Surat Lapor Diri Ibunda dan Titik Balik Kehidupan Seorang Guru

Oleh Aldo Zirsov

Sungguh sulit bagi saya untuk menuliskan catatan pribadi berdasarkan dokumen keluarga ini. Banyak pertimbangan dan kenangan yang ingin disampaikan, tetapi selalu gagal untuk menuliskannya. Pada satu hal, saya ingin tulisan ini tayang tepat pada tanggal 22 Desember. Sejak Ibunda meninggal pada 2012, dimana hampir semua dokumen keluarga besar, umumnya saya yang pegang dan kelola, sudah ada keinginan untuk menuliskannya, tapi selalu terhambat beban nostalgia dan rasa haru teramat sangat, yang menyulitkan saya untuk menuntaskannya dalam bentuk sebuah narasi. Apalagi sejak rumah keluarga besar di Padang berpindah tangan tahun 2017, pada bulan Desember tiap tahunnya, selalu muncul keinginan untuk menuliskan cerita ini dan lagi-lagi tidak berhasil untuk saya tuntaskan, dan berulang pada tiap bulan Desember tahun-tahun berikutnya.

Foto 1, Guru-guru S.R. pada Sekolah Rakyat no. 1 Penawar Kerinci, Kab. Pesisir Selatan dan Kerinci (sekarang masuk Kota Sungai Penuh, wilayah Kerinci Propinsi Jambi). (Arsip Penulis)

Dokumen pada foto 2 di bawah adalah Surat Lapor Diri ibunda saya ke Kodim 33/0311 di Painan, ibukota Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci, Propinsi Sumatera Tengah. Surat ini menyatakan bahwa ibu saya menyerahkan diri pada tanggal 15 Desember 1960 melalui Pos APRI Ki.I/440/B di Asamkumbang Bayang Pesisir Selatan (kampung Ibunda) dan melapor ke Kodim 33/0311 Painan. Saat peristiwa PRRI di Sumatera Tengah akhir tahun 1960, Kodim tersebut berada dibawah kendali RTP III/Diponegoro dan Kodam III 17 Agustus. Dalam surat lapor diri itu dituliskan nama jelas ibunda, suku, negeri asal dan pekerjaan, yaitu Guru Sekolah Rakyat, dimana status ibunda saat itu adalah pegawai negeri pada Departemen P.P. dan K. Surat lapor diri bertangggal 24 Desember 1960 menyatakan bahwa sejak 22 Desember 1960, ibu saya dikembalikan ke masyarakat, dengan catatan tidak akan melakukan perbuatan yang melanggar UU Hukum Negara Republik Indonesia, baik langsung atau tidak langsung, serta beberapa poin lain seperti tertera dalam surat lapor diri tersebut.

Foto 2 (Arsip Penulis)

PRRI adalah peristiwa perang saudara di wilayah Sumatera dan belahan Utara Sulawesi juga terjadi hal yang sama, dikenal sebagai Permesta. Pemerintah pusat pimpinan Soekarno saat itu menganggap PRRI Permesta sebagai pemberontakan yang ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia, tetapi bagi simpatisan dan pendukung PRRI Permesta, peristiwa tersebut adalah kritik kepada Pemerintahan Soekarno yang abai dengan kondisi di daerah, menyoal kedekatan beliau dengan paham komunis, pertentangan antara Soekarno, TNI AD dan partai-partai politik, yang kemudian menuju pemerintahan Demokrasi Terpimpin ala Soekarno, dan mundurnya Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Tanggalnya Dwi Tunggal tersebut sangat mencederai perasaan warga Minangkabau dan penduduk Sumatera Tengah waktu itu, dan kemudian ditambah konflik internal dalam tubuh Angkatan Perang RI, meletuslah perang saudara, dimana untuk wilayah Sumatera terdapat 3 daerah yang bergolak yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Untuk wilayah Sumatera Tengah, pemerintah pusat mengirimkan kesatuan tentara dari Divisi Diponegoro Jawa Tengah, yang disusupi tentara berhaluan komunis untuk menumpas perlawanan tersebut.

Foto Ibunda (Arsip Penulis)

Ibunda saya adalah seorang guru. Beliau lulusan Kursus Guru B (K.G.B.) dan memperoleh ijazah Guru pada September 1954 (foto 3). Saat masih menjalani pendidikan Kursus Guru B, beliau sudah menjalankan tugasnya sebagai pengajar (guru) berdasarkan SK Gubernur/Kepala Daerah Propinsi Sumatera Tengah pada bulan Juli 1954 dan penempatan pertama beliau adalah menjadi Guru S.R. pada Sekolah Rakyat no. 1 Penawar Kerinci, Kab. Pesisir Selatan dan Kerinci (sekarang masuk Kota Sungai Penuh, wilayah Kerinci Propinsi Jambi) (foto 1). Terhitung tanggal 1 Juni 1955, beliau dipindahkan ke Sekolah Rakyat (SR) no. 8 di Kota Padang dan pada 1 Oktober 1955 diangkat menjadi pegawai negeri pada Departemen P.P. dan K. dengan pangkat Guru t.3 SR dan Golongan III/A.

