Antara Ruwatan Candi Tegowangi dan Penebusan Kemah Suci Israel

Oleh Tony Doludea

Candi Tegowangi terletak di Desa Tegowangi, Kecamatan Plemahan, Kabupaten Kediri, 24 km dari Kota Kediri. Candi ini terbuat dari batu andesit, berdenah bujur sangkar, menghadap ke arah barat dengan panjang 11,2 meter, lebar 11,2 meter dan tinggi keseluruhan 4,35 meter. 

Candi ini dalam keadaan rusak, hanya tersisa sebagian kecil dari tubuh candi dan kaki candi dengan gaya batur. Kaki candi bertingkat dua menggambarkan relief dengan motif sulur, bunga dan gana tersusun secara berselang seling.  

Pada tangga candi terdapat relief yang menggambarkan pemain genderang.  Pada setiap bagian tengah fasad candi terdapat tonjolan seperti kolom yang dihias pahatan dasar relief pria dan wanita. Pada sudut timur laut terdapat struktur candi perwara dalam ukuran kecil.

Pada sudut tenggara halaman terdapat jajaran batu reruntuhan candi yang belum dapat dikenali dan dibangun kembali. Selain itu juga terdapat beberapa arca termasuk arca Parwati.

Pada candi perwara terdapat relief berupa motif floral seperti kelopak bunga (padma) dalam posisi menghadap bawah, sulur-suluran maupun relief naratif. Sedangkan relief naratif menceritakan kegiatan kehidupan sehari-hari manusia seperti orang memikul benda, kemungkinan merupakan adegan perdagangan. Relief lainnya berupa gambar hewan yang terdapat pada bidang hias berbentuk belah ketupat. Relief ini serupa dengan medalion pada Candi Naga dan Candi Induk Panataran.

Candi ini diperkirakan dibangun pada abad ke 14 atas perintah Hayam Wuruk. Candi Tegawangi didirikan dengan tujuan untuk meruwat atau menghilangkan keburukan Raja Watsari, Bhre Metahun, sepupu Hayam Wuruk. Kata tegawangi tercatat di Kitab Pararaton yang menyebutkan Bhre Metahun meninggal pada 1310 saka atau tahun 1388 Masehi kemudian didarmakan di Tegawangi. 

Candi merupakan bangunan suci yang digunakan untuk pemujaan. Candi berasal dari kata Sansekerta candika, nama lain Dewi Durga. Candi dapat diartikan sebagai pemujaan dari salah satu sifat Dewi Durga. 

Bangunan candi masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya orang–orang India ke Indonesia. Di mana Indonesia sudah memiliki cara menghormati leluhur mereka yang sudah meninggal, yaitu berupa tempat pemujaannya yang terbuat dari kayu, berukuran kecil dan minim ornamen–ornamen khas.

Berdasarkan fungsinya candi dibagi menjadi dua, yaitu candi pemujaan yang digunakan untuk memuja dewa tertentu dan candi pendharmaan sebagai tempat memuliakan orang–orang Hindu atau Buddha yang sudah meninggal atau pemujaan tokoh yang telah meninggal dan didewakan. 

Pembuatan candi pendharmaan seorang tokoh harus menunggu 12 tahun setelah kematiannya. Tetapi Candi Tegowangi diduga belum selesai dibangun saat sang raja meninggal. Ini dapat terlihat dari pemahatan relief candi yang belum selesai pada sisi utara.

Bentuk bangunan candi itu meniru tempat tinggal para dewa, yaitu Gunung Mahameru. Candi dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan berupa pola yang menggambarkan alam Gunung Mahameru. Bentuk candi-candi di Indonesia adalah punden berundak, yang merupakan unsur asli Indonesia. Ini menunjukkan sifat kebudayaan Indonesia yang dilapisi oleh unsur-unsur Hindu-Budha.

