Dewi Sartika, Zero Waste dan Ilham Dari Guru Guru NTB

Oleh Doddi Ahmad Fauji

Di Kota Bandung, satu ton gelas dan botol plastik bekas minuman kemasan, dapat dijual senilai 12 juta rupiah. Plastik biasa macam kresek, tidak dilirik oleh para pemulung yang tidak hapal jenis-jenis plastik. Padahal, baik plastik bening maupun plastik berwarna, sama-sama dapat diolah melalui proses pirolisis, yang dapat mengkonversi plasti menjadi BBM jenis minyak tanah, solar, bahkan bensin. Plastik biasa, akan menjadi minyak, sedangkan plastik gelas atau botol, dapat menjadi minyak bensin yang dapat digunakan untuk motor. Tapi jangan lupa, harga seliter bensin premium Rp 7.500, sedangkan harga seliter minyak tanah di warung, mencapai Rp 18.000.

Metode pirolisis itu begini cara sederhananya. Plastik dimasukkan ke dalam tabung logam, kalau bisa tabung baja. Untuk praktik ujicoba, boleh menggunakan kaleng bekas kue kemasan. Lalu tabung berisi plastik itu dipanas-kan hingga 400 derajat selsius. Di dalam tabung, plastik itu akan meleleh dan mencair, lalu berubah bentuk menjadi gas. Nah, harus dibuat pipa yang dapat mengalirkan gas dari dalam tabung itu. Saat gas mengalir ke luar, harus melalui air yang dingin, sehingga gas itu akan berubah bentuk menjadi cairan dalam bentuk minyak. Jadi, dalam helaian sampah itu terdapat lembaran rupiah.

Sampah plastik itu termasuk material yang sulit diurai bila terkubur dalam tanah, juga akan menjadi pemandangan yang tidak sedap, bila dibiarkan menumpuk jadi sampah, yang justru akan mendatangkan masalah, dari mulai pencemaran udara, sarang tikus, atau mampetnya saluran air.

Jika harga satu ton plastik berupa gelas atau botol minuman kemasan mencapai 12 juta rupiah, maka harga kardus, kertas, atau logam bekas, tentu lebih tinggi lagi harganya. Jika kita bisa mengumpulkan barang bekas berupa kertas, kardus, serta logam hingga satu truk dari lingkungan kita, maka ditaksir, di sana akan ada 20 juta rupiah. Kenapa kita sulit tergerak untuk menggarap harta karun bernama sampah itu?

Mungkin karena masyarakat belum tahu informasi tersebut. Bisa jadi bangsa kita memang pemalas, dan atau mungkin karena kita bukan seorang visioner. Pada pemilihan pemimpin di tahun-tahun mendatang, saya akan memilih calon (terutama walikota dan DPRD), yang menyodorkan salah satu visi-nya adalah berbicara tentang ‘anna dhofatu minal iman’ (kebersihan itu sebagian dari iman).

Kita butuh pemimpin visioner dalam pengelolaan sampah, supaya ucapan ‘Kebersihan itu sebagian dari iman’, bukan hanya lontaran belaka, juga bukan hanya kaligrafi yang menghiasi dinding, tapi menjadi salah satu jalan untuk mengeruk harta karun yang berlimpah itu. Di sebut berlimpah, karena satu sekolah dengan 400 siswa, dalam minggu, menghasilkan 10 Kg. sampah plastik. Menurut data penelitian yang saya peroleh dari Sobirin, anggota Haikuku yang dipimpin Penyair Diro Aritonang, dalam dua minggu, berat sampah yang diproduksi warga Bandung, setara dengan 100 gajah dewasa. Edan!
*
Berbicara sampah saya tiba tiba teringat Dewi Sartika. Tanggal 16 Januari 2021, adalah tahun ke-137 Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri, sebuah sekolah untuk kaum perempuan pribumi, dengan visi amat brilian: Membangun kesadaran kaum perempuan agar memiliki kecerdasan, wawasan, juga kemandirian dalam berekonomi, yang berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan keluarga. Salah satu ajaran Dewi Sartika, kita harus bersih dari sampah lingkungan, sampah badan dan batin. Jadi jelema kudu ‘cageur, bageur, pinter, singer (Jadi manusia harus sehat jasmani dan rohani, beradab, cerdas, dan terampil). Ajaran itu terlupakan di Bandung, sehingga Kota Bandung tampak kusam. Malah di era Presiden SBY, Bandung pernah disindir sebagai ‘kota sampah’.

