Ketika “Kuda Putih bukan Kuda”: Cerita tentang Berpikir dan Bernalar

Oleh Tony Doludea

Pada suatu siang, seorang petani terlihat menunggang kuda putih menuju Kota Raja. Namun belum sampai pintu gerbang kota, ia diberhentikan oleh pasukan penjaga kerajaan.

Kepala pasukan itu memintanya untuk turun dari kuda dan membawanya ke depan papan pengumuman kerajaan. Di situ ada tertulis, “Kuda dilarang masuk Kota Raja!” “Ini perintah Raja,” katanya.

Namun petani itu menjawab, “Tapi maaf tuan, kuda putih bukan kuda.” 

“’Kuda’ adalah bentuk, ‘Putih’ adalah warna. Apa yang disebut warna itu tidak bisa dipahami sebagai bentuk. Jadi ‘Kuda putih bukan kuda’,” jelas petani itu.

“Jika ada kuda putih, orang tidak dapat mengatakan bahwa tidak ada kuda. Jika orang tidak dapat mengatakan bahwa tidak ada kuda, tidakkah ini berati bahwa ada kuda? Karena itu kuda putih adalah kuda. Bagaimana bisa kuda putih bukan kuda?” jawab kepala pasukan itu.

Petani itu lalu menguraikan, “Jika seseorang mencari kuda, pasti itu coklat atau hitam atau yang lainnya. Tetapi jika ia mencari kuda putih, itu pasti bukan coklat atau hitam atau yang lainnya. Lalu anggap saja kuda putih itu kuda. Maka apa yang dicari orang tadi sama semua, apakah coklat, hitam, putih atau yang lainnya. Jika apa yang ia cari sama semua, maka ‘putih’ tidak akan beda dari ‘kuda’. Jika apa yang dicari orang itu tidak berbeda, lalu bagaimana ada kuda coklat atau hitam yang berbeda, yang satu diakui dan yang lain ditolak? Jelaslah di sini bahwa menerima dan menolak itu saling bertentangan. Demikian halnya dengan kuda coklat dan hitam atau yang lainya itu sama, orang tidak dapat mengatakan bahwa ada kuda, namun ia tidak dapat juga mengatakan bahwa ada kuda putih. Maka, jelas bahwa kuda putih bukan kuda”.

Para pasukan penjaga kerajaan itu belum pulih betul dari rasa bingung, si petani lalu menunggang kuda putihnya itu dengan santai dan keren masuk Kota Raja.

********

Sampai saat ini, Logika masih sering disalahpahami sebagai ilmu dan aturan berpikir. Padahal ini tidak tepat, karena berpikir itu adalah suatu proses dalam benak manusia dan ini merupakan objek kajian Psikologi. Apabila berpikir itu mengacu pada proses yang muncul dalam benak manusia, maka tidak semua pikiran merupakan objek kajian Logika.

Untuk itu perlu terlebih dahulu dibedakan antara berpikir (thinking) dan bernalar (reasoning). Tidak semua orang yang berpikir itu bernalar. Orang dapat saja mengingat, membayangkan, membuat gambar bebas atau melakukan beberapa proses mental dalam pikirannya. 

Namun tidak semua pikiran itu adalah proses penalaran, meskipun penalaran adalah berpikir. Hukum yang menjelaskan gerakan pikiran manusia itu lebih bersifat psikologis dan bukan kaidah Logika.

Sedangkan Logika itu menjelaskan proses penalaran yang sangat rumit, yang ditandai oleh usaha trial and error, yang terkadang tercerahi oleh kilatan cahaya pengertian dari dalam diri.

Logika tidak berurusan dengan cara pikiran menghasilkan sebuah kesimpulan dalam proses penalaran. Tetapi Logika itu peduli hanya kepada ketepatan proses yang lengkap, apakah kesimpulan dihasilkan karena mengikuti premis-premis yang niscaya. 

Logika memusatkan perhatian pada kajian metode dan prinsip yang digunakan untuk membedakan penalaran yang tepat (lurus) dari yang tidak tepat (tidak lurus). 

