini mencintai Antigone. Haemon kemudian bunuh diri setelah Antigone mati-red) 

Bagaimana latihan Antigone saat itu? 

Nah, kita untuk Antigone latihan silat rutin. Gerak-gerak dalam Antigone banyak diwarnai gerak silat… Kita  latihannya subuh, pagi, siang, malam.., trus nonstop, diselingi  dengan diskusi. Serta semacam pelajaran-pelajaran. Misalnya Mas Umar Kayam datang memberi kuliah.. Ada juga dosen-dosen bule yang mengajar di UGM – saya tak ingat namanya. Mereka datang ke Bengkel Teater memberi kuliah antropologi sampai sosiologi.

Antigone oleh Bengkel Teater

Foto pementasan Antigone oleh Bengkel Teater pada tahun 1974

Dalam pengadegan gerak-gerak silat ada di bagian mana saja ?

Begini, dalam naskah Antigone banyak adegan koor. Nah oleh Mas Willy adegan koor-koor itu ditampilkan dengan gerak-gerak silat. Juga saat pertengkaran-pertengkaran anak sama bapak dibuat silat juga. Jadi para  aktor bergerak silat.

Waktu itu yang mengajar silat Max Palar ? Mungkin Anda bisa cerita bagaimana Max Palar dalam latihan mengajar khusus gerak-gerak silat Bangau Putih untuk pertunjukan ini

Kami latihan terutama 18  jurus Jalan Pendek. Di Bangau Putih itu ada jurus Jalan Pendek dan Jalan Panjang. Kami latihan 18 jurus Jalan Pendek saja .

Bisa diceritakan sedikit jurus Jalan Pendek itu ?

Jurusnya jurus Pahong: pukul, tangkis, gulingan. Itu Jalan Pendek semua. Baru nanti ada Jalan Panjang. Jurus-jurus Jalan Pendek dikembangkan lagi. Kita harus menguasai Jalan Pendek. Pahong. Tangkis pukul, jatuh. Harus tahu cara jatuh, gulingan, tendangan. Di Ketanggungan itu kita latihan silat – di halaman rumah tetangga, namanya kalau nggak salah Mbah Bei. Mbah Bei ini yang pavilyun-pavilyunnya dikontrak Mas Willy untuk tempat tinggal kami. Adegan saya di Antigone yang paling berat itu, adalah adegan saya harus berantem dengan gerak silat melawan Mas Willy sebagai ayah saya.

Max Palar Latihan Silat Bangau Putih

Foto Max Palar sedang melatih Silat Bangau Putih (Sumber Foto: www.thegreatawakening.org)

Jadi Anda juga latihan duel silat melawan Mas Willy?

Ya. Nah saat latihan itu kaki saya terkena beling. Robek kakiku. Tapi Mas Willy tetap mengharuskan saya latihan. Jadi di Bengkel itu kalaupun sakit harus tetap latihan. “Kamu belum mati. Nggak akan mati. Kalau mati saya kubur,” kata Mas Willy. Nah, proses latihan sambil sakit gitu kan, membuat badan saya sampai panas dingin. Saat pentas, saya belum sembuh. Saya ingat dalam adegan saya ketendang benar. Saya harus gulingan, melompati beberapa level – yang saat itu dibuat penata panggung Mas Rudjito…dan kemudian di belakang brakkk….saya jatuh, rubuh. Waduh, saya langsung merasa tak bisa muncul lagi di panggung. Untungnya saat itu Suhu nonton…Suhu Raharja.

Oh Subur Raharja, Suhu Bangau Putih?

Ya. Saya kemudian ditotok. Dikasih energi. Dikasih tenaga. Saya akhirnya bisa bangkit muncul di panggung lagi .

Saat itu pentasnya di Yogya?

Bukan, di TIM..kita main di Teater Terbuka 

Selain latihan silat, latihan apa lagi yang berat di Bengkel?

Nah…ada lagi latihan berjalan dalam hujan lebat. Itu kalau gak salah saat sebelum pentas Oedipus Berpulang (pentas tanggal 20-21 November di teater Terbuka TIM 1974). Kami pentas  di Teater Terbuka TIM tahun 1975. Oedipus Berpulang itu bagian kedua dari trilogi Oedipus karya Sophocles (judul aslinya: Oedipus di Colonus). Untuk pentas ini kami tetap dasarnya adalah silat. Karena sudah terbiasa – saya merasa lebih enak menjalani latihan-latihan silat saat itu.

Bagaimana saat berjalan dalam hujan lebat itu?

Latihannya tiba-tiba. Saat itu hujan deras banget. Tiba-tiba Mas Willy memanggil kami semua. “Kumpulin rokok, uang, segala macam, tarok di sini. Kalian keluar,” Mas Willy bilang begitu padahal di luar hujan besar sekali. Saya ingat, Mas Adi Kurdi berjalan paling depan. Kita membuntuti Mas Adi Kurdi. Kita jalan dari Ketanggungan sampai ke Bukit Sendang Kasihan. Bukit ini dekat tempat padepokan Bagong Kussudiarjo sekarang, namun waktu itu Pak Bagong  belum membikin padepokan. Hujan deras sekali. Kita tidak boleh mengomong satu sama lain. Hening. Jarak kita satu sama lain harus 1 meter. Sering kita tak bisa  melihat teman yang berada di depan, karena hujan sangat lebat.. 

Apa maksud Rendra dengan latihan itu ?

Kata Mas Willy itu latihan melatih kepasrahan. Itu latihan untuk benar-benar pasrah. Kembali ke alam semesta, menjadi kanak-kanak. Kita betul-betul harus pasrah. Kalau mikir tubuh basah, sakit dan sebagainya bakal nanggung. Jadi kita laksanakan saja pasrah berjalan dalam hening dan guyuran hujan. Saya ingat, saya berjalan paling belakang. Kalau saya sampai lokasi berarti seluruh anggota Bengkel Teater sudah kumpul semua. Kami saat itu untuk menuju Bukit Sendang Kasihan sampai harus menyebrangi sungai. Sampai di Bukit Sendang Kasihan kami terus tidur, dan sampai pagi tidak boleh ngomong. Karena saya sudah dilatih meditasi dan yoga, saya berusaha manasin badan dengan meditasi. Baju dan badan kan basah semua saat itu. Badan sampai kemudian kering sendiri. Saat bangun pagi, kita baru boleh mengobrol satu sama lain. Terus setelah bangun, kita latihan improvisasi. Di Bengkel Teater itu latihan paling banyak adalah  latihan improvisasi. Saat kita pulang – turun  dari Bukit Sendang Kasihan, kita mau ke telaga – tempat mandi (kungkum). Yang aneh saat ke sana – kami berjalan sering menginjak-nginjak duri, sering kena segala macam batu, kesandung-kesandung, padahal waktu berjalan malam hari sampai ke tempat ini sama sekali tak pernah tersandung-sandung duri atau sebagainya. Mas Willy bilang – karena kita saat berjalan malam itu benar-benar los gitu, kosong. Lama-lama saya menyadari, dengan latihan-latihan ini Mas Willy sesungguhnya berusaha melatih kepekaan kita. Karena  aktor itu mesti peka. Nah..setelah latihan-latihan itu kami pentas lagi: Oedipus Berpulang.

pementasan Oedipus Berpulang

Foto pementasan Bengkel Teater, Oedipus Berpulang

Anda memerankan apa di Oedipus Berpulang?

Saya mejadi Kreon. Saya ditunjuk sama Mas Willy menjadi Kreon. Sementara pemeran Oedipus tetap Mas Willy. Waktu itu saya diadu dengan aktor Bengkel lain. “Siapa yang mau menantang perannya Iwan ?” kata Mas Willy. Tiga orang menantang. Lalu kami diadu. Aku tetap terpilih. Dan begitu pentas di TIM, aku tak menyangka ada resensi di Sinar Harapan yang memuji akting saya dan menjuluki saya: singa panggung.

Setelah Oedipus berpulang, pentas apa lagi? 

Kami pentas Lysistrata karya Aristophanes di Teater Terbuka TIM 1975 (pentas tanggal 26-27 April 1975 – red)

Lisystrata kan banyak pemain ceweknya ?

Betul. Nah saat itu saya menjadi bencong. Pemain perempuannya cuma Mbak Sitoresmi, Yati Angkoro (nama aslinya Rr.Istantinah Sri Sugiharto –red), Hermin Centini, Alit, sisanya semua aktor laki-laki menjadi bencong. Nah, aku jadi  pimpinan bencong. Rambutku yang  masih panjang diminta Mas Willy dikepang. Wah ini peran berat lagi. Mas Willy bilang: “Observasi, tuh di alun-alun banyak banci-banci, kalian bergaul dengan banci-banci itu.” “Waduh ntar dipakai nih kita,” aku komentar. “Wah terserah, mau dipakai, pakai aja,” jawab Mas Willy. Akhirnya saya  datang ke alun-alun, mengobrol bergaul dengan banci-banci. Saya perhatikan bagaima cara jalan para bencong itu. Saat itu para bencong banyak yang memakai jarig (kebaya). Kita observasi semua itu. Cara pakai kostumnya, cara jalannya. Lalu kita latihan bagaimana kita bisa melemaskan tubuh, sampai lentur. Sedemikian intens risetnya, selama proses latihan sampai ada teman kebawa gaya-gaya waria itu. ”Hai Wan.., dia menyapa (gaya banci). Wah kacau sekali batin saya kalau keterusan begini. Nah setelah selesai pentas- semua penghayatan kebencong-bencongan ini harus hilang..

Setelah Lysistrata Anda terlibat pementasan apa lagi? 

Tahun 1975 kita lalu proses Perjuangan Suku Naga. Proses Perjuangan Suku Naga ini lebih berat lagi. Kita sekali lagi disuruh berjalan ke Bukit Sendang Kasihan saat hujan deras. Nah setelah jalan malam. Biasanya pagi seterlah sarapan, latihan, mandi kita balik, turun, pulang. Nah saat latihan Perjuangan Suku Naga ini ternyata nggak. Kita pagi di bukit latihan improvisasi, diskusi, menunggu malam. Nah malam ternyata jalan lagi. Wah kita mau dibawa kemana lagi. Tidak tahu….

Mas Willy yang berjalan di depan ?

Tidak. Adi Kurdi yang di depan.

Mas Willynya juga Ikut ?

Ikut. Tapi saya gak tahu posisinya ada di mana. Kadang-kadang dia tahu-tahu muncul di titik-titik tertentu. Dia yang menentukan, mengarahkan jalan. Dia tiba-tiba muncul dan berteriak woiiii—ke sana 

Jadi Mas Willy tahu-tahu muncul ?