Pada tanggal 16 Januari 2021 lalu, saya menerima naskah dari Nusa Tenggara Barat yang mengesankan. Naskah yang dipersiapkan menjadi buku itu, tema tulisannya berpusar pada kehendak para pendidik di Nusa Tenggara Barat (NTB), untuk mengajak warga di NTB agar mau mengelola sampah, hingga pada 2023 nanti, NTB bisa menjadi kawasan ‘zero waste’. Saya merasa, visi yang dicanangkan Dewi Sartika, justru kini sedang dicanangkan oleh Pemerintah NTB. Lalu bagaimana dengan Pemerintah Jawa Barat yang merupakan tempat kelahiran Dewi Sartika?

Saya merasakan denyut strum menyengat tubuh, yang memacu dan memicu saya untuk bergerak cepat, ringkas, dan tepat sasaran. Yaitu mengedit tulisan bahan buku, seraya mempercepat program yang sesungguhnya sedang dilaksanakan bersama warga RT 06 RW 09, di mana berdomisili Sanggar Literasi SituSeni Mediatif yang saya dirikan, juga bersama SDN Gentra yang berlokasi sekelurahan dengan SituSeni, yaitu Kelurahan Sukaasih, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung. Program pengelolaan sampah organik dan nonorganik ini, juga sedang dirancang bersama SMPN 1 Cisalak, Kab. Subang, Jawa Barat, yang merupakan kampung halaman saya. Apa yang direncanakan oleh Ikatan Guru Indonesia (IGI) Nusa Tenggara Barat, yaitu menata NTB menuju Zero Waste 2023, adalah apa yang menjadi cita-cita dan impian saya selaku penulis puisi, dan sekarang ini sekaligus saya mendeklarasikan diri sebagi aktivis tani dan ternak di tengah kota.
*
Saya sering menyampaikan prediksi, mulai 2020 ,kesenian terbaik ialah seni daur ulang sampah dan seni berkolaborasi, sedangkan pekerjaan primadona mulai tahun 2025 nanti, adalah bertani dan beternak di dalam kota. Bukan berarti saya akan berhenti berpuisi, justru dengan turut mengelola sampah dan tani-ternak, saya bermaksud menyerap inspirasi penulisan puisi yang bertema pengelolaan ekologi bumi, yang kian rusak dari waktu ke waktu, kerena pembabatan hutan kian gila-gilaan, karena alih fungsi lahan sudah tak mengenal batasan, karena polusi udara semakin pekat, dan karena demografi manusia terus melonjak naik.

Sekuat-kuatnya manusia, sepintar-pintarnya anak cicit Adam, ia tetap butuh makan untuk bertahan hidup. Bukankah makanan disediakan oleh alam yang menjadi tempat kita ‘ngontrak’ dalam hidup ini. Pengelolaan sampah bisa menjadi solusi agar kerusakan bumi dapat dikurangi, juga menjadi sumber makanan yang dapat dilipatgandakan hasilnya.

Bahan buku guru guru Nusa Tenggara Barat yang saya edit ini, sungguh bagus dan sangat kontekstual untuk warga dunia yang masih dilanda pandemi corona. Saya benar-benar antusias menggarapnya, karena bahan buku ini, satu pemikiran dengan yang sedang saya jalankan di Sanggar Literasi SituSeni Mediatif, yaitu program 3R menuju insan yang gemar menjalankan ‘anna dhifatu minal iman’ (kebersihan itu sebagian dari iman). Bersih yang dimaksud menurut saya, bukan hanya bersih lingkungan dari sampah, namun harus berdampak pada bersih jiwa dan raga dari penyakit fisik dan nonfisik.

