Sigit Susanto

Gebrakan Kaum dAdA

Oleh Sigit Susanto

Dentum meriam bergelagar di daratan Eropa. Bom menghujani kota-kota hunian. Menumpulkan akal budi peradaban manusia. Perang Dunia I telah berkobar. Sulit diramalkan, perang akan segera mereda. Lebih-lebih di kalangan seniman, apa yang bisa mereka perbuat? Dengan senjata kanvas, alat musik, dan pena, bisakah mereka menengahi untuk menghentikan perang? Mustahil. Pada saat yang sama, rel seni hanya dilewati oleh lokomotif berjas borjuis liberal. Seni makin menjauh dan dikuasai sekelompok elit masyarakat yang tak tersentuh kehidupan nyata. Seni mulai dipertanyakan. Siapa yang berhak melakukan dan menikmati seni di muka bumi ini? Bagaimana dengan rakyat biasa?

Dua beban di atas, antara keputusasaan terhadap perang yang berkecamuk dan seni yang eksklusif, mendorong para seniman mulai membuat cemoohan pada kelompok borjuis liberal. Dimulailah aksi nyentrik oleh para seniman. Aksi itu akhirnya melahirkan sebuah aliran seni baru. dAdA.

Apa Itu dAdA?

Kata Dada berasal dari sebuah slogan yang ditemukan secara kebetulan dari goncangan air di sebuah gelas. Ketika air itu diminum dengan paksa akhirnya menimbulkan rentetan kaos atas kaos yang lain. Peristiwa itu terjadi di sebuah kafe Cabaret Voltaire, Zürich, Switzerland. Para seniman eksil di situ antara lain, Tristan Tzara dari Rumania, dua penyair Jerman, Richard Hülsenbeck, dan Hugo Ball, serta pematung dan penyair kelahiran Strasbourg, Hans Arp. Aksi seni mereka dilanjutkan dengan mengambil sebuah topi, lalu topi itu dilempar ke yang lain sambil melontarkan beberapa kata spontan. Lemparan topi sesuai urutan dari satu orang ke orang yang lain. Dari kata-kata yang mencuat, diyakini bahwa itulah sebuah puisi. Mereka tidak terlalu membanggakan dengan logika berkesenian, sebaliknya sangat terbuka dan meyakini spontanitas berseni.

Cabaret Voltaire di Zürich

Foto depan kafe Cabaret Voltaire di Zürich, tempat Dada lahir. (Sumber foto: Arsip Penulis)

Dada secara kebetulan ditemukan di kamus anak-anak bahasa Jerman-Prancis: “Hoppe atau Holzferdchen” (Anak yang menunggang kuda mainan dengan berjingkrak-jingkrak: hupa-hupa-hupa). Pada bahasa Prancis pergaulan, c`est mon dada berarti it`s my hobby. Istilah Dada juga masih kurang jelas. Ada pendapat berasal dari bahasa Rumania, asal negerinya Tzara, yakni: da, da, artinya, yes, yes atau yeah, yeah, lebih kasar lagi, yeah, right. 

Lepas dari banyak interpretasi nama, aliran ini dianggap sebagai aliran seni dan sastra baru yang revolusioner. Gerakan seni baru ini terus menerjang ke banyak bidang seni lain, tak hanya pada seni lukis, musik, tari, maupun sastra, namun merambah ke seni instalasi. Ujung-ujungnya aliran seni ini menjadi benih aliran Surealisme yang dimotori oleh André Breton. 

Berikut lima tokoh Dada memberikan pernyataannya:

1. Tzara menyiarkan manifesto secara terus menerus: 

“Kami tidak mengenal teori.”
“Aturan = Ketidakaturan; Aku = Bukan Aku; Persetujuan = Penyangkalan.”
“Dada adalah simbol abstrak.”
“Dada = Peniadaan logika, tarian tanpa butuh daya cipta.”
“Ada orang-orang yang mengajar, karena ada orang-orang yang belajar. Orang meniadakan keduanya, tinggal: Dada.”
“Sebuah sikap apriori dengan menutup mata, Dada mengambil alih segalanya: Kebimbangan. Dada meragukan semuanya. Dada itu tabu. Semua itu Dada, kecurigaan Dada.”
“Dada-Dada yang sebenarnya adalah melawan Dada.”