Ya. dia muncul.., nanti dia menyiapin apa gitu saat muncul. Lalu dia menunjukkan jalan. Kami berjalan terus- sambil diam. Nah tahu-tahunya kita sampai di Goa Selarong (Goa markas Pangeran Diponegoro saat melakukan perang gerilya melawan Belanda –red). Kita menginap di Goa Selarong. Tetap hening. Tidak ada bicara.  

Bermalam di Goa Selarong. Lalu paginya? 

Nah, ternyata pagi, kita harus  jalan lagi.. Wah kemana lagi nih ? Kita terus jalan. Pakaian kita  gak ganti-ganti. Basah. Terus saja dipakai. Di jalan sampai-sampai ada orang yang mengasih sarapan. Kita tak bertanya-tanya. Kembali jalan terus mengikuti Adi Kurdi di depan. Tiba-tiba kita sampai di pantai dekat Dusun Wonoroto. Di situ saya ingat  banyak pohon jambu.

Berapa kilo keseluruhan perjalanan ?

Wah, kita gak tahu lagi. Pokoknya akhirnya sampai di pantai. Pantai apa ya namanya. Yang saya ingat pantai itu  dekat Dusun Wonoroto. Saat di pantai itu, Mas Willy lalu berbicara: “Sudah sekarang kita di pantai, sekarang tidur cari posisi masing-masing.” Wah saat itu dingin sekali. Badan saya terasa sangat kedinginan. Saya ingat karena begitu kedinginan saya kemudian menguburkan badan saya di pasir supaya ada panas. Baru esoknya kami berkumpul kembali. Kita diajak Mas Willy ketemu pemimpin dukuh Wonoroto. Kita diajak ngobrol. Mas Willy ternyata telah lebih dulu kenal dengan Pak Dukuh. Ternyata dari penjelasan Pak Dukuh diceritakan bagaimana mereka mempertahankan tradisi desanya. Mereka tak mau ada pembangunan apapun disitu. Di situlah sebenarnya asal usul naskah Perjuangan Suku Naga. Suku Naga memang ada ril di desa itu. Mereka menolak segala pembangunan. Di situ lalu kita berdiskusi. Dari Yogja – kemudian saat itu sampai datang Romo Mangun dan Romo Dick Hartoko. Kita diskusi tentang keadaan di desa ini. Setelah dari desa ini, kami pulang melakukan riset. Ke pasar, ke sana sini, latihan-latihan. Akhirnya jadilah pentas Perjuangan Suku Naga.

Bagaimana proses pembuatan naskah Mastodon dan Suku Naga? 

Begini, proses penciptaan naskah-naskah Mas Willy tidak pernah langsung jadi. Tak pernah Mas Willy menyodorkan ke kami naskah yang sudah jadi semenjak  awal. Naskah itu terjadi sedikit demi sedikit seiiring latihan. Sering Mas Willy meminta saat latihan kami mencatat di buku. “Tulis ya ini.” Lalu kami mencatat sendiri-sendiri. Belum ada peran-peran itu. Setelah kami mencatat sendiri-sendiri, biasanya Mas Willy kemudian memanggil Edi Haryono. “Har stand bye, kamu gak boleh pulang, ketik disini,” biasanya Mas Willy begitu. Lalu Edi Haryono mengetik…

Jadi semua omongan Mas Willy ditulis oleh  Edi Haryono ?

Ya Mas Willy seperti mengomong sendiri (ngomyang) setiap ada latihan. Lalu Edi yang mencatat dan lalu  mengetiknya. Mastodon dan Burung Kondor serta Perjuangan Suku Naga prosesnya begitu. Jadi tak ada naskah sedari awal. Naskah buatan Mas Willy selalu dari hasil proses latihan-latihan dan diskusi. Dari situ Mas Willy mampu membaca karakter siapa mendapat peran apa menjadi karakter apa dalam naskah. Misal nanti yang sosok jadi peran kembar adalah Tino Karno sama Yanto. Sebab kedua anak itu pas kayak begucil-begucil begitu. Mas Willy misalnya bisa menemukan peran dan karakter yang pas untuk Sukarno D Sayuti. Sukarno D Sayuti itu dulu maskotnya Bengkel Teater. Pengemarnya paling banyak. Sebab dia itu lucu. Tapi lucunya tidak dibuat-dibuat. Kalau dia muncul di panggung orang selalu gerr. Nah, Mas Willy selalu bisa aja ciptain peran untuk Sukarno D.Sayuti dan masing-masing kita. Beda karakter antara Sukarno D Sayuti dan saya dan teman-teman lainnya. Maka dibuatkan peran sendiri-sendiri. 

Setiap tampil Anda dapat bayaran kan?

Dapat bayaran. Cukup besar. Mas Willy mana mau Bengkel Teater dibayar kecil saat pentas. Maka dari itu –honor kita untuk zaman itu cukup lah. Bisa untuk makan, bayar kontrak rumah.

Jadi dari segi keuangan, tata kelolanya sudah profesional Bengkel teater…. 

Ya. Tidak profesonal juga. Masih tradisional banget pengelolaannya. Yang ngatur keuangan adalah Edi Haryono. Nah dia ketat banget soal keuangan. Sehingga teman-teman menjulukinya Pak Sudomo (Diambil dari nama Pangkopkamtib Sudomo – yang saat itu  melarang pentas Rendra – red). Dia betul-betul ketat. Mas Willy saja termasuk tidak  bisa macam-macam soal keuangan bila berhadapan dengan dia. Dia ketat banget. Sekian rupiah…sekian rupiah. Jadi sistem di Bengkel itu begini. Pementasan Bengkel dapat kontrak. Rendra dibayar – presentase honornya sebagai sutradara, sebagai aktor kalau dia main atau sebagai penulis. Sementara kami dibayar tergantung sebagai senior atau yunior. Saya misalnya saat dibayar presentasenya sebagai yunior. Bayaran untuk senior lain lagi. Yang ngatur presentase itu Rendra. Nah sisa uangnya masuk kas. Yang pegang uang kas ini adalah Edi Haryono. Dia yang pegang duit Bengkel Teater. Uang kas ini salah satu modal Bengkel Teater beli tanah di daerah Kali Winongo – yang saya ceritakan tadi. 

Waktu itu pimpinan usaha atau produser Bengkel Teater siapa yang pegang ? 

Edi Haryono juga. Edi merangkap manajer keuangan.

Tahun berapa akhirnya Suku Naga pentas? 

Tahun 1975-1976. Kita pentas tiga kali. Tanggal  26-27  Juli 1975 di teater Terbuka TIM, lalu setelah itu  main di Gedung Merdeka Bandung ( pentas 6 September 1975 –red).  Nah sehabis itu betul-betul tak bisa pentas. (Perjuangan Suku Naga bisa pentas di Hall Sport Kridosono Yogya baru tahun 1978 –red) 

Dianggap ngipas-ngipasi mahasiswa lagi ?

Ya. Salah satunya juga  dianggap di pentas Suku Naga itu ada peran yang mirip  Ibu Tien. Mbak Yati Angkoro saat itu  main dengan kostum mengenakan gelung, kebaya. Nah itu dianggap menyindir Ibu Tien. Juga cara ngomongnya dianggap mirip Ibu Tien. Pada saat itu hal kita gak tahulah. 

Nah saat dilarang itu apa tetap ada latihan-latihan? 

Latihan tetap jalan. Kita terus latihan. Tapi jujur waktu itu  untuk makan kita susah. Hutang ditagih terus. Apalagi Mas Willy tahun 1975-1977 itu sudah mulai sering menetap di Jakarta. Kita ditinggal di Yogya. Tapi kita tetap latihan. 

Bagaimana lalu cara menghidupi diri saat itu?

Kami mengamen bawa nama Bengkel Teater. Saya waktu itu usul ke teman-teman Bengkel: “Orang kan tahu nih Bengkel Teater dilarang. Nah kita mengamen memapai topi caping dengan  simbol Bengkel Teater.“Ayuukk..kita keliling Indonesia. Siapa nih yang mau memimpin? Lu Wan yang mimpin,” begitu respon teman-teman.“Ayuuk” Berangkat. Ada gitar, ada flute.. Lalu saya yang mimpin ngamen. Ada Mahdi Malik, Udin Mandarin, E.H Kertanegara, dia wartawan – kakak Edi Haryono juga ikut, Lawu Warta, Iskandar Worowuntu. kami mulai mengamen di Malioboro  Yogya. Wah macet banget Malioboro, begitu kami mengamen membawa nama Bengkel Teater. Kami dapat saweran yang lumayan. 

Waktu itu lagu-lagunya apa itu?

Lagu-lagu sendiri. Lagu protes. Banyak lagu-lagu protes saya bikin bersama Mahdi Malik. Judul-judulnya: Berpikir, Hei Siap dan banyak lagi….

Waktu itu Sawung Jabo sudah terlibat?

Sawung Jabo belum masuk Bengkel Teater saat itu.

Bram Mahakekum?

Bram sudah menjadi anggota Bengkel lama. Tapi saat itu dia belum membentuk Kelompok Kampungan. Kelompok Kampungan mulai tahun 1976. Jadi kami saat itu mengamen sendiri,  Mas Willy tidak terlibat. Dari Yogja kami ngamen ke Solo, Salahtiga, Semarang, sampai Pekalongan. Bukan ngamen sekedar lagu, tapi juga ada pembacaan puisi, teater. Nah, yang nonton banyak sekali. Kita selalu mendapat duit saweran banyak. Sampai akhirnya kami sampai di Pekalongan. Kami mendapat telegram dari Mas Willy untuk berhenti ngamen dan segera pulang ke Yogya.

Telegram dari Rendra? 

Ya. Kami baru nyampe di Pekalongan, kami kan mau keliling Indonesia, kami mau nyebrang ke Sumatera. Baru sampai Pekalongan disuruh pulang, Ternyata di Jakarta Mas Willy dipanggil oleh Sudomo di Gedung Agung. Menurut cerita Mas Willy, Sudomo marah-marah. Sudomo bilang ke Mas Willy:”Itu, anak-anak buah kamu bikin kacau di jalanan.” Mas Willy lalu membela kami. Mas Willy bilang ke Sudomo, kami mencari duit karena pentas dilarang. Mas Willy sampai bilang “kalau ngamen dilarang, kasih izin dong kami pentas,” Sudomo kata Mas Willy mikir-mikir. “Oke, saya izinkan, tapi jangan keras-keras. Tidak  boleh karya sendiri, karya orang lain coba bawain. ”Mas Willy bilang menyanggupi oke. Tapi ya Mas Willy – karya apa saja tetap aja ada kritiknya kan..

