Filsafat Kaum Disabilitas

Oleh Fx Rudy Gunawan

“The stereotype is a complex, ambivalent, contradictory mode of representation, as anxious as it is assertive, and demands not only that we extend our critical and political objectives but that we change the object of analysis itself.”  (Hommi K Bhabha)

Berawal dari konsep manusia sebagai makhluk ciptaan paling sempurna di muka bumi yang diajarkan agama, maka sebuah dasar identifikasi dari keberadaan atau existensi manusia telah terbentuk sejak seorang manusia dilahirkan. Definisi  ‘makhluk paling sempurna’ tersebut mencakup semua aspek keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk lain di muka bumi yang berdasarkan pada dua fondasi utama yaitu: kehebatan otak manusia dan kesempurnaan jiwa-raga (body and soul).  Sejauh ini, kehebatan otak manusia atau kekuatan daya pikir manusia memang merupakan sebuah keunggulan yang tak terbantahkan. Tak ada makhluk lain di muka bumi yang mampu mengalahkan kehebatan otak  manusia.

Dengan otaknya manusia menciptakan ilmu pengetahuan dan tehnologi untuk mengolah, mengeksplorasi dan menguasai alam semesta beserta seluruh isinya. Fakta ini menjustifikasi manusia sebagai makhluk paling unggul di muka bumi sekaligus menjadi salah satu penopang makna kesempurnaan yang melekat pada eksistensi manusia. Bahwa mereka lebih unggul dan karenanya berhak untuk menguasai, menaklukan alam (dan menjajah bangsa manusia yang lebih rendah keunggulannya). Dan karena kemampuan otak manusia juga sangat bervariasi, sejarah bangsa manusia pun lantas dipenuhi unjuk laga adu keunggulan antar bangsa manusia.

Keunggulan sebagai makhluk paling sempurna di muka bumi membuat manusia terus tertantang untuk membuktikan keunggulan itu. Dalam semua bidang kehidupan manusia mencoba membuktikan diri sebagai makhluk paling unggul, tidak hanya atas makhluk lain yang bukan manusia tapi juga keunggulan atas sesamanya sendiri. Adanya perbedaan (baik fisik, sosial, budaya, politik dan ekonomi) antara satu bangsa manusia dengan bangsa manusia lain, antara satu ras dengan ras lain dan antara satu suku dengan suku lain, semakin mengobarkan iklim dan semangat untuk saling membuktikan siapa di antara bangsa-bangsa manusia yang paling unggul.

Identitas sebagai makhluk paling sempurna dengan segala keunggulannya membuat manusia sulit menerima ketidaksempurnaan sebagai bagian dari eksistensi mereka. Bangsa kulit  putih pun lalu melihat bangsa kulit hitam dan kulit berwarna sebagai suatu bentuk ketidaksempurnaan. Perbedaan warna kulit yang sebenarnya hanya sebuah perbedaan kecil di antara sesama bangsa manusia, akhirnya menjadi sebuah perbedaan besar karena politik identitas yang salah kaprah dan pemahaman melenceng atas makna kesempurnaan manusia. Dalam konstruksi seperti itulah, para penyandang disabilitas menjalani kehidupan mereka.

Batasan Normal & Tidak Normal

Dalam konstruksi itu, penyandang cacat atau disabilitas menjadi manusia yang tidak sempurna untuk melegitimasi kesempurnaan manusia. Gambaran kesempurnaan sosok manusia yang umumnya dipakai pertama-tama adalah keutuhan dan kesempurnaan fisik (tubuh). Setelah semuanya utuh dan lengkap kesempurnaan selanjutnya ditentukan oleh berfungsi atau tidaknya setiap organ tubuh, jika semuanya berfungsi dengan baik, maka sosok manusia itu sudah memenuhi syarat utama sebagai makhluk ciptaan paling sempurna di muka bumi.

Sebaliknya, ketika ada salah satu organ tubuh yang tidak berfungsi, maka manusia tersebut didefinisikan sebagai tidak normal atau cacat. Hal serupa juga terjadi ketika salah satu bagian tubuh tidak utuh atau terbentuk secara tidak sempurna, maka manusia seperti itu juga akan dicap sebagai manusia tidak normal. Seseorang yang salah satu tangan atau kakinya bengkok dan lebih kecil, bahkan meski tangan atau kaki itu masih bisa berfungsi, tetap akan dianggap tidak sempurna atau tidak normal. Konstruksi normalitas ini dibuat karena dibutuhkan untuk melegitimasi ‘sosok manusia sempurna’.