2. Richard Hülsenbeck menjabarkan:

Dada adalah jiwa yang menari di atas bumi moral. Dada bukan Axiom (Bahasa Yunani: Tidak bisa tampak dan menampakkan). Dada adalah sebuah keadaan jiwa yang tidak tergantung dari sekolah dan teori, tapi bergerak sesuai kepribadiannya. Dada tidak bisa dipahami, namun harus dihayati. Dada tak terjembatani, tapi pasti. Dada berdasar kejujuran, rasa muak atas tindakan intelektual borjuis. Dada membuat sebuah seni anti-propaganda budaya.

3. Georges Ribemont-Dessaignes mengharapkan:

“Apa artinya indah? Apa pula artinya jelek? Apa artinya, besar, perkasa, lemah? Siapa itu tukang kayu? Aku tidak mengenalnya, Siapa aku? Aku tak mengenalnya, aku tidak kenal, aku tidak kenal, aku tidak kenal.”

4. Francis Picabia berkhotbah:

“Tidak, kalian tidak mengerti, apa yang kami lakukan; kini kawan-kawan tercinta, kami masih sedikit mengerti. Nasib yang mana yang kalian reguk? Aku ingin sekali tidur dengan Paus (Petinggi Vatikan). Kalian paham? Aku juga tidak, betapa menyedihkan.”

5. Johannes Baader:

Seorang dadais adalah manusia, yang hidup dan mencintai pada semua bentuk yang tak tampak dan paham serta berkata, tidak sendirian di sini, melainkan juga da (di sana), da (di sana), da (di sana) juga hidup.“

Cabaret Voltaire

Pada 5 Febaruari 1916 Hugo Ball dan kekasihnya Emmy Hennings mendirikan sebuah kafe bernama Cabaret Voltaire ( http://www.cabaretvoltaire.ch/haus/pictures.php ). Letaknya kafe alternatif ini di sebuah gang sempit Speigelgasse 1, Niederdorf, Zürich, Switzerland. Pada pintu masuk tergrafir tulisan yang menandaskan berdirinya kafe dan tempat lahirnya gerakan seni Dada:

IN DIESEM
HAUS WURDE AM
5. FEBR. 1916 DAS
CABARET VOLTAIRE
ERÖFFNET UND DER
DADAISMUS
BEGRÜNDET

kafe Cabaret Voltaireter

Foto grafir di pintu masuk kafe Cabaret Voltaireter . (Sumber foto: Arsip Penulis)

Sekarang ini kafe Voltaire masih dibuka. Pada dinding ruangan dalam ada tulisan:

DaDADaDADaDADaDADaDA

Sedang di atap ruangan bergantungan rakitan instalasi listrik dengan berbagai lampu. Sebuah lukisan dari pelukis Dali yang berkumis panjang melengkung dipasang di situ. Di dekat alat pemanas untuk musim dingin, tertempel kucing mati yang kering. Kafe ini dilengkapi dengan 5 kamar. Dulu dipakai untuk menginap para seniman ekspresionis avant-garde. Sekitar 50 seniman hadir menjelang diikrarkan aliran Dada. Terkesan primitif, benar-benar mulai dari nol, baru. Kelompok penggagas Dada ini menamakan dirinya sebagai kelompok pengungsi muda, kebanyakan pelukis dan penyair. Yang kala itu mengungsi di negeri netral Switzerland. Cabaret Voltaire merupakan “Night Club Sastra.” Di situlah cukup lama diperdebatkan tentang seni baru dan sajak baru dengan penuh gelora. Bahasa campuran dan norak dicipta semata-mata untuk meringankan sebuah kehidupan baru.

Hans Arp, seorang pelukis, juga penyair, anggota dalam kelompok Dada Zürich ini menggambarkan situasi saat itu sebagai berikut:

Kala itu tahun 1915 di Zürich, rasa jijik atas pembunuhan pada Perang Dunia I. Peristiwa itu telah mendorong kami untuk menciptakan seni yang indah. Sementara di kejauhan dilindungi guntur yang bergemuruh, dengan sekuat tenaga kami menyanyi, melukis, menempelkan karya, dan mencipta sajak. Kami mencari seni yang paling dasar, untuk mengobati luka manusia, agar tertata kembali ketimpangan antara surga dan neraka. Kami sadari bandit-bandit itu akan bangkit, mereka akan mengabdi pada seni atas kemampuannya sendiri dan memperolok manusia.”

