Tony Doludea

Dari Jean-Luc Nancy, Ke Fuad Hassan, Sampai Orang Samaria: Belajar Bermasyarakat Di Berbagai Tempat dan Masa

Oleh Tony Doludea

Jean-Luc Nancy (26 Juli 1940), seorang filsuf Perancis yang semakin terkenal belakangan ini menyusun disertasinya tentang Immanuel Kant di bawah bimbingan Paul Ricouer. Nancy kemudian mendapatkan gelar Doktor Negara di Toulouse dengan disertasi tentang kebebasan dalam karya Kant, Schelling dan Heidegger. Tulisan ini kemudian diterbitkan dengan judul The Experience of Freedom (1980). Pembimbingnya pada waktu itu adalah Gerard Granel dan tim pengujinya termasuk Jacques Derrida dan Jean-Francois Lyotard. Nancy sangat dipengaruhi oleh Georges Bataille (1897-1962), Maurice Blanchot (1907- 2003), Martin Heidegger (1889-1976) dan Jacques Derrida (1930-2004). Karya Nancy yang sangat berpengaruh adalah The Inoperative Community (1991).

Dalam bukunya tersebut, Nancy menerapkan dekonstruksi Derridean untuk meneriakkan restorasi masyarakat “Gemeinschaft” yang transparan dalam komunitas skala kecil yang mampu membebaskan orang dari alienasi “Gesellschaft” masyarakat modern ini. Bagi Nancy inti pemikiran politik Barat adalah kerinduan akan “komunitas asali”, yaitu kerinduan akan keberadaan bersama di mana manusia hidup dalam suatu komunitas yang selaras dan intim. Dalam sejarah, ternyata keselarasan ini menurun karena “Gesellschaft” masyarakat modern berdiri berlawanan dengan “Gemeinschaft” masyarakat pra-modern yang hangat dan menyenangkan itu.

Nancy melihat bahwa usaha manusia untuk merancang masyarakat sesuai dengan perhitungan yang direncanakan sebelumnya seringkali menghasilkan kekerasan sosial dan teror politik. Sejalan dengan alur pemikiran ini, menurut Nancy, orang sekarang hidup dalam suatu masyarakat yang anonim, penuh dengan kepentingan diri sendiri, sedangkan komunitas yang kuat ikatannya hanya menjadi kenangan belaka. Masyarakat seperti ini tidak hanya menimbulkan perpecahan, tetapi juga kekejaman, menurunnya norma dan nilai, dst. Nancy menawarkan pilihan untuk melawan perpecahan tersebut dengan kembali kepada keadaan di mana ikatan komunal itu ada. TheInoperative Community mau menegaskan bahwa masyarakat bukanlah hasil dari suatu produksi sosial, ekonomi atau politik.

Nancy memikirkan secara luas masa romantisme Jerman, di mana Jean- Jacques Rousseau (1712-1778) mencita-citakan sebuah komunitas alamiah yang bersifat mitis dan masyarakat komunitarian kontemporer yang diajukan oleh Alasdair MacIntyre (1929) yang menyatakan orang perlu untuk kembali kepada komunitas pra-modern. Rousseau memandang Pencerahan, kemajuan ilmiah dan kebudayaan pada masanya itu sama sekali tidak memperbaiki kesusilaan dan keadaban manusia. Menurut Rousseau kebudayaan (di Perancis abad XVIII) itu bertentangan dengan alam karena kebudayaan merusak manusia. Manusia alamiah yang masih “biadab” lebih tinggi martabatnya dibandingkan dengan orang Perancis yang “beradab” itu. Manusia alamiah, yaitu manusia yang dilahirkan dari kandungan alam, adalah manusia yang baik, yang senantiasa berbuat sesuai dengan asas-asas yang tetap. Namun sebaliknya, manusia yang dihasilkan oleh hidup bermasyarakat adalah jahat.

Rousseau menentang Thomas Hobbes (1588-1679) yang berpendapat bahwa keadaan alamiah manusia itu (state of nature) ditandai oleh perang semua melawan semua (bellum omnium contra omnes) atau lebih dikenal dengan istilah manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Bagi Rousseau, ketamakan dan kesombongan yang menyebabkan perang itu bukan bawaan alamiah seseorang sebagai manusia, melainkan hasil dari hidup bermasyarakat. Baru di kemudian hari, ketika keadaan yang kebetulan saja terjadi, seperti: musim panas yang kering membuat gersang dan musim dingin yang panjang, keduanya membuat panen gagal. Sehingga perlu adanya hubungan antar individu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Peristiwa tersebut memaksa orang untuk saling berhubungan. Semula masih bersifat sementara, kemudian hubungan itu menjadi tetap. Keadaan yang baru itu menimbulkan persoalan baru, muncul perselisihan, percekcokan dan persaingan. Dalam keadaan seperti itu, tindakan sewenang-wenang yang ada terbawa dari keadaan alamiah tadi diganti dengan hukum.