Candi dibangun berdasarkan kosmologi kuno, yaitu pembagian antara dunia bawah, dunia tengah dan dunia atas. Hal ini terlihat dari penyusunan candi, terdiri dari kaki yang melambangkan manusia biasa (bhurloka atau dunia bawah). Pada bagian kaki terdapat beberapa komponen seperti lapik, pelipit bawah, batang, bingkai serta pelipit atas. 

Tubuh atau badan yang melambangkan alam antara (bhuwarloka), meninggalkan ikatan keduniawian. Tubuh candi terdiri dari pelipit bawah, bingkai serta pelipit atas. Atap yang melambangkan alam atas tempat para dewa (swarloka). Atap candi meliputi pelipit, tingkat atap serta puncak atap.

Bagian candi terdiri dari bagian luar dan bagian dalam. Bagian dalam candi melambangkan rahim (Grbhagra). Di dalam candi terdapat sebuah lingga yang melambangkan siwa, yang menunjukkan bahwa candi tersebut adalah candi Hindu. Juga terdapat arca dewa dan pada bagian bawah dan sebuah sumuran yang berfungsi untuk menyimpan abu. 

Pada bagian atas di dalam candi ada sebuah rongga kosong yang dipercaya sebagai tempat bersemayam dewa. Sedangkan di dalam candi Buddha berisi patung Budha serta para peingiringnya.

Sementara pada luar candi baik Buddha maupun Hindu, biasanya terdapat relief yang menceritakan kisah–kisah tertentu. Kisah Mahabarata atau Ramayana, pada candi Hindu. Sedangkan kisah kehidupan sang Budha Sidarta Gautama, pada candi Buddha.

Pada dinding candi Tegowangi terdapat relief yang sangat halus pahatannya, yang menceritakan Kidung Sudamala. Relief Kidung Sudamala ini memperkuat dugaan bahwa Candi Tegowangi merupakan candi pengruwatan. Selain di Candi Tegowangi, cerita Sudamala juga terdapat di Candi Sukuh. 

Relief ini berkisah tentang peruwatan Bhatari Durga kembali ke bentuk semula sebagai Bhatari Uma oleh Sadewa. Relief dibaca dengan posisi berlawanan arah jarum jam (prasawya). Relief ini diawali dengan adegan wanita bertubuh besar sedang bermain gendang pada sisi kanan dinding tangga. Lalu adegan Bhatari Durga meminta Dewi Kunti supaya mambawakan Sadewa. Kemudian Dewi Kunti yang telah dirasuki setan Kalika membawa paksa Sadewa ke Setra Gandamayit, tempat Bhatari Durga.

Bhatari Durga meminta Sadewa untuk meruwatnya, namun ia tidak tahu caranya. Bhatari Durga hampir saja membunuh Sadewa. Pada akhirnya Bhatara Siwa menitis pada Sadewa dan meruwat Durga. Atas keberhasilannya itu, Sadewa dijuluki Sudhamala (penghilang keburukan) oleh Durga. Adegan selanjutnya, pertemuan Sadewa dengan Ni Padapa di Pertapaan Prangalas dan pertemuannya seluruh anggota keluarga Pandawa.

Pada awalnya ruwatan dalam tradisi Hindu itu dikaitkan dengan penyucian atau pembebasan para dewa yang terkutuk karena mereka telah melakukan kesalahan. Mereka dikutuk menjadi makhluk lain, manusia, raksasa atau binatang. Agar kembali menjadi dewa mereka harus diruwat. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, ruwatan bergeser dan berubah makna menjadi sebuah upacara untuk membebaskan orang dari nasib buruk. Orang-orang ini dianggap perlu dibebaskan dari terkaman Bhatara Kala karena mereka ternoda.

Orang-orang yang menjadi mangsa Bhatara Kala disebut sukerta, ternoda (Jawa: suker artinya kotor, ternoda). Daftar orang-orang sukerta mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Di dalam Pustaka Raja Purwa, Ranggawarsita menuliskan 136 sukerta. Sedangkan menurut Serat Murwakala karangan Raden Mas Citrakusuma terdapat 147 sukerta. Pakem Ruwatan Murwakala yang besumber dari Serat Centhini menyebut 60 sukerta, dst.