Kaum Dada di Zürich yang berasal dari Jerman, termasuk Hugo Ball, Emmy Hennings, Hans Richter dan Richard Huelsenbeck. Hans Arp berasal dari Elsass, Prancis (Dulu wilayah Jerman), Marcel Janco dan Tristan Tzara dari Rumania. Secara diam-diam kadang Dr. Walter Serner ikut bergabung. Cabaret Voltaire kalau malam dibuka untuk umum mempertunjukkan seni Dada yang penuh kegaduhan.

 kafe Cabaret Voltaire, Zurich

Foto ruangan di kafe Cabaret Voltaire, tempat Tristan Tzara, dkk pentas. (Sumber foto: Arsip Penulis)

Tzara menuliskan pada buku hariannya:

“14 Juli 1916, malam pertunjukan Dada pertama kali. (musik, tarian, teori, manifesto, lukisan, kostum, topeng). Dengan gegap gempita Tzara mendemonstrasikan, kita mendesak hak untuk mengencingi dengan warna yang berbeda. Huelsenbeck tampil, disusul Ball, juga Arp: menerangkan. Janco: lukisanku, Heusser: komposisi khusus. Pembacaan sajak beraliran keras, anjing menggonggong mengoyak piano dari Panama.” 

Ruangan itu riuh dengan tangan-tangan saling gerayangan. Deretan pertama paham, deretan kedua menjelaskan, dengan ucapan kasar untuk mengadilinya. Sisa deretan itu berteriak, siapa yang paling keras. Dilanjutkan dengan saling pukul-pukulan. Tarian kubisme, kostum dari Janco. Setiap orang punya genderang sendiri di kepalanya, suara gaduh, musik Afrika, Trabatgea bonoooooo ooooo. Eksperimen sastra 5: Tzara mengenakan jas resmi berdiri di depan gorden menjelaskan estetika baru: sajak gerak badan, konser vokal, sajak kegaduhan, sajak statis, susunan kimia dari gagasan “Biriboom, biriboom,” sajak vokal aao, ieo, aii.”

Pada esai Barbara Basting berjudul Tristan Tzara: Manifeste Dada mengungkapkan, Tzara sebagai provokator dari Moinesti. Manifesto Dada dari Tzara (1896-1963) sebagai pijar Dadaisme. Sumbernya dari Rumania, lalu menukik ke kedalaman avant-garde Eropa. Buku ini menyitir pendapat André Breton (1896-1966) sebagai berikut:

Di sini hanya kukatakan, koran-koran dan manifesto Dada dari pengaruh Tzara pelan-pelan membelit. Itu terjadi karena semua meniru contoh yang sama, termasuk publik di Zürich. Kalau aku boleh berkata, perubahan permainan itu terus berlangsung. Bisa dilihat dari dalam maupun dari luar, manifesto selalu yang itu-itu saja.”

Manifesto Surealisme Pertama dari Breton tahun 1922, secara ideologi seni dianggap berbeda dengan gerakan Dada dari Tzara. Masalah mendasarnya semua bibit gerakan provokasi avant-garde sudah dimulai sejak tahun 1909 dari Manifesto Marinettis Futuristik. Pengulangan gagasan itu hanya akan melemahkan. Breton berhasil menancapkan gerakannya di puncak avant-garde. Manifesto Dada dari Tzara punya panutan yang berbeda dari Marinettis. Misal saja, sejak awal Tzara sudah mengikrarkan, “Kita tidak mengenal teori. Kita sudah punya cukup dari model akademi kubisme dan futurisme: sebagai laboratorium pemikiran yang formal. Buat saja seni untuk cari uang dan sedikit bisa memanjakan warga yang sopan.”

Manifesto Dada yang paling panjang, terkenal dan penting dari Tzara adalah yang berjumlah tujuh. Sebuah teks yang bahasanya kasar dan konyol untuk melawan teks konvensional. Semburan kata-katanya tak mengindahkan struktur baku, seperti orang bingung, rakus, namun berangkat dari gagasan-gagasan yang murni. Tentu saja untuk mengelabuhi kelompok borjuis sangat atraktif. Tapi jarang orang kagum saat itu, sebab dia telah meraub pengalaman seni dan sastra di Paris. Apalagi adanya korban dari Perang Dunia I. 

Samuel Rosenstock adalah nama asli dari Tristan Tzara. Dia dilahirkan di Moinesti, Rumania. Anak dari seorang direktur perusahaan minyak. Berkat pengaruh lirik aliran simbolisme Prancis, dia sejak SMA sudah mulai tertarik bereksperimen dengan bahasa. Tahun 1915 dia menamakan dirinya sendiri Tristan Tzara. Nama yang terkesan berseni ini dia anggap sebagai upaya kudeta puisi yang pertama kali. 