(Tahun 1975 tersebut kemudian Bengkel mementaskan Egmont karya Johann Wolfgang von Goethe, di  Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki Jum‟at -Minggu, 31 oktober – 2 Nopember 1975. Pada Sabtu  31 Januari 1976, Bengkel mementaskan Lingkaran Kapur Putih karya Bertold Brecht (The Chaucian Chalk Circle). Setelah itu pada Sabtu 13 Maret 1976  mementaskan ulang Lysistrata di gedung Merdeka Bandung )

engkel Teater, Lingkaran Kapur Putih

Foto pementasan Bengkel Teater, Lingkaran Kapur Putih

Bisa Anda ceritakan pentas Lingkaran Kapur Putih tahun 1976?

Ya. Waktu itu Bengkel mendapat kontrak dari Bintang Family (Firman Bintang, Zainal Bintang dan Muin) untuk mementaskan Lingkaran Kapur Putih karya Bertold Brecht. Duit dari Bintang Family lumayan saat itu. Kami main di Istora Senayan. Saat itu Mas Willy menjadi aktor utamanya berperan sebagai Azdak, Mbak Sitoresmi menjadi Grushka, Gegek Hang Andika menjadi Raja muda Georgi Abashvilli, Bram Mahakekum menjadi Simon Shashava, saya menjadi Pangeran Igo Kashbeki. Nah sebagai aktor yang masih tergolong yunior –saat itu saya juga diangkat sebagai asisten sutradara… 

Kenapa Anda dipilih jadi asisten sutradara, kan masih banyak yang anggota senior Bengkel saat itu?.

Begini. Nah ini cerita agak off the record – , karena saat itu  para aktor-aktor senior Bengkel mundur karena sesuatu sikap Rendra yang tidak mereka setujui. Mas Adi Kurdi mundur, Mas Tertib Suratmo mundur, Mas Fajar Suharno mundur, wah habis semua (Iwan Burnani menceritakan off the record sebuah persoalan di Bengkel saat itu – yang tidak bisa ditranskrip di sini – red). Padahal waktu itu – pementasan tinggal satu bulan atau satu setengah bulan – saya lupa .  

Ribut gitu para senior dengan Mas Willy?

Ya ribut. Mas Willy juga ikut marah sampai Mas Willy di tengah latihan juga pergi. Saya sendiri tidak berani ikut campur. Senior-senior kan. Dulu senior dan yunior itu beda. Senior mempunyai hak untuk menentukan, sementara yunior tidak. Nah saat  para senior meninggalkan latihan. Mas Willy juga meninggalkan latihan. Kita bingung. Mau bagaimana. Saya sih saat itu berusaha cuek-cuek saja. Berusaha santai-santai saja. Nah, di situasi seperti itu Mbak Sitoresmi sama Mbak Sunarti datang menemui saya.“Wan..Ini semua sudah pergi, padahal kita ini sudah kontrak dengan Bintang Family. Kita main di Istora Senayan,” Mbak Sitoresmi saya ingat bilang begitu. “Maksudnya Mbak Sito bagaimana?” saya tanya balik ke beliau. ”Ya sudah, yang mimpin latihan, kamu saja..”tiba-tiba Mbak Sito bilang begitu. “Wah Mbak, apa aku bisa apa ? Aku kan yunior.” Mbak Sito menjawab: “Sekarang tidak ada lagi Adi Kurdi, Tertib Suratmo dan Fajar Suharno juga keluar. Yang yunior harus berani naik,” kata Mbak Sito. Saya jawab:”“Aku coba deh Mbak, kalau begitu aku coba” Mulai aku kumpulin teman-teman..

Siapa aja tuh yang masih tersisa ?

Masih banyak yang yunior-yunior. Mereka mengganti peran yang ditinggalkan. Ada Dahlan Rabu Pahing, Bambang Isworo, Udin Syah. Tapi kami sendiri sempat ribut, karena ada yang tidak terima saya mimpin latihan. Ya saya disuruh mimpin gimana ? Kami sempat berantem..lu halang-halangin gue .., sampai begitu loh saya. Saya kan juga keras. Baru kemudian Mas Willy datang, entah dari mana. “Sudah, sudah, tidak ada lagi yang ribut ,kita mau pentas. Ini nanti kita bisa dipenjara, kalau tidak jadi pentas. Uang sudah kita ambil soalnya,” demikian Mas Willy. Saya lalu bilang: “Mas tolong Mas, Mas Willy disini dulu deh.” “Oke, kamu sudah casting siapa saja? ”Kamu sudah latih? Akhirnya kami latihan lagi dipimpin Mas Willy. Mbak Sunarti menjadi penata musik. Penata lampu dan set Mas Rudjito yang datang dari Jakarta. Dari Mastodon, tata lampu selalu Mas Rudjito.Nah di situ Mas Willy bilang ke saya: “Kamu punya bakat menjadi sutradara. Kamu memiliki bakat memimpin”. “Wah saya hanya mencoba saja Mas. Kostum bagaimana Mas.” Kostum pakai pakaian pesilat, pakai ini..ini..ini …Kamu catat iwan. Kita main. Berangkat.

Berapa bulan latihannya keseluruhannya semenjak ditinggalkan para senior itu?

Sekitar 4 bulan. Wah menurutku pertunjukan Lingkaran Kapur Putih itu pertunjukan paling jelek. Jelek menurut aku ya. Mas Willy mainnya juga tak bisa total, karena ada masalah-masalah itu.

Tahun 1977 masih memainkan Sekda (Sekretaris Daerah) kan ? 

Ya. Sekda main di Teater Arena TIM tahun 1977. Mas Willy bermain sebagai Sekretaris Daerah. Ini sekali lagi kritik soal pemerintahan. Saya waktu itu tidak turut main. Hanya menjadi asisten sutradara. (Pementasan ini menurut rencana dipentaskan pada 18-20 Mei 1977. Namun jadwal diundur menjadi tanggal 27-29 Juli 1977 sebab Rendra selama bulan Mei masih terlibat syuting film: Terminal Cinta)

Film Terminal Cinta

Foto poster film Terminal Cinta

Nah, tahun 1978, Rendra baca puisi di TIM dilempari bom amoniak. Setelah itu pentasnya dilarang lagi. Betul?

Ya. Setelah itu Rendra masuk penjara. Saat itu  Mas Willy sudah akrab dengan Hariman Siregar.., 

Iwan Burnani kemudian menceritakan bagaiman suasana kehidupan anggota Bengkel Teater tahun 1978 setelah Rendra masuk penjara di Jakarta. Mereka tetap bertahan hidup di Yogja. 

Selama Mas Willy di penjara di Jakarta, pentas dilarang lalu bagaimana Bengkel Teater di Yogya?

Saya sendiri di Yogya tetap aktif. Saya sendiri lalu membikin pertunjukan dengan Sawung Jabo, tidak bawa nama Bengkel. Latihan-latihan di Bengkel tetap kami adakan. Kita aktif melatih mahasiswa-mahasiswa yang datang. Dari ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia), AMI (Akademi Musik Indonesia), Universitas, Gajah Mada, kumpul jadi satu minta kami latih. Oke, saat itu saya dan Jabo melatih. Para mahasiswa itu lalu mengasih uang ke saya dan Sawung Jabo. Saat itu kami sudah berat untuk uang makan. Kami sudah tak punya uang makan, hutang juga sudah tak boleh. Nah, kalau mahasiswa datang latihan – kami suka dijajanin makanan. Suatu hari tiba-tiba Bambang Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Kristen Satyawacana, datang ke Bengkel. Dia yang punya minyak terkenal Kutus-Kutus sekarang….

Servasius Bambang Pranoto pemilik PT Kutus Kutus Herbal?

Betul. Saya memanggilnya Bambang KPL saat itu. Nah Bambang itu bilang ke saya: “Wan, bikin pertunjukan di UKSW mau nggak ?” “Boleh, uangnya ada gak? ” “Ga ada”. “Transport ada?” “Ada” “Akomodasi ada ?” “Ada.” “Konsumsi ada ?” “Ada” “Ok,” saya langsung bilang ke Bambang. Saya kemudian latihan sama Sawung Jabo dan mahasiswa-mahasiwa yang kami latih itu. Saya bikin gerak, Jabo bikin  musik bersama grupnya. “Bo, bikin ini Bo..lagunya gini..trus gini..gini. Jabo bikin. Kisah perjalanan awan bagaikan seorang anak manusia. Nah begitu mau pentas, seminggu lagi, tiba-tiba ,Bambang KPL  datang dan bilang: “Ora sido (tidak jadi) Wan.”. “Wah aku udah latihan,” jawab saya. “Ya tidak bisa, duitnya  untuk transport rombongan dari Yogya ternyata gak ada ,” kata Bambang. Aku jawab: “Ga ah, aku tetap aja”. Bambang mengulang lagi: “Loh betul-betul kami tak ada ada duitnya” 

Terus  gimana?

Nah. Saat itu saya kemudian tanya ke mahasiswa-mahasiwa yang kami latih: “Udah dapat uang kiriman belum ?” “Ada mas,” kata mereka. “Bantingan mau ngga ? Kita sewa colt, kita berangkat pentas,”saya tanya mereka. Ternyata mereka mau. Seru. Pas saat itu musisi Australia Suzan Piper, pacar Sawung Jabo juga datang ke Yogya. Saya langsung mengajak Susan. “Susan ikut main ya” aku bilang. Lalu kemudian juga datang Emha Ainun Nadjib ke Bengkel, dia saya ajak juga ke Salatiga. “Ikut, kamu bagian ngomong, kamu kan pintar ngomong. Kamu yang ladenin diskusinya mahasiswa di sana,”kata saya ke Emha. 

Di Salatiga  bagaimana mainnya?

Ya di panggung aku sampai improvisasi mempermasalahkan mengapa Mas Willy di penjara. Nah saat melihat ruangan pentas besar dan mahasiswa yang menonton banyak, saya bilang ke Jabo bahwa aku akan bikin adegan turun ngamen “Bo, mainkan lagu: Disitu ada Bunga, lalu nanti aku turun ke penonton bawa topi caping minta uang. Dan ternyata wowww duitnya dapat banyak sekali. Duitnya lebih banyak dari yang Bambang kasih.

Ha..ha lalu duitnya untuk apa?

Untuk beli celana lagi. Saya kan waktu itu kemana-mana dengan Jabo memakai sarung. Orang bilang anak-anak Bengkel Teater nyentrik. Rambut panjang dan sarungan. Padahal aku gak punya stok celana. Celana yang ada sudah aku jual di Pasar Bering Hardjo untuk kebutuhan makan. Tinggal celana pendek dan sarung. Lha, bukan nyentrik ini. Langsung kemudian sampai di Yogya saya beli lagi celana di Bering Hardjo. Celana bekas.  

Pertunjukannya hanya di Salatiga? 