Sukerta itu di antaranya adalah Ontang-anting, seorang anak laki-laki tunggal yang tidak mempunyai saudara kandung. Unting-unting, anak perempuan tunggal yang tidak mempunyai saudara kandung. Uger-uger lawang, dua anak bersaudara kandung yang berjenis kelamin laki-laki semua. Julung caplok, seorang anak yang waktu lahirnya bersamaan dengan saat terbenamnya matahari. Julung kembang, seorang anak yang waktu lahirnya bersamaan dengan saat terbitnya matahari. Sarimpi, empat anak bersaudara kandung yang berjenis kelamin perempuan semua. Pandawa, lima anak bersaudara kandung yang berjenis kelamin laki-laki semua, dst.

Para sukerta ini diruwat dengan menyelenggarakan pagelaran wayang kulit dengan lakon Murwakala. Dalam membawakan cerita Ki Dalang menyelipkan nasihat-nasihat dan membacakan mantra keselamatan atas peserta ruwat sehingga terhindar dari marabahaya.

Dalam upacara tersebut Ki Dalang menggunakan beberapa perlengkapan dan peralatan (uborampe), seperti kain mori putih, tempat air (pengaron), gayung, lampu (blencong), tikar, bantal, kemenyan, minyak wangi, sisir, bedak, cermin, kendil, dst. Tidak kalah penting berbagai macam sesaji, seperti mawar, melati, kenanga, gambir, telor ayam, tebu, kelapa muda, padi, pisang, ayam, merpati, bebek, angsa, dst.

Murwakala menceritakan tentang Siwa yang sedang bercengkerama dengan Dewi Uma. Melihat permaisurinya sangat menggairahkan, maka timbul hasrat Siwa untuk bersatu rasa. Namun Dewi Uma tidak berkenan, maka benih Siwa jatuh di tengah lautan.

Benih tersebut berubah menjadi makhluk dan makin lama makin besar, akhirnya menjadi raksasa sakti. Raksasa ini pergi ke tempat bersemayam para dewa untuk menemui Siwa. Siwa mengakuinya sebagai puteranya dan memberinya nama Bathara Kala. Untuk makannya, Siwa menyebutkan macam-macam manusia, termasuk sukerta.

Maka Bathara Kala segera minta diri, turun ke dunia untuk mencari mangsa, yaitu manusia-manusia yang telah ditentukan baginya. 

Sepeninggal Bathara Kala, Siwa sadar bahwa jumlah manusia yang disebutkan itu terlalu banyak, sehingga jika Kala tidak dihalangi mungkin manusia akan punah dari muka bumi.

Lalu Siwa memerintahkan Narada untuk menugaskan Wisnu menjadi dalang, untuk membatalkan perintah yang telah diberikan kepada Kala. Narada ditugaskan menjadi panjak (penyanyi), Brahma menjadi penabuh gender. Wisnu kemudian memakai nama Dalang Kandhabuana, bertugas meruwat manusia-manusia sukerta yang ditakdirkan menjadi mangsa Kala. Supaya demikian mereka dapat diselamatkan.

Dalang penjelmaan Wisnu itu berhasil menghalang-halangi Kala memangsa sukerta. Bhatara Kala dihalau ke tempat asalnya bersama anak buah dan pengikutnya, seperti kelabang, kalajengking dan lain-lainnya. Setelah itu bumi menjadi aman kembali.

Proses ruwatan dimulai dari rumah peserta ruwatan. Seluruh anggota keluarga melakukan upacara ini dengan ikhlas.  Peserta ruwatan yang sudah remaja bersama kedua orang tuanya dianjurkan melakukan laku tarak, yaitu tidak memakan daging, ikan dan telur selama 7 hari menjelang hari pelaksanaan ruwatan.

Sebelum berangkat ke tempat ruwatan, peserta ruwatan melakukan Siram Jamas.  Anak yang akan diruwat mandi keramas. Setelah itu sungkem, berjongkok mencium lutut orang tuanya. Minta maaf dan mohon doa restu kepada kedua orang tua atau wali. 

