Oswalds Fest di kota Zug

Ritual Slametan dan Lagu Indonesia Di Gassenfest, Zug, Switzerland

Sigit Susanto

Sigit Susanto

Oleh Sigit Susanto

Zug, Sabtu, 25 September 2021 kabut memayung di pinggiran kota. Namun di tengah kota, khususnya pada Gang Oswald ditutup dengan palang besi di setiap ujungnya.

Warga kota Zug sedang menikmati pesta jalanan dengan tajuk Oswalds Fest. Pesta yang mengambil tempat sepanjang Gang Oswald ini sempat tertunda tahun kemarin 2020, karena pandemi corona, sehingga warga untuk berkumpul di tempat terbukapun dilarang. Saat ini kerumunan di luar ruangan dibebaskan, namun kerumunan di dalam ruangan harus memakai masker.

Jalan Ditutup Palang Besi. (Sumber foto: Sigit Susanto)

Yang unik semua gedung yang berada di sepanjang Gang Oswald ini diwajibkan membuka pintu, sehingga warga diperbolehkan masuk melihat apa isi di dalam ruangan gedung-gedung itu.

Kios-kios yang menjual kue dan buku-buku. (Sumber foto: Sigit Susanto)

Di mulai dari gedung perpustakaan berhadapan dengan gedung Dokumentasi Zug, museum Afrika, gereja Kirschgemeinde, toko buku Susanne Giger, kantor JAZ (Jugend Animation Zug), kafe, penjahit, salon rambut, theater burgbachkeller, hingga melebar sampai ke Kunst Haus, sebuah gedung seni yang terletak di Dorfstrasse. 27 yang tak jauh dari Gang Oswald.

Selain gedung-gedung itu membuka pintu, di sepanjang Gang Oswald digelar berbagai kegiatan, dari pasar loak buku, kedai Paella (nasi kuning khas Spanyol), penjual kue hingga murid sekolah menjual hot dog.

Sebuah pesta yang memamerkan kuliner, tak lengkap jika tanpa musik. Di depan musium Afrika pentas musik digelar di tepi gang. Sebuah grup musik lain berada di depan perpustakaan dan depan sekolah.

Sebuah pertunjukan musik pada Oswalds Fest (Sumber foto: Sigit Susanto)

Pesta Jalanan ini dimulai dari pukul 11.00 hingga pukul 17.00. Para hadirin tidak hanya bisa berjalan-jalan melihat atraksi seni, mencicipi kuliner, mendengarkan musik, maupun mendengarkan pembacaan berbagai cerita, namun ada atraksi menggambar dan bermain untuk anak-anak.

Ritual Slametan dan Lagu Indonesia

Writers Klub merupakan sebuah wadah para perantau asing di kota Zug yang gemar menulis. Wadah ini didirikan oleh 3 orang, Alfredo dari Peru, Ilir dari Macedonia dan saya. Adapun anggotanya dari beberapa negara, antara lain dari Turki, Yunani, Ethiopia, Afghanistan, Peru, Tibet, Indonesia, Macedonia, Belanda, Belgia, dan Irlandia.

Writers Klub

Hadirin mendengarkan pembacaan cerita dari Writers Klub (1). (Sumber foto: Sigit Susanto)

Writers Klub

Hadirin mendengarkan pembacaan cerita dari Writers Klub (1). (Sumber foto: Sigit Susanto)

Pada acara Pesta Jalanan ini kami mendapat kesempatan membacakan karya dalam bahasa Jerman dengan tema Pesta Jalanan. Untuk itu sebulan sebelumnya kami sudah mulai menuliskan kisah yang terkait jalanan di negeri masing-masing.

Selman, bangsa Kurdi dari Turki menuliskan cerita dari neneknya bahwa dulu bangsa Armenia banyak dibantai di jalanan desanya dan sampai ke makamnya masih ada. Alfredo asal Peru menuliskan kisah masa kecilnya dengan anjing kesayangan bernama Nero yang ditakuti warga di jalan tempat ia tinggal. Moradi asal Afghanistan bercerita tentang jalanan yang melankolis di negerinya disertai gadis yang sulit dilupakan. Saya menulis tentang ritual slametan di Kampung Pule, tempatku tinggal di Boja, Kendal, dimana warga setahun sekali membawa makanan di atas penampang dengan alas daun pisang di jalan kecil pinggir kali Pule dan makan bersama-sama, setelah itu makanan saling ditukar dan dibawa pulang.

Untuk melengkapi acara pembacaan cerita itu, saya sudah dipesan oleh panitia untuk menggoreng Bala-Bala (bakwan dalam bahasa Sunda) dilengkapi teh jahe. Dan Bala-bala ini cukup dikenal di wadah kami, mengingat tiap pertemuan bulanan saya selalu membuatnya untuk sajian sekaligus memperkenalkan kuliner bangsa Indonesia.

Bagi orang Swiss mudah sekali mengingat nama Bala-Bala, karena dalam bahasa Jerman juga ada sebutan Bala-Bala, namun beda arti. Dalam bahasa Jerman Bala-Bala artinya mabuk atau menjadi pusing.

Sesuai jadwal acara pembacaan cerita bertema jalan dimulai pukul 13.30 hingga 14.15 di depan gedung sekolah. Tertera dalam flyer:

Meet and Greet mit Writers Klub: Geschichten, Ingwertee und Indonesische Zauberbällchen.

Sebelum empat penulis membacakan cerita mereka, Rosidi, musikus asal Indra Mayu membuka dengan lagu Reggae Bob Marley berjudul No Woman No Cry. Pada acara penutup ia menyanyikan lagu bahasa Indonesia ciptaan sendiri berjudul Damai Itu Indah.

Usai acara tepuk tangan dari penonton riuh. Mereka berdiri sambil mencicipi Bala-Bala dan teh jahe yang sudah disiapkan di atas meja. Edi Schuler, warga Zug yang sudah beruban ini sejak awal sudah menyaksikan pembacaan karya teman-teman mengatakan, ia merasa mendapat perspektif baru tentang Pesta Jalanan di negara-negara lain. Adapun kesannya secara umum, bahwa Pesta Jalanan ini cukup menjadi hiburan bagi seluruh warga baik muda dan tua dan selalu ditunggu-tunggu.

Moradi lekas berkemas-kemas meninggalkan tempat, karena ia hendak pergi ke Zürich bergabung dalam demonstrasi dengan teman-temannya Afghanistan yang menentang hak-hak perempuan di negerinya yang sedang bergejolak.

Langit Zug masih bertahan terang hingga pukul 19.00. Setelah gumpalan awan hitam membungkus matahari yang hendak jatuh ke bumi, rintik-rintik hujan mulai berjatuhan.

*Penulis tinggal di Zug, Switzerland sejak tahun 1996.