Pengertian sehat dalam konsep normal mencakup tidak hanya dimensi fisik tapi juga psikis atau kejiwaan. Berbagai gangguan kejiwaan mulai dari gangguan ringan sampai berat menjadi faktor yang sangat penting dalam mem-vonis apakah seseorang normal atau tidak normal. Orang yang tidak sehat secara kejiwaan langsung dicap ‘gila’ atau tidak normal. Namun kegilaan dalam hal ini adalah sebuah kategori tersendiri yang berbeda dengan cacat fisik atau disabilitas meski sama-sama merupakan tolak ukur untuk menentukan normal tidaknya seseorang. Kegilaan juga dianggap aib bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga gila. Manusia yang divonis gila lalu disembunyikan, dibuang jauh-jauh ke rumah sakit jiwa atau pada kelompok masyarakat miskin bahkan dipasung di belakang rumah agar tak mengganggu.

Batasan normal dan tidak normal yang menjadi dasar dari pembentukan persepsi dan konstruksi identitas kelompok penyandang disabilitas, kurang lebih sama dengan batasan normal dan tidak normal yang diberlakukan untuk memvonis gila atau tidaknya seseorang. Bedanya adalah indikator-indikator yang dipakai untuk vonis gila lebih pada perilaku (behavior) sedangkan pada penyandang disabilitas pada kondisi fisik.

Dalam pendekatan kebudayaan atau cultural model, sosok penyandang disabilitas diteropong melalui lensa kebudayaan yang menciptakan stereotype sosok disabilitas secara kolektif. Dalam bahasa Antonio Gramsci, ada suatu konsensus khusus tingkat tinggi yang menciptakan stereotype kolektif tersebut. Menurut Gramsci, hegemoni melibatkan adanya konsensus khusus karena bertolak dari kepentingan suatu kelompok sosial yang ingin menjadikan kepentingan kelompok mereka sebagai kepentingan seluruh masyarakat.

Dalam hal ini, konsep (kepentingan mereka) digunakan untuk memaksa dan mengeksploitasi masyarakat melalui sebuah konsensus tingkat tinggi. Sebuah skala besar stabilitas sosial sehingga seluruh kelompok dan kelas dalam masyarakat menjadi subordinat yang aktif mendukung nilai-nilai ideal, tujuan, makna budaya dan politik yang mengikat semua menjadi satu korporasi dalam struktur kekuasaan yang berlaku. Pemikiran Gramsci sangat mengena dengan kondisi nyata yang terjadi dan dialami para penyandang disabilitas.

Masyarakat dieksploitasi oleh sebuah konsensus tingkat tinggi sehingga semuanya menjadi subordinat yang aktif mendukung konsep cara pandang atau konstruksi persepsi terhadap disabilitas. Dalam sebuah hegemoni, sesuatu terlihat sempurna alamiah (persis seperti dalam hegemoni disabilitas). Tidak ada pemaksaan karena semua konflik telah diselesaikan dengan baik dan disalurkan melalui kanal idelologis lalu berlabuh dengan aman. Begitulah sebuah hegemoni dikelola dan dimapankan dalam suatu proses yang berkelanjutan oleh kelompok dominan dan kelas-kelas yang menegosiasinya untuk membuat konsesi-konsesi dan mensubordinat kelompok dan kelas lain.

Konstruksi Persepsi & Mitos      

Penyandang disabilitas adalah kelompok subaltern dalam masyarakat kita dan banyak masyarakat lain di dunia yang mengalami diskriminasi atas dasar stereotype yang melekat pada diri mereka. Cara pandang masyarakat terhadap kelompok disabilitas terbentuk melalui sistem sosial-budaya-agama yang kemudian diterima sebagai kebenaran dalam tata nilai masyarakat sekalipun cara pandang atau persepsi ini sangat diskriminatif. Cara pandang terhadap para penyandang disabilitas seperti dijelaskan di atas, bermula dari sebuah dogma bahwa manusia adalah makhluk ciptaan paling sempurna di atas muka bumi.