Setelah sungkeman, peserta ruwatan dengan diiringi keluarga berangkat menuju tempat acara ruwatan dilaksanakan. Dalam pelaksanaan ruwatan ini, orang tua atau wali dianjurkan memakai pakaian adat

********

Yom Kippur, Hari Pendamaian adalah hari raya umat Israel yang paling khidmat di antara hari raya lainnya, yang berlangsung setiap tahun pada hari kesepuluh Tishri, bulan ketujuh dalam kalender Ibrani. (Imamat 23: 27-28)

Pada hari itu, imam besar melakukan ritual penebusan dosa atas bangsa itu. Ritual penebusan ini dimulai oleh Harun (sekitar 1500 SM), dengan memasuki ruang maha kudus, bagian utama Kemah Suci. (Imamat 16: 1-34) Imam besar mengurbankan lembu jantan muda sebagai persembahan atas dosa pribadi serta keluarganya. Darah lembu jantan itu perlu dipercikkan pada Tabut Perjanjian. 

Kemudian Imam Besar harus membawa dua ekor kambing jantan, salah satunya dikurbankan karena segala kenajisan orang Israel dan karena segala pelanggaran mereka, apapun juga dosa mereka dan darahnya dipercikkan pada Tabut Perjanjian. Kambing jantan satunya digunakan sebagai kambing hitam (scapegoat). Imam besar menumpangkan tangan di atas kepala kembing jantan itu, mengakui segala pelanggaran dan kejahatan umat Israel dan kambing itu dilepaskan ke padang gurun. Kambing itu menanggung dosa semua orang Israel, yang telah diampuni sampai tahun selanjutnya.

Penghapusan dosa melalui kambing kedua adalah kiasan akan janji Allah yang menjamin bahwa pelanggaran manusia akan dijauhkan sejauh timur dari barat (Mazmur 103:12) dan bahwa Allah sudah tidak mengingat dosa manusia lagi. (Ibrani 8: 12 dan 10: 17) 

Ritual pembersihan diri umat Israel disyaratkan berulang kali di sepanjang Perjanjian Lama dan ini merupakan simbol akan kebutuhan umat manusia untuk dibersihkan dari dosa. Ritual ini dilaksanakan di Kemah Suci.

Kemah Suci adalah tempat pertama di mana bangsa Israel beribadah sebagai bangsa, berbentuk empat persegi panjang dan memiliki ukuran sekitar 13,7 meter x 4,5 meter x 4,5 meter. Kemah Suci terbuat dari 10 helai tenda lenan berwarna ungu tua, kain ungu muda dan kain kirmizi. (Keluaran 26: 1 dan 36: 8) 

Kemah Suci dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pelataran, dalam Kemah Suci terdapat Ruang Kudus dan Ruang Mahakudus yang dipisahkan oleh tabir. (Keluaran 26: 33-34; Ibrani 9: 2-7) 

Pelataran Kemah Suci menunjukkan bahwa sebelum seseorang bisa menghadap Allah, ia harus lebih dulu memperoleh keselamatan melalui pengurbanan. Di dalam pelataran ada mezbah untuk kurban bakaran dan bejana pembasuhan tempat membersihkan diri atau penyucian. (Keluaran 30: 18-21) Selain itu juga ada tempat untuk hewan-hewan kurban dan tempat penyembelihannya. 

Kedua adalah ruang kudus, di sini ada kandil atau kaki dian berkaki tujuh, meja roti sajian dan mezbah ukupan. Meja roti sajian digunakan untuk mempersembahkan roti sajian kepada Allah sebagai ucapan syukur atas semua berkat-berkat-Nya. Persembahan ini menyatakan bahwa Allahlah sumber kelimpahan makanan. 

Kandil dipakai untuk menerangi kemah suci yang melambangkan terang Allah menyinari umat-Nya. Terang Allah memberikan pengharapan bagi umat akan kasih dan pemeliharaan Allah. Ini juga mengingatkan umat bahwa tidak ada yang tersembunyi di hadapan-Nya. 

