Anang Hanani : Teater Itu Kesetiaan

Oleh A. Zaenuri

Lahir di Surabaya, 30 Agustus 1943. Anang Hanani identik dengan drama dan baca puisi. Dia instuktur dan penatar teater dan baca puisi di berbagai kota. Pernah menjadi Ketua Penggemar Seni Teater Surabaya yang kemudian berubah menjadi teater Merdeka, tahun 1964 hingga sekarang. Saat SMP pernah menang penulisan puisi yang diselenggarakan majalah Liberty, judulnya ‘Nini Terus Menunggu’ (1959). SMA juga pernah menang lomba penulisan cerpen yang diselenggarakan oleh Harian Umum rubrik Arena Remaja, judulnya ‘Hari Terakhir’ (1960). Lomba Drama Lima Kota (LDLK) pernah menang; sutradara terbaik, actor terbaik. Pernah menggarap drama kolosal ‘10 Nopember’ hingga 7 episode.

Anang Hanani sosok yang paling pagi menggeluti organisasi kesenian. Sejak kelas II, Sekolah Menengah Pertama (SMP) menulis puisi di rubrik Gelanggang Angkatan Muda, Jawa Pos. Hal ini berangkat dari ibunya yang sering membacakan pantun yang berjudul ‘Cilulut’dari daerah kelahiran ibunya, yaitu Kalimantan. Mulai awal inilah keluarganya sudah mendukung Anang Hanani kalau berkiprah di kesenian. Dan perlu diketahui bahwa pada saat itu rumah Anang Hanani di depannya juga di buat usaha kerja dan salah satu pegawainya juga sering menulis puisi. Inilah yang membuat Anang menemukan teman dan dukungan untuk menekuni kesenian.

Anang Hanani bersama putranya. (Foto: Dokumentasi A. Zaenuri)

Melihat ibunya yang indah sekali membacakan pantun Cilulut tersebut Anang mulai merasakan kalau pantun tersebut perlu disadur kembali untuk dijadikan puisi. Dalam bentuk saduran inilah Anang mengirimkan puisinya ke Jawa Pos, di rubrik lembar remaja Gelanggang Angkatan Muda. Ternyata puisinya dimuat dan banyak orang-orang dewasa dan teman-teman sekolahnya yang sangat senang melihat kepiawaian Anang dalam menyadur puisi. Beberapa baris pantun yang di sadur oleh Anang memang dekat sekali dengan dongeng-dongeng anak yang sangat mendidik.

Cilulut.
Ada orang bernama Cilulut.
Dia tinggal di pinggir laut.
Tiap hari makan sifut.
Lama-lama sakit perut………….. (dan seterusnya.)

Mulai dari sini Anang membuka diri untuk menerjuni dunia kesenian secara serius. Dan ternyata rubrik remaja Gelanggang Angkatan Muda juga merupakan organisasi/komunitas anak remaja yang berkiprah di bidang tulis-menulis dan kepemudaan, Anang masuk organisasi ini.Pengasuhnya bapak Sudarsono PR dan istrinya ibu L. Anang Hanani mulai terus menerus menulis dan kali ini tulisan-tulisannya menyebar di berbagai media. Lalu menang juara I, lomba penulisan sajak yang diselenggarakan oleh majalah Liberty.Disusul lagi kelas III SMP menang lomba penulisan cerpen.
Suatu ketika ada acara malam perpisahan disekolahnya (SMP) dia sudah mulai dilibatkan sebagai pemain drama, dan berlangsung dengan sukses. Dari sinilah awal Anang Hanani melihat teater sebagai sebuah tantangan baru yang cukup tepat untuk keberlangsungan keseniannya. Dari sinilah dia bertekad untuk menggapai kerja seninya yang maksimal dengan menggeluti dunia teater yang sudah jadi pilihannya. Saat itu di Surabaya ada salah satu grup teater yang cukup baik untuk dijadikan pilihan berkeseniannya. Yaitu grup “Pentas 21” namanya, pimpinan Farid Dimyati,tempatnya di kampung Praban.Dia menjatuhkan pilihan untuk daftar di grup “Pentas 21” karena dia pernah melihat pementasannya dan cukup mengagumkan.