Kita tidak bisa lepas dari fakta, bahwa warga dan pemerintah Indonesia adalah bangsa yang menempati korupsi dalam urutan 10 besar di dunia. Kita akan bisa terbebas dari penyakit korupsi, bila sudah bisa bersih jiwa dan raga, dengan diawali dari bersih lingkungan.

Mengambil sekolah sebagai kampus eduksi tata-kelola sampah, adalah sudah benar, sebab sebagaimana negara-negara modern mengembangkan peradabannya, senantiasa dari mengedukasi warga melalui sekolah. Bahkan Kaisar Jepang setelah negerinya lumpuh akibat dibombardirnya Kota Hiroshima dan Nagasaki, berkata kepada para eksponen negara yang ia kumpulkan: Kita akan membangun kembali dengan guru, maka sejak hari ini, mari hormatilah para guru!

Tata kelola sampah harus diajarkan sedari dini, dari lingkungan rumah tangga. Namun stakat ini, para orang tua terlalu sibuk, sehingga menyerahkan edukasi anak-anaknya ke sekolah. Maka dari itu, sekolah harus menjadi kampus berbasis pengedukasian dari tata kelola sampah, sehingga petuah dari Nabi Muhammad, bahwa kebersihan sebgaian dari iman, bukan hanya lancar dalam ucapan dan tertulis di dinding, namun terimplementasikan dalam kenyataan. Sampah jangan menjadi penyebab kita menjadi manusia yang munafik, namun harus bisa menjadi ragi untuk mempermentasi mental, agar bisa kita bisa mengelola harta karun bernama sampah itu.

Saya benar-benar mengapresiasi para penulis dalam buku ini, sebab dengan menjadi editor buku ini, saya diajak untuk melakukan studi pustaka dan imajinasi dari para penulis. Kepada siapapun warga Negara Indonesia, mari kita apresiasi buku berharga ini, yang dilahikran oleh para guru dan siswa penulis dari Nusa Tengara Barat.
Dan, mengakhiri pengantar ini, saya akan mengutipkan puisi dengan tema pohon pepohonan.

SURAT KEPADA PADI VARIETAS IR 59

Karena sekuat-kuatnya manusia
ia tetap butuh makan
revolusi macam apakah
yang menggentayangi manusia lapar?
pasar dan toko makanan akan dijarah

Politik luak liuk rebutan kuasa
manajemen hoax
tata kelola negara kertagama
adakah berbuah
bila kau tanam di tegal holtikultura?
tak akan berbuah
yang tumbuh malah musibah

Sayangku, telah kubangun huma
dalam keranjang plastik bekas
di atas wuwungan
pada musim ketika khatulistiwa
menguarkan bau pancaroba
kita dipaksa memasuki alam perubahan
berubahlah dari tabiat buruk bangsa
yang terjajah!

Dari botol minuman kemasan
kubangun miniatur pematang
insya-Allah tak akan dirusak oleh ketam
yang jalannya itu suka miring
semiring pikiran para politikus
pikiran apakah, di luar rebutan kuasa
yang menggentayangi mereka?

Aku tak terpancing menghadapi kampanye hoax
karena kau Queen-ku, lebih menarik untuk kupikirkan
di sepanjang sisa hayat ini
kaulah Nyai Sri Pohaci sejati
tumbuh dalam petak-petak sawah
untuk menyuarakan keresahan warga
yang harus mengimpor kedelai dan daging sapi

Telah kusediakan istana untuk-mu
kubangun sebagiannya dari kardus restan
diimbuhi diksi paling arkaik
supaya kau tumbuh dalam wahana yang asri
mari bicara tentang perdu dan rempah saja
tanpa harus memusingkan Dinas Pertanian
sebab mereka ada, telah membuktikan
kegagalan dalam membangun
ketahanan pangan bangsa

Bandung, 2021

*Penulis adalah Guru Sanggar SituSeni Mediatif