Dengan kata lain, Logika adalah ilmu pengetahuan dan kecakapan untuk berpikir tepat. Ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan tentang pokok tertentu, dalam konteks ini adalah berpikir tepat. Sedangkan kumpulan adalah kesatuan yang sistematis dan memberikan penjelasan sebab, asal-usul secara bertanggungjawab. 

Sebagai ilmu pengetahuan Logika menjelaskan prinsip-prinsip yang menentukan pikiran yang lurus, tepat dan sehat. Logika menyelidiki, merumuskan dan menerapkan aturan-aturan yang yang harus dipatuhi.

Lagi pula Logika bukanlah ilmu pengetahuan teoritis belaka, namun suatu kecakapan dan keterampilan untuk menerapkan aturan-aturan penalaran tersebut.

Objek material Logika adalah berpikir, yaitu kegiatan manusia dalam mengolah dan mengerjakan pengetahuan yang telah diperolehnya untuk mendapatkan kebenaran. Proses pengolahan dan pengerjaan ini terjadi dengan cara mempertimbangkan, menguraikan, membandingkan dan menghubungkan pengertian yang satu dengan yang lainnya.

Sementara objek formal Logika adalah berpikir lurus dan tepat. Pikiran itu lurus apabila sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh Logika. Jika prinsip-prinsip tersebut ditepati, maka orang dapat terhidar dari kesalahan atau kesesatan berpikir. Sehingga kebenaran dapat diperoleh secara mudah dan aman.

Dengan demikian, Logika merupakan suatu pegangan atau pedoman untuk bernalar. Karena Logika memang menyelidiki prinsip dan aturan bernalar. Hal ini dilakukan dengan cara menguraikan unsur-unsur pemikiran, yaitu pengertian-pengertian (kata-kata), yang kemudian disusun sedemikian rupa sehingga menjadi keputusan-keputusan (kalimat-kalimat), yang kemudian juga disusun sedemikian rupa sehingga menjadi penyimpulan-penyimpulan (pembuktian-pembuktian).

Pada kanyataanya, manusia berpikir tidak hanya terjadi di dalam benaknya saja. Tetapi proses pemikiran itu terwujud dalam kata-kata (pengertian), kalimat-kalimat (keputusan) dan pembuktian-pembuktian (penyimpulan).

Ketiga unsur pemikiran itu juga merupakan tiga pokok kegiatan akal budi manusia, yaitu menangkap sesuatu sebagaimana adanya (tanpa mengakui atau mengingkari), lalu memberikan keputusan dengan cara menghubungkan pengertian yang telah ditangkap itu dengan pengertian yang lain atau mengingkari hubungan tersebut, kemudian merundingkannya dengan cara menghubungkan keputusan-keputusan sedemikian rupa sehingga dari situ dapat diambil suatu kesimpulan.

Logika berhubungan terutama dengan bagian yang terakhir itu. Namun untuk sampai kepada kegiatan akal budi untuk menyimpulkan. Maka terlebih dahulu orang harus memahami pengertian dan keputusan sebagai dasar dan sumber penyimpulan. 

Pengertian adalah suatu gambar akal budi yang abstrak tentang inti sesuatu (objek) yang ditangkap sebagaimana adanya. Inti sesuatu ini dibangun oleh akal budi dalam bentuk gambaran “ideal” atau “konsep” tentang sesuatu itu.

Bagian awal dari kegiatan akal budi adalah mengerti. Kegiatan awal berpikir ini menggunakan kata-kata untuk mengungkapkan objek dan pengertian yang ditangkap. Sehingga hal yang penting di sini adalah isi kata atau pengertian yang terkandung di dalam kata itu. Misalnya, ‘Budi makan ubi’. Di sini jelas baik objeknya dan pengertiannya konkret. 

Tetapi Logika menyelidiki pengertian (kata) juga dari sudut fungsinya dalam keputusan (kalimat). Fungsi pengertian (kata) sebagai subjek atau predikat dalam suatu keputusan (kalimat). Istilah yang digunakan Logika untuk itu adalah Term, yaitu kata atau rangkaian kata yang berfungsi sebagai subjek atau predikat dalam suatu kalimat.

