Memfilmkan Borobudur: Antara Mengawetkan dan Menggali Ilham

Oleh Dr. Budi Irawanto

Daoed Joesoef, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan RI (1978-1983), di bagian awal bukunya yang bertajuk Borobudur (2004) menorehkan kenangannya saat pertama kali mengunjungi candi itu pada tahun 1950-an:

”Kami dapati Candi Borobudur  dalam  keadaan yang memprihatinkan. Lorong-lorongnya yang penuh bertaburan relief, tidak ada satu pun yang tegak lurus. Semuanya serba miring dan berlumut. Di sana-sini bahkan bermunculan tunas-tunas kecil pohon kayu yang tumbuh dari kotoran burung  atau kelelawar. Ketika kami tiba di situ, di halaman candi yang relatif luas, sepasukan TNI sedang latihan berbaris. Ada anak-anak desa yang bergerombol menonton latihan ini, ada pula yang sedang bermain sepak bola atau sekedar berkejar-kejaran, umumnya bercelana tanpa kemeja. Kemudian ada kambing, domba dan ayam yang berkeliaran dengan bebas tanpa menghiraukan keadaan candi.”

Deskripsi Daoed Joesoef yang hidup dan rinci itu, kini terasa bak nostalgia belaka. Sebagian besar dari kita, yang tak tahu peliknya proses restorasi Candi Borobudur, barangkali akan mencibirnya sekadar kenangan pribadi Daoed Joesoef yang sulit untuk dipercayai. Kini, tatkala berkunjung ke Borobudur kita menemukan candi yang megah dengan taman yang tertata rapi serta senantiasa dipadati oleh ribuan turis dari pelbagai pelosok dunia.  Begitu pula kesan yang mencuat ketika kita menyaksikan sejumlah film tentang Candi Borobudur.

Esai ringkas ini merupakan ikhtiar membincangkan kembali pelbagai upaya memfilmkan Candi Borobudur selama ini lewat pelbagai pendekatan serta dilambari oleh beragam tujuan. Bagian pertama memaparkan aneka cara memfilmkan Candi Borobudur selama ini di tanah air. Sementara itu, bagian kedua merupakan catatan terhadap pelbagai cara tersebut seraya mengemukakan apa yang luput dari upaya memfilmkan Candi Borobudur selama ini.

Film dan Candi Borobudur

Film sesungguhnya senantiasa bergulat dengan waktu. Membuat film, kita tahu, merupakan bagian dari ikhtiar menyelamatkan tragedi dari benda-benda yang kelak akan lenyap. Prinsip dasariah dari setiap pembuatan film adalah perekaman terhadap momen, peristiwa, lanskap atau benda-benda yang kelak hanya akan menjadi ingatan, jejak atau lenyap sama sekali. Maka, tak aneh, jika film memiliki peran yang penting dalam setiap upaya mendokumentasikan beragam warisan saujana budaya yang senantiasa di bawah ancaman kerusakan dan kepunahan, baik karena sebab alami maupun tindakan manusia.

Upaya memfilmkan pelbagai warisan saujana budaya, termasuk Candi Borobudur, tak hanya memiliki nilai dokumentasi, melainkan juga membantu menyimpan data tentang Borobudur dalam bentuk audio-visual. Candi Borobudur sesungguhnya merupakan salah satu rangkaian dari Candi Mendut dan Candi Pawon yang terpacak di atas dataran Kedu dan dibelah oleh dua sungai sekaligus, sungai Progo dan sungai Elo. Harus diakui, Candi Borobudur memang jauh lebih besar dan megah dibandingkan dua candi yang lain itu, kendatipun ketiga candi itu memiliki nilai spiritual yang sama bagi penganut agama Buddha.  Daya tarik fisik dan arsitektural Borobudur memang mengagumkan. Bangunan candi yang terbuat dari bahan batu massif dengan tata letak yang mengikuti konsep mandala memang mencengangkan. Di samping itu, Candi Borobudur mengguratkan banyak misteri yang tak gampang diurai, mulai dari siapa sesungguhnya sang arsitek agung yang ada di balik kemegahannya hingga muasal nama “Borobudur” itu sendiri.