Namun hukum pun masih mengandung tindakan sewenang-wenang juga. Rousseau tidak menginginkan masyarakat yang telah ada ini ditiadakan. Ia menerima bahwa hidup bermasyarakat itu perlu sekali. Sekarang orang tidak mungkin lagi hidup tanpa pertolongan orang lain. Namun, kebaikan dan keuntungan yang terdapat dalam keadaan alamiah itu harus tetap dipelihara. Rousseau menginginkan ditemukannya suatu bentuk persekutuan di mana kebebasan dan kesetaraan yang dinikmati orang di dalam keadaan alamiah pada saat itu tetap dipertahankan sepanjang hidup bermasyarakat memungkinkannya.

Sementara itu, komunitarian ingin menciptakan tatanan masyarakat yang adil dengan bertolak dari cakrawala nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat bersangkutan. Komunitarian sebenarnya berusaha menentang liberalisme yang menjadikan prinsip hak, kesempatan dan kebebasan yang sama sebagai tolok ukur normatif bagi pluralisme masyarakat modern ini. MacIntyre, sama seperti Rousseau mengkritik proyek Pencerahan, mencoba menunjukkan bahwa masyarakat hanya dapat diberi pendasaran dengan mengacu pada tradisi-tradisi historis dengan kebiasaan-kebiasaan etis dan pandangan teleologis tertentu. Tidak ada nilai dan keyakinan an sich, yang ada hanyalah nilai dan keyakinan khas menurut tradisi komunitas tertentu. MacIntyre menolak dengan tegas paham keadilan yang berdasarkan kriteria rosionalitas murni.

Menurut MacIntyre, liberalisme telah salah paham ketika mengaku dapat merumuskan konsep keadilan universal dan netral bahwa kehidupan yang baik adalah individualisme. Liberalisme justru dengan demikian merupakan suatu tradisi sendiri. Dalam suatu masyarakat, yang ada hanyalah konsep-konsep keadilan dalam masing-masing tradisi etis tertentu. MacIntyre mau membayangkan suatu masyarakat yang dibangun atas dasar nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan khasnya sendiri, namun dapat membandingkan dengan tradisi saingan. Perbandingan dan penilain itu tidak menggunakan rujukan kriteria rasionalitas objektif dan netral. Hal ini dapat dibayangkan seperti percakapan, di mana paling tidak orang mencapai pengertian diri baru.

Dengan itu Nancy ingin mengatakan bahwa setiap generasi kelihatannya selalu kembali ke kritisisme yang sama seperti di atas tadi secara berluang-ulang. Orang saat ini telah kehilangan suatu paradigma yang pernah ada pada manusia di waktu lalu. Nostalgia semacam ini dapat ditemukan pada program partai politik konservatif. Nancy mengatakan bahwa kerinduan orang akan suatu komunitas asali itu tidak terletak pada suatu acuan periode historis tertentu. Ini tidak lebih dari sebuah pikiran mitis, sebuah gambaran imajinatif masa lalu. Nancy memperingatkan bahwa nostalgia imajinatif ini tidaklah salah, tetapi apabila ia menjadi titik berangkat bagi suatu politik sebuah komunitas, ketidakbersalahannya hilang. Nancy menegaskan bahwa seseorang harus mencurigai kesadaran yang mengacu untuk kembali ke masa lalu, tentang hilangnya komunitas dan identitasnya tersebut. Karena kerinduan akan suatu identitas sosial murni selalu dapat menjadi penyebab utama menuju konflik kekerasan.

Nancy menyimpulkan hasrat komunal bagi suatu identitas sosial yang erat dan tak terbagi dalam sebuah konsep yang disebut immanentism. Kata Immanentism ini berarti bahwa sungguh-sungguh hadir bersama seseorang, sangat dekat kepada orang lain. Dalam Inoperative Community, Nancy menggunakan immanentism sebagai konsep untuk menggambarkan cakrawala sikap orang terhadap identitas dan komunitas. Nancy mengungkapkan bahwa immanentism, pada satu sisi menjelaskan tentang cara komunitas, bangsa atau suku berusaha untuk mempertahankan identitas mereka dari pengaruh asing, sehingga mereka disatukan oleh kedirian, budaya atau nilai-nilai mereka yang satu. Di sisi yang lainnya, immanentism merupakan pemahaman tentang bentuk masyarakat komunis sebagai tujuan akhir umat manusia. Di sana juga ditemukan suatu hasrat penghapusan alienasi sosial dan kebersamaan yang transparan dan segera. Tujuan tertinggi tindakan manusia adalah untuk meraih cara hidup komunis yang transparan. Sekali tujuan itu tercapai, seluruh alienasi cara hidup kapitalis akan lenyap dan masyarakat pada akhirnya akan harmonis dengan sendirinya. Ketegangan, daya tarik-menarik immanentism ini merupakan dasar dinamis terbentuknya komunitas yang dirindukan Nancy.