Dalam Logika, kata atau rangkaian kata itu hanya penting sebagai Term, sebagai subjek atau predikat dalam suatu kalimat. Misalnya, ‘Budi tidur’. Budi adalah subjek kalimat, tidur adalah predikat kalimat.

Term dapat dibagi menjadi dua, yaitu term tunggal dan term majemuk. Term tunggal terdiri dari satu kata saja. Seperti, hewan, menari, mahal dan seterusnya. Term majemuk terdiri dari dua atau tiga kata. Misalnya, jam tangan, lapangan sepak bola dan sebagainya.

Pengertian memiliki isi dan luas. Isi disebut komprehensi dan luas disebut ekstensi. Isi pengertian berada di dalam inti pengertian itu sendiri. Isi pengertian adalah unsur hakiki yang termuat dalam suatu pengertian. Misalnya, pengertian tentang ‘manusia’ itu adalah hewan ‘berpikir’, ‘berbicara’, ‘bertubuh’, ‘bersifat sosial’ dan sebagainya.

Sedangkan luas pengertian berada pada objek yang ditunjuk dan diterangkan oleh pengertian itu. Luas pengertian adalah cakupan wilayah objeknya dan cakupan luas wilayah ini tidak sama. Misalnya, ‘kuda’ adalah hewan tertentu dari semua ‘hewan’ yang jauh lebih luas cakupannya.  

Luas pengertian dibagi menjadi dua, yaitu luas mutlak dan luas fungsional. Luas mutlak itu terlepas dari fungsinya dalam suatu kalimat. Luas fungsional adalah luas pengertian dilihat dari fungsinya sebagai subjek atau predikat dalam suatu kalimat.

Ada hubungan antara isi dan luas pengertian. Semakin banyak isinya, maka semakin kecil luas pengertian. Semakin banyak isinya, maka objek yang ditunjuk oleh pengertian itu semakin konkret, nyata dan tertentu. Sebaliknya, semakin sedikit isinya, maka semakin luas pengertiannya. Semakin kecil isinya, maka objek yang ditunjuk oleh pengertian itu semakin abstrak dan juah dari kenyataan. 

Pengertian memang hanya dapat dinyatakan dengan kata-kata, namun kata-kata tidak sama dengan pengertian. Suatu pengertian sering dinyatakan dengan kata-kata yang berbeda, sedangkan kata-kata yang sama sering menyatakan pengertian yang berbeda. Oleh sebab itu kata (term) perlu dibagi menurut arti, isi dan luas.

Kata-kata menurut artinya dapat dibagi menjadi: (1) Univok, sama bunyi dan sama arti. Misalnya kata ‘kuda’ artinya hanya untuk objek yang disebutkan. (2) Ekuivok, sama bunyi dan beda arti. Misalnya kata ‘genting’ artinya atap rumah dan keadaan darurat. (3) Analog, sama bunyi, namun dapat beda arti sekaligus sama arti. Misalnya kata ‘ada’ dikenakan kepada manusia dan kepada Allah.

Kata-kata menurut isinya terdiri dari: (1) Abstrak, menunjuk pada sifat dan bentuk tanpa objek. Misalnya, kebenaran, kemanusiaan. (2) Konkret, menunjuk objek dengan sifat dan bentuknya. Misalnya, manusia, kuda. (3) Kolektif, menunjuk pada suatu kelompok. Misalnya, pelajar, pedagang. (4) Individual, menunjuk suatu individu. Misalnya, Suparto, Dewi. (5) Sederhana, terdiri dari satu ciri saja. Misalnya, kata ‘ada’ tidak dapat dijelaskan lagi. (6) Jamak, terdiri dari beberapa ciri.  Misalnya, kata ‘manusia’ dijelaskan sebagai ‘hewan’ dan ‘berpikir’.

Kata-kata menurut luasnya meliputi: (1) Term singular, menunjuk satu individua atau objek tertentu. Misalnya, Subroto, kampung itu, pohon rambutan di depan rumah itu. (2) Term partikular, menunjuk sebagian dari keseluruhan. Misalnya, beberapa peserta, kebanyakan siswa.  (3) Term universal, menunjuk seluruh atau semua. Misalnya, setiap mahasiswa, seluruh pekerja.