Setelah dari Salatiga, kami ditanggap di UGM dan kemudian di Universitas Erlangga Surabaya. Nah ke Surabaya sampai Suzan Piper ikut juga. Kami gak nyangka bisa sampai ke Surabaya. Saya saat itu bilang ke Jabo: “Ini rombongan banyak banget ya Bo, gila..kayak rombongan sirkus aja kita nih ya.” Dari situlah kata sirkus kemudian ditambahkan ke Barok jadinya Sirkus Barok. Karena rombongannya sudah kayak pemain sirkus. 

Tahun 1979  Mas Willy katanya sudah mulai bisa keluar dari penjara?

Ya, Bengkel Teater  dikasih izin pentas tapi tidak boleh yang berbau politik. Akhirnya kami pentaskan ulang yang lucu: Lysistrata. (pentas di Sport Hall Kridosono Yogya ,Sabtu-Senin, 15-17 November 1979 –red) . Tapi ya Mas Willy walau lucu tetap ya mengritik, nyindir-nyindir . Sehabis Lysistrata..jebrekkkk… Bengkel Teater dilarang total.. Akhirnya ya udah.. Dari situ, aku tahun 1980  bikin group. Teater Perlak. 

Foto tulisan Umar Kayam di Kolom Majalah Tempo tentang pementasan Lysistrata

Di Yogya ya ? Pentas apa Teater Perlak? 

Ya di Yogya. Kami pentas di Seni Sono tanggal 23-24 Juli 1980. Teater Perlak ini sesungguhnya gabungan anak-anak Bengkel. Waktu itu saya pentaskan naskah: Ben Go Tun karya Saini K.M (Sebuah naskah mengenai seorang pejuang yang penuh kepalsuan-red). Naskah ini aku ubah, aku adaptasi. Sawung Jabo ikut bagian mengisi musik. Jemek Supardi (pantomimer) juga membantu bagian  publikasi. Terus Dede Eri Supria, pelukis membantu di bagian tiket. Dia  kusuruh menggambar, terus gambarnya dicetak pada tiket. Nah waktu akan pentas saya  dipanggil Laksus. “Kenapa pak ? Kan izin pertunjukan saya cukup izin polisi saja,” saya saat itu tanya. “Kamu asisten sutradaranya Rendra kan?” mereka tanya. “Iya, tapi pertunjukan ini tidak ada kaitannya dengan Rendra,” jawab saya. “Kamu ini untung tidak saya tangkap. Kamu yang memprovokasi anak UII dan UGM kan,  gitaran baca puisi protes. Mana Mayon Sutrisno?” tiba petugas itu tanya. Mayon (kemudian dikenal sebagai sastrawan dan penulis biografi -red) itu sering ke Bengkel dan memang sering ikut-ikutan saat kami keliling kampus. “Apa itu Mayon,  dia teriak-teriak gantung-gantung Suharto saat kamu keliling-keliling kampus,” kata Laksus itu. Lalu Laksus itu melihat naskah Ben Go Tun. ”Ini saya izinkan tapi ini coret, ini coret,” kata petugas Laksus  meminta menghapus beberapa adegan. “Wah ga bisa, ini naskah orang Pak…” jawab saya.“Ya udah kalau tidak bisa, tidak saya izinkan. Mana Mayon ? Akan saya tangkap Mayon itu,” kata petugas itu. Mayon kan ada di panggung, rupanya ini Laksus tidak tahu rupa orang. Tentu saya tidak memberi tahu Mayon di situ…

Iwan-Burnani

Foto berita di media tentang pementasan Ben Go Tun (Sumber foto: Dokumentasi Pribadi)

Akhirnya…

Kami diizinkan pentas. Tapi hanya satu kali itu. “Ga ada izin lagi,”kata Laksus itu. Wah pusing lagi, nganggur lagi besok. Padahal penonton saat itu membludak. Butet Kertaredjasa ingat suasana pertunjukannya. Dia nonton. Pentas kami diliput oleh Majalah Aktuil. Judul Majalah Aktuil saat itu: Karya perdana Iwan Burnani Telanjangi Penonton. Tapi kemudian saya tak ada kegiatan lagi. Saat itu Mas Willy yang ada di Jakarta bilang “Udah kamu ke Jakarta saja…”.  

Iwan Burnani Toni kemudian menceritakan fase-fase hidupnya saat telah tinggal di Jakarta.

Anda akhirnya jadi tinggal di Jakarta?

Ya. Saya juga saat itu telah menikah dengan orang Jakarta. Tapi betul-betul awalnya saya tak betah hidup di Jakarta. Mas Willy saat itu tinggal di daerah Tomang, di gang sempit bersama Ken Zuraida. Nah kerjaan saya, tiap hari saya luntang lantung ke Taman Ismail Marzuki. Nah suatu hari saat saya di TIM, tiba-tiba saya dan teman-teman ditawari oleh Ati Cancer. “Ikut yukkk..ini ada tes untuk menjadi dubber (pengisi suara Unyil).”  “Apaan tuh saya bilang…”

Sandiwara boneka Unyil di PFN (Pusat Film Nasional)?

Iya di PFN. Nah saya kemudian ikut tes dubber. Ternyata aku lolos dan terpilih menjadi pengisi suara Pak Lurah – dalam sandiwara boneka Unyil. Jadi kalau Anda lihat sandiwara boneka Unyil zaman dulu di TV pas hari minggu, ada tokoh lurah, kalau dia ngomong – itu suara saya. Nah dari gaji dubber itu saya bisa menetap di Jakarta.. 

Ini menarik. Banyak yang tak tahu Anda sebenarnya pernah menjadi dubber suara boneka Lurah di Unyil. Mungkin bisa cerita pengalaman menjadi dubber itu.

 Iya jadi dubber. Wah yang ikut tes ribuan orang. Aku nekat saja ikut. Mana badan aku saat itu  masih suka teler. Eh ternyata lolos. Nah saat itu rambut saya masih gondrong sekali. Karena menjadi lurah –meski suaranya saja, saya diharuskan potong rambut. Wah sampai beberapa kali potong saat itu haha. Sudah kupotong katanya masih kurang pendek. Dipotong lagi, masih dibilang kelihatan gondrong. Akhirnya sampai ya potong pendek sekali. 

Itu pengambilan syuting dan kemudian pengisian suaranya gimana? Bisa cerita?

 Yang bikin boneka-boneka Unyil dan lain-lain itu Pak Suryadi. Jadi dimainkannya begini…(Iwan lalu menampilkan  permainan boneka kain di jari tangan). Sutradaranya Pak Zulkarnain. Jadi drama boneka itu disyuting dulu sampai jadi filmnya. Syutingnya memakai kamera besar. Lalu setelah film selesai diputar di studio baru aku sebagai dubber mengisi suara. 

Saat mengisi suara itu sudah tahu jalan ceritanya?

Tidak  tahu. Kita dikasih skenario sebelum mau dubbing. Saya baca, langsung take.

Anda berapa lama bergabung sebagai dubber di Unyil ?

Setahun lebih. Sampai tahun 1982. Unyil menjadi sangat terkenal. Bahkan ada filmnya: Unyil Menjadi Manusia. Bahkan saat  itu ada penonton yang ingin tahu, melihat pengisi-pengisi  suara Unyil. Mereka ingin dubber-dubber yang selama ini di belakang –  dimunculkan di film. 

Kenapa hanya setahun lebih?

Nah begitu Unyil makin terkenal, suatu hari aku diajak Mas Willy ke rumah Bang Adnan Buyung Nasution. Bang Buyung bilang: “Wah kau sekarang kaya Wan ya ?” “Waduh, kaya apaan Bang.”Bang Buyung kemudian bilang: “Itu cucuku, punya kaset si Unyil ada suara kau.” “Wah aku gak dapat apapun Bang dari kaset itu,”jawab saya. Tiba-tiba Adnan Buyung Nasution memarahi saya: “Kau ini anak buah Rendra yang goblok. Kau tidak dapat apa-apa? “ begitu omel Bang Buyung.” “Sepersen pun gak dapat Bang.” “Wah kau goblok,” aku dimaki Adnan Buyung. “Kok goblok sih Bang ?” “Ya goblok lah, itu suara dijual, harus minta bayar dong, kau gak mau minta ?” “Ya gimana aku minta ? Aku ga punya kontrak. Job saya itu hanya berdasar surat calling. Setiap dapat surat calling pengisian suara, surat aku simpan, aku kumpulin sampai banyak, terus ditukarin. Dari situ kita dapat uang makan, uang transport dan sebagainya. Cukup lumayan…

Lalu apa reaksi Adnan Buyung? 

Saat itu Bang Buyung langsung bilang: “Urus secara hukum!” “Urusnya gimana Bang ? Aku tak punya duit” “Besok kau ke LBH (Lembaga Bantuan Hukum),” kata Bang Buyung. Jadi aku oleh Adnan Buyung akan dibantu pengacara LBH untuk menuntut PFN. 

Akhirnya Anda datang ke LBH?

Ya, saya datang. Bang Buyung langung bilang: “Kau boleh pilih, mau sama pengacara siapa di sini”. Saya langsung pilih Mahdi Ismail karena dia teman, sama-sama aktivis di Yogya. ”Di, kau mau menjadi pengacaraku ya. Boleh kan Bang Buyung ?” “Boleh aja, terserah kau mau yang mana” jawab Adnan Buyung. Kami lalu menuntut ke sidang pengadilan. Mahdi menyusun tuntutannya. Ia menyuruh aku meminta aku menuntut Rp. 5 perak setiap kaset kepada PFN. “Minta 5 perak satu kaset, kalin berapa juta tuh seluruh Indonesia. Ebiet pasti kalah ntar,” kata Mahdi saat itu. 

Bagaimana saat di sidang pengadilan?

Kalah. Karena aku tak punya surat kontrak. Pengadilan mengatakan suara bisa aja milik suara orang lain. Bisa saja saya hanya mengaku-ngaku. Ya udah karena kalah, tahun 1982 saya keluar dari Unyil.

Iwan-Burnani

Foto berita di media tentang tuntutan haknya Iwan Burnani sebagai Dubber kaset Unyil (Sumber foto: Dokumentasi Pribadi)

Lalu apa yang Anda lakukan setelah tak dapat job lagi di Unyil? 

Aku tiap hari tinggal di tempat Mas Willy di Tomang. Aku saat itu sudah cerai dengan istriku. Aku juga saat itu sesungguhnya punya kost di Kampung Melayu. Waktu itu biar dekat, supaya aku bisa jalan kaki menuju PFN. Lalu aku pernah kost di Paseban, kemudian di  Kramat. Tapi aku sering ke Tomang agar aku tetap berhubungan dengan Mas Willy. Saya juga masih terus main ke TIM. Nah, di TIM suatu hari ketemu almarhum Mas Yos Maruta Effendi (pemimpin Sanggar Adinda). Dia bilang:“Wan, bikin teater dong.” Ada duitnya gak ?”saya Tanya. “Ada. Ini ada proyek dari Dikbud, untuk mengisi studi pembandingan teater darah seluruh Indonesia.” “Aku terima tawaran itu. Akhirnya aku memainkan naskah Lawan Catur (naskah karya Kenneth Sawyer Goodman terjemahan Rendra). Aku merangkap pemain dan sutradara. Aktornya ada Bangkit Sanjaya, Kamsudi Merdeka.