Foto 3 (Arsip Penulis)

Kepindahan menjadi guru Sekolah Rakyat (SR) ke Kota Padang, digunakan ibunda untuk meneruskan pendidikan lanjutan ke jenjang Kursus Guru A (K.G.A.). Tapi berhubung suasana di Sumatera Tengah mulai tegang dan panas akibat gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), proses pendidikan Kursus Guru A tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ibunda sudah lulus ujian tingkat 1 K.G.A. pada tahun 1956, belum lulus ujian tingkat 2 di tahun 1957 dan pada tingkat 3 hanya dapat mengikuti mata pelajaran menggambar dan menulis saja, sehingga menjelang akhir tahun 1958 proses Pendidikan Kursus Guru A terpaksa vakum terkait suasana dan kondisi Kota Padang dan Sumatera Tengah saat itu (foto 4).

Foto 4 (Arsip Penulis)

Periode tahun 1959 merupakan awal masa yang kelam dan penuh duka bagi Ibunda. Berawal dari meninggalnya kekasih hati beliau di bulan Mei 1959. Kekasih dan calon tunangan beliau tersebut adalah seorang tentara dari Gugus Tugas Selatan, Sektor Gunung Jantan Komando Koordinasi Sumatera Selatan. Kekasih hati tersebut sudah diperkenalkan kepada Ayahanda beliau (kakek saya), dan saat itu sedang berkunjung ke kota Padang dan kampung halaman Asamkumbang Bayang, dengan mengambil cuti dari tugas beberapa hari. Tapi takdir berkata lain, kekasih hati meninggal saat dalam perjalanan pulang kembali ke posko tempat tugasnya. Ibu saya masih menyimpan “Surat Izin Djalan” kekasih hatinya dan ucapan tanda duka cita dari rekan-rekan Gugus Tugas tempat kekasih hatinya tersebut bertugas (foto 5).

Foto 5 (Arsip Penulis)

Kemalangan masih berlanjut, sekitar Oktober 1959, Ayah beliau, kakek saya, yang bertugas sebagai Kepala Polisi Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci, bermarkas di Sungai Penuh Kerinci, ditangkap Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), saat berada di kampung halaman Asamkumbang Bayang, berdasarkan hasutan dan fitnah sekelompok tentara berhaluan kiri di daerah tersebut, yang menjadi “tukang tunjuk” tentara pusat (APRI). Kakek saya yang saat itu bekerja sebagai Kepala Polisi Kabupaten, adalah pegawai Departemen Dalam Negeri dan berada dibawah Komando Gubernur Sumatera Tengah, dituduh membantu gerakan PRRI dalam wilayah kerjanya di Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci. Kakek saya dibawa dan dijebloskan ke rumah tahanan militer Kota Padang. Saat mengunjungi ayahnya di rumah tahanan militer, kakek saya menyarankan agar ibunda pulang saja ke kampung halaman Asamkumbang Bayang, mencari tahu kabar dan berkumpul bersama saudara-saudara yang lain di Bayang dan Kerinci.

Pertemuan Ibunda dengan Ayahandanya itu ternyata adalah pertemuan terakhir seorang anak dengan bapaknya, karena bulan Desember 1959, kakek saya itu dieksekusi mati tanpa proses pengadilan, baik militer maupun sipil polisi, untuk membuktikan apakah beliau bersalah atau tidak dalam menjalankan tugas kepolisiannya. Kakek saya dieksekusi dengan cara ditembak mati di kawasan Bukit Lampu, dekat mercusuar pelabuhan Teluk Bayur, jalan arah selatan Kota Padang menuju Painan. Mayat kakek saya berikut beberapa orang lain yang ikut dieksekusi bersama beliau, ditinggalkan saja tergeletak di pinggir jalan, dan oleh masyarakat sekitar dikuburkan di lereng bawah kawasan Bukit Lampu. Cerita perihal eksekusi dan lokasi kuburan kakek saya ini, baru keluarga kami ketahui di tahun 1967, delapan tahun setelah kejadian eksekusi tersebut. Jadi setelah ibu saya pulang ke kampung halaman Asamkumbang, beliau sama sekali tidak tahu kabar Bapaknya dimana dan bagaimana kondisi ayahanda tercinta. Hanya firasat yang dirasakan nenek dan ibu beliau (nenek saya), yang menyatakan bahwa ayahnya tersebut sudah tidak ada. Dua kehilangan dan kemalangan dalam waktu yang berdekatan akibat perang saudara.