Mezbah persembahan ukupan menghasilkan asap harum yang menyenangkan hati Allah. Hal ini melambangkan doa-doa kudus yang dipanjatkan kepada-Nya. Setelah itu ada sebuah tirai yang memisahkan antara ruang kudus dan ruang maha kudus. 

Ketiga adalah ruang maha kudus, di sinilah Tabut Perjanjian diletakkan, tempat disimpannya ke dua loh batu berisi Sepuluh Hukum Allah yang ditulis oleh Musa. Semuanya melambang kehadiran Tuhan. Ruang maha kudus ini hanya boleh dimasuki oleh Imam Besar. Disinilah Tuhan berbicara kepada Imam Besar.

(https://arisuksmono.com/wp-content/uploads/2020/12/6.jpg)

(https://1.bp.blogspot.com/-zDzET5rmUEI/X5tsm8fClxI/AAAAAAAA7bs/UskHT3oycmEyyd5G2ggnQgRljIbd7RLmQCLcBGAsYHQ/s595/images%2B-%2B2020-10-30T082911.991.jpeg)

Kemah Suci (Ibrani: משכן, Mishkan) dibuat atas perintah Allah melalui Musa, supaya TUHAN Allah dapat tinggal bersama umat Israel dan sebagai tempat mereka beribadah dan melayani TUHAN Allah Israel. (Keluaran 40: 1-3)

Kemah Suci adalah tempat tinggal yang disediakan bagi YHWH selama umat Israel mengembara di padang gurun. Karena itu mishkan merupakan kemah Allah yang selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, sesuai dengan kehendak Allah yang memimpin perjalanan umat Israel. Tujuannya pendirian Kemah Suci adalah: “Supaya Aku akan diam di tengah-tengah mereka”. (Keluaran 25: 8) 

YHWH adalah TUHAN Allah yang melampaui segala langit berkenan diam di tengah-tengah persekutuan umat Israel. Namun kehadiran YHWH bukanlah kehadiran yang pasif, tetapi aktif dan dinamis. YHWH berjalan bersama umat Israel di padang gurun adalah TUHAN Allah yang juga mengembara. Ketika kemudian Daud hendak membangun Bait Suci di Yerusalem, Allah menyatakan: “Aku tidak pernah diam dalam rumah sejak Aku menuntun orang Israel keluar sampai hari ini, tetapi Aku mengembara dari kemah ke kemah, dan dari kediaman ke kediaman”. (1 Tawarikh 17: 5) 

Melalui pengembaraan itu orang diajar untuk berani menghadapi berbagai hal yang tidak terduga, tidak pasti dan penuh risiko. Namun pada saat yang sama orang percaya bahwa ia aman berjalan bersama TUHAN. Karena itu ia tidak gentar, kuatir dan gelisah, sebab ia berjalan di dalam Allah Yang Maha Kuasa. 

Pengembaraan iman bersama TUHAN itu senantiasa dinamis, progresif dan efektif. Yaitu dengan mewujudnyatakan kasih Allah melalui hidup adil dan benar serta peduli kepada sesama.

********

Candi Tegowangi merupakan tempat pemujaan dewa tertentu dan memuliakan orang yang telah meninggal dan didharmakan di situ. Pembangunan Candi Tegowangi menceritakan tentang ruwatan yang dilakukan atas mendiang Raja Watsari atau Bhre Metahun. Relief kisah Sudamala yang terukir di dinding Candi Tegowangi menuturkan tentang ruwatan atas Bathari Durga oleh Siwa melalui Sudamala, untuk kembali menjadi Bhatari Uma. 

Dalam tradisi Hindu dan tardisi yang dipengaruhinya, ruwatan itu dikaitkan dengan penyucian atau pembebasan para dewa atau manusia yang ternoda dan terkutuk karena mereka telah melakukan kesalahan. Supaya kembali ke alam surgawi dewa atau manusia harus diruwat.