Berangkatlah Anang menuju grup teater tersebut dan berniat untuk daftar.Ketika memasuki kampung Praban suasana seni pertunjukan yang sudah terkondisikan membuat Anang tergagap.Demikian juga yang terlibat berkesenian di kampung ini dimana-mana dipenuhi anak remaja sedang beraktifitas seni teater dan musik. Anang jadi minder, hingga pada akhirnya sampai berputar-putar melewati kampung hingga dua kali. Namun dia masih juga tidak berani menuruti niatnya untuk daftar di grup teater tersebut.Sampai pada akhirnya dia memutuskan untuk pulang dan tidak jadi mendaftarkan.

Lalu dia fokus disekolahnya SMAN 3, Surabaya dan dia diserahi menggarap teater. Inilah awal baik bagi Anang Hanani yang di percaya menyutradarai teater di SMA 3 dengan menggarap naskah ‘Pasien’ karya Sutopo HS. Sampai pada proses jadinya pentas ini ternyata direspon secara luas. ‘Pasien’ dipentaskan digedung kebudayaan Stadstadstain (kalau sekarang jadi Bank Indonesia dekat Tugu Pahlawan), Kebonrojo.Gedung kesenian di Surabaya saat itu selain Stadstadstain juga ada Balai Sahabat dan Balai Pemuda. Ternyata pertunjukan “Pasien” sangat luar biasa selain di tonton teman sekolahnya, penonton umum juga membludak.

Semenjak itu kegiatan teaternya terus tidak pernah berhenti, demikian juga setiap ada even-even kesenian Anang Hanani sering berdeklamasi dan baca puisi. Bertemulah dengan Bengkel Muda, yang berawal kumpul-kumpul dengan Bambang Sujiyono, Ismoe Handoko, Thohir Agn, untuk membuat kelompok kesenian ‘Bengkel Muda Surabaya’. Sedang nama ini diilhami “Bengkel Teater Rendra”. Nama Bengkel Muda Surabaya sendiri yang memberi nama Bambang Sujiyono dan Arthur Jhon Horoni.

Munculnya Bengkel Muda Surabaya tujuannya untuk mengatasi anak-anak muda yang sedang mengalami dekadensi moral. Demikian juga nama ‘Bengkel’ sendiri sebagai perbaikan dari anak muda yang sedang mengalami penyimpangan. Saat itu Bengkel Muda masih belum ada produksi sesudah demo soal beras baru ada produksi. Dan saat itu Anang Hanani mengakui bahwa garapan-garapan dramanya juga menyesuaikan dengan apa yang telah menjadi tujuan Bengkel Muda. Yaitu, tentang naskah-naskah remaja dengan segala persoalannya.

Pengalaman dan pengetahuan akting yang pernah Anang Hanani garap bersama-sama anak remaja di Bengkel Muda sebagai suatu proses belajar mengajar ternyata juga bisa disalurkan ke bidang lain. Misalnya disekolah Kepribadian Jhon Robert Power, Anang Hanani sudah 20 tahun sebagai pengajar. Baginya pelajaran-pelajaran akting di teater bisa disampaikan dalam pelajaran bekerja dan berkomunikasi. Misalnya cara akting berhadapan dengan umum, cara akting berkomunikasi dengan lawan bicara, ekspresi berdialog, bahasa tubuh (etika). Semua itu menurut Anang adalah pengalaman yang luar biasa, bahwasannya panggung bukan pilihan atau tujuan terakhir teater.

Karya pemanggungan Anang Hanani.

Pagi Bening (1973)
Dimainkan di gedung Mitra, Surabaya.
(Naskah: Sarafin dan Joaquin Alvarez Quintero.
Terjemahan : Sapardi Joko Damono.
Produksi teater Merdeka dan Bengkel Muda Surabaya.
Pemain: Bawong SN, Ida Lena, Atiek Kuncoro, Yudo Herbreno.

Anang Hanani menggarap naskah ini sangat terpengaruh dengan garapan-grapan teater Populer, Teguh Karya. Baik sisi pemanggungannya maupun model akting yang sangat kuat realisnya. Naskah Pagi Bening, enak dibaca, enak disampaikan.Cukup komunikatif dan ekpresif.Dan ceritanya ada sedih dan gembiranya. Oleh karena itu naskah ini sangat menghibur dan bisa dibuat untuk mengembalikan rasa percaya diri. Dalam berkarya Anang Hanani tidak mau terlibat konflik. “Kalau dalam hal itu ada diskusi, ada kritik, cukup saya selesaikan pada karya saya yang akan datang “,tegasnya. Pertanyaan, kritikan dan masukan akan dia jawab lewat perbaikan karya-karya panggungnya yang akan datang.