Mesti diakui, ada banyak kemungkinan memfilmkan Candi Borobubur. Pertama, mendokumentasikan candi Borobudur sebagai artefak fisik dengan segenap detail hingga relung-relung terkecilnya. Kedua, mendokumentasikan ekosistem sosial-budaya yang mengitari tempat Candi Borobudur berdiri atau pengaruh keberadaannya terhadap lingkungan sekitar. Ketiga, memvisualisasikan secara persis relief-relief atau cerita-cerita yang terpahat pada dinding Candi Borobudur ke dalam bentuk animasi atau film cerita panjang. Keempat, menjadikan Candi Borobudur sebagai sumber inspirasi kisah atau narasi film.

Memfilmkan Candi Borobudur sebagai artefak fisik maupun lingkungan sosial-budayanya lazim kita temui dalam bentuk film dokumenter untuk kepentingan pariwisata atau tujuan instruksional (pembelajaran). Dalam film dokumenter semacam ini Candi Borobudur diposisikan sebagai artefak budaya yang secara fisik mati, meskipun memiliki kekayaan simbolisme dalam dirinya. Sejumlah film seperti Borobudur the World Heritage karya Garin Nugroho, Sang Budha Bersemayam di Borobudur karya Marselli Sumarno, The Journey Behind the Stones karya Sigit Ariansyah dan The Enchantment of a Golden Past produksi PT. Taman Wisata Candi bisa menjadi contoh film dalam kategori ini.   Dalam film-film itu kita bak mengalami tamasya visual dengan menyusuri keindahan Borobudur sebagai sebuah monumen dari masa lalu dan tafsiran filosofis terhadap relief yang menghiasi dinding candi.

Pada saat yang sama, sejumlah pengetahuan juga bisa ditangguk dari relief-relief pada Candi Borobudur itu. Sebagaimana ditunjukkan oleh kajian yang dilakukan oleh Gotot Prakosa (2002), panel-panel pada Candi Borobudur sesungguhnya menawarkan pelajaran perihal aspect ratio yang bisa diadaptasi ke dalam film dan televisi. Kendatipun cara orang melihat panel-panel pada candi itu berbeda dengan cara orang menonton film, prinsip yang serupa ada pada keduanya. Begitu pula, relief-relief pada Candi Borobudur menyuguhkan informasi yang luar biasa perihal teknologi masyarakat di masa lalu juga dunia flora dan fauna yang terekam dengan detail.  Sejumlah film dokumenter yang lain berikhtiar merekam momen-momen penting restorasi Candi Borobudur yang berlangsung selama hampir 10 tahun, misalnya film Borobudur, A Thousand Years More (1977); Borobudur, Beyond the Reach Time (1983); Images from the Inauguration of Borobudur in 1993 by President Suharto (1983) yang semuanya merupakan produksi UNESCO (badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi pendidikan, sains dan kebudayaan).  Lewat film-film ini kita bisa menyaksikan bagaimana peliknya proses restorasi yang melibatkan banyak ahli dengan pelbagai latar belakang keilmuan serta berasal dari berbagai negara.

Sementara itu, memfilmkan cerita yang berasal dari relief-relief di dinding candi dan menjadikan Candi Borobudur sumber inspirasi bisa muncul dalam pelbagai ragam film cerita: animasi, drama televisi atau film layar lebar. Seperti kita tahu, setidaknya ada sekitar 1460 panel yang bercerita pada Candi Borobudur dengan ukuran yang bervariasi (mulai dari 60 x 60 cm hingga 275 x 100 cm). Dari panel-panel ini beragam  cerita (kisah) yang sarat dengan tanda, lambang atau simbol mendedahkan  beragam  pelajaran moral yang penting.

Di sisi lain, tak kurang upaya memfilmkan pergelaran musikal yang dikombinasikan dengan seni tari yang spektakular dengan menjadikan Candi Borobudur sebagai setting utama.  Inilah yang kita saksikan dalam film Sang Maha Kala Tiba (1999) karya Jay Subiakto yang menggandeng koreografer kondang Sardono W. Kusumo.  Film yang diprakarsai oleh BBC London dan disiarkan ke 48 negara sebagai bagian dari penyambutan millenium ke-3 (tahun 2000) mengambil setting persis di depan relief Karmawibhangga. Begitu pula, film besutan Garin Nugroho bertajuk Teak Leaves and the Temples (2007) yang merupakan pertunjukan kolaborasi musisi lokal (Komunitas Lima Gunung, Sono Seni, Kelompok Musik Bambu Plaosan) dan musisi free jazz internasional (Guerino Mazzola, Heinz Geisser, Noris Jones) dengan latar Candi Borobodur selain Candi Prambanan dan Candi Ratu Boko. Kendati demikian, memfilmkan dengan cara seperti ini memang mengesankan hanya menempatkan Candi Borobudur sebagai latar (backdrop) pertunjukan ketimbang fokus utama film.