Oh Merdeka ikut ? Dia kan udah di Teater Mandiri waktu itu ?

Ya dia anak Teater Mandiri. Tapi dia juga anggota Teater Adinda. Aku sering melatih di Teater Adinda juga. Nah akhirnya saya ke Tomang melapor ke Rendra. “Mas aku membikin teater, tapi belum punya nama. Apa ya enaknya namanya?” kata saya. Rendra menjawab: “Namanya kayak hidup kamu aja. Muterr aja kamu tiap hari. Kamu tidak ernah menyerah. Teater Baling-Baling aja namanya deh.” Aku setuju: “Iya deh, Baling-Baling.” 

 Pentasnya dimana itu ?

Pentasnya di Dikbud. Waktu itu seluruh wakil peserta teater-teater daerah seluruh Indonesia datang. Anggota Teater Baling-Baling kemudian bertambah. Bergabung Meritz Hindra, Dedek, Bambang Esa, hari Cahyono dan lain-lain. Setelah Lawan Catur kemudian aku pentasin  Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani. 

Tahun berapa? 

Tahun 1983, di Dikbud juga. Sesudah itu aku mau pentasin Bunga Rumah Makan di TIM. Tapi tidak  boleh, karena harus melalui jenjang Festival Teater Remaja. Tapi aku ngotot. Akhirnya aku pentasin di luar gedung di samping Teater Arena. Ternyata yang menonton banyak. Dan aku malah mendapat sertifikat dari TIM.

Foto pementasan Bunga Rumah Makan di Taman Ismail Marzuki

Foto pementasan Bunga Rumah Makan di Taman Ismail Marzuki (Sumber foto: Dokumentasi Pribadi)

Setelah pementasan Bunga Rumah Makan, selanjutnya apa lagi proses kreatif Anda?

Saat itu saya sering mengobrol dengan Mas Willy. Mas Willy waktu itu kerja di tempatnya Edi Alamsyah, Penerbit Unipress. Edi Alamsyah itu anaknya Pak Alamsyah Ratu Prawiranegara, Menteri Agama. Nah, disitulah Mas Willy membuat buku-buku tentang bermain drama, dengan menyamar nama: Wahyu Sulaiman. Tapi akhirnya ketahuan juga sama Suharto. Mas Willy cerita ke saya, saat itu Pak Alamsyah ditanya aparat mengapa anaknya memberi tempat kumpul-kumpul Rendra dan Hariman Siregar. Akhirnya Pak Alamsjah ngomong ke Edi dan Edi menceritakan ke Mas Willy.  Mas Willy kemudian keluar dari Unipress. Mas Willy nganggur. Nah tiba-tiba saat itu Mas Willy datang ke kos saya.

Di mana kost Anda saat itu?

Di Kramat.  Saat datang itu Mas Willy berkomentar: “Wah Wan, tempatmu kumuh kayak di Harleem nih.“ Saya nggak tahu apa itu Harleem. Harleem ternyata daerah kumuh di Amerika. Mas Willy saat itu cerita kontrakan rumahnya di  Tomang sudah habis. Mau memperpanjang tak ada duit. Tapi ada yang mau bantu minjamin rumah. Dia mengajak saya ikut ke orang yang mau minjamin rumah. “Kamu bawa mobil, kamu kan bisa nyupir,”kata Mas Willy. Berangkatlah kami ke Depok. Ke jalan Mangga. Rumah Chris Kelana.  

Chris Kelana, wartawan Kompas?

Betul. Sampai di sana kami lihat ternyata gedhe rumahnya. Chris hubungannya kan dekat dengan Rendra, sering wawancara. “Wah Kris, berapa nih kontraknya ? kata Mas Willy. “Wah kok ngomongin kontrak Mas ? Terusin aja cicilannya, rumahnya ini tak saya tempatin lagi,”jawab Chris. Rendra langsung merespon: “Apalagi ngomongin cicilan Chris, aku kan penggangguran. Aku gak  tahu apa yang bisa dimakan besok, ”kata Mas Willy saat itu. Tapi kemudian Ken Zuraida , istri Mas Willy ngomong:  “Mas Kris komit ? Aku yang kerja, aku yang nyicil. ” Ken Zuraida kemudian kerja di PFN. Ken Zuraida kan desainer grafis. Setelah itu Mas Willy juga dapat bantuan teman-teman untuk kerja. Tapi banyak yang ridak tahu soal kerja Mas Willy satu ini. Mas Willy saat itu dapat kerja di Night Club – di kawasan Monas. Lupa aku namanya. Ia di sana hanya disuruh nongkrong saja. Kan Mas Willy terkenal. Jadi kehadiran Mas Willy bisa menjadi daya tarik marketing Night Club itu. Tapi ya tiap hari Mas Willy pulang agak mabuk. Lama-lama dia bosan sendiri.  “Capek aku begini trus” kata Mas Willy.” 

Lalu?

Nah setelah keluar dari Night Club itu saya diajak Mas Willy ketemu sahabat Mas Willy namanya, Fendi. Baik banget dia sama Mas Willy. Dia kasih ruang untuk Mas Willy di daerah  Tegal Parang. “Bikinlah apa kek disini Ren. Terserah. Kantor konsultan atau apa. Biar teman-temanku bisa minta pendapat kau lah, tentang usaha-usahanya,”  kata Fendi ke Mas Willy.  Nah jadilah Mas Willy dan Fendi bikin usaha konsultasi. Namanya: Rendra dan Rekan. Saya  suka datang ke kantor Tegal Parang itu. Saya bersama Teater Baling-Baling saat itu mau mentasin: Suto Mencari Bapak karya Mas Willy di Ancol. Saya latihan di rumah jalan Mangga Depok yang sekarang sudah ditempatin Mas Willy dan Ken Zuraida. Tapi saya juga sering latihan di kantor Mas Willy di Tegal Parang. Nah yang lucu, Mas Willy sering ikut latihan. Aku ledekin , woo…..kagak bisa main ya. Woooo kagak ada izin..hehe. Nah pentas Suto Mencari Bapak di Ancol saya bikin dengan menggunakan topeng-topeng serta musikal. Mas Willy yang mencarikan uangnya. Dia senang dengan pentas saya. “Pementasan kamu lain, kamu punya gagasan dalam bentuk lain,” kata Mas Willy. 

Foto pementasan Suto Mencari Bapak di Taman Ismail Marzuki (Sumber foto: Dokumentasi Pribadi)

Iwan-Burnani

Foto berita di media tentang pementasan Suto Mencari Bapak (Sumber foto: Dokumentasi Pribadi)

Mas Willy jadi kepengin main lagi ya…. . 

Nah suatu hari di tahun 1985 tiba-tiba Mas Willy mengajak saya ke Sekneg. “Wan, ikut ke Sekneg,” ujar Mas Willy. “Sekneg? Ngapain Mas ke Sekneg Mas ?”saya ingin tahu.”“Gak  tahu nih, Moerdiono panggil saya, mudah-mudahan kita diizinin,”kata Mas Willy. Saya ingat saat ikut itu saya menggunakan kacAmata hitam. Saya saat itu masih suka nggeelek kan..Dibentak oleh Rendra: “Hei copot kacamatamu.” Mas Willy masuk ke ruangan Moerdiono saya tunggu di luar. Saat Mas Willy keluar dia langsung ngomong: “Aku dapat pentas Wan, keliling baca puisi”  

Itu pertama kali baca puisi  sesudah dilempar bom amoniak di TIM tahun 1978 itu ya ?

Ya. Itu pentas keliling. Dari Jakarta, ke Yogya terus ke GOR Simpang Lima Semarang. Lalu tahun 1985 ke GOR Saparua Bandung. Nah di Bandung ini lain. Meski Mas Willy sudah diizinkan, dia harus memiliki izin lagi dari Siliwangi. Saya ingat saat itu pas menjelang malam pertunjukan di GOR Saparua, Mas Willy dipanggil Siliwangi. Wah padahal penonton sudah banyak di pintu GOR Saparua. Dan Mas Willy masih dipanggil…

Penonton membludak  saat itu?

Ya. Penonton sudah membludak. Pentas itu yang mengadakan anak Universitas Padjajaran. Kalau tak salah Yudi Latif ikut terlibat menjadi panitia. Saat itu semua penonton gebrak-gebrak pintu masuk GOR. Saya menemui pihak GOR Sapurua, saya bilang: “Pak saya asistennya Rendra. Tolong pintu dibuka Pak. Bisa hancur gedung ini kalau tidak dibuka.” Petugas lalu bilang: “Ya kalau mereka masuk gimana. Belum ada Rendra?” Saya bilang: “Saya yang bicara. Saya yang  tanggung jawab, kalau ada apa-apa. Saya siap.” Akhirnya pintu dibuka. Dan brolll – penonton masuk semuaa…, Saya waktu itu  siap ditangkap. Saya bilang ke Albert Razak, anggota Bengkel Teater yang juga menjadi panitia: Albert, kita siap-siap saja Mas Willy tidak mendapat izin. Kita  siap-siap ditangkap,” Albert menjawab siap. Saat itu saya sampai mengenakan baju  anti peluru. 

Pakai baju Anti peluru?

Ya anti peluru. Saya soalnya di Bandung – masih teringat saat tahun 1973 itu ikut baca puisi di lapangan basket ITB. Banyak terdengar suara tembakan. Di GOR Saparua itu kami panitia tegang sekali. Panitia-panitia cewek-cewek pada menangis semua. Mereka takut. Saya kemudian naik ke panggung. Dan kepada penonton saya bilang: “Assalammualaikum. Perkenalkan saya Iwan Burnani. Saya asisten Rendra. Sekarang Rendra masih berada di Siliwangi, Saya mohon maaf karena kalian sudah membeli tiket dan terganggu seperti ini. Saya minta supaya tenang. Seandainya Rendra tidak tampil. Mohon pengertian saudara-saudara semua..” Baru ngomong begitu, tiba-tiba Mas Willy dari arah  belakang…daarr…, kaget  aku. Mas Willy muncul di panggung sambil mengepalkan tangan dan tanpa banyak ngomong langsung baca sajak. 

Pada tahun 1986, setelah lama vakum pentas teater, akhirnya Bengkel Teater pentas lagi. Sebuah pentas yang spektakuler. Naskah baru Rendra: Panembahan Reso yang durasinya sampai 6 jam. Pentas berlangsung di Istora Senayan.