Pengertian sebagai kegiatan akal budi selanjutnya menguraikan dengan cara membagi, mengelompokkan dan menyusun objek dan pengertian tentang objek itu menurut kesamaan dan perbedaannya masing-masing. Prinsip pembagian, pengelompokan dan penyusunan pengertian ini, yaitu harus lengkap dengan cara semua bagian dirinci. Harus sungguh-sungguh memisahkan, tanpa ada tumpang tindih sehingga pembedaanya jelas. Harus menggunakan dasar dan aturan yang sama. Harus sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.

Namun kegiatan pengertian membagi dan mengelompokkan tersebut menghadapi beberapa kesulitan, antara lain: Apa yang benar dalam keseluruhan pasti benar juga di bagian-bagiannya. Namun apa yang benar dalam bagian-bagian tertentunya itu belum tentu dalam keseluruhannya benar juga. Demikian juga, apa yang dimungkiri dalam keseluruhan pasti dimungkiri juga di bagian-bagiannya. Dan apa yang dimungkiri dalam bagian-bagian tertentu belum tentu dimungkiri dalam keseluruhan.

Karena tidak mudah membagi dan mengelompokkan, maka sering ada keragu-raguan dalam memasukkan objek ke dalam kelompok tertentu. Sehingga tanpa berpikir ulang pembagian dan pengelompokkan dilakukan secara serampangan, yaitu menggunkan pembagian hitam putih atau pengelompokkan hanya atas dua kelompok saja.

Pengertian selanjutnya membuat dan menentukan batas atau definisi suatu pengertian tertentu. Definisi adalah suatu susunan kata-kata yang jelas, tepat dan singkat untuk membatasi suatu pengertian tertentu sehingga berbeda dari pengertian yang lainnya.

Ada dua macam definisi, yaitu definisi nominal dan real. Definisi nominal adalah cara menjelaskan sesuatu dengan menguraikan arti katanya, yaitu menghubungkan pengertian yang tertenu dengan sebuah kata. Melalui definisi ini penalaran akan terhindar dari salah paham dan salah pengertian. Definisi ini dapat dilakukan dengan menguraikan etimologi, asal usul kata. Misalnya, kata “bhinneka tunggal ika” yang berasal dari Bahasa Sansekerta. Jika masih kurang jelas dan tepat, maka arti kata tertentu itu dicari penjelasan dalam kamus Bahasa. Juga dapat menjelaskan dengan menggunakan sinonim, kata yang sama artinya.

Sedangkan definisi real adalah cara menjelaskan sesuatu dengan menampilkan unsur dan ciri yang membentuk objek tertentu itu. Definisi ini terdiri dari dua bagian, pertama mengungkapkan unsur objek yang serupa dengan unsur objek lainnya. Misalnya, “manusia adalah hewan yang berpikir”. Kedua, menyatakan unsur objek yang berbeda dari unsur objek lainnya. Misalnya, “manusia adalah hewan yang berpikir” tadi. ”Hewan” adalah bagian yang pertama, “yang berpikir” bagian yang kedua.

Definisi real ini dapat dibagi menjadi: (1) Definisi hakiki, menyatakan hakikat sesuatu dengan memasukkan objek dalam kelompok terdekatnya (genus proximum) lalu membedakannya dalam pembeda yang khusus (differntia specifica). Misalnya, “hewan” adalah genus, “yang berpikir” adalah species. (2) Definisi lukisan, mengungkapkan ciri khusus objek yang dijelaskan. Misalnya, angsa putih, gagak hitam. (3) Definisi yang menjelaskan maksud dan tujuan. Misalnya, kamera adalah sebuah alat untuk mengabadikan peristiwa tertentu. (4) Definisi yang menjelaskan sebab-akibat sesuatu. Misalnya, garhana matahari terjadi karena bulan berada di antara bumi dan matahari.  