Keberadaan penyandang disabilitas dalam setiap masyarakat di semua belahan dunia adalah realitas yang tak kenal pengecualian. Penyandang disabilitas menurut statistik badan kesehatan dunia (WHO) memiliki jumlah yang signifikan, yakni 10% sampai 15% dari total populasi manusia di muka bumi. Angka estimasi ini jika dihitung untuk negara seperti Indonesia saja berarti sekurangnya ada 25 juta orang penyandang disabilitas dari berbagai ragam disabilitas.

Penentuan seseorang adalah penyandang disabilitas berdasar pada batasan normal dan tidak normal. Istilah yang dipakai selain disabilitas adalah kelompok difabel yang berkonotasi lebih positif dan optimistik karena maknanya adalah different ability. Sementara istilah disability maknanya menegaskan suatu kondisi keterbatasan yang diakibatkan kondisi tubuh tertentu. Penyandang disabilitas biasa disebut sesuai kondisi kecacatannya seperti tunarungu, tunanetra, tunadaksa, tunawicara, tunagrahita, dan ada juga tunaganda.

Dalam setiap disabilitas ada sejarah kecacatan yang mengakibatkan perbedaan-perbedaan di antara mereka. Seorang tunanetra sejak dilahirkan sangat berbeda dengan seseorang yang menjadi tunanetra pada usia remaja. Seorang tunarungu yang masih memiliki sedikit sisa pendengaran jelas berbeda dengan seorang tunarungu yang sudah sama sekali tidak bisa mendengar. Seorang tunadaksa tanpa kaki dan seorang tunadaksa dengan kaki tak berfungsi juga memiliki banyak perbedaan meskipun keduanya sama-sama menggunakan kursi roda.

Setiap bentuk disabilitas punya sejarah khusus yang kemudian dihapus oleh persepsi dominan, yaitu bahwa mereka –para penyandang cacat—adalah bukan manusia normal. Penjelasan tentang sebab disabilitas yang bersifat ilmiah tidak mempengaruhi persepsi yang terbentuk berdasarkan dogma manusia sempurna karena laiknya sebuah dogma, ia bersifat mutlak dan tak bisa diganggu-gugat. Para penyandang disabilitas pun mau tak mau harus menerima saja. Upaya menggugat nasib tentu saja menjadi suatu bagian pasti dalam sejarah hidup seorang penyandang disabilitas, terutama mereka yang bukan cacat bawaan lahir.

Setyo, seorang tunanetra di Yogyakarta yang buta di usia dewasa (sudah berkeluarga saat kecelakaan dan menjadi buta), sempat bertahun-tahun menggugat dan menolak nasib yang menimpa dirinya. Tapi seberapa hebat ia menggugat tetap saja ia buta. Setyo kemudian berusaha berdamai dengan kenyataan yang tak bisa ditawar itu dan mulai menjalani hidup sebagai seorang tunanetra. Dalam kisah Setyo terdapat berbagai narasi tentang persepsi, konstruksi dan identitas seorang disabilitas dalam konteks upaya memahami dan menjawab pertanyaan mendasar tentang eksistensi manusia dan makna kehidupan. Narasinya akan berbeda bila subjek yang berbicara adalah penyandang disabilitas bawaan lahir yang tak pernah menjadi bagian dari masyarakat manusia normal.

Persepsi terhadap penyandang disabilitas yang tidak benar, tidak adil dan sepihak merupakan persoalan besar yang dihadapi tunanetra pada usia dewasa seperti Setyo yang ‘pernah’ menjadi manusia normal sejak ia dilahirkan sampai dewasa dan berkeluarga. Ia pernah menjadi bagian yang membentuk persepsi normalitas masyarakat terhadap disabilitas. Ketika kemudian ia dari posisi subjek yang mempersepsi menjadi objek yang dipersepsi, terjadi perubahan radikal yang mendekonstruksi seluruh diri dan hidupnya.

Dalam kasus disabilitas bawaan lahir, posisi sebagai korban yang dijajah oleh kelompok superior adalah bagian dari bawaan lahir yang kemudian dipahami dan diterima tanpa pengalaman sebagai ‘manusia normal’. Persepsi yang dikonstruksi untuk membangun stereotype disabilitas sebagai manusia tidak normal mereka rasakan sejak lahir dengan segala diskriminasi yang menyertainya.

