Seni Bangsawan di Bulan Bung Karno

Oleh: Agus Dermawan T

 

Begitu memasuki bulan Juni 2023 (yang disebut sebagai Bulan Bung Karno), Indonesian Watercolour Society (IWS) menyelenggarakan pameran The First Asians Spirit di Gedung Pakarti – Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jalan Tanah Abang, Jakarta. Pameran diikuti oleh puluhan pelukis cair air dari seluruh Indonesia, dengan didampingi karya cipta seniman Singapura, Korea Selatan, Malaysia, Hongkong, Hawaii.

Pameran yang bersubjuluk New Days Come (meminjam lagu Celine Dion, A New Day Has Come) ini memiliki beberapa keistimewaan.

Pertama : ini pameran pertama IWS sejak 30 bulan terakhir, setelah Indonesia dan dunia dilanda Covid-19. Padahal biasanya pameran diselenggarakan berkala pada setiap tahun. Sehingga pameran ini bisa disebut menandai datangnya “hari-hari baru” yang sehat.

Kedua : ini pameran besar IWS ke-30, yang semula dirancang untuk merayakan ulang tahun IWS ke-30 pada tahun 2022 kemarin. Serentang usia panjang untuk sebuah perkumpulan seni lukis. Sehingga pameran dicatat oleh pembina IWS Tossin Himawan sebagai refleksi perjalanan panjang pertemanan para pelukis cat air se Asia, yang selalu kompak selama lebih dari 3 dasa warsa.

Ketiga : pameran ini, menurut Robby Lulianto Dharma, ketua IWS, untuk menunjukkan bahwa meski dalam tekanan pandemi Covid, para pelukis cat air tak henti-hentinya berkreasi. Buktinya, beratus-ratus lukisan tercipta, walau selama 3 tahun mereka tidak tahu kapan bisa menghadirkan lukisan itu ke masyarakatnya.

Suasana dalam ruang pameran lukisan cat air The First Asians Spirit-New Days Come, di Gedung Pakarti, Jalan Tanah Abang, Jakarta

Memang, meski terkategori sebagai medium klasik dan kuno, cat air selalu memiliki daya pikat untuk dikerjakan dan disimak. Jusuf Wanandi (politikus cum pengerak seni rupa) yang membuka pameran ini mengatakan : Daya pikat lukisan cat air adalah lantaran visualnya acapkali menyimpan misteri, dan sering memberikan kejutan. Seperti politik, seni lukis cat air selalu dirancang seksama. Tapi pada tahap selanjutnya memunculkan hal-hal tak terduga, yang dinamai nuansa. Kejutan “politis” artistik nuansa ini menyebabkan lukisan cat air jadi punya nilai khusus.

Kekhususan yang dimaksud bisa terbaca di antara 100 lukisan yang dipamerkan. Pada lukisan Alice Arianto, Irwan Widjajanto, Rio Novtriansyah, Galuh Tajimalela, Yoyo Hartanto, Huang Fong, Siunandar Djaja, JB Iwan Sulistyo, Harlim, Corry Harisyahatullaely, Lies Darja dan sebagainya. Atau pada karya pelukis asing Chan Yat Chun dan Htaay Win dari Singapura, Chang Fee Ming Malaysia, serta Wen Peor dari Hongkong.

Lukisan cat air Corry Harisyahatullaely, “Rindu Rendra”

 

Lukisan cat air Made Sutarjaya, “Ekspresi Tiga Penari”

Cat air dan Bung Karno

Bahwa lukisan cat air adalah seni yang mempunyai aura estetik mempesona, berbagai realitas telah membuktikan pada jauh hari.

Pada lebih dari 60 tahun silam Bung Karno (Presiden Sukarno) membaca secarik kertas yang menyertai lukisan koleksinya, karya Sir William Russel Flint (1880-1969). Kertas itu bertuliskan demikian :

“With watercolours you don’t have to search, because you will find. The problem is, how do you feel that you have found something that was not sought.” (“Dengan cat air engkau tidak perlu mencari, karena engkau akan menemukan. Masalahnya, bagaimana engkau merasa menemukan sesuatu yang tidak dicari-cari itu.”

Sebagaimana diceritakan Lim Wasim (Pelukis Istana Presiden 1961-1967), Bung Karno terpana membaca dalil penciptaan tersebut. Sehingga selanjutnya ia semakin menjunjung lukisan cat air karya Flint, yang digubah hanya dengan basuhan cat tipis, dengan warna tidak mencolok mata.

Maka dalam jajaran koleksi Bung Karno yang didominasi lukisan cat minyak, kemunculan karya cat air Flint menjadi aksen. Dan sekaligus menjadi pertanda bahwa seni lukis cat air, meski dianggap minoritas dalam jajaran koleksinya, tetap menyandang ketinggian eksistensi. Kini lukisan kecil Flint terpajang anggun di Museum (lukisan) Istana Kepresidenan Cipanas.