Pendefinisian harus mengikuti beberapa aturan, yaitu (1) Definisi harus dapat dibolak-balik dengan hal yang dapat didefiniskan. Misalnya, “hewan yang berpikir” dapat dibalik dengan “manusia”. (2) Definisi tidak boleh negatif. Misalnya, Filsafat adalah bukan ilmu tentang tata krama. (3) Apa yang didefinisikan itu tidak boleh masuk ke dalam definisi. Misalnya, logika adalah pengetahuan tentang prinsip logika. (4) Definisi tidak boleh dinyatakan dalam bahasa kiasan, yang bermakna ganda dan kabur.

Setelah melakukan tindakan pengertian yang terwujud dalam kata-kata, penalaran selanjutnya melakukan keputusan. Keputusan adalah tindakan mengakui atau memungkiri sesuatu dengan menyatukan atau memisahkan hal yang telah ditangkap, yang diungkapkan dalam suatu kalimat. Kalimat adalah kumpulan kata yang terkecil yang mengandung pikiran yang lengkap.

Keputusan (kalimat) adalah ungkapan pikiran yang dapat dibenarkan, dibantah, disangsikan atau dibuktikan, karena keputusan selalu mengakui atau memungkiri kenyataan yang ada.

Keputusan (kalimat) mengandung tiga unsur, yaitu (1) Subjek, sesuatu yang diterangkan. (2) Predikat, sesuatu yang menerangkan subjek. (3) Kata penghubung (kopula), yang mengakui atau memungkiri hubungan antara subjek dan predikat.

Keputusan terbagi menjadi dua jenis, yaitu (1) Keputusan kategoris, di mana predikat menerangkan subjek tanpa syarat. (2) Keputusan hipotetsi, di mana predikat menerangkan subjek dengan suatu syarat dan tidak secara mutlak, bersifat kondisional (melalui ungkapan, Jika… maka), disyungtif (melalui bentuk, Atau… atau) atau konjungtif (melalui kata, Tidak semua… dan).

Setelah menetapkan keputusan, penalaran akan melakukan penyimpulan. Penyimpulan adalah kegiatan akal budi membentuk pengetahuan baru berdasarkan keputusan yang telah diambil sebelumnya, atau pengetahuan lama atau sebelumnya (antecedens). Pengetahuan baru ini disebut sebagai kesimpulan (consequens).

Antara pengetahuan lama (antecedens) dan pengetahuan baru (consequens) ada hubungan yang tidak kebetulan. Hubungan ini disebut hubungan peyimpulan (consequentia).

Baik antacedens maupun consequens selalu terdiri atas keputusan (kalimat), sedangkan keputusan (kalimat) terdiri dari term-term pengertian (kata-kata). Term-term pengertian dalam keputusan (kalimat) adalah materi (isi) penyimpulan. Sedangkan hubungan penyimpulan (consequentia) adalah forma (bentuk) penyimpulan. 

Penyimpulan itu lurus, jika ditarik dari antecendensnya. Pemyimpulan itu tidak lurus (palsu), jika tidak berasal dari antecendensnya.

Melalui Logika orang akan sampai pada pengenalan akan batas kemampuan dirinya yang sesungguhnya, sehingga kemudian ia dapat belajar untuk menambah kekuranganya itu melalui latihan. Logika akan membuatnya cakap menetapkan penyimpulan yang terjamin. 

Orang akan belajar bagaimana meraih kebenaran dan bagaimana menilai pernyataan tentang kebenaran yang saling bertentangan, mengkritik pembuktian, mengenali ketidakkonsistenan dan kesalahan logis serta dapat membangun alasan dan bukti sesuai dengan kesimpulan yang sahih.

Logika akan membawa orang berani berpikir sendiri dan berdasarkan penalaran seperti itu ia dapat memutuskan pertimbangan-pertimbangan rasional yang menentukan tindakan-tindakan objektif dalam hidupnya. 

********

Kung-sun Lung (325-250 SM) berasal dari Chao, sekarang Provinsi Shansi, China. Ia adalah tokoh aliran School of Names (m´ıng ji¯a, 名家), golongan pemikir yang dikenal sebagai para pendebat (pi`an chˇe) dalam tradisi filsafat China antara abad ke 4-3 SM.

