Babylon; Dekadensi Menemukan Rumahnya di Hollywood

Oleh Benny Benke  

Di manakah rumah kebejatan sebenarnya dengan segala dekadensinya berada? Rumah di mana manusia bisa dan bebas melakukan apa saja, tanpa ada yang bisa melarang melakukannya. Tanpa terkecuali.

Di Bel-Air, tempatnya. Bel-Air adalah kawasan perumahan mewah di kaki pegunungan Santa Monica yang hijau. Itu sekarang. Kiwari, Bel-Air bahkan menjelma lingkungan perumahan supermewah di sisi barat Los Angeles, California, di kaki bukit Pegunungan Santa Monica.

Tapi kemewahan itu, belum menjadi apa-apa pada tahun 1920-an. Bel-Air hanya gurun tempat melarikan diri para “bajingan” pekerja film Hollywood dari rutinitas melelahkah memproduksi film, kala itu.

Untuk kemudian, melepaskan nafsu hewaninya, melakukan kegiatan pesta pora secara massal, ditemani segunung kokain, bergelas-gelas wine dan alkohol, ditemani gajah sesungguhnya, sembari melakukan pesta sex bersama (orgi). Berria sambil berlupa selepas-lepasnya. Nafsu hewani silakan berpesta sesukanya.

Sebejat itukah para pekerja film Hollywood melampiaskan dan melepaskan nafsu liar mereka? Apakah memang demikian yang terjadi saat itu? Atau hanya kisah yang didramatisir belaka, sehingga menjadi cerita yang berlebihan?

Demikianlah yang dikisahkan dalam film ditulis dan disutradarai Damien Chazelle dalam menarasikan versinya. Kehidupan orang-orang Hollywood adalah super dekaden, bobrok, pepak dengan segala kebejatannya.

Sutrdara Damien Chazelle (kiri) bersama D.O.P Linus Sandgren (kanan) dalam set film Babylon. (Foto: Paramount Pictures)

Moral tak ada artinya di sini, Hollywood tahun 1920-an, ketika industri film mulai beralih dari film bisu ke dunia film bersuara, adalah kehidupan dengan sepenuh keliarannya. Bobrok sejadi-jadinya.

Demikian paling tidak menurut film epik berdurasi tiga jam tujuh menit ini. Dan kebejatan itu, dikisahkan dengan tersurat, segamblang-gamblangnya.

Adegan kebejatan itu digambarkan dengan kekuatan artistik sedekat-dekatnya, dengan latar kejadian, sebagaimana pengakuan Chazelle (sutradara La La Land, dan Whiplash) dilahirkan dari proses riset yang tidak pendek.

Yang kemudian mewakilkan tiga kisah dekadensi itu kepada tokoh utamanya, yaitu Manny Torres (Diego Calva), Nellie LaRoy (Margot Robbie), dan superstar film bisu Jack Conrad (Brad Pitt).

babylon

Diego Calva dan Margot Robbie dalam film Babylon. (Foto: Paramount Pictures)

Di tangan Chazelle pemirsa diajak menjalani pakansi menderu dan berderak-derak, melewati hari-hari terakhir keemasan era film bisu.

Dimulai pada tahun 1926 dan berakhir pada awal tahun 1930-an (dengan set epilog beberapa tahun kemudian). Secara garis besar, film ini berpusat pada transisi industri yang penuh gejolak, dari film bisu beralih ke film yang berbicara.

Yang menjadi pertanyaan besar hampir semua kritikus film dunia, apakah Hollywood pada periode itu benar-benar liar, bebas dan tidak senonoh seperti yang terlihat di film Babylon?

“Saya ingin melihat di bawah mikroskop pada hari-hari awal sebuah bentuk seni dan industri, ketika keduanya masih menemukan pijakannya,” kata Chazelle dalam komentar yang disertakan dalam catatan produksi film tersebut sebagaimana dikutip TIME.