Cinta Bung Karno terhadap lukisan cat air memang begitu lekat. Apalagi ketika mengingat bahwa sejarah kesenilukisan Bung Karno (yang singkat) juga dimonumeni cat air. Ketika ia “intens” menjadi pelukis pada 1926-1936, yang dikerjakan adalah lukisan cat air. “Bukannya lantaran aku tidak punya olieverf dan doek, tapi karena aku memang menyukai waterverf,” katanya. Dan itu ia buktikan lewat lukisan ciptaannya, “Pantai Flores”, “Pemandangan Pohon” dan “Kampung Ambugaga, Ende”. Cat air jadi bagian dari referensi kesenilukisan Sukarno. Dan itu terus ia bawa dari era ke era.

Pada zaman Jepang ia mendirikan Poetera (Poesat Tenaga Rakjat) yang di dalamnya ada bagian lukisan. Dalam seksi ini ia meminta kepada Surono dan Abdul Salam untuk mengajarkan teknik melukis cat air. Begitu juga ketika Poetera dibubarkan dan diganti Keimin Bunka Sidhoso. Ia mengharap Saseo Ono, Yoshioka dan kawan-kawannya yang menjadi pelatih seni lukis, meneguhkan seni lukis cat air.

Penjagaan atas cat air ini juga didorong oleh realitas bahwa art material pada waktu itu mulai dibanjiri oleh cat minyak, sebagai dampak dari akuisisi Sangyobu (Departemen Perusahaan, Industri dan Kerajinan Tangan Jepang) atas pabrik cat minyak P.A.R yang semula milik Belanda. Sangyobu adalah penyuplai material (cat minyak) kepada para seniman Indonesia.

Lukisan cat air Httaay Win (Singapura), “Way back home”

Lukisan cat air Lies Darja, “Be Happy”

Cat air kaisar, Hitler, sampai Carter

Lee Man Fong (Pelukis Istana Presiden Sukarno 1961-1965), mengatakan bahwa Bung Karno mempercayai bahwa lukisan cat air adalah manifestasi utama para pelukis cerdik cendekia. Sehingga seni lukis cat air terduduk sebagai karya seni para bangsawan. Setidaknya apabila mengacu kepada karya pelukis Tiongkok kuno, yang kebanyakan tercatat sebagai filsuf dan tangan kanan raja.

Simak nama pelukis Li Shixun yang tak lain seorang jenderal besar dinasti Tang (abad 7 sampai abad 10). Pelukis Huizong, yang “ternyata” seorang kaisar pada era Dinasti Song (abad 10 sampai abad 13). Pelukis Gu Jianlong di abad 17, yang merupakan penasehat kerajaan dan sekaligus pelukis potret Istana Raja. Mereka mempercayai estetika cat air adalah  medium ekspresinya. Meski pada saat itu cat liat berkarakter tempera sudah ada.

Kepercayaan Bung Karno semakin kuat ketika sejarah seni lukis yang dikerjakan para pemimpin negara abad 20 juga menegaskan itu.

Adolf Hitler, kanselir Jerman dan panglima Nazi, adalah contoh menarik. Syahdan Hitler muda mendaftar ke sekolah seni di Wina. Setelah diuji melukis cat minyak, ia gagal. Pada tahun kemudian ia mendaftar lagi, melukis cat minyak lagi, dan gagal lagi. Ia pun ditolak di perguruan seni. Dalam kejengkelannya ia mulai berkarya sesuai dengan kata hati : melukis dengan cat air di atas kertas selebar kartu pos, seperti yang sebelumnya ia lakukan. Hasilnya mengejutkan.

Dari tinjauan seni rupa, lukisan cat air Hitler termasuk schon fur die Augen (indah di penglihatan). Bahkan ada beberapa yang sangat bagus, seperti “Istana Neuschwanstein (1914). Juga lukisan tahun sebelumnya, “Halaman Rumah Tua di Munchen”.

Hitler banyak merekam suasana lingkungan dengan gedung-gedung megah-indah lewat medium pinsil dan cat air. Ia teliti dalam mengatur warna, perspektif dan gelap-terang. Yang tersaji di kertasnya selalu basuhan cat air yang mengesankan kelembutan. Sungguh berbeda dengan peringai politik holocaustnya yang keji gila-gilaan! Ada yang berpikir : seandainya Hitler tetap berada dalam genangan, basuhan dan duselan cat air, ia tidak akan jadi algojo Perang Dunia.