Berbagai macam persepsi terhadap disabilitas dalam masyarakat kita bersifat negatif karena merupakan antitesa konsep manusia sebagai makhluk paling sempurna. Dan karena konsep ini bersumber dari ajaran agama pada umumnya, maka persepsi terhadap penyandang disabilitas biasanya dikaitkan dengan konsep dosa, kutukan, aib, cobaan, kekuatan jahat atau setan, hukuman, dan konsep lain yang bermakna buruk atau jahat. Persepsi ini menjadi dasar pengkonstruksian identitas dan eksistensi para penyandang disabilitas yang kemudian membentuk stereotype umum terhadap semua penyandang disabilitas. Pada jenis disabilitas tertentu seperti tunagrahita atau down syndrome dan celebral palsy, stigma dosa dan kutukan bahkan lebih kental karena ketidaksempurnaan fisik pada dua jenis disabilitas itu mewujud dalam bentuk yang lebih menonjol.

Persepsi yang mengkonstruksi stereotype disabilitas juga memproduksi mitos-mitos tentang disabilitas. Dalam beberapa budaya, jika ada bayi terlahir sebagai penyandang disabilitas, mitos yang cukup umum antara lain adalah mitos bahwa disabilitas bayi itu disebabkan perilaku buruk sang ayah pada binatang semasa kehamilan ibu. Misalnya si ayah membunuh seekor katak atau seekor ular atau menyiksa binatang lain maka ia terkena semacam tulah atau kutukan dari binatang itu dan bayinya yang menanggung kutukan itu. Maka jadilah si jabang bayi terlahir cacat. Atau ada juga mitos tentang perilaku tertentu yang terkait dunia gaib atau supranatural. Misalnya berada di tempat angker lalu meludah atau kencing sembarangan di kawasan itu. Di sejumlah daerah di Jawa, ibu hamil biasanya diharuskan menyematkan gunting kecil di baju untuk menjaga jabang bayinya dari gangguan-gangguan makhluk gaib.

Dalam relasinya dengan dosa, mitos-mitos disabilitas juga dikaitkan dengan perbuatan jahat dan dosa-dosa yang dilakukan para leluhur. Mitos jenis ketiga ini identik dengan konsep dosa turunan, yakni bahwa jika leluhur melakukan perbuatan dosa besar maka seluruh keturunannya –entah sampai generasi ke berapa—harus ikut menanggung dosa itu. Makin besar dosa itu makin sahih lah mitos ini jika kebetulan dalam garis keturunan si leluhur banyak anak-anak yang terlahir sebagai penyandang disabilitas. Jika tidak ada dalam garis keturuan leluhur pendosa ini yang cacat maka masyarakat pun tak peduli. Tak mencari tahu dan menganggap tak ada persoalan apapun.

Akibat dari stereotype negatif disabilitas yang berdasarkan dogma manusia makhluk paling sempurna antara lain dehumanisasi terhadap para penyandang disabilitas. Karena disabilitas bukan manusia sempurna maka mereka tidak bisa diakui dan diterima sepenuhnya sebagai manusia. Mereka tidak dipandang sebagai manusia seutuhnya meskipun seutuh-utuhnya mereka adalah manusia. Dan karena dipandang sebagai bukan manusia seutuhnya, hilang juga ruang kehidupan bersama di masyarakat yang menjadi hak mereka. Dehumanisasi terhadap penyandang disabilitas berlangsung secara sistematis dalam keseluruhan lingkaran kehidupan sejak seorang penyandang disabilitas dilahirkan.

Posisi Disabilitas dalam 4 Relasi Kekuasaan

Merujuk Edward W Said, maka harus dipertanyakan posisi disabilitas setidaknya dalam 4 relasi kekuasaan yang berlangsung dalam sebuah masyarakat, yaitu kekuasaan politis, kekuasaan intelektual, kekuasaan kultural dan kekuasaan moral. Dalam konteks orientalisme, Said menjelaskan kekuasaan politik sebagai kekuasaan yang membentuk kolonialisme dan imperialisme. Lalu kekuasaan intelektual adalah kekuasaan kolonialisme Barat dalam mendidik Timur sebagai jajahan dalam bidang sains, linguistik dan pengetahuan lain yang diperlukan.