“Dan, pada tingkat yang lebih dalam, saya menyukai gagasan melihat masyarakat dalam perubahan. Hollywood mengalami serangkaian perubahan yang cepat dan kadang-kadang tampak seperti bencana di tahun 20-an, dan beberapa orang selamat, tetapi banyak yang tidak. Dalam istilah hari ini, kami menyebutnya gangguan. Anda melihat apa yang dialami orang-orang ini, dan itu memberi Anda gambaran tentang pengorbanan manusia yang menyertakan ambisi yang menarik begitu banyak orang datang ke ke Los Angeles pada waktu itu. Ada sisi yang lebih gelap dari kisah transisi itu daripada yang pernah saya lihat sebelumnya,” tulis Chazelle.

Diego Calva dan Margot Robbie dalam film Babylon. (Foto: Paramount Pictures)

Tidak mengherankan, Babylon telah mendapat ulasan yang menerbitkan polarisasi dari para kritikus film.

Beberapa kritikus memuji Chazelle atas ambisinya, yang lain mencela film tersebut sebagai film yang lebay, berlebihan dan hambar.

“Chazelle mengira dia menciptakan visi Hollywood tahun 1920-an, tetapi tidak peduli seberapa banyak penelitian yang mungkin telah dia lakukan, dia sama sekali tidak mendengarkan suara yang berbeda,”  tulis kritikus film TIME Stephanie Zacharek.

“Dia memperlakukan orang-orang di zaman yang hilang ini seperti makhluk primitif yang tidak tahu apa-apa. Dia tidak mengabadikan masa lalu; dia hanya merendahkannya,” imbuh Stephanie Zacharek.

 

Terinspirasi Kisah Nyata

Pendapat merdeka saja. Penonton awam yang paling bebas interpretasinya sekalipun bebas mengeluarkan opininya. Yang pasti, menurut Chazelle sejarah rumit di balik pengembaraan Old Hollywood diasusun atas nama riset.

Yang pada mulanya, juga sempat mengagetkannya. Serta yang paling utama, diangkat dari inspirasi kehidupan nyata di balik bintang-bintang besar Hollywood kuno. Karena menurut Chazelle satu-satunya orang yang digambarkan di Babylon adalah kepala produksi MGM Irving Thalberg (Max Minghella).

Diego Calva dan Brad Pitt dalam film Babylon. (Foto: Paramount Pictures)

Sedangkan nama LaRoy didasarkan pada kombinasi bintang film bisu, dengan perjuangan karakter seorang pecandu, yang kesulitan melakukan transisi dari era bisu ke era “talkie”, dan akhirnya jatuh dari keanggunannya.

Sosok ini terinspirasi dari nama Jeanne Eagels, Joan Crawford, dan Alma Rubens. Margot Robbie pun mendaku melakukan rieet yang serius atas perannya. Dengan harapan dapat menemukan sekaligus menjiwai perannya.

Dan hasilnya bukan kaleng-kaleng. Dia bisa berbicara tanpa santunitas, dengan pilihan bahasa sekasar-kasarnya. Urakan dan liar sejadi-jadinya. Dengan hutang menumpuk dan menyebabkannya stres sejadinya.

Sedangkan sosok Old Hollywood Conrad, yang dikisahkan sebagai seorang A-lister mapan, mengingatkan pada bintang-bintang terkenal pada masa itu, seperti John Gilbert, Douglas Fairbanks, dan Rudolph Valentino.

“Jack adalah semacam bintang film uber,” kata Chazelle.

“Dia pria terkemuka terlaris di dunia pada masanya. Dia adalah salah satu dari orang-orang yang telah mencapai puncak ketenaran tepat pada saat itu. Serta saat konsep bintang film masih relatif baru, sangat sulit untuk kita hari ini, untuk memahaminya.”

Sedangkan sosok Torres, seorang imigran Meksiko dengan impian untuk menaiki tangga Hollywood, juga terinspirasi oleh beberapa tokoh kehidupan nyata, menurut Chazelle.

Kaia Gerber dan Li Jun Li In dalam film Babylon. (Foto: Paramount Pictures)

Seperti nama Rene Cardona, yang datang ke Hollywood dari Kuba dan menaiki tangga eksekutif studio, kemudian memainkan peran dalam Golden Age of Mexican Cinema.