Perdana Menteri Inggris Winston Churchill juga dikenal sebagai pelukis. Karyanya yang terbuat dari cat air terbilang bagus, dan disebut-sebut melebihi keindahan lukisan cat minyaknya. Lukisan cat air Churchill adalah perekam pandangan pertama. Dan pandangan pertama itu adalah tatapan kemurnian dengan sepenuhnya keterpesonaan.

Sejumlah museum penting dunia mengoleksi karya Churchill. Auction house ternama tak henti memburu lukisannya untuk dilelang, karena karya komandan kemenangan pasukan Sekutu dalam perang Dunkirk ini dianggap magnit pembicaraan dan sekaligus mendatangkan uang. Salah satu lukisan terkenalnya adalah “Tower of the Koutoubia Mosque”, yang menggambarkan masjid antik peninggalan abad 12 di Marrakesh, Maroko. Pada Maret 2021 lukisan yang pernah dimiliki Brad Pitt dan Angelina Jolie itu dilelang Christie’s London, dan terjual 8,2 juta pound, alias sekitar Rp164 milyar. Yang harus diingat, lukisan cat minyak itu juga digubah dengan cat air di atas kertas. Kini banyak yang mencari, di mana lukisan menara Masjid Koutoubia karya Churchill yang versi cat air?

Memasuki tahun 2000 Jimmy Carter aktif melukis. Mediumnya cat air. Karya presiden AS ke-39 ini pernah terjual 250.000 dolar. Bahkan ada lukisannya yang terbeli di atas 1 juta dolar dalam lelang amal. Pulasan-pulasan Carter terbilang halus, ringan, damai dan menawarkan nuansa bening, bagai karakter politiknya.

Seperti tak mau kalah, Vladimir Putin, presiden Rusia yang sedang galak itu, juga unjuk lukisan. Presiden jagoan judo ini diduga gemar melukis dengan medium cat air, berkait dengan kesukaannya mengunjungi museum seni. Tapi dugaan itu terus berputar seperti teka-teki. Sampai akhirnya tandatanya itu terpecahkan ketika selembar lukisannya yang berobyek hujan salju dari balik jendela, diikutkan lelang amal bagi Rumah Sakit St Petersburg di Moskow, dan laku 1,1 juta dolar! Selain lukisan itu, diduga ada sejumlah lukisan cat air Putin yang masih disimpan sebagai koleksi pribadi.

Pada 2021 lalu Presiden Amerika Serikat ke-43, George W. Bush, menerbitkan buku karya seni lukisnya. Ada dua buku sekaligus yang dirilis. Yang pertama adalah Portraits of Courage : A Commander in Chief’s Tribute to America’s Warriors. Yang kedua adalah buku Out of Many, One – Portraits of America’s Immigrants.

Bush melukis dengan cat minyak, dan ia sengaja menghindari melukis dengan cat air. Sejumlah pengamat menduga Bush menghindari cat air lantaran tak ingin terjebak kesulitan, dan tak ingin lukisannya menghadirkan “keindahan”. Sama dengan sikap politiknya hiruk-pikuk, marah-marah, agresif dan pragmatis.

IWS yang gigih

Menyimak pertenggeran seni lukis cat air di kalangan elit, nyata bahwa lukisan cat air berposisi agung sebagai lukisan bangsawan. Meskipun kebangsawanan itu selalu direduksi atau dipotong harkatnya di banyak sisi. Di antaranya oleh akademi seni modern yang sebagian besarnya  menegakkan seni lukis cat minyak sebagai primadona, dengan memposisikan seni lukis cat air sebagai fase tahap studi belaka.

Meski sejumlah pelukis ternama – Rusli, Kartono Yudhokusumo, Srihadi Soedarsono, Ipe Ma’aruf, Oesman Effendi, Lie Tjoen Tjay, Koentjaraningrat, Mochtar Lubis – sudah melawan dengan tiada lelahnya.

Perkumpulan IWS, yang berafiliasi dengan AWS (Asian Watercolour Society) termasuk yang gigih melawan pereduksian itu. Caranya adalah dengan melakukan glorifikasi (pengagungan) lewat berbagai pameran berkala. Selama lebih dari 30 tahun IWS menyosialisikan kelebihan estetika cat air ke segala lapisan, dengan tetap membawa keanggunan sebagai seni bangsawan. Usaha IWS menampakkan hasilnya. Sehingga seni lukis cat air tetap menghadirkan eksistensi, pesona, dengan segala kekhasannya.

Melihat perjuangan ini, apalagi dilaksanakan bulan Juni, pastilah Bung Karno bahagia berseri-seri.*

 

*Penulis merupakan seorang pengamat seni rupa serta penulis buku-buku budaya dan seni. Juri Anugerah Kebudayaan Bupati dan Walikota Indonesia versi PWI Pusat 2020, 2021, 2022, 2023. Narasumber ahli koleksi benda seni Istana Presiden.