Kekuasaan kultural adalah kanonisasi selera, teks dan nilai-nilai. Ini bisa ditemukan pada fenomena selera bangsa-bangsa bekas koloni seperti India, Mesir, Malaysia, dan negara-negara bekas koloni lain. Sedangkan kekuasaan moral adalah kekuasaan yang mengatur apa yang baik dan yang tidak baik. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Timur.

Penyandang disabilitas sebagai representasi dari ketidaksempurnaan sosok manusia yang seharusnya mahkluk paling sempurna di muka bumi menjadikan mereka subaltern marjinal yang dibungkam sejak mereka dilahirkan. Ruang kehidupan mereka teralienasi dalam ruang hampa (tunagrahita), ruang sunyi (tunarungu), ruang gelap (tunanetra), ruang sempit (tunadaksa) dan ruang pengap yang bising (tunagrahita). Pikiran mereka, perasaan mereka terasing sepenuhnya dalam hiruk-pikuk kehidupan yang tak mereka dengar (tunarungu), tak mereka lihat (tunanetra), tak mereka pahami (tunagrahita), tak mereka bicarakan (tunawicara) dan tak bisa mereka kejar (tunadaksa dan celebral palsy).

Dalam relasi kekuasaan politik, para penyandang disabilitas terjajah oleh sistem politik yang tak memberi mereka akses untuk menggunakan hak politik. Posisi para penyandang disabilitas dalam relasi kekuasaan politik tak ada bedanya dengan para budak dalam era kolonialisme. Sebagai subaltern, mereka tak bisa menyuarakan aspirasi politik karena kondisi disabiltas mereka. Kekuasaan politik tidak menganggap mereka ada. Kalaupun ada mereka tak dianggap sebagai zoon politicon atau political being. Mereka dianggap tak memiliki kapasitas untuk menjadi political being.  Posisi mereka adalah pelengkap penderita.

Negara kita masih mendukung kehidupan penyandang disabilitas yang tersegregasi di lingkungan abnormal dimana penyandang disabilitas dianggap aib bagi kesempurnaan manusia. Dan karenanya, mereka tidak perlu menjadi bagian dari masyarakat. Mereka disembunyikan, dibuang dan dipasung. Mereka dikumpulkan di sekolah luar biasa. Mereka tidak mempunyai hak politik, tak memiliki tempat dalam relasi kekuasaan politik. Mereka ada tapi tidak ada.

Peran negara sebagai representasi kekuasaan politik seharusnya melindungi hak setiap warganegara, terutama mereka yang memiliki kekhususan dan harus didukung oleh fasilitas, sarana dan prasarana yang memudahkan. Bukan malah membuat segregasi yang menyingkirkan penyandang disabilitas dari ruang publik.  Ini baru soal ruang publik yang tak memberi tempat pada disabilitas. Namun ini adalah soal yang paling mendasar dalam konteks kekuasaan politik. Ruang publik adalah pintu masuk pertama bagi aktualisasi diri manusia sebagai makhluk sosial dan politik.

Penyandang disabilitas juga tidak mendapat tempat dalam kekuasaan intelektual. Pendidikan yang terjadi di negara ini menyingkirkan para penyandang disabilitas dan menempatkan mereka dalam segregasi di lembaga pendidikan formal khusus yang disebut sekolah luar biasa (SLB). Segregasi ini semakin mengalienasi para penyandang disabilitas. SLB yang ada tidak memadai untuk menerima dan menampung para penyandang disabilitas. Perbandingan jumlah SLB (hanya ada sekitar 1500an SLB di seluruh Indonesia) dengan jumlah penyandang disabilitas yang jutaan, jelas tidak masuk akal. Kualitas SLB yang ada pun sangat buruk karena ketiadaan dukungan dan kepedulian dari pihak yang berwenang yang seharusnya bertanggungjawab.

Negara dalam hubungan dengan disabilitas tak ubahnya representasi dari kolonial dan penyandang disabilitas adalah representasi bangsa terjajah. Menurut Hommi K Bhabha, hal ini terkait dengan soal stereotype dan rezim kebenaran. Untuk mengenali sebuah stereotipe sebagai moda yang ambivalen dari pengetahuan dan kekuasaan dibutuhkan pemahaman dan respon politik (teori dan praktik) dalam konteks relasi antara wacana dan kekuasaan sebagaimana dikatakan Michel Foucalt.

