Hallo, Anatta (Kisah perjumpaan tak sengaja seorang manusia biasa dengan ketiadaan dirinya)

Oleh Budi Juniarto

Seperti biasanya setiap pagi sebelum berangkat beraktifitas di luar rumah, orang yang merasa dirinya meditator itu menyempatkan diri untuk berlatih meditasi.

Ia menuju ke sudut kamarnya yang memang telah dijadikan tempat rutin berlatih meditasi. Duduk bersila di ubin tanpa bantal penyangga, dia melipat kedua kakinya dalam posisi teratai. Kaki kanan ditarik duluan sehingga tumit menyentuh daerah kemaluan di sebelah kiri. Kaki kiri ditarik ke arah kemaluan sebelah kanan, diletakkan di atas kaki kanan yang terlipat terlebih dahulu.

“Posisi teratai di lantai ubin tanpa bantal. Beginilah latihan meditasi itu sebagaimana diajarkan para resi yang waskita” gumamnya.

Selanjutnya tulang punggungnya ditegakkan. Kedua tangan diletakkan perlahan-lahan di lutut. Bahu terbuka seperti seorang pemanah menarik busur. Keduanya matanya dipejamkan. Lidah menyentuh langit-langit.

Demikianlah si meditator telah terkondisi sejak pertama kali belajar meditasi beberapa tahun yang lalu bahwa latihan meditasi itu adalah seperti itu.

Ia menekan tombol “start” timer di stopwatchnya untuk memulai latihannya.

“Bersyukur aku bangun awal pagi ini sehingga bisa berlatih meditasi 30 menit sebelum harus bersiapsiap ke kantor”.

Si meditator lalu mengamati nafasnya. Nafas masuk dia amati sebagaimana adanya. Nafas keluar dia amati sebagaimana adanya.

Berbagai sensasi, pikiran, dan emosi silih berganti bermunculan. Dia amati saja.

Ada suatu sensasi yang tidak pernah absen untuk muncul sejak si meditator pertama belajar meditasi, yaitu kesemutan di kakinya.

Dia sadari kemunculan rasa kesemutan itu di mata kaki kiri karena tertekuk dengan telapak kaki menghadap ke langit-langit. Kesemutan itupun menjalar ke betis kiri, lalu ke lutut, dan biasanya sampai paha kiri.

Kaki kananpun tidak luput dari kesemutan. Dilihatnya kesemutan di kaki kanan mulai di betis karena menumpu berat kaki kiri lalu menjalar ke lutut dan paha kanan.

Sejalan dengan waktu, kesemutan semakin intens bahkan nyeri.

“Kalau sudah nyeri begini berarti 20 menit sudah berlalu. Sebentar lagi stopwatch akan berbunyi menandakan latihan usai” katanya dalam hati.

Nyeri semakin bertambah tapi stopwatch tidak kunjung berbunyi.

“Jangan-jangan aku lupa menekan tombol start ya?” terlintas dalam pikirannya.

Kekuatiran melanda dirinya sehingga dia terpaksa membuka matanya memeriksa stopwatch.

Ternyata baru 7 menit berlalu! Masih tersisa 23 menit!

Segera dia memejamkan mata lagi.

Bergulat dengan kakinya yang semakin kesemutan. Berbagai pikiran berseliweran di benak si meditator.

“Wah, ternyata baru 7 menit tapi aku sudah mulai tidak tahan rasa kesemutannya!”

“Waktu aku muda, pertama kali belajar meditasi, aku bisa tahan posisi seperti ini sampai 1 jam penuh. Rasa kesemutan biasanya baru muncul setelah 40 menit berlalu”.

“Apakah aku sudah semakin tua? Apakah badanku mengalami pelapukan?”

“Sebenarnya bisa saja aku meluruskan kaki. Tapi itu bukan posisi yang katanya ditemukan oleh para resi. Posisi teratai, tulang punggung tegak, bahu terbuka seperti burung rajawali, dan seterusnya. Memang tidak diwajibkan tapi katanya itulah yang ditemukan para resi sebagai wahana yang paling kondusif untuk memasuki alam meditatif”.

“Barangkali aku kurang strectching? Mungkin aku harus lebih giat lagi ke gym untuk latihan squats agar kaki menjadi kuat?”

“Kalau begini terus maka aku tidak bisa melanjutkan latihan meditasi sebagaimana mestinya. Yang seperti ini bukan meditasi namanya”.

“Setelah sekian tahun berlatih, apakah ujung-ujungnya aku gagal bermeditasi?”

“Beep, beep, beep…” Stopwatch berbunyi menandakan 30 menit telah berlalu.

Si meditator meluruskan kakinya. Untuk mempercepat pemulihan kesemutan, dia meluruskan tumit serta memijat-mijat kedua pahanya.

Setelah mandi, dia bergegas sarapan.

Sambil menyantap sarapan mie instant yang telah disiapkan istrinya, dia meninjau kembali dengan serius apa yang baru saja terjadi. Barangkali orang akan menyebutnya “overthinking”.