Tangan-tangan Emas (1972)
Dimainkan di berbagai tempat di Surabaya dan di Madiun.
(Naskah: Anang Hanani/Basuki Rachamat. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain: Bawong SN, Roni Tripoli, Tohir Agn, Nunuk Sugiarto, Atik Kuntjoro, Ida Lena Agustina, Yudho Herbeno, Vincetius Djauhari, Bagus, dll)
Naskah ini berkisah tentang kenakalan remaja yang nota bene sedang krisis identitas.Masa itu adalah awal Orde Baru respon masyarakat sangat apresiatif sekali. Lebih-lebih belum ada televisi dan hiburan minim sekali dengan sendirinya antusias pertunjukan jadi tinggi sehingga muncul rasa idealisme yang tinggi menurut orang di luar seni. Karena pada saat itu, kalau demi teater, apa saja yang dipunya diberikan dan dikorbankan asal bisa pentas. Ada rasa senang…. justru Anang Hanani merasakan kalau saat itu tidak mengenal idealisme tapi kesenangan yang biasa saja.Saat itu seni pertunjukan memang sedang eiforia dan masyarakat sangat haus dengan tontonan. Sehingga berbagai macam pertunjukan menunjukkan identitasnya masing-masing. Ada teater, ada ludruk, ada Serampang 12 yang sangat terkenal saat itu. Semua seni pertunjukan di Surabaya pada saat itu bisa diapresiasi dengan baik.

Aduh (1974)
Dimainkan di gedung utama Balai Pemuda, Surabaya.
(Naskah: Putu Wijaya. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain: Wally Serdil, Hermin Nunif, Lidya, Bawong SN, Roni Tripoli, Tadjudin Nur, M. Jupri dll)

Saat itu memang ramai-ramainya naskah Putu Wijaya lebih-lebih naskah Aduh –sebagai naskah pemenang lomba penulisan naskah drama versi Dewan Kesenian Jakarta, jadi sering sekali grup-grup teater banyak yang menggarap.Dari naskah ini yang membuat Anang tertarik karena realisnya kental sekali ceritanyapun mudah dicerna penonton.Ketajaman nuansa yang ditulis Putu Wijaya dalam hal peran sangat menarik untuk dipertunjukkan.Teksnya lugas demikian juga dialog dan geraknya berani sekali meninggalkan hukum-hukum panggung. Kalau menurut Hari Matrais (sutradara teater Aksera), bahwa realis itu tidak ada nilai kreatifnya.Namun Anang menyanggah, kreatifitas itu tergantung yang menggarap tapi bukan ceritanya.

Petang di Taman (1972)
Dimainkan di gedung Mitra, Surabaya dan Lembaga Indonesia Amirika (LIA), Surabaya.
(Naskah: Iwan Simatupang. Produksi Bengkel Muda Surabaya. Pemain: ida Lena Agustina, Bawong SN, Arthur John Horoni, Son Djeverson)

Di dalam naskah ini ada sedih ada gembira, ada lucu dan juga ada tragedinya. Tapi naskah ini juga bisa dilihat sisi komunikatifnya sehingga kelucuan bisa dimunculkan sebagai gagasan menarik di dalam cerita ini. Ceritanya menurut Anang Hanani sebenarnya bukan klise namun ketika penggalian-penggalian karakter disimbolkan penggarapan menjadi dalam.Semua melebur dalam ketidak selesaian ketika pertunjukan ini disudahi. Dari sinilah sebenarnya ada pesan-pesan yang menarik, bahwa segala sesuatu tidak bisa diputusi dengan tergesa-gesa. Dari sini ada pesan yang mendalam bahwa hubungan manusia itu ada yang perlu dibuat untuk mengkaji diri, yaitu; tidak boleh saling mencurigai, tidak menjustifikasi tapi wajar-wajar saja dan melihat segala persoalan harus ditangkap sisi baiknya.

—-

*Penulis adalah Teaterawan