Selalu ada ‘lebih dari’ (more than) dan ‘kurang dari’ (less than) dari identitas personal dalam kategorisasi yang merujuk pada kelas atau seks atau etnisitas (dalam esai ini merujuk pada disabilitas). Pemikiran Bhabha berangkat dari keseharian, dia hidup dalam realitas yang berada di bawah otoritas kekuasaan kolonial dan poskolonial dimana semua pengalaman didominasi oleh institusi dan wacana kekuasaan sehingga makna (pengalaman itu) tidak pernah firmly tied down and fixed, but is instead forever haunted by the traces of other meanings. Hal ini membuka ruang tidak hanya bagi sebuah ambivalensi tapi juga bagi politik reartikulasi (the politic of rearticulation). Ambivalensi dalam kehidupan para penyandang disabilitas dikarenakan mereka tidak memiliki ruang dan posisi yang jelas dalam tatanan kehidupan masyarakat.

Dalam relasi kekuasan kultural dan kekuasaan moral, penyandang disabilitas adalah kelompok yang mengalami hegemoni dari semua pihak yang memegang kekuasaan kultural maupun kekuasaan moral. Teori Hegemoni membawa kita pada pendekatan baru kajian budaya yang merupakan negosiasi campuran antara apa yang bersumber dari atas dengan apa yang ada di bawah, antara komersial dan otentik, serta pergeseran seimbang antara kekuatan perlawanan dan kekuatan yang kooperatif. Dalam perspektif ini, kekuatan budaya dan kekuatan moral adalah percampuran kontradiktif dari berbagai kepentingan dan berbagai nilai, namun Gramsci mengatakan selalu ada pergeseran yang menyeimbangkan (shifting balance) antara kedua hal itu. Inilah yang disebut Gramsci sebagai ‘compromise equlibrium‘.

Hegemoni tidak dapat dilihat atau disederhanakan sebagai hasil kekuasaan dari atas karena selalu merupakan hasil negosiasi antara kelompok dominan dan kelompok subordinat. Hegemoni lebih merupakan sebuah proses yang ditandai, baik oleh perlawanan maupun kerjasama (incorporation). Tentu saja ada batasan negosiasi dan konsesi yang diciptakan, yang menurut Gramsci batasan itu adalah fondasi ekonomi dari kelas berkuasa.

Batasan inilah yang tak boleh dilanggar atau dilawan dalam proses negosiasi dan konsesi. Lalu jika terjadi saat-saat krisis (ekonomi), ketika moral dan kepemimpinan intelektual tak berdaya mengamankan otoritas kekuasaan, proses hegemoni akan berpindah sementara ke pola hegemoni kekuasaan yang kohersif melalui represi aparatus negara: polisi, tentara, sistem penjara dan alat kekuasaan lainnya.

Sampai saat ini, konsep ‘normalitas’ yang mengorbankan para penyandang disabilitas sebagai justifikasi sekaligus legitimasinya, merupakan bentuk hegemoni kekuasaan yang paling berhasil mengkonstruksi cara pandang atau persepsi manusia dan menjadi alat kontrol kekuasaan terhadap semua konsep lain yang muncul, tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. ***

*Penulis adalah jurnalis, pekerja budaya dan pendiri Majalah Diffa, media khusus tentang penyandang disabilitas.

 

Daftar Bacaan:

Peter Ives, Language and Hegemony in Gramsci, Pluto Pers, London, 2004

Antonio Gramsci, Selection from Political Writings (1910-1920) edited by Quintin Hoare, University of Minnesota Press, 1990

Edward W Said, Orientalisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010

St. Sunardi, Semiotika Negativa, Kanal, Yogyakarta, 2002

Hommi K Bhabha, The other question: Stereotype, Discrimination and The Discourse of Colonialism, Routlegde, London, 1994

John Storey, Cultural Theory and Popular Culture; An Introduction, Pearson, London, 2009

Gayatri Chakravorty Spivak, “Can the Subaltern Speak?”, Patrick William/Laura Chrisman (ed.), Colonial Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader, Harvester, New York.