Bagaimana cerita akhirnya tahun 1986 pentas Panembahan reso. Setelah 7 tahun dilarang pentas teater?

Nah, begini ceritanya. Aku kan sudah tinggal di rumah Mas Willy, di Jalan Mangga 89, Depok.  Aku dan Edy Haryono dikasih kamar sama Mas Willy. Saya sering menyupiri Mas Willy saat pergi ke mana. Nah, suatu kali saat saya menyetir mobil, Mas Willy ngomong: “Wan, kita dapat izin pementasan.” “Oh ya? Pementasan apa Mas?”tanya saya. “Panembahan Reso,” jawabnya. “Wah aktor-aktornya siapa saja Mas?” tanya saya lagi. Rendra menjawab: “Ntar dulu, nanti sampai rumah kita rapat.” Sampai rumah – di Jalan Mangga Depok lalu Mas Willy, Ken Zuraida, saya dan Edi Haryono rapat. Mas Willy membuka rapat:  “Kita dapat izin, dan juga sudah dapat impresario. 

pementasan Panembahan Reso

Foto pementasan Panembahan Reso tahun 1986 (1)

Apa reaksi Anda?

Saya langsung bertanya lagi, aktor-aktornya siapa Mas? Karena saat itu aktor-aktor Bengkel Teater sudah menyebar sendiri-sendiri. Rendra menjawab: “Nah ini.., Bengkel Teater sudah mati suri, sekarang tidak ada lagi Bengkel Teater. Saya sekarang akan membuat Bengkel Teater Rendra,” kata Mas Willy. Lebih jauh Mas Willy lalu mengatakan: ”Manajemen saya ubah. Karena namanya Bengkel Teater Rendra maka kelompok ini milik  saya. Keuangan bukan lagi Edi Haryono yang pegang, biar Ida (Ken Zuraida-red) yang pegang. Kamu Iwan saya bayar profesional, sebagai asisten sutradara, Edi Haryono kamu juga saya bayar, mungkin sebagai “keranjang sampah” tempat apa saja, anggota organisasi saya bayar. Mau ikut dengan manajemen baru?” Rendra bertanya saat itu. Saya langsung bersedia ikut. Rendra lalu bilang:”Oke, kalau sudah siap. Kita panggil orang-orang yang mau terlibat kembali di Bengkel Teater Rendra dengan manajemen baru ini””

Setelah Anda dan Edi bilang sepakat lalu ?

Rendra bilang: “Iwan anggota Teater Baling-Baling saya ambil semua. Ikut pementasan ini semua. Saya bilang: oke. 

 Siapa saja sat itu anggota Teater Baling-Baling yang begabung?

Ada Otig Pakis, Rudi Anggawy, Arif yang sekarang di Australia, Oso adiknya Edi Haryono, Pipin Putri dan lain-lain. Selain itu anggota Teaternya Ken Zuraida: Teater 89 juga dimasukkan Mas Willy Teater 89 saat itu juga aktif latihan di Jalan Mangga bersama Teater Baling-Baling.

Siapa saja anggota Teater 89?

Ada Radhar Panca Dahana, Sitok Srengenge dan lain-lain. Mas Willy juga kemudian menyuruh saya dan Edi pergi ke rumah Adi Kurdi untuk meminta Adi apakah dia tertarik ikut pementasan.”Sekarang kalian hubungi Adi Kurdi, kalian ke rumah Adi Kurdi,”kata Rendra. 

Adi Kurdi tinggal dimana ?

Di Pulomas, di Jakarta. Saya saat itu menjelaskan kepada Mas Adi Kurdi, bahwa Bengkel Teater diperbolehkan pentas lagi. “Maaf Mas.. Mas kan sudah keluar dari Bengkel Teater Yogya,” kata saya saat itu. Saat ini saya menjelaskan oleh Mas Willy, Bengkel Teater  diubah  manajemennya menjadi Bengkel Teater Rendra. Jadi pentas atas nama Bengkel Teater Rendra bukan lagi Bengkel Teater Yogya. Dan pembayarannya bukan lagi berdasar prosentase senior-yunior seperti dulu. Adi Kurdi ternyata menyambut baik rencana pementasan Panembahan Reso. Dan dia menyatakan ikut bergabung. Sawung Jabo kemudian siap terlibat. Dahlan Rebo Paing juga. Mas Willy sendiri kemudian ke Yogya – menemui anggota-anggota lama Bengkel Teater – untuk menanyakan apakah mereka mau terlibat. 

Menemui siapa saja Mas Willy?

Banyak. Mbak Sunarti mau terlibat. Mbak Sitoresmi tak mau. Untung Basuki mau. Albert Razak dan Nita Azhar mau. Hermin Centhini tidak mau.. Mas Willy bilang pemainnya Panembahan Reso banyak sampai 60 an.

Iwan Burnani Toni

Foto Iwan Burnani Toni bersama Nita Azhar (pemeran Ratu Dara di Panembahan Reso 1986) dan Butet Kertaredjasa dalam sebuah pertemuan di tahun 2019. (Sumber foto: Dokumentasi Pribadi)

Bagaimana cara Rendra menuliskan naskah Panembahan Reso?

Sama, kayak dulu lagi. Edi Haryono tugasnya itu mengetik dan mencatat terus apa yang diucapkan Mas Willy..

Latihan Panembahan Reso lalu di Jalan Mangga 89 Depok?

Kita cari kontrakan rumah lagi yang bisa menjadi tempat latihan yang luas. Saya lalu mengontrak rumah di Jalan Srikaya, kawasan Depok juga. Pemiliknya ternyata pengagum Rendra. Rumahnya pas di hook. Ruangan di dalam rumah aku bobol biar bisa luas. Pemiliknya tak masalah. Saya terus tinggal di pavilyun rumah tersebut Bambang Isworo di atas. Lalu anak-anak di 4 kamar lainnya.-kamar. Mbak Sunarti yang dari Yogya tinggal di tempat Sawung  Jabo. Para pemain lain dari Yogja dikontrakin rumah di daerah jalan Srikaya juga. Di Jalan Dahlia misalnya ada yang dikontrak untuk tempat tinggal para pemain.  

pementasan Panembahan Reso tahun 1986

Foto pementasan Panembahan Reso tahun 1986 (2)

Latihannya bagaimana ? Banyak dari mereka sebelumnya kan tidak pernah terlibat latihan Bengkel Teater?

Mas Willy  membentuk tim astrada yaitu: saya dan Bambang Isworo. Mas Willy menggembleng terus agar anak-anak tidak mudah mengantuk saat latihan. Pernah anak-anak disuruh latihan seperti ajojing  3 jam nonstop dengan tangan ke atas. Mereka menari terus dengan tangan terangkat ke atas diiringi  musik dari kaset. Tangan tidak boleh turun. Latihan itu ternyata – benar – membuat anak-anak tidak mengantuk.

Rendra waktu itu juga semangat latihan ?

Beliau semangat banget. Latihan tambah keras lagi. Kalau dulu kita di Yogya latihan-latihan  kayak jalan di malam hari, mencelup diri masuk di lumpur dan lain-lain, sekarang latihannya beda lagi. Pernah suatu malam di rumah Jalan Srikaya tersebut, anak-anak dikumpulkan dan kemudian disuruh masuk ke kamar mandi kecil, ukurannya mungkin 1,5 meter x 1,5 meter. Nah anak-anak itu  20 an orang dimasukin semua oleh Mas Willy. Mereka sampai dempet dempetan luar biasa, bahkan tumpuk menumpuk. Nah terus dalam kondisi demikian – tiba-tiba mereka oleh Mas Willy disiram comberan. Tidak hanya satu kali – disiram lagi. Saya sampai tidak tega…

Itu maksudnya apa? Latihan kayak begitu?

Itu latihan mental dan kebersamaan. Kalau mentalnya tidak  kuat pasti mereka putus di tengah jalan, keluar. Selain latihan mental juga latihan ikhlas. Latihan ikhlas seperti saat saya dan kawan-kawan dulu di Yogya disuruh berjalan dalam hujan deras. Tapi jujur saat itu saya deg-degan saat mengawasi latihan mereka disiram air comberan saat tubuh tumpuk menumpuk begitu. Kalau ada apa-apa bagaimana? Ternyata semua bisa selamat. Jadi itu melatih pasrah, disiplin, ikhlas, melatih kosong. Kita kalau sudah pentas itu harus ikhlas, kosong.

Di Bengkel Teater itu disiplin stamina luar biasa. Seperti sudah saya ceritakan dari bangun tidur pun kita sudah masuk latihan. Bangun harus seketika, harus cepat sigap memberesin kamar.Malas-malasan di kasur tidak boleh. Seprai harus rapi, kamar harus rapi seperti latihan tentara yang tidak pernah meninggalkan jejak. Jadi bangun tidur, langsung berdiri, langsung cari aktifitas. Seperti  latihan tentara, kadang lebih dari tentara. Latihan disiplin. Kita tak boleh terlambat walau hanya beberapa menit. Teman saya di Yogya, Kodok Ibnu Sukodok sering terlambat latihan, oleh Mas Willy dihukum naik pohon. Disuruh meditasi di pohon. Tidak boleh turun berjam-jam. Jadi kalau latihan jam 8, sebelum jam 8 harus ada di tempat. Harus begitu. 

 Selain lathannya di Jalan Sarikaya, terus dimana lagi?

Setelah latihan – memasuki fase latihan bloking dan setting kita latihan di Balai Rakyat. Secara keseuruhan kita latihannya 7 bulan. Pagi..siang..malam, pagi..siang..malam..

Pementasan Panembahan Reso tahun 1986 itu dianggap sukses..

Ya. Panembahan Reso itu boleh dibilang karya Mas Willy yang melalui fase pengendapan yang lama. Fase saat dilarang pentas. Panembahan Reso sendiri adalah fenomena baru dalam teater Indonesia. Pertunjukan paling panjang dalam sejarah teater Indonesia modern. Mana ada teater pentas sampai 7 jam dan orang bertahan..

Panembahan Reso jumpa pers

Foto acara jumpa pers di Cipayung, Depok dalam persiapan pementasan versi naskah padat Panembahan Reso oleh BWCF Society bersama Genpi.co dan Ken Zuraida Project tahun 2019 di Ciputra Artpreneur. Dari kiri ke kanan Auri Jaya (Genpi.co), Hanindawan (sutradara), Ken Zuraida (konsultan), Imran Hasibuan (produser), Iwan Burnani Toni (konsultan) dan Edi Haryono (konsultan dan pemain)

Setelah Panembahan Reso 1986, pentas apa seterusnya ? 

 Oedipus Rex. 

Tahun 1987 ya ?

Ya. Saat itu kita menampilkan bintang tamu Soraya Perucha..