Nancy tertarik dengan karya Heidegger karena ada kaitannya juga dengan problem tentang komunitas tersebut. Khususnya dengan konsep Mitsein (ada-bersama). Dari Heidegger, Nancy belajar bahwa keberadaan manusia dalam dunia bersama orang lain itu mendeterminasinya, sebelum orang berbicara tentang pembagian dan perbedaan antara yang bersifat individual dan komunitas. Seseorang selalu serta merta terlempar ke dalam dunia ini, tetapi posisi tidak niscaya (kebetulan saja) ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk berbicara menganai komunitas alamiah dan asali. Seseorang selalu ada-bersama (Mitsein), tetapi ada-bersama ini tidak dalam arti bahwa dia memiliki, sifat khas, identitas ras yang sama secara substansial. Menurut Nancy, Heidegger tertarik dengan Nazi karena gerakan nasionalis-sosialis itu memberikan jaminan jalan keluar kolektif dari keadaan yang tidak tepat waktu itu. Meskipun demikian Heidegger tidak mengetahui cara konkretnya. Bagi Nancy komunitas tidak ada kaitannya dengan kumpulan individu-individu secara substansial, melainkan selalu suatu pengalaman singular penarikan diri dari masyarakat.

Bagi Nancy masyarakat saat ini telah menganggap kebebasan dan kesetaraanlah sebagai dasar adanya. Sedangkan persaudaraan tidak lagi diperhitungkan sebagai bagian penting dari trinitas masyarakat sebagaimana menjadi ideal Revolusi Perancis (liberte, egalite, fraternite: kebebasan, kesetaraan, persaudaraan). Mitsein merupakan dasar persaudaraan yang perlu diingat kembali. Di sini Nancy sangat menekankan singularitas, di mana berbagai macam singularitas yang menciptakan suatu ada-bersama adalah singular. Tidak ada ukuran umum yang dapat dipakai untuk menilai hubungan ada-bersama tersebut. Keterbatasan singularitas ini membuka ruang bagi subjek untuk berbagi pengalaman dengan orang lain. Hubungan ada-bersama itulah yang mengungkap adanya batas tadi, ada yang terbatas melalui komunikasi mengungkap kepada ada yang terbatas lain. Problem masyarakat adalah bagaimana seseorang masih dapat mengatakan “kita” sebagai suatu pluralitas, tanpa mengubah “kita” itu ke dalam suatu identitas subatnsial dan eksklusif.

Temuan Nancy tersebut menyadarkan orang bahwa masyarakat ini telah mengejar kebebasan dan kesetaraan semata tetapi kehilangan semangat ideal persaudaraan. Jurgen Habermas (1929) juga menganalisis mengenai problem dalam masyarakat late capitalism (Spatkapitalismus), kapetalisme lanjut. Kapitalisme lanjut oleh Habermas disebut juga sebagai “kapitalisme terorganisasi” atau “kapitalisme yang diatur oleh negara”. Tanda kapitalisme lanjut adalah di satu pihak, proses konsentrasi perusahaan dan pengorganisasian pasar-pasar bahan baku, modal dan tenaga kerja; di pihak lain, negara ikut campur tangan untuk mengatasi kegagalan fungsi pasar.

Kapitalisme lanjut merupakan akhir kapitalisme liberal, namun formasinya tetap merupakan kapitalisme, karena keputusan investasi masih ditetapkan menurut kriteria untung rugi ekonomi perusahaan; dan prioritas-prioritas seluruh masyarakat yang terbentuk secara alami merupakan efek samping strategi-strategi para pengusaha privat. Sektor-sektor yang berkembang dalam kapitalisme lanjut adalah sektor perekonomian swasta yang tetap berorientasi pada pasar dan kompetisi, sektor oligopoli dan sektor publik yang tidak tergantung sistem pasar. Hebermas memperlihatkan dengan cukup jelas bahwa tidak masuk akal kritik Marxisme terhadap kapitalisme liberal klasik diterapkan pada kapitalisme lanjut. Kapitalisme lanjut rawan terhadap berbagai macam krisis. Tetapi krisis-krisis itu bukan lagi murni ekonomis dan bukan juga berbentuk perang antara kelas sosial, sehingga dengan itu runtuhlah dogma paling utama Marxisme tentang keniscayaan kehancuran kapitalisme.

