Puisi-Puisi FX Rudy Gunawan

I. Dimana Kita Sebaiknya Berada?

pernahkah kau merenung,
dimana kita sebaiknya berada?
pernahkah kau bertanya,
bagaimana seharusnya kita mengada?

pernahkah kau tahu,
di stasiun mana kita sebaiknya berhenti?
bisakah kita hanya diam saja
di kereta gantung San Christobal Hil?

kutanyakan itu padamu dalam sebuah perjalanan
kau tertawa, lalu balik bertanya
“perlukah kita tahu dimana sebaiknya kita berada?”
hidup bisa membawa kita kemana saja
tak usah kau risaukan itu, ujarmu

begitu yakin kau ucapkan setiap kata
suara lembutmu menyihirku
sampai ke labirin jiwa terdalam
membungkam semua teori kehidupan
hingga tersisa dongeng dan mitologi

lalu akhirnya hanya ada sebuah puisi
namun ia keburu hilang sebelum dituliskan
mungkin menguap di panas terik kota Jakarta
atau tersesat di puncak bukit San Christobal
lalu menyusup dalam doa-doa para pelancong

San Christobel, 4 Desember 2022

 

II. Kamu dimana?

karena kini dunia menjadi maya
kita pun lantas menjadi sosok maya
lalu kita mulai saling kehilangan
kamu berteriak: kamu dimanaa?
padahal aku ada di dekatmu
mengamati gerak dan raut wajahmu

kehidupan maya memisahkan kita
membuatku menjadi tak kasat mata
meski aku tengah erat memelukmu
dan berbisik lembut di telingamu:
aku selalu di sisimu, kekasih
kamu hanya menggelinjang dan terus bertanya:
kamu dimanaa?

ketika menapakkan kaki di Santiago
setelah mengitari entah berapa bagian benua
aku berdialog dengan puisi Gabriela Mistral
di antara pohon-pohon palma canary tua
berusia seratus tahun atau bahkan lebih:
apakah hidup kini jadi lebih maya di dunia nyata?
lalu dimana akar pohon kehidupan akan menancap?

sejak kecil aku menyukai pepohonan
beringin raksasa dengan akar-akar menjulur
meneduhkan bundaran jalan menuju desa-desa
aku mencintai beringin-beringin itu
pada mereka kutemukan sepotong kearifan
setiap kali berada di naungan rerimbunnya

sayup kudengar terus suaramu memanggilku:
kamu dimanaa?
aku melihatmu dari kearifan pepohonan
kuminta pohon-pohon itu menyapamu
mengelusmu dengan hijau daun-daunnya
agar aku tak lagi maya di setiap hela nafasmu
nyata menaungimu seperti beringin tua

Gran Via, Santiago, 7 Desember 2022

 

III. Secangkir Teh Crysant dan Keping Sejarah

kau tuangkan secangkir teh crysant sore itu
langit seperti jala nelayan di laut utara
mengingatkanku pada ibu terkasih
menyeduh teh crysant
saat tubuhku kuyup usai bermain hujan

peristiwa itu hidup kembali di tanganmu
menyihirku terlena di lorong waktu
oleh perbincangan tentang masa tua
saat sejarah kerap lupa mencatat
dan memudarkan keping-keping kenangan

di museum sejarah sebrang katedral plasa del mar
aku melahap keping-keping peradaban
mesin jahit pertama,
revolver tua menyimpan kilau darah,
mesin tik sebesar koper kecil,

alat pertanian dan pertukangan,
lembar-lembar pakaian adat suku Mapuche,
kukunyah tuk mengisi kekosongan masa silam
agar kepungan ruang-ruang hampa
gagal menyulap kita jadi mesin

di taman sebrang katedral, aku melebur
menjelajah serpihan kehidupan masa kini
menyatu dalam jiwa rakyat jelata
bercengkrama dengan para pekerja seks
yang letih menjajakan diri

persis di sisi kiri taman
aku mendengar celoteh seorang pendeta
mungkin ia berkhotbah tentang neraka
kepada para lansia yang mendamba surga
namun tak satupun kata-katanya kumengerti

lengking biola seorang pengamen perempuan
melantunkan sepotong Imagine John Lennon
membuatku mengerti sedikitnya satu hal
tentang masa depan dan harapan
yang tersimpan di kereta bayi anaknya

seperti itulah aku mengerti sihir kasih ibu
hanya dalam regukan secangkir teh crysant
seusai bermain hujan di sore hari
keping kenangan ini abadi di kotak ingatanku
meski buku sejarah tak menuliskannya.

Lo Curro, Santiago, awal Desember 2022

 

IV. Doa Puisi Pagi

pagi ini aku berdoa
memohon agar hari ini sejuk
untuk meneduhkan hatimu yang panas
menyegarkan tubuhmu yang letih
jadikan hari ini hari yang sejuk, pintaku
agar para buruh tani
tak terpanggang di sawah para tuan tanah
agar para buruh pabrik
tak membakar mesin-mesin para juragan

doaku adalah sebuah puisi pagi
mengalir dari dalam laut Pasific
menyapa pohon-pohon di gunung Arjuna
mengalun dalam lagu-lagu rakyat
melintasi kebun anggur di Casablanca
menjelajah katulistiwa sampai ke emperan surga
menetap di tangan-tangan terkepal
memberontak pada semua tirani
dan mengabadikan arwah para pejuang

Isla Negra, Chile, 8 Desember 2022

 

V. Para La Vida
(untuk kehidupan)

kau belah samudera dengan sampan kecilmu
sebilah kapak terselip di tiang penyangga layar
kilaunya menerjang malam di cahaya bulan sabit

inilah perjalanan mencari damai via jalan kapak
entah berapa banyak pertempuran dan darah
sebelum terdampar di ujung pulau Isla Negra

kau belah sebatang pohon tua dengan kapakmu
kilau kapak itu menyerpih di nyala api unggun
usir bahaya yang mengintai damaimu

seorang pertapa di gunung salju kisahkan kematian
semua orang akan mati dua kali, katanya
kematian pertama adalah saat kau dikuburkan

lalu, kau akan mati lagi
kala tak ada orang mengingatmu
kau hanya membisu

terus mengasah kapakmu
kita hidup untuk menghidupkan kehidupan
kematian hanya keniscayaan belaka

berapa kali pun kau mati,
tak perlu kau risau
tak soal meski jalan kapak yang kau pilih

dunia akan melukis jejak kapakmu
menorehkan cerita hidupmu:
para la vida!

Gran Via, Santiago, 27/12/22

*FX. Rudy Gunawan adalah jurnalis, pekerja budaya dan pendiri Majalah Diffa, media khusus tentang penyandang disabilitas. Baru saja residensi di Chile. Sajak-sajak ini adalah sebagian dari sajak-sajaknya yang ditulis di Chile.