Kariernya melaju, setelah dia ikut seorang pelukis bernama Marcel Janco ke Zürich. Di Zürich Tzara sempat mendaftar kuliah di fakultas filsafat dan tinggal di sebuah penginapan di jalan Fraumünsterstrasse 21. Tak lama dia berkenalan dengan Hugo Ball di Cabaret Voltaire. Setamat membuat gerakan Dadaisme, Hugo Ball, Richard Huelsenbeck dan aktivis Dada lainnya meninggalkan Zürich. Bahkan pada tahun 1920, Hugo Ball dan Emmy Hennings secara resmi melangsungkan perkawinan. Emmy memboyong suaminya ke daerah asal kelahirannya di Sorengo, Tessin, kota di wilayah Swiss perbatasan dengan Italia. Di situ Emmy menjalin kontak lebih akrab dengan Hermann Hesse yang juga punya rumah di Tessin. 

Tzara dengan kebimbangannya, tak melihat ada pilihan lain. Dia tetap membandel. Pada akhirnya Tzara hijrah ke Paris dan meninggal tahun 1963 di Paris. 

Tzara berbeda dengan Breton. Tzara tidak pernah menjadi pucuk pimpinan ideologi gerakan seni. Tzara sebagai penulis novel, kritikus seni, anggota pemberontak, anggota partai komunis Prancis. Tzara dianggap paham seni dari suku-suku di Afrika. Ketika Tzara bertemu Lenin di Zürich, dia tak paham, siapa Lenin di depannya itu. Tzara sering dianggap rendah sebagai figur gerakan seni avant-garde Eropa antara Perang Dunia I dan II. 

Bangkitnya Kaum dAdA

Gerakan Dadaisme di Zürich lekas padam. Akan tetapi di belahan kota-kota lain di Eropa justru mulai bergelora. Tepatnya tahun 1919, di Paris, Köln, dan kota-kota lain merebak aliran ini.

Dada di Paris

Manifesto Tzara dari tahun 1918 (“Aku menulis manifesto dan aku tidak ingin, toh aku katakan beberapa hal dan prinsipnya aku menentang manifesto itu sendiri, seperti halnya aku menentang prinsip). 

André Breton dan anggota kelompok-sastra Paris “tergoda.” Tzara datang ke Paris awal tahun 1920. Dia langsung menjalin hubungan dengan Picabia, Breton, Louis Aragon (Penyair), Philippe Soupault, Georges Ribemont-Dessaignes. Termasuk berhubungan dengan kaum Dada revolusioner lain yang menggelar aksi mengagetkan umum, seperti dilakukan oleh Picabias.

Pada 23 Januari 1920 demonstrasi Dada pertama kali diperagakan di Palais des Fetes. Dari pertunjukan awal ini cukup melegakan untuk diteruskan. Sebuah makalah dari André Salmon berjudul Krisis Perubahan (La crise du change). Makalah itu berkisah tentang pengusaha kelas teri yang berhasrat mendapatkan kemudahan keuangan. Tema ini tak ada bedanya dengan membicarakan perubahan nilai sastra sejak era simbolisme. Para penonton sudah siap-siap akan pulang, namun Breton tampil di atas panggung dengan menunjukkan lukisan Picabia. (Picabia sendiri malas untuk tampil di muka umum). Setelah itu muncul pertunjukan yang sebenarnya, yakni sebuah layar gulung yang besar diturunkan disertai teriakan. Di atas terdapat tulisan “bawah,” di bawah ada tulisan “atas.” Pada panggung paling bawah ada tulisan besar sekali dengan huruf-huruf merah berupa permainan abjad cabul L.H.O.O.Q (Elle a chaud au cul). Ketika penonton mulai paham, bertalu teriakan hiruk pikuk, karena sebuah papan tulis dengan tulisan Riz au nez. Breton langsung bangkit dan menghapusnya dengan lap. Itu bukan hanya dianggap tidak seni, tapi di mata pembaca juga terganggu.

Puncak acara tampilnya Monsieur Dada dari Zürich, Tristan Tzara. Dia berpidato sebagai penutup acara. Dia juga menyitir ucapan Breton dan Aragon. Penonton bangkit, generasi muda baru membakar semangat dengan berapi-api. Seorang redaktur avant-garde berteriak, ”Kembali ke Zürich! Ke Tempat tradisi membakar kayu (Scheiterhaufen)! Dada telah cekatan mempertunjukkan, sedang penonton sudah siap dengan hati nyaman.

