Puisi-Puisi Cok Sawitri

KINI RINDU ASINGKAN AKU

jalanan yang rindang justru asingkan aku
pohon-pohon asam saling berhadapan mengapit pandangan
dalam riuh penjaja makanan: jagung bakar, kelapa muda…
pantaimu tetap lengang
tak ada satu pun perahu siap bersandar

oh, saat tunduk hindari debu angin
jerit pohon ketapang rindukan tangan pemahat
gigilkan pelepah bunga kelapa, luruh tanpa sebab
jatuh kemilau yang pernah penuhi dada
kini jadi desis pasir dihantam riak ombak

ah, kerinduan telah usang, padamu
jadi ingatan dalam tumpukan kelelahan
luang waktu pusaran yang mengisap
tak jadi alasan buat bertemu

lagi, entah berapa kali pukulan ombak ke karang
memintamu untuk bertimbang
mari temani perjalanan tanpa tujuan ini
jangan lepas layang-layang ke langit tinggi
semua langkah ada tujuan
kau ulurkan tali, membungkus diri dalam jarak
mengirim gemuruh ciutkan nyali
hingga lepas dalam hentakan angin
masih juga kau mengira layang-layang tengah menari!

kini,
lusuh sudah kembang di tangan
yang tersisa lembab peluh di telapak
aku bukan peramal,
yang pandai menerka keinginan
sebab jarak bikin kesan dalam ingatan
tak ada cinta buatku
usanglah rindu dikeringkan angin pantai
kemilaunya pejam mata…

apa guna sapamu
kini, tangismu asingkan aku
dalam cekat angin yang melunglaikan
sebagai ketapang salahkan pertumbuhan
mengira pemahat pemburu pohon
tak akan kuulang buat kedua ataukah ketiga
sekali sandaran tak tersedia di pantai
semua perahu mengalihkan tujuan
biarlah kering diasinkan kecipak gelombang
di lain pantai sauh masih dapat dilabuhkan.

(Senggigi)

 

CINTA YANG TAK TERDUGA

ajakanku sungguhlah sederhana
jadilah kekasihku, jadilah!
kalaupun mesti rahasia
rahasiakanlah…

kutahu bulan siang tak menyaingi matahari
demikian pula harum melati dengan kenanga
jikapun kini hatimu miliki setapak jalan
tempat lewat segala macam impian-impian
bukankah rahasia akan bekerja sebagai rahasia
tak akan menyurutkan nyali

ah, ini bukan tualang-tualang pujangga
tapi permohonan yang sungguh sederhana
tak harus engkau berpaling
tak harus engkau bertimbang
sebab hati adalah semesta yang lapang
di sudut yang lain selalu ada tempat
bagi kerinduan yang tak terduga

ajakanku, sungguhlah sederhana
beri aku jawab segera
beri aku isyarat untuk dibaca
maka niscaya hujan mendinginkan kegelisahan
rebah-rebahlah segera disebelahku
ceritakanlah tentang risau-risaumu
tak ada khianat di sini
tak ada
pegang-peganglah hangat jemariku
biarkan degup jantung jadi nyanyian
ah, ini bukan permainan-permainan kata
cinta tidaklah sebagaimana pikiran biasa
rinainya telah lama gigilkan sunyisepimu
sebab unggun yang kau jaga
telah padam, tinggal abu tanpa letik
hilang hangat
hilang pikat
lalu buat apa
atas nama setia seolah janji penuh hati?

ah,ajakanku sungguhlah sederhana
jika kau sepakat
berilah pula tanda rahasia
kupastikan, tak akan ada yang terluka
sebab ini cinta yang tak terduga
kuasa iseng rahasianya sendiri
jika pun nasib mengarang kisah
pastikan bukan tentang luka hati
jadilah kisah cinta yang tak terduga
dimana lengang impian dicuri sepi
karena itu dengarkanlah
ajakanku sungguh sederhana:
jadilah kekasihku, jadilah!
maka rahasia sungguhlah sederhana…

(Ubud)

 

PADA KEMATIAN AKU BERNAUNG

pada usia daun-daun kenyeri

ulat aku yang tak mimpi jadi kupu

siapa pemintal yang menjeratku

dalam anyaman sarang

panaskan dirimu

agar sayap tumbuh

pada kering daun-daun kenyeri

digantungnya pikiran pada angan

siapa sudi dikurung kepompong?

aku tak ingin menjangkau langit

mendayung angin pun, tak!

pada usia tunas daun

aku mematahkan benang-benang halus

mari, kematian jadilah pohon penaung

biarkan kebosanan ini berteduh

terbangkan saja aku ke sana

keringkan saja seluruh hidup

lalu melayang jatuh

seperti kering daun

pada usia daun-daun kenyeri

aku percaya kematian bernaung

penuh bahagia.

(Batubulan, Bali)

 

DALAM HALAMAN LAMGAPANG

jika cerita mulaikan tumbuh sebatang pohon

siapa berteduh di bawah cabang rimbun?

asam sunti, temurui, belimbing buluh

peracik kau itu lentik jemari

mengayuh sendok kayu memutar waktu

di belanga belanga lautan kerinduan

telah hidang siap diucapkan

lebih sembilan ratus kilometer jarak tempuh

dilangit aku berani mengukur lamunan

pada saat awan matahari mengadu warna

kau menari, bekali gigir desah nafas

dalam halaman ini

membawa langkah langkah ke balik arah

kerap kutengok rasa sakit itu

jangan tanya, mengapa putaran debu melangit

jauh sauh dari tanah dan air

dekat kecipak santan dan minyak

Jika mulainya dari sebatang pohon

ke dalamnya aku berhalaman

diam diayunan, merasakan derai dalam dada

walau tak harus engkau paham

bila lagi menari, hantam hantamlah telapak

agar kerinduan tak tepat tujuan

sebab kini segalanya hilang alamat

kecuali sebuah halaman di lamgapang.

 (Bandaaceh)

 

TUTUE IKAN PAYA

kau si kecil yang mengirim lengkingan
meninggi dalam lelap
kemarilah
barisan gigimu menyipitkan mata
sentak ujung kakimu
berlari liwati jembatan
hei, tunggu
seekor ikan paya menyambar
pancing ini

kau si kecil yang berindap-indap
menahan tawa diantara pohon cahaya
kagumi ingatan rasa tanah
yang tersimpan di ikan-ikan paya
liwati jembatan ini
lengkingan lagi tawamu

ikan paya ikan paya
riang dibawah jembatan
menyimpan tawa
hingga kering barisan gigimu
di ujung sana kereta-kereta menanti
dengan lega kau berkata; tutue ikan paya, ayah!

 (Bandaaceh)

 

*Cok Sawitri adalah penyair, prosais, dan dramawan produktif dan kerap terlibat di dalam gerakan-gerakan sosial. Terpilih sebagai Tokoh Seni Pilihan Tempo 2018 untuk kategori Seni Pertunjukan. Novel terbarunya terbit tahun 2019 dengan judul Sitayana.