Tiga Tahapan Meditasi Jawa

Oleh A. Djoyo Mulyono

Meditasi yang dilakukan Masyarakat Jawa selain dalam upaya mengendalikan hawa napsu di dalam dirinya, Masyarakat Jawa juga menjadikan meditasinya sebagai sarana berdo’a kepada Tuhan. Dengan kalimat lain dapat disampaikan, Masyarakat Jawa dalam berdo’a kerap menggunakan –dibersamai- meditasi untuk meyakinkan dirinya agar kelak Tuhannya dapat segera mengabulkan apa yang selama itu dirinya kehendaki dalam berhajat.

Berbicara mengenai Do’a, pastilah selalu berangkat dari adanya masalah pada diri  seseorang. Seperti artikel pada sebelumnya, keterangan mengenai bagaimana masyarakat Jawa mengolah masalah menjadi sebuah bacaan do’a hingga dijadikan sesuatu yang dapat diandalkan, hal itu yang akan dikenal dengan mantra. Memang, mengenal Masyarakat Jawa tidak akan lepas dengan keberadaan daya spiritualnya. Hal-hal yang mengenai bacaan-bacaan berupa puisi lama sudah menjadi hal lumrah banyak dilakukan orang-orang yang telah  bijaksana dalam memaknai hidupnya.

Do’a yang dipanjatkan masyarakat Jawa dalam bermunajat dengan berupa bacaan mantra yang dirapalkan tidak semua atau tidak sekonyong-konyong lekas dikabulkan –ampuh- saat itu juga. Terlepas dari kepercayaan Masyarakat Jawa Islam, bahwa jika berdo’a pastilah Gusti Alloh akan mengabulkannya melalui berbagai macam cara dan perantara waktu, berdo’a dengan menggunakan cara membaca dan spritualnya sendiri ternyata dapat lebih megantarkan Masyarakat Jawa pada keyakinan dirinya terhadap keyakinan pada Tuhannya.

Lalu, bagaimana cara Membaca Do’a serta bagaimana cara Spiritual yang dilakukan Mayarakat Jawa, dalam artikel inilah penulis mencoba memaparkannya dalam Tiga Tahapan Meditasi Jawa. Yaitu terdiri dari Apalan, Amalan, dan Rapalan. Mengenai bagaimana pembahasan tiga tahapan tersebut akan diuraikan satu-satu dalam artikel ini sebagai berikut;

Apalan  

Apalan adalah berasal dari kata Apal yang artinya adalah Hafal, memingat sesuatu berupa bacaan atau peristiwa. Namun dalam hal ini, Apalan yang dimaksud adalah hafalan berupa ingatan pada suatu bacaan tertentu yang kemudian bacaannya juga dapat sering dibacakan untuk kebutuhan tertentu. Mengenai dengan pembahasan do’a, apalan pada masyarakat Jawa juga merupakan sebuah hafalan do’a yang dalam ini dimaksudnya adalah hafalan mantra, atau teks do’a hasil susunan atau karangannya sendiri yang cenderung memiliki nada atau pemilihan kata yang indah.

Do’a dari karangan sendiri yang indah itu dimaksud dengan mantra, atau tulisan syair lama yang biasanya sering dibaca atau dinyanyikan dengan bentuk macopat atau kidung. Namun, semua tulisan-tulisan yang indah itu belum atau tidak akan pernah menjadi mantra –do’a yang ampuh- jika belum menuku-nya. Dalam spiritual Jawa, menuku mantra adalah berpuasa, dan puasa itulah momentum Meditasi Jawa berlangsung.

Seperti yang telah dipaparkan pada paragraf awal, bahwa Apalan merupakan sebuah Hafalan, atau bacaan teks yang belum jadi dan belum pula memiliki perbawa tertentu. Maka dari itu, masyarakat Jawa menganggap, apalan atau sebuah teks mantra, jika seseorang belum menuku-nya dengan puasa, sama halnya dengan seseorang membaca koran, buku atau apapun itu yang hanya dibaca saja, tidak terjadi suatu hal apapun dari terkabulnya do’a.

Amalan

Seperti makna amalan yang telah banyak diketahui bersama, amalan dalam Meditasi Jawa juga tidak jauh berbeda yaitu perbuatan kebajikan yang dilakukan terhadap diri sendiri atau orang lain. Amalan dalam Meditasi Jawa merupakan tahapan ke-dua pada ketiga tahapannya, yang artinya, amalan merupakan sebuah tahapan yang harus dilalui bagi seseorang yang sedang bersamadi atau berdo’a dalam perspektif Meditasi Jawa.

Pada praktiknya, Amalan ini memiliki dua tahapan yang dilakukan ketika menuku sebuah Apalan atau mantra yang telah dituliskan. Yang Pertama dengan terus membaca mantra atau karangan do’a yang hal itu disebut dengan terus “mengamalkan” Apalan atau bacaan do’a yang sedang dimeditasikan dengan berpuasa tersebut. Dan yang ke-Dua “mengamalkan” elmu atau do’anya yang telah dikatakan ampuh tersebut untuk membantu orang lain yang sedang terkena permasalahan batin dalam dirinya.

Rapalan

Masyarakat Jawa, memandang Rapalan merupakan suatu bacaan mantra yang telah jadi, yang telah dikuasai dan dipuasai oleh seseorang, serta telah teruji keampuhannya ketika dibacakan. Suatu bacaan atau syair do’a yang indah dalam pandangan kebatinan Jawa tidak akan ampuh jika belum dikuasainya dengan cara bertirakat. Tanpa melakukan tirakat, niscaya bacaan mantra atau do’a dengan karangan syair yang indah itu tidsklah jauh berbeda seperti bacaan koran atau buku yang hanya berupa bacaan biasa tanpa karomah atau perdaya magis tertentu, terlebih terkabulnya sebuah permintaan.

Oleh karena itu, Tiga Tahapan Elmu yang sudah dijelaskan di awal, merupakan awalan atau gerbang pembuka untuk di tahapan ke-tiga ini. Rapalan merupakan suatu tingkatan yang sudah matang untuk status kepemilikan elmu pada seseorang yang telah menguasainya. Sehingga dengan begitu, karangan do’a dengan syair yang indah itu akan memiliki daya karomah keampuhan dari sebuah do’a sesuai dengan apa yang dituliskannya dahulu.

Surabaya, 31 Januari 2023

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dari calon buku penulisnya

 

 *A.  DJOYO MULYONO – Kelahiran Cirebon, 1999. Tinggal di Surabaya menulis fiksi dan non-fiksi, menjadi mahasiswa Pascasarjana Unesa, dan Pengajar di SMA Hang Tuah 4 Surabaya.