Dada di Köln

Usai perang, gerakan Dada asal Zürich ini menyebar. Para anggotanya bangkit lagi di beberapa kota Eropa. Meskipun tinggal nama, tapi telah menancapkan dengan kokoh kegiatan berciri Dada. 

Tahun 1919, Arp, Johannes Baargeld, dan Max Ernst muncul di kota Köln, Jerman. Arp menekankan, buah terindah dari Dada termasuk Fatagagas. Baargeld membagi-bagi pada pekerja pabrik Der Ventilator, sebuah jurnal radikal dan antipatriotik. Maklum, suasana paska Perang Dunia I di Jerman sudah mulai terjangkiti ego nasionalisme sebagai bibit Nazi. Pada masalah ini Dada punya andil besar sebagai tindakan politis. Keberhasilan pertunjukan Dada di Köln memakai tempat di Bräuhaus Winter. Tempatnya di halaman belakang rumah, menuju ke WC. Pada acara pembukaan sekelompok gadis berseragam putih seperti dalam upacara sakramen. Mereka membacakan sajak porno. Pada pintu masuk terdapat patung dari kayu karya Max Ernst dan sebuah kampak serta tulisan bernada mengajak dengan gambar menghancurkan. 

Pertunjukan lainnya dikerjakan oleh kelompok pengikut akhir aliran surealis yang punya karya sulit ditebak. Ada sebuah aquarium berisi air warna merah. Di dasar aquarium tergeletak sebuah jam beker. Sementara itu mengambang rambut pirang di air. Dari dalam air muncul sebuah tangan terbuat dari kayu. Atraksi selanjutnya, aquarium itu dipecah.

Pertunjukan ini berbuntut ke polisi. Ernst dan Baargeld ditahan polisi, dianggap berbohong, karena mereka telah menjual tiket pertunjukan seni pada masyarakat. Dan seni model Dada itu dianggap tidak termasuk seni. Ernst berargumen, ”Kami sudah menjelaskan dengan rinci, ini pertunjukan Dada. Bila penonton mencampuradukan satu sama lainnya, itu bukan kesalahan kami.”

Yang perlu dicatat khusus pada bidang sastra, mengalami perubahan yang besar. Sebelum aliran Dada lahir, para penulis cenderung lebih sopan, tertib dalam menggarap karya. Baik dalam pemilihan tema maupun bentuk tulisan. Utamanya pada ranah puisi, ditemukan istilah Puisi Keras (Lautgedichte). Sebuah corak puisi yang tidak lagi mengindahkan pakem konvensional. Isi tak dihiraukan, ungkapan keras dan tak beraturan menjadi kreasi baru. Setidaknya puisi tak beraturan itu dipicu oleh Hugo Ball dalam puisinya yang berasal dari bahasa di Afrika.

Karawane

jolifanto bambla é falli bambla
grossiga m`pfla habla horem
egiga goramen
bigo bloiko russula huju
hollake hollala
aulogo bung
blago bung
blago bung
bosso fataka
ü üü ü
schampa wullu wussu ölobo
hej tatta görem
eschige zundaba
wulubu ssudubu uluw ssudubu
tumba ba – umf
kusagauma
ba – umf

Jaap Blonk dan Muzikaret

Jaap Blonk penyair asal Belanda termasuk punya gaya Dada. Penyair yang pernah bertandang ke Indonesia ini berhasil diwawancarai oleh penulis pada 13 Desember 2002 di acara “Festival Sastra Luzern ke: 18.“

Tuan Blonk, Anda dari Belanda, bukan? dan Anda pernah juga ke Indonesia?
Dia balik bertanya.

Sudah pernah melihat pementasanku?
Belum, kapan Anda ke Indonesia?
Tahun 1995 di Erasmushaus Jakarta.
Bagaimana publik Indonesia?
O…bagus.
Anda kenal penyair-penyair Indonesia?
Waktu itu saya baca puisi bersama penyair-penyair Indonesia.
Anda kenal Rendra?
Ya, coba sebutkan yang lainnya?
Sutardji, Taufiq Ismail?
Ya, aku kenal mereka itu.
Kalau Pramoedya?
Cuma tahu namanya saja.
Anda nanti akan pentaskan “Puisi Keras.” Semacam apa itu?