Bagi Habermas dalam masyarakat kapitalisme lanjut ini, negara dan masyarakat tidak dapat dipisahkan karena negara merupakan produk masyarakat sebagaimana juga masyarakat merupakan produk negara. Sehingga, teori Marx tentang masyarakat kelas pun tidak dapat dipertahankan lagi. Dalam masyarakat sekarang ini kelas-kelas semakin terintegrasi dan jika masih tersisa itu pun tersembunyi saja. Jelas di sini bahwa teori kelas tidak dapat lagi digunakan sebagai dasar untuk membangun suatu teori revolusioner. Kaum buruh yang oleh Marx diharapkan menjadi perintis penghancuran kapitalisme sudah sepenuhnya terkooptasi oleh sistem masyrakat yang berdasarkan kekuasaan mutlak nilai komoditi. Masyarakat ini menyerahkan perkembangan seluruh budaya manusia kepada daya irasional pasar. Problem yang muncul adalah tidak dapat ditunjukkan suatu subjek revolusioner proletariat dalam bentuk masyarakat seperti itu. Habermas tidak dapat menjamin bahwa harapan akan subjek revolusioner ini akan dipenuhi. Habermas bertolak dari Teori Kritis Mazhab Frankfurt Max Horkheimer, yang mengembangkan sebuah teori masyarakat yang kritis sebagai kritik terhadap irasionalitas masyarakat modern itu. Dengan menemukan penyelewengan ideologi sistem pasar yang mau menentukan hubungan antar manusia, dan membuka perspektif pembebasan yang mengembalikan hubungan tersebut sesuai dengan cita-cita manusia sendiri. Namun cita-cita Teori Kritis ini sampai pada pesimisme dan membuatnya macet. Teori Kritis menemukan bahwa dalam masyarakat kapitalis lanjut itu kita tidak dapat menemukan subjek pelaksana pembebasan dan tidak lagi melihat kemungkinan pembebasan.

Bagi Habermas kemacetan itu terjadi karena Teori Kritis masih terjebak dalam pengandaian manusia sebagai mahluk yang berjalan dengan rasionalitas bertujuan (Zweckrasionalitaet). Dalam rasionalitas bertujuan ini manusia melakukan tindakan instrumental terhadap alam luar melalui pekerjaannya dan tindakan sosial dalam melakukan interaksi antar manusia. Tindakan sosial ini terdiri dari tindakan strategis yaitu memanipulasi orang lain untuk mencapai sasaran tertentu yang diinginkan. Dan ada satu lagi yang bukan merupakan bagian dari tindakan bertujuan, yaitu tindakan komunikatif untuk mencapai saling pengertian.

Tindakan komunikatif inilah yang selama ini tidak diperhitungkan dalam pengandaian antropologis filosofis Teori Kritis. Habermas melihat justru melalui tindakan komunikatif ini pesimisme dan kemacetan Teori Kritis dapat diatasi, dan kemungkinan pembebasan emansipatoris masih terbuka lebar. Komunitas yang dicita-citakan oleh Nancy di mana persaudaraan menjadi bagian penting bersama dengan kebebasan dan kesetaraan, dapat dimulai paling tidak dari tindakan untuk saling memahami melalui tindakan komunikatif yang telah diajukan oleh Habermas itu. Hal ini tentu saja bukanlah berarti orang harus membuang tindakan instrumental dan tindakan strategis tadi, melainkan melengkapinya dengan tindakan komunikatif sebagai dimensi manusia yang selama ini tidak disadari memiliki kemungkinan emansipatoris.

Mencapai saling pengertian dan saling memahami merupakan dasar tindakan komunikatif ini secara konseptual dapat dilacak kembali kepada Karl Jaspers (1883-1969). Jaspers memberi diagnosa zamannya dan merasa bahwa martabat manusia sedang terancam. Filsafat Eksistensi Jaspers mengajak manusia untuk mengingat bahwa ia berdarah luhur. Tujuan filsafatnya adalah “mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri”. Untuk sampai pada tujuan tersebut, tugas filsafat adalah menganalisa, menyelami dan melukiskan pengalaman sebagai aku. Pengalam tersebut merupakan satu-satunya dasar bagi ucapan-ucapan filsafat dan bagi pengetahuan manusia tentang realitas. Ranah filsafat mengakui semacam verifikasi intersubjektif, di mana para individu dapat membandingkan satu sama lain pengalaman mereka sebagai aku.

Pokok pemikiran Jaspers adalah Penerangan Eksistensi. Maksudnya dengan menerangi eksistensi, seseorang mencapai aku menurut intinya. Eksistensi adalah yang paling berharga dan paling otentik dalam diri manusia. Eksistensi adalah aku sebenarnya, yang bersifat unik dan sama sekali tidak objektif. Dengan tiada henti-hentinya eksistensi itu terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan baru. Eksistensi tidak dapat dicapai melalui pendekatan konseptual. Namun eksistensi itu terbuka bagi pengalaman. Eksistensi dapat dihayati dan dapat diterangi melalui refleksi filosofis dan dapat dikomunikasikan dengan orang lain. Jaspers membedakan manusia menjadi eksistensi (Existenz) dan Dasein. Dasein adalah keberadaan empiris manusia sejauh memiliki ciri-ciri tertentu dan dapat dilukiskan dari luar. Dasein dapat menjadi objek pendekatan teoritis. Mencampuradukkan eksistensi dengan Dasein akan mengakibatkan materialisme. Sedangkan mengorbankan Dasein demi eksistensi akan berakhir dengan nihilisme. Ketegangan tetap antara Dasein dan eksistensi tidak mungkin ditiadakan.