Di antara beragam film tentang Borobudur itu, barangkali tak banyak film yang menangguk inspirasi dari keberadaan Candi Borobudur. Dalam film semacam ini keberadaan Borobudur diolah menjadi narasi dan drama yang menggugah. Hanya sedikit film yang bisa dijadikan contoh seperti Pemahat Borobudur (2007) besutan Arswendo Atmowiloto.  Film ini mengisahkan seorang anak desa bernama Amat yang piawai membuat patung. Suatu kali dalam lomba karya seni, Amat berhasil meraih juara pertama berkat patung yang dibuatnya. Persoalan muncul ketika Amat memutuskan hendak mengembalikan hadiah itu karena ia merasa patung itu bukanlah hasil karyanya yang utuh. Akibat keputusan itu keseimbangan warga di desa Amat, yang relasi sosialnya terjalin lewat seni budaya dan pertunjukan, sedikit terganggu.  Lewat film ini kita tak hanya bisa melihat potret masyarakat yang tinggal di sekitar Candi Borobudur, tapi juga bisa belajar tentang nilai-nilai kejujuran, ketekunan dan kebersamaan yang tumbuh dalam masyarakat kita.  Dalam film ini Candi Borobudur tidak berhenti menjadi sebuah ‘teks yang mati,’ melainkan ‘dihidupkan’ sebagai sebuah drama yang sarat dengan perenungan nilai-nilai.

Menampik Pandangan Miopik

Jika kita simak lebih jauh, sejatinya tak banyak film yang memotret kehidupan sosial yang ikut pula menyangga keberadaan Candi Borobudur. Umpamanya,  warga masyarakat  yang dulu pernah menjadi korban penggusuran ketika taman Candi Borobudur  dibangun, kini harus mengais nafkahnya  dari remah-remah aktivitas industri pariwisata.  Di samping itu, Candi Borobudur sebagai monumen Buddhis terbesar di tanah air sesunguhnya selama ini ikut pula dirawat dan dijaga oleh masyarakat sekitarnya yang notabene mayoritas adalah muslim.  Pengorbanan dan sikap toleran mereka yang tinggi telah ikut menyumbang bagi kemegahan Candi Borobudur selama ini tampaknya luput dibidik oleh kebanyakan film tentang Borobudur.

Ada kecenderungan masyarakat sekitar hanya muncul sekilas sebagai latar yang kurang penting apalagi dilibatkan secara partisipatoris dalam produksi film tentang Candi Borobudur. Jika masyarakat sungguh-sungguh dilibatkan dalam produksi film itu (yang tak menempatkan film itu semata-mata sebagai sebuah ‘projek’), maka bakal lahir film yang mampu menangkap pengalaman otentik dan pandangan yang jujur dari warga terhadap Candi Borobudur. Di sinilah, pentingnya film tentang Candi Borobudur tidak berhenti menjadi sekadar bentuk dokumentasi terhadap keberadaan fisik Borobudur dan menempatkannya sebagai monumen dari masa lalu, alih-aih melongok ‘masyarakat nyata’ di sekitar Borobudur. Dengan kata lain, film itu mampu menyodorkan potret yang setidaknya sedikit berbeda di tengah keseragaman (atau ‘penyeragaman’) dalam melihat keberadaan Candi Borobudur.