Sementara dalam tardisi Ibrani Yom Kippur, Hari Pendamaian merupakan saat pelaksanaan ritual penebusan dosa atas bangsa itu. Ritual penebusan ini bermula sekitar 1500 SM, dengan mengurbankan lembu jantan muda dan dua ekor kambing jantan karena segala kenajisan orang Israel dan karena segala pelanggaran mereka.

Penghapusan dosa melalui semua hewan kurban tersebut merupakan sebuah simbol tentang janji Allah yang menjamin bahwa pelanggaran manusia dan dosanya akan dijauhkan dan dihapuskan untuk selamanya. Ritual pembersihan diri umat Israel ini merupakan kiasan akan kebutuhan mendasar umat manusia untuk dibersihkan dari dosa. 

Ada titik temu dari dua tradisi kuno besar tersebut, yaitu kesadaran universal dan penyesalan atas kebersalahan dan keberdosaan manusia. Meskipun tetap ada perbedaan yang mendasar tentang pemahaman mengenai pelanggaran dan dosa dari keduanya.

Bhatari Uma terusir dari dunia para dewa dan menjadi Bhatari Durga karena telah berbohong dan melakukan penyelewengan dengan seorang gembala sapi. Demikian juga dengan Calonarang minta diruwat oleh Empu Baradah karena telah membunuh banyak orang melalui sihirnya itu. Para sukerta pun diruwat karena noda yang ditanggungnya akibat keadaan sejak kelahirannya. Keberdosaan, noda dan malapetaka dalam tradisi ruwatan ini terletak lebih pada tataran pelanggaran moral.

Sementara dosa manusia dalam tradisi Ibrani dipandang sebagai pemberontakan manusia terhadap Sang Pencipta-Nya. Manusia memberontak dan melawan TUHAN Allah dengan menjadikan dirinya sebagai Allah bagi dirinya sendiri. Pemberontakan itu termanifestasi dengan pelanggaran manusia terhadap firman dan hukum Allah yang telah diberikan kepadanya sebagai arahan bagi kehidupan manusia di dunia ini. Peristiwa pemberontakan ini digambarkan dalam peristiwa Adam dan Hawa di taman Eden. 

Adam dan Hawa tidak mau menaati perintah Allah dan menjadikan diri mereka sebagai tuan (TUHAN) atas diri mereka sendiri dengan mengambil keputusan untuk melanggar perintah Allah, yaitu dengan memakan buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Sejak saat itu manusia mati, terpisah dari Allah. Manusia merasa sendirian dan terasing, inilah dosa. 

Sesungguhnya, tangan TUHAN tidak kurang panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaran-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar; tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu. (Yesaya 59: 1-2)

Dosa menyebabkan Allah menyembunyikan diri dan tidak hadir dalam kehidupan manusia. Lebih tepat karena manusia itu sendiri telah menyingkirkan Allah dari kehidupannya. 

Karena telah berbohong dan berkhianat, Siwa marah besar dan mengutuk istrinya itu menjadi Bhatari Durga serta mengusirnya turun ke bumi. Namun Siwa juga berjanji bahwa setelah 12 tahun ia akan membebaskan Bhatari Durga dari noda hingga menjadi suci kembali. 

Demikian juga TUHAN ALLAH mengusir manusia dari taman Eden dan menghalau manusia itu dari sebelah timur taman Eden. Namun sebelum itu, TUHAN mengutuk Hawa dengan menambah kesakitan selagi hamil dan pada waktu melahirkan. Dan kepada Adam TUHAN mengutuk tanah sehingga ia harus bekerja keras seumur hidup agar tanah ini bisa menghasilkan cukup makanan. Sampai ia kembali kepada tanah, sebab dari tanahlah manusia dibentuk. TUHAN Allah juga mengutuk ular, iblis yang telah menggoda dan menipu manusia sehingga memberontak terhadap TUHAN Allah.