Saat pulang ke kampung halaman, ibu saya tetap menjalankan tugasnya sebagai pengajar dengan menjadi Guru di Sekolah Rakyat di Asamkumbang Bayang. Walau ini bukan penugasan resmi, beliau bersama beberapa saudara lainnya yang berprofesi sebagai guru, terpanggil untuk mengajar anak-anak yang putus sekolah di kampung halaman akibat kondisi perang. Beliau menjadi Kepala Sekolah dadakan waktu itu, merangkap sebagai guru pengajar untuk beberapa mata pelajaran yang ada. Tapi pada bulan April 1960, suasana di kampung halaman Asamkumbang Bayang kembali mencekam, karena tentara APRI merangsek masuk mencari tentara dan simpatisan PRRI yang diperkirakan ada di wilayah Bayang dan sekitarnya. Ibunda memutuskan “Ijok” atau masuk dalam rimba menyelamatkan diri bersama warga kampung lainnya. Pertimbangan masuk rimba menyelamatkan diri bagi laki-laki berbeda dengan tujuan perempuan ikut “ijok”. Ada satu kiasan yang masih diingat penduduk Sumatera Tengah yang dilanda perang saudara saat itu, yaitu laki-laki pergi “ijok” untuk menghindari eksekusi mati atau tembak atas (kepala), sedangkan bagi perempuan muda, baik yang masih perawan ataupun sudah bersuami, pergi “ijok” atau masuk dalam rimba, selain menyelamatkan diri dari tembak atas, juga menghindarkan diri dari “tembak bawah” yang dilakukan tentara APRI dan tukang tunjuk, yaitu sekelompok penduduk lokal yang menjadi kolaborator dan simpatisan pendukung APRI, yang menggunakan kesempatan dalam kesempitan dan kondisi perang untuk melampiaskan nafsu buruknya, merampas harta benda dan kehormatan orang lain.

Foto 6 (Arsip Penulis)

Selama “ijok” masuk rimba, Ibunda mencatat peristiwa yang terjadi dan dialaminya (foto 6). Catatan harian pengungsian dan pengembaraan ini dimulai tanggal 11 April 1960, berpindah tempat dan lokasi persembunyian setiap hari. Kadang terdengar suara letusan, yang membuat rombongan harus segera pindah mencari tempat perlindungan baru ke kampung lain. Dari diari Ibunda ini terlihat perjalanan melintasi banyak kampung dan daerah. Selain seputaran daerah Bayang Pesisir Selatan, pelarian dan pengungsian ini juga sampai ke wilayah Alahan Panjang, yang masuk Kabupaten Solok, dan kemudian sampai ke perbatasan kota Padang, wilayah Sungai Pinang dan Sungai Pisang Tarusan, kawasan Mandeh, yang sekarang merupakan obyek wisata pantai terkenal di Sumatera Barat, mendaki lapisan bukit demi bukit, menuruni lembah, bermalam dalam goa dan pondok darurat pinggir sawah atau tengah hutan.

Rombongan pelarian dan pengungsian itu, anggotanya tidak selalu tetap, tapi bisa berkurang dan bertambah sesuai keadaan. Kadang ada anggota rombongan yang menyerah dan memilih balik ke rumahnya, ada yang sakit dan cedera sehingga tidak sanggup meneruskan perjalanan, bergabung dengan kelompok lain yang bertemu di suatu kampung atau lokasi pelarian di tengah hutan. Bahkan dalam pelarian dan pengungsian tersebut, ada satu waktu dan tempat, Ibunda bertemu dengan seorang laki-laki yang kelak di kemudian hari menjadi suaminya. Mereka berdua saling bertukar kabar dan berkirim surat yang dititip lewat kurir atau orang yang hendak pergi ke wilayah pengungsian lainnya. Surat-surat itu yang kemudian didokumentasikan Ibunda dan kemudian hari, anak-anaknya mengenal sebagai “surat cinta” orang tua kami.

Dalam cerita beliau kepada anak-anaknya, Ibunda dan beberapa anggota rombongan yang terhitung cukup lama mengungsi dalam rimba, pada tanggal 15 Desember 1960 memutuskan menyerahkan diri di Pos APRI Asamkumbang Bayang, kampung halaman beliau. Tanggal 20 Desember, beliau bersama anggota rombongan lainnya melapor ke Kodim, Ibukota Kabupaten di Painan, dan Surat Lapor Diri bertanggal 24 Desember 1960 itupun keluar, menyatakan bahwa per 22 Desember 1960, Ibunda dikembalikan ke masyarakat dan diminta mematuhi UU Hukum Negara RI beserta poin-poin lainnya.