Jaspers menegaskan bahwa Penerangan Eksistensi tidak dapat dicapai, kalau kita tidak rela membuka diri untuk orang lain. Eksistensi baru sampai terwujud, jika orang memberanikan diri secara radikal dan tanpa syarat menyerahkan diri kepada orang lain. Hal ini berlangsung dalam komunikasi. Komunikasi hanya dapat berlangsung antara eksistensi dengan eksistensi. Jaspers melukiskan komunikasi yang sejati sebagai perasaan bahwa sudah dari kekal orang mengenal satu sama lain. Puncaknya terdapat dalam cinta. Jaspers menyimpulkan bahwa eksistensi adalah chiffer (tulisan sandi rahasia, jejak, gema) Transendensi, atau dalam bahasa agama tradisional disebut sebagai Allah, TUHAN.

Terdapat kesejajaran antara Nancy, Habermas dan Japers di sini. Nancy dengan konsep immanentism-nya itu menemukan bahwa masyarakat kontemporer ini perlu mengembangkan ikatan persaudaraan. Habermas melihat tindakan komunikatif sebagai peluang untuk membebaskan diri dari kolonisasi sistem dengan rasio instrumental bertujuan fungsionalisnya itu terhadap dunia-kehidupan (Lebenswelt). Kolonisasi sistem terhadap dunia-kehidupan sebagai penyebab hilangnya pesona dunia (disenchantment of the world). Kolonisasi tersebut menimbulkan apa yang disebutnya sebagai gangguan-gangguan proses-proses reproduksi dalam dunia-kehidupan, suatu istilah lain bagi krisis atau patologi-patologi modernitas. Krisis ini berupa ketidakpastian identitas kolektif, anomi dan alienasi masyarakat. Yang dimaksud dengan sistem adalah suatu keseluruhan jaringan fungsional objektif yang unsur-unsurnya saling tergantung satu sama lain secara kausal, seperti ekonomi dan birokrasi negara.

Dunia-kehidupan meliputi kebudayaan, masyarakat dan kepribadian. Kebudayaan adalah kumpulan pengetahuan sebagai acuan interpretasi individu dalam memahami realitasnya. Masyarakat adalah tatanan yang sah yang menjadi wadah interaksi bermakna yang menjamin solidaritas para anggotanya. Kepribadian dimengerti sebagai kemampuan-kemampuan yang memungkinkan subjek untuk berbicara dan bertindak dalam konteks komunikasi untuk menegaskan jati dirinya.

Jaspers memandang martabat manusia sedang terancam oleh zaman ini. Nancy, Habermas dan Jaspers, dapat dipertemukan pada satu titik krusial bagi masyarakat modern, yaitu pentingnya usaha untuk saling memahami dan saling mengerti dalam suatu tindakan komunikatif. Menurut Habermas, tindakan komunikatif untuk mencapai saling pengertian harus memenuhi empat tuntutan: harus jujur, jelas, benar dan betul. Komunikasi berbahasa itu harus jujur, tidak boleh bohong, harus jelas artinya diungkapkan dengan tepat apa yang dimaksud, harus benar artinya mengungkapkan apa yang mau diungkapkan, harus betul maksudnya sesuai dengan norma-norma yang diandaikan bersama.

Tindakan komunikatif sendiri terdiri dari: komunikasi dan diskursus. Komunikasi adalah omongan spontan berdasarkan kepercayaan dan pengandaian nonverbal yang biasa dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Diskursus adalah pembicaraan di mana konteks nonverbal dikesampingkan, pendakuan dan klaim yang secara implisit termuat dalam komunikasi spontan, khususnya dalam pernyataan (yang benar, betul, tepat) dieksplisitkan, dipertanyakan dan dijelaskan. Melalui diskursus dipastikan bahwa tidak ada salah paham. Dalam diskursus setiap peserta dalam tindakan bahasanya, yaitu dalam menyampaikan sesuatu itu tadi, mereka menganggap benar apa yang dilakukannya.

Diskursus secara refleksif ingin memastikan kebenaran omongan spontan tadi. Kritik terhadap gagasan Habermas ini adalah bahwa diskursus mengandaikan sebuah situasi wacana ideal (eine ideale Sprechsituation) di mana setiap peserta dapat mengatakan apa saja yang mau dikatakan, dengan tidak adanya tekanan, di mana yang berlaku di situ hanyalah kekuatan argumen yang lebih kuat. Pengandaian ini dikritik sebagai konterfaktual, artinya apa yang diandaikan itu dalam kenyataannya sering justru tidak tercapai. Richard Rorty (1931-2007) memberikan kritik terhadap konsep diskursus Hebermas tersebut dengan menuding bahwa Habermas berusaha keras untuk memastikan kebenaran diskursif itu harus bersifar objektif dan universal.