Namun sebelum manusia pergi keluar dari taman itu, TUHAN Allah membuat pakaian dari kulit binatang untuk Adam dan istrinya, lalu mengenakannya kepada mereka. Ini berarti TUHAN telah terlebih dahulu bertindak untuk menutupi ketelanjangan manusia karena keberdosaannya itu dengan mengurbankan bintang untuk diambil kulitnya sebagai penutup keberdosaan manusia. Penebusan bagi manusia berdosa ini adalah anugerah Allah, bukan rencana dan hasil perbuatan manusia sendiri.

TUHAN Allah juga menyatakan bahwa Ia akan mengadakan permusuhan antara ular dan Hawa, antara keturunan ular dan keturunan Hawa; keturunan Hawa akan meremukkan kepalanya, dan ular akan meremukkan tumitnya.

Siwa meruwat istrinya, Bhatari Uma itu dengan menitis pada diri Sadewa. Ruwatan Murwakala dilakukan oleh para dewa yang menitis, yaitu Wisnu sebagai Ki Dalang, Brahma menjadi penabuh gender dan Narada selaku penembang. Pakem penebusan manusia itu dilakukan karena kasih oleh kekuatan ilahi yang menjelma menjadi manusia. 

Kitab Perjanjian Baru meneruskan pakem penebusan Kemah Suci Israel dalam Perjanjian Lama tersebut. Penebusan di Kemah Suci itu merupakan simbol, lambang atau tipologi seorang Mesias Ilahi, yaitu Kristus yang telah mengosongkan diri-Nya. Yesus tidak menganggap kesetaraannya dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan. Allah di dalam Kristus mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. 

Sebagaiamana anak lembu jantan dan kambing hitam dalam upacara penebusan di Kemah Suci. Allah menebus manusia dengan cara mati tak berkutik di atas kayu salib, namun kemudian bangkit dan mengalahkan kematian. Ini bukti bahwa kejahatan, dosa dan maut tidak mampu mengalahkan kasih TUHAN Allah atas umat-Nya. Demikian takdir semua orang beriman telah diperagakan oleh Allah sendiri dengan indah dalam sejarah penyelamatan ilahi tersebut.

Titik puncak kedatangan TUHAN Allah ke bumi adalah menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa mereka, dengan cara menjadi tebusan bagi banyak orang, mengambil bagian dalam segala penderitaan manusia, menanggung segala beban manusia dan mempersatukan kembali manusia dengan Allah. Semua ini telah dibuktikan oleh Yesus putra Maria itu melalui kehidupan, pelayanan, penderitaan, penyaliban, kematian dan kebangkitan-Nya untuk menyelamatkan manusia yang berdosa.

********

Pada masa keemasan Kerajaan Majapahit, abad ke-14 di bawah kekuasaan Prabu Hayam Wuruk. Mpu Tantular menggubah Kakawin Sutasoma yang membabarkan pangruwatan atau penebusan yang dilakukan oleh jelmaan Sang Hyang Buddha, yaitu Sutasoma. Ia adalah putra Prabu Mahaketu dari Kerajaan Astina.

Pada suatu malam, Sutasoma menyelinap keluar dari istana kerajaan pergi ke tengah hutan rimba untuk menyepi. Kemudian bersama beberapa pendeta ia pergi ke pegunungan Himalaya. Di tengah perjalanannya tersebut, Sutasoma bertemu dengan raksasa berkepala gajah dan ular naga yang ingin memangsanya. Sutasoma berhasil menaklukkan mereka. Setelah mendengar pengajaran Sutasoma, kedua monster tersebut kemudian menjadi muridnya.

Sutasoma juga bertemu dengan harimau betina yang tengah kelaparan dan ingin memakan anaknya sendiri. Menyaksikan itu, Sutasoma sangat iba dan sempat mati karena ia memberikan tubuhnya menjadi santapan harimau itu. Lalu datanglah Bhatara Indra untuk menghidupkan Sutasoma kembali. Harimau itu kemudian menjadi muridnya juga.

Singgah di sebuah pertapaan, mereka mendapat kabar bahwa seorang raksasa, yaitu Prabu Purusada yang senang memakan daging manusia sedang meneror seluruh penduduk di sana. 