Seperti suara-suara jahat.
Bisa ceritakan sejarahnya?
Sebenarnya gejala ini sudah ada sejak abad 20. Tepatnya dipelopori oleh
aliran Dadaisme di Eropa dan Futurisme di Rusia.
Anda dikenal sebagai seniman suara (Stimmkünstler), penyair keras
(Lautdichter), bisa menirukan berbagai suara, kan di Indonesia ada juga
dalang yang bisa menirukan berbagai suara pelaku wayang?
Ya, tapi dalang kan bisa menirukan dua aktor suara wayang yang berperan
baik dan buruk, kalau saya hanya suara yang buruk saja.

Berikut adalah puisi karya Jaap Blonk yang diilhami dari suara-suara musik tradisional di Indonesia dengan judul:

Muzikaret

suling gambangkayu ketuk genderpanembung bonangbarung kempyang kendangbatangan ketuk celempung bedug gongagung rebab

suling gambangkayu ketuktuk genderpanembung bonangbarung kempyang kendangbatangan ketuktuk celempung bedug gongagung rebab

suling gambangkayu ketuktuktuk genderpanembung bonangbarung kempyangpyang kendangbatangan ketuktuktuktuk celempung bedugdug gongagung rebab

suling gambangkayuayu ketuktuktuktuktuktuk genderpanembung bonangbarung arung kempyangpyangpyangpyang kendangbatangan ketuktuktuktuktuktuktuktuk celempungmpung bedugdugdug gongagung rebab

suling gambangkayuayuayuayu ketuktuktuktuktuktuktuktuktuktuk genderpanembungpanembung bonangbarungarungarungarungarung kempyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyang kendangbatanganbatangan ketuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuk celempungmpungmpungmpung bedugdugdugdugdugdug gongagungagung rebab

suling gambangkayuayuayuayuayuayuayuayu  ketuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuk genderpanembungpanembungpanembungpanembung bonangbarungarungarungarungarungarungarungarung kempyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyang-pyang kendangbatanganbatanganbatanganbatangan ketuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuk celempungmpungmpungmpungmpungmpung bedugdugdugdugdugdugdugdugdugdug gongagungagungagungagung rebab

suling gambangkayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayu ketuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuk-tuktuktuktuktuk genderpanembungpanembungpanembungpanembungpanembungpanembung

bonangbarungarungarungarungarungarungarungarungarungarungarung-arungarung kempyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyang-pyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyang kendangbatanganbatanganbatanganbatanganbatanganbatanganbatangan-batangan ketuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuk-tuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuk celempungmpungmpungmpungmpungmpungmpungmpungmpungmpung bedugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdug gongagungagungagungagungagungagung rebab

suling gambangkayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayu-ayuayu ketuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuk-tuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuk-tuk genderpanembungpanembungpanembungpanembungpanembungpanembung-panembungpanembungpanembungpanembung bonangbarungarungarungarungarungarungarungarungarungarungarung-arungarungarungarungarungarungarungarungarung kempyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyang-pyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyang-pyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyang kendangbatanganbatanganbatanganbatanganbatanganbatanganbatangan-batanganbatanganbatanganbatanganbatanganbatangan ketuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuk-tuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuk-tuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuk celempungmpungmpungmpungmpungmpungmpungmpungmpungmpung-mpungmpungmpungmpungmpungmpungmpung bedugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdug-dugdugdugdugdugdug gongagungagungagungagungagungagungagungagungagungagung rebab

suling gambangkayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayu-ayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayuayu ketuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuk-tuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuk-tuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuk-tuktuktuktuktuk genderpanembungpanembungpanembungpanembungpanembungpanembung-panembungpanembungpanembungpanembungpanembungpanembung-panembungpanembungpanembungpanembungpanembung bonangbarungarunarungarungarunarungarungarunarungarungarunarung-arungarunarungarungarunarungarungarunarungarungarunarungarung-arungarungarungarunarungarungarunarungarung kempyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyang-pyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyang-pyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyang-pyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyangpyang-pyangpyangpyangpyangpyangpyangpyang kendangbatanganbatanganbatanganbatanganbatanganbatanganbatangan-batanganbatanganbatanganbatanganbatanganbatanganbatanganbatangan-batanganbatanganbatanganbatanganbatangan ketuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuk-tuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuk-tuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuk-tuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuktuk-tuktuk celempungmpungmpungmpungmpungmpungmpungmpungmpungmpung-mpungmpungmpungmpungmpungmpungmpungmpungmpungmpungmpung-mpungmpungmpungmpungmpungmpung bedugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdug-dugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdugdug-dugdugdug gongagungagungagungagungagungagungagungagungagungagungagung-agungagungagungagungagungagung rebab

_____

*Sigit Susanto, penulis dan penerjemah buku Sastra. Tinggal di Swiss.