Bagi Rorty Habermas termsasuk “manusia metafisik”. Manusia metafisik adalah orang yang percaya bahwa segala sesuatu mempunyai hakikat objektif dan bahwa filsafat bertugas untuk menemukannya. Ini bertentangan dengan “manusia ironis liberal” yang diajukan oleh Rorty. Manusia ironis liberal adalah orang-orang yang menyadari bahwa keyakinan-keyakinan mereka sendiri bersifat kebetulan (contingent) dan berharap bahwa penderitaan akan dikurangi, bahwa penghinaan dan kekejaman manusia oleh manusia lain dapat diakhiri. Rorty menawarkan suatu dasar pertimbangan etis, yaitu bersikaplah ironis terhadap dirimu sendiri, dan jangan bersikap kejam terhadap orang lain, karena kekejaman adalah perbuatan paling buruk.

Rorty menolak acuan pada sebuah kodrat kemanusiaan bersama, bahwa seseorang sama-sama manusia sebagai dasar buatnya untuk bersikap solider dengan orang lain. Karena bagi Rorty, solidaritas itu tidak ditemukan dan dibangun melalui refleksi, melainkan diciptakan. Solidaritas diciptakan dengan meningkatkan kepekaan orang terhadap segi rasa sakit (oleh karena kekejaman) dan keterhinaan orang lain, orang yang belum dikenal, secara terinci. Kepekaan lebih tinggi berarti menjadi lebih sulit untuk memarginalisasikan orang-orang yang berpikir berbeda darinya.

Meneruskan pandangan Wilfrid Sellars tentang kewajiban moral “we intentions”, Rorty ingin mengatakan bahwa solidaritas sebagai kepekaan seseorang kepada orang lain tidak boleh berhenti pada “orang kita” saja. Solidaritas harus meluas sehingga mencakup orang dari kampung lain, suku lain, agama lain, bangsa lain dan ras lain. Rorty menolak bahwa perluasan cakupan solidaritas ini didasarkan kepada teori bahwa “dia juga manusia”, “manusia memiliki hak asasi”, “dia itu mahluk rasional”, atau “Tuhan telah memerintahkannya kepada kita”. Namun, Rorty menegaskan bahwa solidaritas bukan sesuatu yang ditemukan. Kemampuan untuk semakin solider dengan semakin banyak orang, terutama dengan mereka yang asing baginya, harus diciptakan, dikembangkan. Solidaritas itu masalah kepekaan.

Menurut Rorty orang harus menjadi lebih peka, lebih ikut merasakan, lebih ingin tahu tentang orang lain dan lebih ironis terhadap dirinya sendiri. Seseorang menjadi lebih peka bukan karena sebuah teori, melainkan karena bersentuhan dengan orang lain. Dia menjadi peka karena bersentuhan dengan hidup orang lain. Yang perlu adalah agar orang belajar ikut merasakan. Karena itu, Rorty berpendapat bahwa filsafat dan seni yang bermental teoritis, tidak banyak berguna dalam membangun solidaritas. Bagi Rorty, para penyair, penulis novel, etnograf dan wartawan, mereka dengan cara masing-masing menghadapkannya kepada kehidupan konkret manusia. Melalui mereka orang bersentuhan dengan kenyataan bahwa orang di luar lingkup perhatian langsungnya juga mudah terluka, mudah disakiti dan mudah terhina. Mereka membantunya untuk mencapai pengenalan imajinatif kehidupan orang lain secara rinci. Makin orang dapat beridentifikasi dengan hidup orang lain, ia akan makin tahu bahwa orang jangan bersikap kejam dan tahu bagaimana dia menghindarinya.

Melengkapi solidaritas Rortian, perlu pertimbangkan juga etika kepedulian Carol Gilligan untuk memperluas cakrawala. Gilligan dalam bukunya In a Different Voice (1983), menunjukkan bagaimana bentuk sebuah etika yang khas intuisi perempuan, yaitu etika kepedulian (ethics of care). Gilligan mengkritik etika keadilan yang memiliki kata kunci “hak”, “kewajiban”, “kontrak”, “fairness”, “ketimbalbalikan”, “keberlakuan universal” dan “otonomi”. Etika keadilan berdasar pada pandangan individu atomistik yang seakan-akan segala masalah harus diselesaikan secara “rasional” dan “otonom”, lepas dari ketertenamannya dalam alam nilai sebuah kebudayaan tertentu.

Bertentangan dengan pemikiran itu, etika kepedulian bersifat kontekstual dan situasional, berpusat pada orang konkret dan kebutuhannya, orang dilihat dalam rangka sebagai suatu hubungan personal dan sosial, dengan hubungan-hubungan kesalingtergantungan dan keterlibatan emosional. Sikap-sikap yang ditegaskan di sini adalah peduli pada sesama, empati, hubungan konkret antar orang daripada sistem peraturan, orang dilihat dalam ketertanamannya dalam sebuah konteks sosial tertentu dan bukan sebagai sebatang kara.