Cara pandang yang cenderung miopik dalam melihat Candi Borobudur yang telah ditabalkan sebagai salah satu “keajaiban dunia” amat kentara dalam sejumlah film. Seperti kita tahu, Borobudur sesungguhnya menjadi tujuan ziarah spiritual para penganut agama Budha maupun tujuan pariwisata popular yang tak hanya terbatas di tanah air melainkan hingga manca negara.  Karena itu, keberadaan Candi Borobudur semestinya diletakkan dalam konteks global atau internasional pertemuan pelbagai bangsa melalui pariwisata maupun kegiatan peziarahan spiritual. Bahkan, restorasi Borobudur, kita tahu, melibatkan UNESCO yang memberi bantuan dalam bentuk penggalangan dana, penyediaan peralatan teknologi dan pengiriman penasihat-penasihat teknis yang diperlukan. Dimensi global dari

keberadaan Borobudur ini akan kian tampak jika lahir lebih banyak film yang merupakan hasil kolaborasi dari pelbagai bangsa dan mempertemukan pelbagai tafsiran makna tentang Borobudur.

Di samping itu, yang tak kalah pentingnya, kebanyakan film tentang Candi Borobudur begitu gampang melupakan dimensi politik keberadaannya.  Bahkan, sejak tahap awal restorasi besar Candi Borobudur yang dimulai pada 10 Agustus 1973 pelbagai persoalan politis menghadang. Sebagaimana pengakuan Daoed Joesoef yang ditulis dalam bukunya Borobudur (2004) itu, ia menghadapi ancaman, dalam bentuk ‘surat kaleng’ atau ‘selebaran gelap,’ dari kelompok tertentu yang menghujat, memaki dan mengutuk dirinya karena dianggap telah terlibat dalam “pembangunan berhala yang terbesar di Tanah Air.” Puncak dari persoalan itu adalah terjadinya peledakan pada 21 Januari 1985 yang merusak tak kurang 9 stupa berlubang (3 yang berada di sisi timur batur pertama dari lapisan Arupadhatu, 2 ada di batur kedua dan 4 sisanya di batur ketiga). Padahal, berdasarkan ketentuan internasional tentang pelestarian warisan saujana budaya tidak mungkin mengganti kerusakan itu dengan duplikat yang meniru kondisi aslinya. Ini menunjukkan betapa tidak ringan tantangan yang dihadapi dalam melestarikan warisan saujana budaya di tanah air. Dan betapa nilai kebhinekaan yang disiratkan lewat perpaduan elemen Hinduisme dan Budhisme dalam Candi Borobudur senantiasa mengalami ujian berat dalam masyarakat kita yang majemuk bahkan hingga hari ini.

Sumur Ilham

Harus diakui, pelbagai upaya memfilmkan Candi Borobudur telah banyak dilakukan dengan beragam tujuan. Lazimnya upaya-upaya itu memiliki pertautan dengan kepentingan pariwisata atau bagian dari pendokumentasian warisan saujana budaya.  Agaknya masih bisa dihitung dengan jari upaya menjadikan Candi Borobudur sumber bagi penciptaan. Penyebabnya, barangkali karena pembuatan film tentang Candi Borobur lebih banyak didominasi cara pandang yang cenderung turistik atau eksotis, alih-alih menggumulinya secara intens dan kritis keberadaan Candi Borobudur dengan menimbang konteksnya yang kompleks.

Pada akhirnya, ikhtiar untuk terus menggali ilham dari Candi Borobudur yang mampu melahirkan beragam karya seni dan budaya barangkali jauh lebih penting dilakukan ketimbang sekadar mengawetkan atau melestarikan Borobudur dengan cara mendokumentasikannya. Inilah sejatinya spirit dari “the unfinished Buddha of Borobudur”: terbuka dan menantang untuk terus dikuak misterinya lewat eksplorasi bahasa sinematik.  Dieja secara lain, Candi Borobudur adalah sebuah sumur besar yang mata airnya tak pernah kering memancarkan ilham yang membuncah-buncah. Persoalannya, siapa yang mampu menyuling mata air ilham itu dan membahasakannya lewat sinema?

*Penulis adalah pengamat fim dan pengajar jurusan komunikasi UGM

______________________________

Semula adalah makalah yang disampaikan dalam Diskusi bertema “Membangkitkan Semangat  untuk Mendokumentasi Borobudur” sebagai pendukung pameran seni visual The Thousand Mysteries of Borobudur  yang diselenggarakan oleh Kantor Regional UNESCO Jakarta,  bekerjasama dengan Departemen Budaya dan Pariwisata RI,  Jogja Gallery dan Jogja Film Commission , Ruang Seminar  Taman Budaya  Yogyakarta (TBY), 9 Mei 2007.