Topeng-topengnya yang membikin Danarto ?

Betul. Tadinya topeng-topeng itu Mas Adi Kurdi yang membuat.Tapi Mas Willy kurang sreg dengan garapan Mas Adi. Mas Willy saat itu bilang: “Wah kurang kena nih topeng-topengnya. Harus mas Danarto lagi yang membikin.” Jadi dulu saat Bengkel Teater pentas di Yogya Oedipus Rex – Mas Danarto saat itu sudah membantu. Mas Danarto kemudian dipanggil lagi oleh Mas Willy. Dia membikin topeng yang beda dengan tahun 70 an. Mas Danarto membikin konsep topengnya lebih dahulu kemudian diskusi terus dengan Mas Willy. Mas Danarto ini kan orangnya sangat spiritual. Ssaat membuat topeng-topeng ini dia tidak sembarangan. Melalui doa-doa dulu. Yang membikin kostum untuk Oedipus Rex kali ini Ken zuraida. Kostumnya memanfaatkan karung-karung. Bagus sekali. Beda. 

Anda saat Oedipus Rex di Jakarta ini ikut main? 

Ya aku jadi Teirisias. Pendeta buta yang sangat dihormati. Ini peran yang sangat berat.Saat latihan tiba-tiba Mas Willy bilang ke saya: Wan, topengmu tolong dibuka dulu.” Saya buka topeng saya. Lalu Mas Willy bilang: “Cari kain hitam.Tutup matanya Iwan.” Mataku lalu dibebat kain hitam. Saya disuruh latihan tidak bisa melihat seperti orang buta.” Mas Willy  memerintahkan saya: “Selama latihan disini kamu tidak boleh buka, kamu makan, minum,  kamu kemana.harus pakai penutup mata. Buta.” Wah. Selama hampir 10 hari waktu itu, aku berjalan menabrak apa saja gubraak.., gubraak… Lama-lama aku biasa. Aku mulai mengandalkan indra penciuman. Indra pendengaran, lalu indra perabaan. Baru kemudian bisa lancer. Jadi sensibilitas tubuh saya, penciuman dan pendengaran menjadi berkembang. Selain “dibutakan” oleh Mas Willy saya juga harus menjalani puasa bisu (tidak boleh bicara). Juga puasa tak makan.”Teirisias ini orang sakti. Kamu harus merasakan daya linuwihnya Terisias,” kata Mas Willy saat itu. Wah betul-betul berat. Tapi saat pentas, dalam resensi di Majalah Tempo, permainanku sebagai Teirisias dipuji..

Saat latihan Teirisias ini Anda juga berlatih silat lagi?

Peranku tak perlu banyak latihan silat. Untuk menjadi Teirisias aku dikhususkan banyak latihan ke meditasi, puasa.

Kenapa Mas Willy saat itu memilih Soraya Perucha sebagai pemeran Jocasta, ibu Oedipus ?

Ya mungkin karena kedekatan Mas Willy sama Bang Syuman. Dan Soraya itu juga memiliki disiplin yang bagus. Dan selalu banyak Tanya ke Mas Willy 

Setelah terlibat dalam Oedipus Rex. Anda terlibat apa lagi dalam pementasan Bengkel Teater Rendra?

Selamatan Anak Cucu Sulaiman Selamatan,  Anak Cucu Sulaiman ini kan perkembangan dari karya awal Rendra mini kata: Bib Bob Rambate-Rate Rata… Zzzz. Dulu yain main sebagai Zzzz adalah Teguh karya, dan Bob nya  Mas Putu (Wijaya), lalu ada Azwar A.N yang gerak indahnya dikenal paling cantik. Nah untuk Selamatan Anak Cucu Sulaiman ini anak-anak digembleng  latihan improvisasi gerak. Jadi anak-anak diharuskan  menciptakan gerak-gerak. Beberapa gerak yang bagus kemudian dipakai Mas Willy dalam Selamatan Anak Cucu Sulaiman. Misalnya gerak reptil itu yang mencipta Endang Kalipasa, anak Grogol yang ikut Bengkel. Gerak itu samapai digunakan untuk opening. Lalu adegan Jendel geraknya dari Sawung  Jabo. 

 Topeng seperti ondel-ondel dalam Selamatan Anak Cucu Sulaiman yang membikin siapa?

Itu yang membuat Ken Zuraida. Dinamakan  topeng Mama..

Anda ikut sebagai apadi Selamatan Anak Cucu Sulaiman?

Aku ikutsebagai Rambate. Kalau mainin Zzzz..pasti tidak kuat .Sudah berumur.

 Amien Kamil ya yang main Zzz  ?

 Ya, Amien main Zzz juga peran  sama Bib Bob .

Tembang Cucu Sulaiman siapa yang menciptakan?

Itu diambil Adi Kurdi dari tradisi Pekalongan. Di Pekalongan ada nyanyian Islami pujian-pujian untuk Nabi Sulaiman. Mas Adi Kurdi ini kan orang Pekalongan. Dia dulu orang taat Islam sebelum masuk Katolik. 

Latihan Anak Cucu Sulaiman di mana ?

Latihannya semu sudah di Bengkel Teater Rendra Cipayung. Rendra dan Ken Zuraida sudah tinggal di Cipayung. Namun proses awal tetap di Sarikaya.

Nah waktu pentas ke Amerika itu Anda ikut ?

Ya. Mas Willy  minta main di sebuah bekas gereja tua di Brooklyn (Bengkel Teater Rendra pentas The ritual Of Solomon Children di St Ann Center sebagai bagian dari The New York International Festival of the Arts, Juni 1988 –red). Saat itu Ken Zuraida, sebagai penata artistik mengubah bentuk panggung. Panggung oleh Ida dibuat miring. Jadi jauh sebelum Atilah Soeryadjaya membuat pentas tari Matah Ati dengan panggung miring, kami sudah membikin. Penonton ternyata suka dengan pertunjukan kami. 

Katanya lalu semua anak Bengkel diajak Mas Willy berkunjung ke bekas sekolahnya ?

Iya, kami diajak mengunjungi bekas sekolah Mas Willy: American Academy of Dramatic of Art di Manhattan, New York. Aku kaget, ada dinding dimana foto-foto alumni dipajang. Ada Marlon Brando, Kirk Douglas, Grace Kelly…eh ada foto Mas Willy juga. Juga kita diajak berkunjung ke  New York University. Mas Adi Kurdi yang juga pernah kuliah teater di Amerika –menunjukkan ke kami, tempat latihan dia dahulu..

Setelah Selamatan Anak Cucu Sulaiman saya lihat Bengkel Teater Rendra terus aktif pentas  Catatan Harian Seorang Penipu, Hamlet, pementasan ulang Qasidah Barzanzi, Kereta kencana sampai Sobrat. Apakah  Anda masih terlibat? 

Tidak. Selamatan Anak Cucu Sulaiman adalah keterlibatan saya terakhir di Bengkel Teater. Saya sudah sibuk bekerja di dunia sinetron. Saat Selamatan Anak Cucu Sulaiman tour ke Jepang, saya masih ikut. Tapi ketika dilanjutkan tour ke Korea aku tidak ikut. Pada tahun 1994, Bengkel Teater Rendra pentas Hamlet di Graha Bakti Budaya. Mas Willy menjadi Hamlet. Nah, kebetulan saya break syuting. Saya lalu mengambil dokumentasi dengan beberapa kamera bersama DOP Monot dan sebagainya. .Nah saat itu saya mengritik pementasan Hamlet kepada Mas Willy. Mas Willy.., Mas Willy marah..

Anda mengritik apa?

Pemainnya aku sebut kurang. Set segala macam aku kritik juga. Aku bilang ke Mas Willy: “Ini kan sudah tiga kali Hamlet dimainkan tetapi mengapa yang sekarang  aktor-aktornya kurang. Dan juga setnya kok begini amat Mas ?” Aku membandingkan saat set dan lighting Hamlet dulu ditangani Mas Rujito.. Mas Jito itu peka sekali. Dia bisa menerapkan lampu ke dalam ruang tepat sekali suasana-suasananya. Dengan lampu yang ditangani Rudjito, imajinasi kita pada berbagai adegan bisa muncul. Mas Willy marah keras karena saya kritik.“Kamu itu bisa main kan karena aku,”dia bilang, Perdebatan itu kemudian menjadi pertengkaran. Saat itu kan saya tinggalnya di Cipayung. Saya diberi tempat tersendiri oleh Mas Willy di Cipayung. Gara-gara pertengkaran hebat itu saya sampai pergi – keluar dari Cipayung, pindah rumah. 

WS Rendra

W.S. Rendara dalam sebuah latihan di Cipayung, Depok (Sumber foto: Dokumentasi Keluarga dari MJA-Nashir)

Oh waktu itu Anda masih tinggal di Cipayung?

Ya, saya tinggal di Cipayung. Saat itu aku sudah non aktif Bengkel Teater Rendra. Saya syuting terus. Gara-gara pertengkaran itu saya keluar dari Cipayung. Tanah yang dikasih Mas Willy – di depan aula Bengkel teater Rendra saya pulangin, saya tidak mau. Saat itu saya masih banyak duit. Saya syuting sinetron terus dengan Dedi Setiadi. Saya langsung cari kontrakan rumah. Dapat di Villa Pertiwi. . 

Berapa lama pertengkararan Anda  dengan Mas Willy?

Lama…Saya baru ngomong lagi dengan Mas Willy kurang lebih setelah dua tahun. Makanya aku bilang Mas Willy itu, bapakku, kakakku, sekaligus  musuhku. Setelah tinggal di Villa Pertiwi selama dua tahun , mulai aku minta maaf. “Minta maaf Mas, mungkin aku salah,” kata saya saat itu

Katanya Anda setelah itu pernah menawari Rendra memainkan tokoh Oemar Bakri untuk sinetron?

Ya. Itu tahun 2006.  Jadi ceritanya saya dapat dari Iwan Fals langsung. Oemar Bakri oleh Iwan dikasih ke aku untuk dibuat film TV. Kemudian ada investor yang mau mendanai. Seorang jenderal dan istrinya. Produser ini yang juga mendanai sinetro Keluarga Cemara. Produser ini tapi  maunya yang menjadi Oemar Bakri kalau tidak Deddy Mizwar ya Rendra. lalu saya berkunjung ke rumah Mas Willy. Saya mulanya tidak ngomong kalau mau mengajak dia main menjadi Oemar Bakri. “Lagi mau ngapain Wan ?” Mas Willy Tanya. “Lagi mau proses bikin film seri TV, Mas”. “Wah, film apa?” “Oemar Bakri. Aku lagi cari-cari pemain nih ” Mas Willy tiba-tiba langsung menawarkan diri tanpa aku minta:” Woh aku main..aku main. Kata Mas Willy.”Nah kebetulan nih. Padahal memang dia diincar untuk main. “Boleh Mas..” Mas Willy lalu merespon cepat: “Tapi yang sutradarai kamu ya, kalau oang lain aku ga mau.” Saya jawab: “Aku yang sutradarain Mas. Aku yang menulis scenario juga.”