Apabila etika keadilan berfokus secara eksklusif pada tindakan, maka etika kepedulian menegaskan bahwa kemampuan untuk menunggu, kesabaran, kemampuan untuk percaya pada orang lain, untuk mendengarkannya merupakan sikap-sikap yang sama menjadi kunci penting dalam keseluruhan dimensi moral. Ciri khas etika kepedulian adalah berpusat pada bagaimana orang peduli mengenai kebutuhan-kebutuhan nyata orang lain. Inti moralitas bukan lagi sikap adil yang tidak berpihak, melainkan kepedulian yang justru berpihak, kehangatan hati dan sikap yang nyata-nyata menunjang orang lain dalam situasi yang khas. Tentu saja etika kepedulian ini harus diletakkan berdampingan dengan etika keadilan yang terasa prosedural dan formal, meskipun bagi Gilligan etika kepedulian hendaknya didahulukan.

Rupanya komunitas impian Jean-Luc Nancy ini tidak sebegitu tinggi seperti negeri di atas awan jauh di sana. Orang dapat segera memulainya dengan sedikit mengurangi pengejarannya terhadap kebebasan dan kesetaraan yang pada kenyatannya telah menjerumuskannya ke dalam keserakahan, kekikiran dan kesombongan (egoisme, individualisme dan materialisme), yang dibumbui oleh paranoid. Orang harus segera menjalin persaudaraan yang mulai lekang ini melalui solidaritas dan usaha untuk saling mengerti dan memahami.

Orang jangan terpancing untuk mencoba-coba merenggangkan persaudaraan seperti cerita berikut ini. Cerita tentang dua orang biarawan yang sudah hidup bersama selama 52 tahun dan tidak pernah bertengkar walaupun hanya sekali saja. Seorang di antara mereka berkata, “Bukankah sudah waktunya kita bertengkar walaupun cuma satu kali?” Biarawan yang kedua berkata, “Baik, ayo kita mulai. Apa yang akan kita pertengkarkan?” Dan biarawan pertama berkata, “Baiklah, kita bertengkar mengenai sepotong roti.” “Bagaimana caranya?”, sergap biarawam kedua. Biarawan pertama berkata, “Roti ini milik saya.” Biarawan kedua memandang dengan tak berdaya kepada saudaranya itu dan berkata, “Ya, ambillah!”

Proses sejarah Indonesia telah menunjukkan bagaimana bangsa ini secara efektif sudah terbantu oleh proses transendensi dari Kami ke Kita. Kekamian yang ditampilkan setiap suku, ras dan agama dipadukan secara harmonis dalam kekitaan Indonesia, pada Sumpah Pemuda tahun 1928. Dari masing-masing keakuan sebagai Kami, para pemuda mencapai kebersamaan sebagai Kita. Kesadaran kebangsaan ini juga mengemuka dalam teks proklamasi bahwa Kami adalah kebersamaan Kita sebagai bangsa Indonesia.

Namun belakangan ini jelas muncul banyak gejala disintegrasi, sehingga integrasi sosial Indonesia tampak koyak. Hal ini disebabkan oleh menguatnya kekamian dan memudarnya kekitaan. Untuk mengembalikan dan mengembangkan integrasi sosial di Indonesia sebagai bangsa dan negara, diperlukan kembali transendensi dari Kami ke Kita.

Konsep Kita dan Kami terkait erat dengan kondisi psikologis masyarakat Indonesia yang bergerak dari kekamian menjadi kekitaan. Fuad Hassan (1929-2007) mengangkat persoalan Kami dan Kita ini sebagai dua macam bentuk dasar kebersamaan. Secara linguistik, Kami diartikan sebagai penanda bahwa yang diajak berbicara ada di luar pembicaraan, sementara Kita menegaskan bahwa yang diajak berbicara termasuk ke dalam pembicaraan. Perbedaan kedua kata ini bukan sekadar permasalahan linguistik, tapi mengacu pada bentuk kebersamaan yang berbeda secara mendasar, sebagai suatu kondisi terberi dalam keberadaan manusia.

Fuad Hassan berpendapat bahwa Kita adalah suatu pengalaman psikologis yang melibatkan orang lain. Kita merupakan kebersamaan yang inklusif, menempatkan anggota-anggotanya sebagai subjek-subjek yang setara, serta meleluasakan subjektivitas anggotanya untuk tampil. Kita terbentuk dengan tujuan untuk menampilkan tujuan afirmatif untuk mencapai kondisi yang lebih baik, tanpa perlu ada pihak lain atau musuh bersama. Kita merupakan perekat kehidupan bersama yang inklusif, mengaktualisasi potensi-potensi anggotanya, dan mengembangkan kehidupan bersama.

Sedangkan Kami adalah suatu pengalaman yang secara sadar tidak melibatkan orang lain. Kami merupakan kebersamaan eksklusif yang meratakan dan mereduksi subjektivitas para anggota. Kami terbentuk sebagai reaksi terhadap pihak lain, sebagai kumpulan yang dihadapkan dengan Mereka sebagai pihak yang diekslusikan. Kami yang tidak mengijinkan individu anggotanya untuk secara leluasa menampilkan subjektivitasnya. Kami merupakan bentuk kebersamaan yang sementara sifatnya, kebersamaan yang dijadikan asylum, suaka.