Adapun beberapa karakter pendamping Babylon yang lebih berkesan, Chazelle mengutip penulis Elinor Glyn, reporter Adela Rogers Stjohns, dan kolumnis gosip terkenal Louella Parsons sebagai pengaruh untuk Elinor St. Louis karya Jean Smartjohn.

Untuk peran sutradara wanita awal seperti Lois Weber, Dorothy Davenport, dan Dorothy Arzner untuk pembuat film Ruth Adler (diperankan oleh produser dan istri Chazelle Olivia Hamilton).

Lalu Anna May Wong, bintang film Asia-Amerika pertama di Hollywood, sebagai penyanyi jack-of-all-trade Lady Fay Zhu (Li Jun Li). Terakhir, pemain terompet karismatik Sidney Palmer (Jovan Adepo) dimaksudkan untuk menjadi campuran dari segudang bintang kulit hitam di era tersebut.

Yang berperan sebagai aktor dan musisi berbakat yang harus menghadapi rasisme yang sangat besar di industri ini.

“Ada sedikit peluang bagi pemain kulit hitam ketika era film suara tiba,” kata Chazelle, mengutip film musikal akhir 20-an dan awal 30-an yang dibintangi oleh Duke Ellington, Louis Armstrong, Ethel Waters, dan Bessie Smith sebagai aktor yang juga memainkan musik.

Singkatnya, Chazelle melatarbelakangi hampir semua tokohnya dari sosok kehidupan nyata.

“Semakin saya meneliti masa-masa awal Hollywood itu, semakin saya menyadari betapa gilanya periode waktu itu,” kata Chazelle.

Adegan dalam film Babylon (Foto: Paramount Pictures)

“Kumpulan ketidaksesuaian yang lebih besar dari kehidupan inilah yang berkumpul dan membangun kota dan industri baru dari nol. Saya tidak merasa perilaku gila semacam itu telah terekam secara akurat dalam film sebelumnya, dan saya ingin menampilkan kehidupan dan gaya hidup mereka dengan cara yang tidak ternoda dan sama sekali tidak bersih,” katanya.

Dia menambahkan; “Sosialita biasa terbang ke sini dan tinggal selama akhir pekan dan melakukan apa pun yang mereka suka saat tidak ada yang melihat”.

Bahkan dalam banyak adegan pamungkas, penggambaran betapa dekandennya kehidupan Hollywood, oleh Chazelle diciptakan banyak adegan yang menjijikkan.

Seperti saat Torres bertemu dengan gembong kriminal James McKay (Tobey Maguire), kemudian McKay mengatakan: “Selamat datang di rumah para bajingan di Los Angeles,” kata McKay saat mereka tiba di lokasi pesta para laknat.

Di mana pada adegan itu banyak kegiatan diluar akal sehat kita. Dengan segala kebejatannya. Sampai ada orang raksasa yang mampu memakan tikus mentah-mentah demi mendapatkan saweran dolar AS dari penontonnya.

Chazelle ingin mengatakan film besutannya memang tidak menceritakan kisah nyata, tetapi berusaha sekeras mungkin mengungkap sejarah perfilman yang eksploitatif. Sekaligus memengaruhi masyarakat yang muncul di sekitar industri film saat itu.

Meski dia mengakui, film ini  interpretasi Chazelle tentang Hollywood dalam versinya.

Makanya sebagian kritikus menyebutnya, versi Chazelle lebai, bahkan keterlaluan.

“Hollywood bukanlah industri aseksual yang lugu dan klasik seperti Singin’ in the Rain (atau yang lebih baru, The Artist) yang digambarkan dengan begitu penuh kasih,” tulis Peter Debruge dari Variety.

“Tapi film-film itu memberikan lebih banyak kesenangan per frame daripada yang ini, dengan adegan demi adegan yang melelahkan, meski dimaksudkan untuk meluruskan,” katanya lagi. Nah, mau tau betapa dalam dan laknatnya para pelalu industri film di Hollywood pada masa itu? Tonton Babylon.

 

*Penulis adalah pengamat film