Entah perenungan apa yang dialami Ibunda selama pelarian dan pengungsian dalam masa “ijok” tersebut, menurut cerita beliau kepada anak-anaknya, bahwa tanggal 22 Desember 1960 yang tercantum dalam surat lapor diri bahwa beliau dikembalikan ke masyarakat, menjadi semacam “titik balik” perjalanan hidup beliau. Tanggal 22 Desember yang berbuah keputusan penting yang mengubah seorang guru, seorang perempuan independen, seorang wanita karir, pada sebuah titik balik. Pada tanggal tonggak peringatan Hari Kongres Perempuan Indonesia, yang hasil kongresnya memperjuangan hak-hak perempuan, terutama dalam bidang pendidikan dan pernikahan, serta kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki, sayangnya kemudian direduksi hanya sebagai Hari Ibu di Indonesia, Ibunda saya memutuskan mengubah nasib dan arah hidupnya.

Dari kematian tunangan dan kehilangan Bapak di tahun 1959, pulang kampung, mengungsi dan dalam pelarian selama tahun 1960, Ibu saya mengambil keputusan penting dalam hidupnya, yaitu beliau memutuskan menerima pinangan dan untuk kemudian menikah di awal tahun 1961 dengan laki-laki yang kemudian menjadi suami dan bapak dari anak-anaknya.

Ibunda menikah pada umur 28 tahun, usia yang tidak bisa dianggap muda saat itu. Kemudian beliau memutuskan hijrah dan merantau ke ibukota, mengikuti suaminya yang memang bertugas di Jakarta, meninggalkan profesi guru dan pengajar, sesuai latar belakang pendidikannya. Beliau bahkan tidak mengurus status pegawai negerinya di Departemen P.P. dan K., tapi memilih menjadi ibu rumah tangga secara penuh, mengurus suami dan anak-anaknya. Ibunda pernah menolak dua kali tawaran kerja suaminya, pindah dari Jakarta ke kota lain yang lebih kecil, memilih tetap di Jakarta, sehingga tiga anaknya lahir di Jakarta, tetapi tidak kuasa menolak permintaan nenek saya untuk kembali pindah ke kota Padang di tahun 1967, untuk mencari kabar dan nasib Ayahandanya, serta mengurus peninggalan yang ada di Padang dan kampung halaman Asamkumbang Bayang. Kota Padang menjadi kota kelahiran anak keempat sampai keenam, dan rumah peninggalan Ayahandanya di Kota Padang menjadi pusat aktivitasnya sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Ibunda menikmati perannya sebagai arranger dan manajer rumah, membagi tugas dan pekerjaan harian. Pada periode 1970-an, di rumah ukuran kecil, tapi berhalaman luas di Kecamatan Padang Barat tersebut, beliau pernah mengurus sejumlah 17 orang, baik anak maupun kemenakan yang tinggal untuk menyelesaikan sekolah dan mencari pekerjaan dari kampung halaman. Rumah yang juga menjadi tempat singgah orang dari rantau jika pulang kampung, atau rumah tempat menumpang sementara orang dari kampung untuk persiapan merantau mencari hidup.

Foto Ibunda di masa tua. (Arsip Penulis)

Saat waktu senggang, ibunda masih menyempatkan diri membuat catatan-catatan pengalaman hidupnya, mencatat dan membuat tulisan perkembangan anak-anaknya, mendokumentasikan peristiwa yang terjadi dalam keluarga dalam bentuk tulisan atau simpanan dokumen, mengarsip tulisan atau artikel dari koran dan majalah, memperbarui catatan kontak dan alamat saudara, orang sekampung dan handai taulan lainnya, membuat dan mencatat resep-resep masakan yang didapat dari majalah dan hasil praktek langsung, masih menyempatkan diri membaca dan membeli buku dan majalah mingguan atau bulanan, yang kemudian diperkenalkan kepada anak-anaknya sebagai sumber bacaan dan pengenalan akan kegemaran membaca. Kegemaran menulis catatan dan dokumentasi ini dilakukan sampai usia tua dan menjadi dokumen berharga keluarga, sekaligus menjadi bukti tertulis hitam diatas putih atas setiap cerita dan kenangan yang beliau sampaikan kepada anak-anaknya dan keluarga besar lainnya. Sekarang semua dokumen dan arsip yang beliau kumpulkan ini menjadi sumber kenangan dan nostalgia yang sangat berharga bagi kami sekeluarga, sehingga bisa mewariskan cerita dan kenangan tersebut sekaligus buktinya kepada cucu-cucunya nanti.

Ibunda saya meninggal tahun 2012 dalam usia 79 tahun. AlFatihah dan doa selalu terpanjatkan untuknya.
Semoga beliau damai dan tenang disana.

Tangerang Selatan, 22 Desember 2022,
di Hari Kongres Perempuan Indonesia (Hari Ibu)

*Aldo Zirsov, pegiat literasi, pengelola Goodreads Indonesia, pendiri Aldo Zirsov Library