Fuad Hassan menganalisis Kita dan Kami sebagai dua bentuk dasar kebersamaan yang akan memberikan pemahaman bagaimana identitas pribadi seseorang dapat dipertahankan dan tidak hilang oleh kebersamaannya dengan orang lain. Ia secara jernih menjelaskan bahwa sense of self identity dikuatkan dan dikembangkan dalam bentuk kebersamaan Kita dan melemah serta tereduksi dalam modus kebersamaan Kami.

Kedua bentuk kebersamaan ini tidak ditentukan secara apriori, namun masing-masing bergantung pada bagimana kebersamaan itu dialami: sebagai suatu jaminan bagi seorang subjek yang otentik atau sebagai objek yang tidak otentik. Sebagai pengakuan dan penerimaan atau penolakan dan pengucilan.

Menurunya kekitaan dan meningkatnya kekamian itulah yang menyuburkan tampilnya gejala neurosis, juga gejala-gejala sosial lain seperti peningkatan agresivitas massa, pertikaian antar kelompok, ekstremisme dan hilangnya solidaritas sosial.

Bangsa Indonesia telah lebih memilih Kita dibandingkan dengan Kami, hal ini merupakan sebuah sikap yang harus terus dipelihara dan dipertahankan. Karena keberlangsungan kehidupan berbangsa ini didasarkan pada Kekitaan.

Ada teladan yang dapat diambil dari cerita orang Samaria yang baik hati. “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali. Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapat kita, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” Jawabanya: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Oleh sebab itu: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”

Pada masa awal abad Masehi dan sebelumnya, wilayah Galilea dihuni oleh orang Samaria, yaitu orang-orang yang berdarah campuran (karena pembuangan bangsa Yahudi, dan pendudukan oleh Kekaisaran Asyur dan Babel, penduduk daerah itu kebanyakan berdarah campuran). Orang Yahudi kultural maupun yang saleh menganggap orang Samaria tidak murni, dan karena itu mereka “najis” secara moral, rohani maupun fisik (didiami oleh roh-roh dan mengidap penyakit).

Pada umumnya orang Yahudi enggan berurusan dengan orang Samaria. Itulah salah satu alasan mengapa Yesus dari Nazaret dan murid-muridnya (sebagian dari mereka adalah nelayan dari Galilea) ditanggapi dengan rasa skeptik, ejekan dan bahkan kebencian oleh oleh para pemimpin Yahudi yang saleh di Yerusalem. Mereka sendiri menyebut Yesus “orang Samaria”. Namun Ia menjawab mereka dengan perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati. Kitab suci sendiri telah memberitakan bahwa “Galilea tanah orang asing” akan “melihat Terang yang besar”, Terang dari Mesias Israel.

Solidaritas dan kepedulian kasih itu tertuju kepada semua orang yang memusuhi kita, dan mereka yang tidak dikenal atau asing sama sekali bagi kita. Mereka yang kita musuhi juga. Persaudaraan itu mensyaratkan pengurbanan dan resiko dalam menjalankan kepedulian kasih. Kasih bukanlah teori refleksif dari rasio atau sebuah slogan. Kasih adalah tindakan. Maka dari itu kita dihimbau untuk: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”

*Penulis adalah seorang peneliti di Abdurrachman Wahid Center UI

_________________________

 

Kepustakaan 

Bertens, Kees. Filsafat Barat Abad XX. Jilid I Inggris-Jerman. Gramedia, Jakarta 1983.

Bertens, Kees. Filsafat Barat Abad XX. Jilid II Prancis. Gramedia, Jakarta, 1985.

Gilligan, Carol. In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s 

Development. Harvard University Press, Massachusetts, 1982.

Habermas, Jurgen. Moral Conciousness and Communicative Action. The MIT Press, Massachusetts, 2001.

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Kanisius, Yogyakarta, 1980.

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Kanisius, Yogyakarta, 1980.

Hamersma, Harry. Filsafat Eksistensi Karl Jaspers. Gramedia, Jakarta, 1985.

Hassan, Fuad. Kita dan Kami suatu Analisa tentang Modus Dasar Kebersamaan,

Bulan Bintang, Jakarta, 1974.

Magnis-Suseno, Franz. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Kanisius, Yogyakarta, 2000.

Magnis-Suseno. Pijar-Pijar Filsafat. Kanisius, Yogyakarta, 2005.

Nancy, Jean-Luc. The Experience of Freedom. Stanford University Press, Stanford, 1993.

Nancy, Jean-Luc. The Inoperative Community. University of Minnesota Press, Minneapolis, 1991.

Rorty, Richard. Philosophy and the Mirror of Nature. Basil Blackwell, Oxford, 1980.

Rorty, Richard. Contingency, Irony and Solidarity. Cambridge University Press, Cambridge, 1989.