Kesemutan dan nyeri di kedua kakinya yang muncul ketika latihan meditasi adalah sensasi. Sensasi itu muncul sebagai konsekuensi fisik dia mengambil posisi tubuh tertentu. Dengan demikian, sensasi itu adalah alami.

Sebagai konsekuensi alami dari sesuatu, sensasi adalah fitrah, natural.

Hakekat sensasi adalah muncul dan tenggelam.

Sensasi terjadi ketika suatu stimulus ditangkap oleh indera terkait.

Sensasi kesemutan akan hilang kalau kaki diluruskan. “Selonjoran dulu” kata orang Jawa. Sensasi kesemutan juga akan hilang kalau latihan selesai.

Sayangnya hakekat muncul dan lenyapnya sensasi ini luput dari si meditator pada saat latihan. “Mengapa ya?” katanya bertanya kepada dirinya dengan serius.

Ketika sensasi kesemutan muncul (yang sebenarnya adalah suatu peristiwa alami), pikiranpun menanggapi.

Berbagai memori muncul menanggapi sensasi kesemutan:

  1. Memori waktu pertama kali belajar meditasi dibilang katanya ini posisi untuk cepat mengantar ke kondisi meditatif.
  2. Memori waktu muda bisa duduk bersila selama 1 jam.
  3. Memori beberapa kali lupa menekan tombol start di stopwatchnya sehingga latihan “bablas”
  4. Memori latihan ke gym memperkuat otot-otot tubuh tertentu.
  5. Memori beberapa peristiwa kegagalan dalam hidupnya yang sebenarnya tidak ada hubungan dengan meditasi.

Kelampauan. Itulah memori. Peristiwa yang terjadi di masa lalu dilanggengkan dalam catatan ingatan. Melihat kemunculan memori-memori itu semua, si meditator melihat bahwa pada gilirannya mereka melahirkan berbagai sikap batin.

  1. Analisa “aku sudah tua”
  2. Pembandingan “dulu waktu muda” dengan “sekarang”
  3. Penafsiran “kalau begini terus aku bisa gagal bermeditasi”
  4. Penyusunan action plan “aku harus memperbanyak stretching, latihan squats” Melihat rangkaian proses ini (dari stimulus kesemutan ditangkap indera syaraf di kaki sehingga melahirkan sensasi kesemutan, lalu sensasi kesemutan itu ditanggapi oleh pikiran, dalam hal ini berbagai memori sehingga pada akhirnya melahirkan berbagai sikap batin, tiba-tiba si meditator tertegun. Dia hampir tersedak sarapan mie instantnya.

Ada sesuatu tiba-tiba terlihat.

Ada sesuatu tiba-tiba terungkap.

Ada penumpang gelap di situ. Siapa? Si “aku”.

Ya, betul. Si “aku” adalah pendompleng rangkaian proses ini.

Kaki kesemutan. Suatu yang alami sebenarnya. Sensasi ini ditanggapi pikiran. Muncullah sosok si “aku” ini.

  1. “Aku” kesemutan.
  2. “Aku” tidak tahan rasa kesemutan.
  3. Dulu “aku” muda sehingga bisa satu jam latihan dengan minimal kesemutan.
  4. “Aku” sudah tua.
  5. Badan “aku” mengalami pelapukan.
  6. “Aku” perlu stretching atau latihan squats.
  7. “Aku” gagal dalam meditasi-“ku”.
  8. Mengapa ini terjadi pada “aku”?

Sensasi kesemutan yang sebenarnya adalah konsekuensi alami karena posisi tubuh tertentu diakui oleh suatu sosok. Terjadilah peng-“aku”-an. Sensasi itu adalah milik-“ku”. Sensasi itu adalah “aku”.

Jadi apakah si “aku” itu? Apakah dia alami? Apakah dia kecelakaan? Apakah dia hanyalah efek samping saja? Sebagai manusia biasa, si meditator tentu saja menjadi bingung.

Sensasi terjadi setiap saat. Apakah itu berarti sosok si “aku” ini muncul terus setiap saat juga?

Bagaimana dengan konsep-konsep yang selama ini dipegangnya?

Roh? Arwah? Reinkarnasi? Diri? Diri Sejati? Aku kecil? Aku besar? Hidup dan kematian?

Apakah dampaknya? Hakekat sensasi adalah muncul lalu tenggelam. Tapi karena diakui, sensasi menjadi seolah-olah langgeng. Sensasi yang terjadi di masa lalu, yang sudah lewat karena diakui menjadi hadir kembali di sini kini.

Sebagai manusia biasa, si meditator bertambah bingung.

Apa yang terlihat tidak bisa dibuat tidak terlihat lagi.

Hari-harinya sekarang dipenuhi gairah mempelajari dirinya sekaligus kebingungan dan keraguan tentang dirinya sendiri, si “aku” ini.

 

*Penulis adalah Peminat Meditasi