Prabu Purusada semakin merajalela di bumi, ia telah mengumpulkan 100 raja sebagai tumbal bagi Bhatara Kala. Namun Bhatara Kala masih tidak menerima kurban tersebut, ia menuntut nyawa Sutasoma sebagai persembahan baginya. Tidak disangka Sutasoma bersedia menjadi santapan Bhatara Kala sebagai ganti atas tawanan 100 raja tersebut. 

Bhatara Kala menyerang Sutasoma dengan hujan api dan hujaman senjata magisnya, namun Sutasoma berhasil mengubah semua itu menjadi taburan bunga dan siraman air kehidupan. Sutasoma menyerahlan dirinya ditelan oleh Bhatara Kala. Bhatara Kala terkesima setelah menelan Sutasoma ia merasakan kedamaian mengalir di dalam dirinya. Di tengah terbakar amarah dan rasa bersalah, Bhatara Kala memuntahkan Sutasoma, namun ia dilingkupi oleh welas asih serta diliputi oleh damai sejahtera.

Mpu Tantular melalui Kakawin Sutasoma tersebut telah berhasil membongkar rahasia kedamaian hidup manusia, yaitu melalui welas asih dan pengurbanan. Mpu Tantular adalah rohaniawan dan negarawan yang telah berhasil menetapkan strategi budaya bangsa ini. Strategi budaya adalah usaha sadar dan terencana merancang dan menentukan dasar dan sendi budaya bangsa. Budaya sebagai cara hidup manusia yang didasarkan nilai welas asih dan pengurbanan dengan terus menyadari tantangan dan tuntutan perkembangan zaman. 

Candi pangruwatan, Kemah Suci Israel dan Bait Allah di Yerusalem bukan untuk disembah dan dipuja, namun dihormati sebagai perlambang tindakan kasih Ilahi yang telah menebus dan menyelamatkan manusia yang berdosa. 

Bahkan Tuhan Allah telah bergerak dari Kemah Suci ke Bait Allah kepada orang beriman. Allah diam dan tinggal di dalam manusia. Allah berkenan hadir, mengembara, blusukan dan berpetualang bersama manusia di tengah padang gurun kerontang dan buas dunia ini. Hidup bersama umat ciptaan-Nya itu, TUHAN Allah sedang menebus, menyucikan dan menguduskan mereka oleh kasih dan damai sejahtera-Nya.

Oleh penebusan itu, manusia telah menjadi Bait Allah dan bahwa Roh Allah tinggal di dalam manusia. Tubuh manusia adalah bait Roh Kudus yang diperoleh dari Allah. Sebab manusia yang beriman itu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar, yaitu oleh darah Anak Domba Allah. Karena itu manusia patut merayakan dan memuliakan Allah dengan tubuhnya dalam kehidupan sehari-hari melalui belas kasih dan pengurbanan.

Manusia tidak lagi menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus), yang saling mencakar, melukai, menggigit, menelan dan membinasakan. Namun, manusia tebusan TUHAN Allah itu telah menjadi penebus dan penyelamat bagi sesamanya dan semesta (homo salvator). Penebus yang mengasihi sesamanya, memelihara, merawat, menjaga dan menghidupkan. TUHAN Allah telah menebus manusia untuk terus berjuang menjadi Allah bagi sesamanya (homo homini deus).

*Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia

———-

Kepustakaan

Dyrness, William. Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama. Gandum Mas, Malang, 1990.
Ensink, J. On The Old-Javanese Cantakaparwa And Its Tale of Sutasoma. Springer-Science+Business Media, B. V. 1967.
Guthrie, Donald. Teologi Perjanjian Baru 1. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1992.
Guthrie, Donald.  Teologi Perjanjian Baru 2: BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1995.
Soekmono. Candi: Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi Universitas Indonesia, Jakarta, 1974.
Suwardoyo. Candi Tegawangi. Malang, 2009.
Zehr, Paul M. God Dwells with His People. Herald Press, Scottdale, Pennsylvania, 1981.