Mas Willy minta persyaratan apa lagi? 

Mas Willy minta 25 juta per episode, tidak boleh ditawar. Mas Willy juga minta uang muka 100 juta karena butuh. “Aku bilang sama investor. Ini jangan ditawar. Tolong siapin duit 100 juta, aku bawa ke Mas Willy

Terus….

Ya terus aku bawa uang cash 100 juta. Aku kasih ke Mas Willy. Aku bilang ke Mas Willy: “Mas Willy tolong job-job lain dilepas saat syuting. Nah sekarang aku minta Mas Willy potong rambut, kurusin badan sedikit dan Mas Willy latihan naik sepeda.”“Oke..siap,”katanya. Wah serius dia. Saat syuting ke Bandung, Mas Willly kami tempatkan di sebuah hotel lama yang halamannya luas di situ dia latihan naik sepeda. Dia juga gak kemana-mana setelah syuting, baca buku saja di kamar – dia serius tidak mengambil job lain. Nah saat syuting berjalan – tiba-tiba duit tidak turun. Akomodasi belum dibayar, aktor-aktor banyak belum dibayar…  

Apa persoalannya?

Saya langsung ke Jakarta bertemu produser. Saya langsung bertanya: “Serius tidak sih mau danain saya bikin sinetron?” Saat itu si ibu produser – namanya Bu Barul menjawab:” Kami serius. Saya sudah turun uang. 1 millyar 134 juta.” Wow kaget saya. “Lho uangnya mana ?“ Tanya saya. “Kan sudah sama si anu, si anu,” kata ibu produser itu. “Lah mana orangnya ? “ kata saya. Ternyata uang itu dibawa kabur. 

Orangnya itu siapa ?

Dia yang memilik PH , Co Produse rlah begitu. Nah..padahal sya sudah bilang sama Bu Barul, tanpa ada tanda tangan saya, tidak berhak untuk mengeluarkan uang sepersen pun. Rupanya ada orangnya Bu Barul yang bermain sama dia.Saya tidak mengerti sebab saya kan sibuk menulis skenario, sibuk syuting. Wah gila ini. Lemas saya balik ke Bandung.

Terus Mas Willy bagaimana?

Ya saya terus terang. Mas Willy pulang. Nungki pulang

Nungki Kusumastuti? Ikut main dia saat itu ?

Ya. Nungki menjadi istrinya Rendra. Istri Oemar Bakri. Nungki padahal mainnya bagus sekali.  Jadi ya sorry…..Nungki belum dibayar. Zaenal Abidin Domba juga main.. Jadi top-top pemainnya: Rendra, Nungki Kusumastuti, Zaenal Abidin Domba. 

Penyelesaiannya bagaimana?

Saya minta pertemuan dengan Bu Barul dan suaminya yang jendral. Saat itu pertemuan di  Hotel Bumi Wiyata Depok. Semua kru saya panggil, pemain saya panggil semua. Saya juga membawa Mas Willy. Saya menggebrak meja. Saya bilang ke Pak Jendral itu agar bertanggung jawab. Dia marah. Saya lawan. Mas Willy lalu ngomong.“Pak, ini bukan Orde Baru, main karung, Bapak kan Angkatan, tangkap dong, orang yang bawa uang itu. Cari”

Akhirnya dipolisikan?

Ya. Aku sampai interograsi polisi. Dari pagi sampai sore ditanya bolak balik. Capek sekali. Tapi kemudian orang itu bisa ditangkap. Nah persoalan lain tapitimbul ,saya ditagih 200 juta oleh hotel, penyewaan peralatan dan sebagainya.Karena belum bayar semua.

Lalu cara bayarnya?

Aku balik ke produser. Minta mereka yang harus bayar. Untungnya mereka mau. Namun syaratnya aku harus jadikan dulu syuting yang sudah selesai menjadi 4 episode. Aku kerjakan asal jadi. Begitu jadi, ya aku dikasih uang. Lalu utang aku tebus semua.

Mas Willy bagaimana kecewa?

Dia bilang: ”Aku senang Wan lihat kamu bisa menyutradarain  film. Aku suka. Tidak usah kecewa,”katanya. Nah suatu hari saat di rumahnya malah Mas Willy memiliki ide membuat film. Dia masuk ke dalam kamar, kemudian aku dkasih buku tebal banget. Kubaca selama 2 hari isinya tentang dokter di Irian. Mas Willy saat itu memiliki keinginan membuat film mengenai perjuangan dokter di Irian .”Ini film untuk festival Wan. Kamu harus dampingi sebagai supervisi. Kita bikin, kantor di Cipayung ini,” katanya. 

Jadi setelah tahun 2006 sempat mau bikin sinetron Oemar Bakri bareng rendra, terus apa lagi kegiatan Anda dengan Mas Willy? 

Saya sempat membantu pementasan teaterikalisasi Mas WillySuluk Hijau (pementasan ini untuk memperingati 25 tahun Departemen kehutanan RI. Dilakukan di Gedung Utama Departemen Kehutanan Maret 2008). Mas Willy bikin Suluk Hijau. Yang baca puisi selain Mas Willy ada Mustofa Bisri dan Ayu Azhari. Saat itu saya bilang ke Mas Willy: “Mas, aku bantu boleh ga ? Aku tidak usah dibayar tidak ga pa-pa.” Saya mulai turun. Wah anak-anak Bengkel senang Iwan kembali lagi sama Mas Willy. Saat latihan saya sempat mengomeli Ayu Azhari saat itu. Saya bilang:”Kamu harus tertib latihan. Ini kebersamaan. Di sini tidak ada bintang. Ya Mas katanya. “

Nah lalu apa lagi.

Tahun 2009 itu Mas Willy ingin membikin kantor di Cipayung untuk mewujudkan film soal Irian tadi dan juga dia ingin mementaskan Kantata Samudra

Kantata Samudra?

Ya. Ini  kelanjutan Kantata Takwa. Saat itu saya bertanya ke Mas Willy : “Jadi ini dengan Iwan Fals dan Setiawan Jody lagi? “Oh..ora..ora (oh tidak tidak). Kantata Samudra ini wekku (punyaku). Aku ingin bikin Kantata Samudra. 

Kantata Samudra ini film atau apa? 

Pertunjukan musik seperti  Kantata Taqwa. Tapi  mainnya di pantai, terapung di Ancol. Idenya panggung terapung di laut. Mas Willy lalu bertanya ke saya:”Kamu punya ide siapa yang main? Yang muda-muda saja.” Saya usulkan ke Giring Nidji. “Siapa lagi tuh Wan?“ Rendra tidak tahu Giring. “Giring itu aku suka Mas. Orangnya asyik, intelektual. Itu yang pernah ketemu kita di  Pondok Indah, nyalami Mas Willy. dia pengemarnya Mas Willy.”“Oh ya ya..oke. Trus yang cewek siapa.Itu yang penyanyi di Perancis siapa?” Mas Willy Tanya. “Oh Anggun C. Sasmi. Gampang Mas, sama Ibunya saya kenal dekat. Dari Anggun kecil saya tahu, “aku bilang ke Mas Willy. Mas Willy senang.” Oke Wan, kamu mulai mencari peralatan yang canggih semua sound dan lighting..”“Oh..ya..ya..Mas”

Nah rencana dananya dari mana itu?

Aku oleh Mas Willy diajak ketemu Mentri pariwisata saat itu Jero Wacik. Ternyata Jero Wacik yang akan membeayai. Nah di tengah menggodok ide ini tiba-tiba Mas Willy masuk rumah sakit. Keluar dari rumah sakit dia lalu mau ke Yogya. Saya bilang: “Mas, gak boleh Mas. Peraturan dari dokter kan 2 bulan tidak boleh naik pesawat.” “Ah..bukan kamu yang menentukan, Tuhan yang menentukan aku mati besok atau lusa,”jawab Mas Willy. Mas Willy memang tidak bisa dilarang. Mas Willy bilang ke saya: “Kamu bentuk kantor di Cipayung ini untuk persiapan Kantata Samudra.” Nah sepulang dari Yogya itu, Rendra anfal.

Anfal dimana?

Di Cipayung. Saat itu lagi tidak berada di Cipayung. Ken zuraida juga saat itu lagi berobat. Yang di Cipayung hanya istri saya Lily Suardi (istri Iwan Burnani yang juga adik Ken Zuraida –red). Nah Lily yang tahu benar bagaimana Mas Willy itu saat dibawa ke Rumah sakit Cinere di taksi itu  kesakitan. Saya langsung datang ke rumah sakit Cinere. Mas Willy masih tampak kesakitan. Terus kita juga bingung tak ada uang untuk beaya rumah sakit. Biasanya Setiawan Jodi yang bantu. Tapi saat itu Jodi juga lagi koma., cangkok hati. Lalu Ida mencoba telpon Ibu Siti Fadila…

Mentri Kesehatan saat itu?

Ya betul. Ibu Siti langsung bilang:”Rendra itu aset bangsa. Dia milik negara. Kirim dia ke RS Harapan Kita. Sekarang juga saya kasih profesor dokter ahli ginjal, profesor dokter ahli jantung gratis… Perawatan Mas Rendra diberi VIP. Tapi kemudian perawatan Mas Rendra dipindah  ke Mitra Keluarga Kelapa Gading yang memiliki ruangan mewah besar. Beaya perawatan itu atas usaha seorang sastrawan (off the record) yang meminta bantuan seorang konglomerat. Nah di tengah Mas Willy dirawat, tiba-tiba Mbah Surip meninggal dan hendak dimakamkan di Cipayung .Di rumah sakit saya bilang ke Mas Willy.

Rendra bilang apa? 

Urus pemakaman Mbah Surip di Cipayung. Saya urus.  Setelah itu rencananya kami membikin doa kesembuhan untuk Mas Willy, membaca Yassin. Eh tiba-tiba ada telepon:., Mas Willy meninggal.

Mas Willy wafat  dua hari setelah Mbah Surip wafat ya? 

Ya.  Saat Mas Willy meninggal, aku gak bisa ngomong. Sampai pemakaman di Cipayung aku sempat pingsan.. 

Terima kasih atas ceritanya yang panjang. Jadi Anda  mendampingi Mas Willy dari tahun 1972 sampai 2009. Luar biasa….

Dari menjadi muridnya. Mulai Mastodon sampai Selamatan anak Cucu Sulaiman. Dari bertengkar sampai bersatu kembali. Saya hormat sekali kepada Mas Willy.

—————-