Para pendebat ini sangat menekankan analisa arti kata-kata yang sesungguhnya. Tema dan pertanyaan utama yang menarik bagi mereka adalah hubungan antara nama (m´ıng, 名) dengan objek yang dapat dirujuk di dunia nyata (sh´i, 實). Kung-sun Lung membedakan kedua hal tersebut, kemudian hari ia sangat dikenal dengan wacana bai ma fei ma,  白馬非馬 . “Kuda putih bukan kuda”. 

Menurut Kung-sun Lung, kata ’putih’ tidak merujuk kepada apa itu putih. Namun kata ‘kuda putih’ merujuk warna putih kepada objek (misalnya, kuda) yang berwarna putih. Sedangkan kata putih itu tidak merujuk kualitas ‘putih’. Sementara kata ‘kuda’ tidak dapat dilepaskan atau dikaitkan dengan warna apapun juga.

Kata ‘kuda’ hanya merujuk pada sifat dasar semua kuda, yaitu ‘kuda itu pada dirinya sendiri apa adanya’. Ini tidak ada hubungannya dengan warna tertentu, termasuk ketika menyebut kuda putih. 

Maka apa yang dirujuk oleh kata ‘kuda putih’ itu sesungguhnya berbeda dari apa yang dirujuk oleh kata ‘kuda’. Sedangkan kata putih itu merujuk pada kuda tertentu, yaitu kuda itu sendiri apa adanya. 

Di luar kata putih tertentu itu, putih tidak merujuk pada objek yang universal, apakah itu kuda atau bahkan warna putih itu sendiri. Oleh sebab itu nama (kata) tidak hanya menunjukkan pada objek tertentu yang partikular, tetapi juga yang universal (abstrak).

Kung-sun Lung tidak hanya menekankan bahwa hal yang aktual itu bersifat relatif dan berubah-ubah. Namun nama (kata) yang merujuknya itu sekaligus mutlak dan tetap. 

Dengan menganalisa nama (kata) dan hubungannya dengan atau perbedaannya dengan kenyataan, Kun-sun Lung sampai pada “that which lies beyond shapes and features”. 

Filsafat China membedakan antara “being that lies within shapes and features” dan “being that lies beyond shapes and features”. “Being that lies within shapes and features” itu bersifat aktual, yang disebut sh´i. Misalnya, yang besar dan yang kecil, yang persegi dan yang bulat, yang putih dan yang hitam. 

Semua itu masuk dalam kategori sifat dan bentuk. Segala objek yang dialami secara empiris oleh manusia pasti memiliki sifat dan bentuk dan ada di dalam dunia nyata. Segala objek yang memiliki sifat dan bentuk adalah objek yang dapat dialami manusia.

Kung-sun Lung menemukan bahwa apa yang berada di luar sifat dan bentuk, atau yang universal (abstrak) itu tidak dapat menjadi objek pengalaman manusia. Orang dapat mengalami (melihat) suatu objek yang berwarna putih, namun ia tidak dapat melihat putih yang bersifat universal.

Segala hal yang bersifat universal itu hanya dapat ditunjuk dengan nama (kata) yang melampaui sifat dan bentuk. Meskipun demikian tidak semua yang universal itu dapat diberi nama untuk menjelaskannya. 

Tujuan wacana bai ma fei ma Kung-sun Lung itu adalah untuk membuktikan bahwa ‘kuda’, ‘putih’ dan sebagainya itu semuanya adalah yang universal, terpisah dan berdiri sendiri dari kenyataan.

—-

Kepustakaan

Fung, Yu Lan. Sejarah Ringkas Filsafat Cina. Liberty, Yogyakarta, 1990.
Hansen, Chad. Language and Logic in Ancient China. University Michigan Press, Michigan, 1983.
Hayon, Yohanes Pande. Logika: Prinsip-prinsip Bernalar Tepat,  Lurus dan Teratur. ISTN, Jakarta, 2000.
Lanur, Alex. Logika: Selayang Pandang. Kanisius, Yogyakarta, 1983.


*Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia.