Memperingati Hari Buku 17 Mei: Eks Kombatan Teroris sebagai Jihadis Literasi

Oleh Soffa Ihsan

Sebuah rumah di bilangan Jakarta Selatan itu laiknya sebuah rumah hunian biasa. Suasana cukup asri dengan pohon dan tanaman yang rindang di sekitar rumah, membuat terasa  adhem. Rumah yang berada dalam komplek perumahan itu sesungguhnya adalah sebuah ‘markas’. Ya tempat kumpul bagi mereka yang fokus bergerak di aktivitas deradikalisme dan gerakan penyadaran bahaya terorisme. Rumah itu sehari-hari menjadi tempat berdiskusi para peneliti, pegiat dan juga eks napiter (narapidana teroris) yang tergabung dalam komunitas: Rumah Daulat Buku atau yang disingkat Rudalku..

Bagi siapa yang masuk halaman rumah, sontak akan segera menatap di tembok atas garasi terpampang plang kayu bertuliskan: “Jihadis, Literasi, Library, Gallery”.  Mata bisa langsung  bergerak ingin tahu melihat-lihat ‘isi” halaman  markas. Ada sebuah meja payung. Di meja payung yang berdempet dengan pagar itu, ada beberapa foto-foto dan hiasan kayu terpajang. Di tembok sekitar juga tertempel foto-foto dan klipingan resensi buku yang ditaruh di bingkai rapi. Ada juga gitar listrik yang dipajang beserta soundnya. Sepeda lawas disandarkan di batang pohon, sangkar burung dan beberapa manik-manik tergantung  terasa sebuah ‘seni instalasi’. Ada lagi piringan hitam yang digantungkan berjejer. Begitu masuk ruang tamu, lemari berjejer berisikan buku-buku. Kanan kiri rak dengan buku berjejer rapi. Ada juga kamar tersendiri yang juga dipenuhi buku-buku.

Garasi dijadikan galeri dan tempat untuk kegiatan Komunitas Rumah Daulat Buku (Rudalku). Banyak tempelan foto dan kliping media menghiasi tembok garasi. Beragam isinya. Ada foto-foto kegiatan Rudalku, artikel media cetak mengenai literasi, buku-buku yang ditata di rak gantung dan juga postingan berbagai media yang mengangkat para pegiat literasi. Komunitas Rumah Daulat Buku sudah kurang lebih lima tahun menjadikan rumah yang terletak di kawasan Jakarta Selatan itu sebagai markas. Mereka bergerak secara underground  (tandzim sirri). Tujuan komunitas ini adalah memberikan kepada mereka yang pernah terjerembab pidana terorisme suatu  wawasan kemanusian humanis yang anti kekerasan. Melalui amunisi literasi mereka berusaha mencairkan ‘idiologi karatan’ para eks napiter.

Melawan Kepicikan

Membangun peradaban berbasis pengetahuan tampaknya saat ini menjadi kebutuhan yang mendesak. Fakta kian menguatnya ekstrimisme dengan variannya seperti intoleransi dan narasi kebencian telah memicu keprihatinan sekaligus memacu kepedulian untuk bergerak kembali pada penguatan keilmuan dan literasi.

Sungguh fakta yang menggiriskan saat ini. Berita-berita yang belum jelas kebenarannya alias hoax atau pula fake news yang diposting seketika secara kalap dikomentari tanpa refleksi kritis dan tabayun. Ironisnya pula, tak sedikit kalangan khalayak umum bisa ‘mendadak jihadis’ dalam menyikapi berita-berita simpang siur tersebut. Hujatan dan cacimaki menghambur terhadap mereka yang berbeda pandang.

Kita pun kerap dihadapkan pada fakta yang membalik-balik logika mapan.  Kisah suami istri yang merelakan tubuhnya meledak di  depan gereja di Makasar. Ataupun jauh sebelumnya  satu keluarga yang bersedia melakukan aksi bom bunuh diri di gereja di Surabaya. Semuanya adalah sederet cerita tentang tindakan melawan akal sehat, membuat kita terus mengaduk-aduk pikir sembari mencari jalan terbaik untuk deradikalisasi dan pencegahan dari paham radikal. Ternyata kita juga tidak lantas boleh ‘kalap’ dengan melakukan kegiatan deradikalisasi dan pencegahan radikal secara masif yang akhirnya tampak bersifat ‘seremonial’ dan ‘selebrasi’.

Dari segebung fakta ini, tampaknya teroris perlu dilihat sebagai sesuatu yang organik, dia akan berubah sesuai kondisinya. Eksistensi terorisme dalam kehidupan hubungan antar umat manusia berlangsung layaknya unslaying hydra (hewan imajiner Yunani yang tak pernah mati) atau Candabirawa (jin/raksasa milik Raden Narasoma dalam cerita wayang yang patah tumbuh hilang berganti).

Tak pelak, ekstrimisme telah menjadi ancaman serius bagi negeri kita. Penyakit ini bisa menjangkiti siapapun yang lalu menumbuhkan sikap keberagamaan simbolik yang kering dari penghayatan spiritual. Ikhtiar yang perlu dikedepankan, tampaknya perlu kembali membudayakan ‘tradisi ilmiah’. Paham intoleran dan radikal terus bergerak senyap dan masif, karena sebagian kita memberi ruang. Tradisi inilah yang melahirkan peradaban yang luhur dalam sejarah pergulatan umat manusia membangun dunia kehidupan, kendati harus bertarung dengan segala bentuk kepicikan dan dogmatisme.

Menangani  Eks Napiter secara Bottom Up

Pola paham radikal memang terbukti semakin menemukan momentumnya ketika tehnologi informasi seperti media internet menjadi alat komunikasi populer ditengah masyarakat. Melalui internet, kelompok radikal bisa menebarkan pahamnya. Masyarakat menjadi terpolarisasi. Dan ‘sel-sel tidur’ radikal pun terbangun lalu menebar amarah.

Bagaimana dengan eks napiter? Ya, menangani persoalan eks napiter menjadi masalah besar bagi penanggulangan terorisme di Indonesia. Eks napiter adalah individu yang dulunya terlibat dalam aksi terorisme, tertangkap dan mendapatkan vonis penjara, hingga menghirup kebebasan dan kembali bermasyarakat. Namun, kembalinya mereka ke masyarakat bukan berarti tanpa risiko. Salah satu risiko yang sangat penting adalah keyakinan akan ideologi radikal yang tertanam sejak berada di jaringannya. Akibatnya, eks napiter menjadi rentan untuk kembali bergabung dengan kelompok teroris, hingga melakukan aksi serupa. Selain ideologi, stigma yang terdapat di masyarakat juga menjadi tantangan besar bagi eks napiter. Sehingga, diperlukan kerjasama sinergis dalam upaya deradikalisasi yang melibatkan banyak pihak, termasuk masyarakat.

Foto giat literasi di ruma istri napiter di Bandung

Harus diakui, eks napiter tergolong kelompok yang masih rentan dengan persebaran informasi di dunia maya. Indoktrinasi dari mentornya saat mereka masuk jaringan radikal tidak sertamerta hilang begitu saja kendati mereka sudah menjalani hukuman di penjara. Mereka masih kuat isi kepalanya dari doktrin radikal sehingga akan mudah ‘membara’ bila membaca tulisan-tulisan di internet yang menyeru pada radikalisme. Bacaan yang beraroma radikal baik melalui internet maupun buku-buku radikal bisa menjadi ‘pengingat kembali’ pikiran radikalnya. Lagi-lagi, ini bukti betapa sangat minimnya mereka membaca. Sehingga yang muncul lebih pada ‘emosi’ tanpa didasari penalaran yang ilmiah, mendalam dan kritis.

Demikianlah, fakta ini kian menyadarkan bahwa ideologi—menyitir Ranya Ahmed (2018)–memiliki pengaruh yang kuat yang dapat menjelaskan tindakan individu dan kelompok. Terpatri diktum “ideologi menetapkan siapa musuh”. Ideologi memiliki pembenaran panjang untuk tindakan politis. Pandangan dunia memiliki keputusan, dan tindakan yang dipandu baik dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan.

Ideologi adalah kumpulan keyakinan terkoordinasi tentang bagaimana hal-hal itu versus bagaimana mereka seharusnya dari sudut pandang kelompok, atau kategori orang. Ideologi mengacu pada tujuan kolektivis daripada individualis yang mengatur kesejahteraan kelompok di atas kesejahteraan pribadi individu. Ini sangat kontras dengan egoisme, hedonisme, atau keserakahan. Orang mungkin termotivasi untuk membunuh demi keserakahan, bahkan mempertaruhkan nyawa seseorang atau kebebasan pribadi untuk keserakahan, tetapi seseorang tidak akan melakukan bunuh diri karena keserakahan. Orang akan melakukannya untuk alasan-alasan ideologis (Kruglanski, 2014).

Postur pencegahan radikalisme sepanjang ini yang terbesut dalam tiga model yaitu kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi dan deradikalisasi belum terlihat secara maksimal. Pelibatan masyarakat untuk dikancah ini menjadi sangat penting. Nah, itulah sebabnya menandingi laju ekstremisme ini, kita butuh gerakan literasi sebagai bagian dari upaya deradikalisasi. Penanggulangan ekstrimisme yang sukses—mengutip hasil penelitian Ian Chalmers dalam Countering Violent Extremism in Indonesia (2017)–lebih mungkin penekanan ditempatkan pada tindakan berbasis masyarakat. Masyarakat lebih ‘bertaring’ dibanding aparat atau instansi pemerintah.

Kalangan civil society terbukti melakukan serangkaian aktivitas yang belum atau tidak dilakukan negara dalam kaitannya sebagai institusi yang melayani kepentingan masyarakat luas atau paling tidak menjadi wacana alternatif di luar aparatur birokrasi negara dalam menjalankan program deradikalisasi. Dalam konteks perkembangan global, regional dan nasional saat ini dan masa depan, peran civil society atau Masyarakat Sipil Indonesia (MSI) semakin diakui dan nyata. Apalagi dengan semakin berperan apa yang dikenal sebagai aktor non negara yang bisa saja memiliki kekuatan yang dapat menyaingi kekuatan negara (Hikam, 2016).

Deradikalisasi yang dilakukan oleh kekuatan masyarakat lebih mudah mendekati eks jihadis dan kalangan terpapar radikal, kemudian mengajak mereka berkawan selanjutnya melakukan kegiatan yang bermanfaat. Karenanya, deradikalisasi tak sekedar dilakukan ‘sekali pukul’, lalu kembali senyap. Seperti halnya para eks napiter sejatinya mereka hanya berhenti sejenak, dan ketika ada hal-hal yang memungkinkan mereka terjun, maka tak mustahil mudah dilakukan.

Sejauh ini, berbagai program deradikalisasi dilakukan lebih pada kebijakan top down. Kebijakan dari pemerintah atau lembaga-lembaga terkait lebih tampak dilaksanakan secara imperatif. Sementara, program yang bersifat bottom up belum terlalu banyak diwujudkan. Terutama juga program yang diinisiasi oleh para mantan napiter sendiri.

Sebuah Pertemuan di Palembang 

Awal September 2017, saya blusukan di sebuah desa di Palembang. Namanya desa Bumiarjo perbatasan dengan Mesuji. Sekitar 5 jaman ditempuh dengan naik kendaraan dari Palembang kota. Di desa itu,  bertemu dengan seorang eks napiter ‘gaek’ yang asli Palembang. Dia eks napiter dari jaringan Jamaah Islamiyah (JI) yang terlibat dalam beberapa kasus teror di Palembang dan sekitarnya.

Hendra, sebut saja begitu, hidup di sebuah rumah sederhana di desa Bumiarjo. Dia tinggal bersama istri dan kedua anaknya. Sehari-harinya, dia bekerja sebagai petani karet. Rumahnya yang begitu pelosok sekitarnya dirimbuni oleh ilalang dan perkebunan karet. Di situ, saya sempat menginap semalam. Dalam obrolan yang mengasyikkan dalam suasana sunyi malam, tibalah saya menawarkan untuk mendirikan Rudalku. Tadinya saya agak canggung dan ragu apakah Hendra bersedia atau tidak. Ditempat yang terpencil seperti ini, ditambah kehidupan ekonomi Hendra yang pas-pasan, apakah mungkin mau-maunya bergerak di bidang literasi yang tampak tidak ‘nendang’ untuk menunjang kehidupan ekonominya. Tak dinyana, sambutan Hendra diluar dugaan. Hendra responsif dan menyatakan siap mendirikan Rudalku. Hendra mengungkapkan sebenarnya dia suka baca buku, cuma karena keterbatasan akses, dia tak banyak bisa mewujudkan.

Sepulang dari Palembang, saya mengirim paket buku dan banner ke Hendra. Begitu buku tiba di rumah Hendra, beberapa hari kemudian Hendra mengirim foto lewat Whatsapp. Di foto itu terlihat Hendra bersama anak-anak kecil sekitar rumahnya tengah berkumpul dan membaca. Saya sempat meneteskan air mata, rasanya haru banget melihat foto itu.

Foto giat literasi di rumah Eks napiter di desa Bumiarjo Palembang

Berawal dari Palembang itu, Rudalku bergerak. Selanjutnya, dua ikhwan lain dari Palembang ikut bergabung di Rudalku. Keduanya sama-sama eks napiter dan satu jaringan dengan Hendra di Jamaah Islamiyah (JI). Mereka dalam satu kesempatan ke Jakarta mampir ke markas Rudalku. Dari pertemuan yang dilanjut di Jakarta itu, komitmen untuk berjejaring dengan Rudalku semakin menguat.

Layar perjuangan terus terkembang. Rudalku secara mandiri dan mengendap-ngendap terus berusaha mendekati para eks napiter. Perlu kesabaran dan ketelatenan mengajak mereka yang dulunya tidak pernah bersentuhan dengan dunia literasi. Beruntung, saya banyak berkawan dengan eks napiter dari berbagai daerah. Perlahan tapi pasti, terbukalah ‘kran’ jaringan para ikhwan untuk diajak ke Rudalku. Hingga awal 2021, terbentuk 35 Rudalku yang tersebar di  Jabodetabek, Medan, Palembang, Padang, Bandung, Cirebon, Kerawang, Tasikmalaya, Semarang dan Solo. Dari jumlah ini ada 10 akhwat yaitu istri napiter yang suaminya masih mendekam di Lapas. Pengembangan sayap rudalku akan terus berjalan mengingat masih banyak sekali eks napiter yang ada saat ini dan berada di berbagai daerah.

Gerakan Perpustakaan dan Taman Baca  bagi Napi Eks Teroris  

Pendirian Rudalku adalah keterpanggilan untuk ikut menggalakkan literasi yang di negeri ini terhitung masih minim. Banyak kalangan yang berteriak-teriak pentingnya literasi untuk menciptakan generasi yang cerdas. Nyatanya, masyarakat umumnya lebih senang beli gadget daripada beli buku.

Upaya deradikalisasi selama ini belum merambah pada literasi untuk eks napiter. Gerakan literasi yang ada lebih banyak menyasar pada masyarakat umum dalam rangka pencegahan radikalisme seperti melalui pelatihan anti hoax atau mengelola medsos yang sehat.

Komunitas pecinta buku dan taman bacaan memang sudah cukup bertumbuh di berbagai daerah. Ini tentu menjadi fakta yang menggembirakan. Hanya saja, komunitas buku yang terbentuk hampir semunya tidak menjamah para eks napiter. Artinya, para eks napiter belum diposisikan sebagai figur yang mampu mengelola taman baca. Mereka belum dipandang sebagai insan-insan yang bisa dirubah haluannya dari ‘jihadis teror’ ke ‘jihadis literasi’ sebagai rintisan mewujudkan ‘jihad baru’.

Bagi Rudalku ini menjadi tantangan yang ‘sedap-sedap asyik’. Tak apalah, pengalaman malang melintang sampai ke pelosok-pelosok untuk bersapa dengan para kombatan dan dalam rangka penelitian soal radikalisme dan terorisme, tantangan ini justru lebih mamacu ghirah untuk mewujudkan sesuatu yang berguna.

Ya, Rudalku  punya konsep sederhana, dengan berbasis rumah dan kembali ke buku cetak. Rumah bukan hanya tempat istirahat atau bertemu keluarga saja, tetapi rumah bisa diberdayakan menjadi wahana untuk kegiatan yang kreatif dan bermanfaat bagi sesama. Rumah mereka bisa dijadikan sebagai perpustakaan dan kemudian menjadikan rumahnya sebagai Taman Baca Masyarakat (TBM) dengan mengajak warga sekitar, tetangga dan handai taulan mereka khususnya anak-anak dan remaja menjadi pegiat, pengunjung dan peserta. Rudalku kerap menyampaikan pada ‘ikhwan Rudaller’ bahwa rumah tanpa buku ibarat tubuh tanpa roh. Dalam giat bersama pengelola Rudalku, mereka diminta untuk mengumpulkan anak-anak dan remaja sekitar rumah mereka sebanyak 10 hingga 20. Lalu diisi dengan kegiatan literasi seperti dorongan gemar membaca dan diselipi dengan penanaman pemahaman keagamaan moderat dan kebangsaan.

Untuk mendirikan Rudalku tidak perlu buat tempat khusus yang hanya akan memakan biaya besar. Rumah bisa dijadikan tempat yang cocok untuk taman baca dan membangun kreasi serta ikhtiar yang bermanfaat secara nyata bagi penghuninya dan masyarakat sekitarnya. Rudalku dikelola dengan sistem Usroh, yaitu keluarga inti suami, istri dan anak-anak. Mereka terlibat dalam pengelolaan dan pengembangan Rudalku sebagai taman baca bagi warga sekitar.

Begitupun, perlu kembali ke buku cetak karena membaca berarti dihadapan buku nyata bukan maya lewat internet saja. Ini sekaligus upaya untuk meredam radikalisme dan ekstremisme yang saat ini tidak sedikit orang khususnya anak muda menjadi ekstrem karena lebih banyak membaca internet. Dengan membaca buku cetak, orang akan ‘dipaksa’  untuk menyelesaikan bacaannya, tidak meloncat-loncat laiknya baca medsos. Ada pendalaman dan pengendapan bila baca buku cetak. Dengan pendalaman, maka akan terhindar dari berpikir yang cekak yang bisa memantik ekstrim.

“Tidak perlulah pakai bom panci, atau pistol atau apalah. Sekarang, langsung pakai rudal yang menghasilkan kebaikan. Rudal pakai buku. Kalau sedang Whatsapp-an di grup Rudalku, kami suka bilang, ayo kita rudal buku di sana,” kata-kata yang juga kerap dilontarkan penggiat Rudalku pada  ‘Ikhwan Rudaller’.

Foto giat literasi di rumah eks napiter di Cilodong Depok

Pendekatan  literasi ini dilakukan secara komprehensif, tidak hanya bagi-bagi buku tanpa ada kegiatan lanjutannya. Tagline yang diusung “Banyak Baca jadi terbuka, Banyak Bacaan Jadi Toleran’. Kegiatan lain dalam program literasi  Rudalku ini dengan menyelenggarakan pengajian secara tatap muka melalui ta’lim atau talaqi setiap bulan. Pengajian tersebut mengundang eks napiter yang sudah mendirikan Rudalku dan juga yang belum. Pengajian dengan menggunakan kitab berbahasa Arab al-Waroqot tentang ushul fikih, yaitu disiplin filsafat hukum Islam. Selama pandemi covid 19 ini, pengajian dilakukan melalui zoom.  Kegiatan pengajian ini juga menjadi strategi merekrut eks napiter untuk mendirikan Rudalku sekaligus koordinasi dalam pengelolaannya. Pengajian ini menggunakan referensi kitab berbahasa Arab yang dirancang untuk mengindoktrinasi paham keagamaan moderat (wasathiyah). Di dalam pengajian, peserta eks napiter didorong mengeluarkan pandangannya untuk didialogkan secara terbuka (munaqasah). Pengajian dilakukan dengan model sorogan seperti laiknya yang dilakukan di pesantren tradisional.

Foto kegiatan pengajian bulanan kitab filsafat hukum Islam model sorogan

Inilah pendekatan literasi untuk deradikalisasi. Sebuah langkah inovatif yang diujicobakan untuk dikembangkan. Selama ini,  seperti  Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memang sudah melakukan deradikalisasi untuk  eks napiter dan napiter. Cuma, pendekatan literasi ini yang belum dilakukan dan belum dilirik sebagai pendekatan yang ampuh. Penggiat Rudalku terus berfikir tentang metode deradikalisasi yang efektif. Disinilah pentingnya pendekatan deradikalisasi yang out of the box, bukan hanya melulu begitu-begitu saja atau mengikuti kelaziman.

Gerakan literasi Rudalku ini terbilang sebagai program yang masih langka diwujudkan di Indonesia. Bahkan boleh dikatakan sebagai gerakan baru. Sejauh ini, belum ada gerakan yang berbasis literasi secara komprehensif dalam rangka upaya deradikalisasi terhadap eks napiter. Kajian jurnal dan buku yang mengurai tentang pendekatan literasi untuk deradikalisasi eks napiter belum ada secara in toto. Literasi -kalau saja istilah itu digunakan-tampaknya belum merupakan sebuah pendekatan yang  holistik. Beberapa negera seperti Arab Saudi, Malaysia, Yaman, Inggris, Amerika, termasuk di Indonesia belum menggunakan pendekatan literasi dalam rangka deradikalisasi. Terlebih dalam konteks pendekatan literasi yang dibangun berbasis rumah eks napiter. Program literasi yang dilaksanakan selama ini lebih pada pelatihan untuk menangkal hoax atau membangun internet sehat yang lebih banyak ditujukan untuk masyarakat luas.

Para eks napiter ini memang termasuk kelompok yang masih rentan dari pengaruh radikalisme. Sudah cukup banyak bukti, eks napiter yang terpengaruh kembali paham radikal lantas melakukan aksi teror. Ada isu-isu politik yang mencuat bisa mendadak mereka siuman kembali  untuk jadi ‘jihadis’.

Menangani persoalan eks napiter menjadi masalah besar bagi penanggulangan terorisme di Indonesia. Eks napiter adalah individu yang dulunya terlibat dalam aksi terorisme, tertangkap dan mendapatkan vonis penjara, hingga menghirup kebebasan dan kembali bermasyarakat. Namun, kembalinya mereka ke masyarakat bukan berarti tanpa risiko. Salah satu risiko yang sangat penting adalah keyakinan akan ideologi radikal yang tertanam sejak berada di jaringannya. Akibatnya, eks napiter menjadi rentan untuk kembali bergabung dengan kelompok teroris, hingga melakukan aksi serupa. Selain ideologi, stigma yang terdapat di masyarakat juga menjadi tantangan besar bagi eks napiter. Sehingga, diperlukan kerjasama sinergis dalam upaya deradikalisasi yang melibatkan banyak pihak, termasuk masyarakat.

Penjara pada kenyataannya tidak selamanya menjadi ‘tempat pertobatan’ bagi napiter. Sebaliknya, tak jarang justru menjadi ‘breeding’ bagi indoktrinasi paham radikal. Sebagai contoh, Urwah alias Bagus Budi Pranoto, salah satu dalang bom Marriot 2 tahun 2009, awalnya hanyalah pemain pinggiran saja dalam lingkaran gerakan teroris. Tetapi ketika dihukum penjara selama 4 tahun karena terlibat bom kedubes Australia, Urwah banyak belajar dari aktor-aktor utama. Saat keluar, jadilah dia pemain utama. Ada juga nama-nama seperti Luthfi Haedaroh alias Ubeid, Deni Suramto alias Ziad, Rahmat Puji Prabowo alias Bejo dan Heri Sigu Samboja alias Shogir. Nama-nama ini oleh polisi pernah  ‘dirangkul’  saat mereka di dalam penjara, namun gagal dikendalikan. Sebagai contoh juga, Irianto Romdhoni yang kembali ditangkap karena keterlibatan dalam jaringan Pasuruan-Bangil bahkan sudah mengikuti program deradikalisasi, tetapi ia kembali lagi ke jaringan JAD (Jamaah Ansharut Daulah) yang menjadi salah satu jaringan pelaku bom Surabaya.

Ada tantangan tersendiri juga sekeluar mereka dari penjara. Bisa saja mereka teralineasi dari masyarakat. Kalau tidak ada pendampingan, bisa-bisa mereka kembali ke jaringan radikalnya. Proses reintegrasi sosial eks napiter ini pula yang juga menjadi tumpuan ikhtiar  bagi  Rudalku. Mereka diharapkan melalui ‘jihad literasi’ bisa menjadi penggerak dan ‘pahlawan literasi’ untuk pemberdayaan masyarakat sekitar rumah mereka. Dengan begitu, sekaligus ini sebagai reintegrasi sosial bagi eks napiter untuk diterima kembali oleh masyarakat dan lalu mereka tampil sebagai pegiat yang memberikan kemashlahatan bagi masyarakat minimal masyarakat sekitar rumahnya. Karena itulah, eks napiter ini perlu perlu digandeng dan didampingi.

Rudalku hendak melakukan upaya semampunya. Menariknya, justru rumah pribadi penggiat Rudalku dijadikan sebagai markas untuk kegiatan literasi bagi eks napiter. “Yah, betapapun kecil upaya ini, yang terpenting bisa bermanfaat buat Indonesia cerdas dan damai,’ begitu harapan penggiat Rudalku.

Pendekatan literasi untuk eks napiter ini berdasar pada temuan bahwa radikalisme bisa menjangkiti seseorang karena kurangnya membaca. Sebaliknya, semakin seseorang banyak membaca, dia akan terbuka wawasan dan pengetahuannya sehingga tidak mudah terpengaruh paham radikal. Kegiatan membaca ternyata sangat terkait dengan fluktuasi radikalisme.

Agenda terpenting dalam pendirian Rudalku ini sejatinya adalah hendak mendorong para mantan napiter yang mendirikannya untuk menjadi ‘agen perubahan’  (agent of social change) bagi masyarakat minimal masyarakat sekitar rumah tinggalnya. Dengan rumah buku ini, mereka didorong untuk mampu menebarkan budaya baca dan menaburkan pikiran moderat pada warga sekitar. Tujuan ini sekaligus bermanfaat di dua ranah, yaitu deradikalisasi dan pencegahan masyarakat dari bujuk rayu radikalisme.

Foto giat literasi di rumah istri napiter di Kerawang

Karakter radikal sejatinya bisa diubah. Sikap radikal bukanlah bawaan lahir, melainkan sesuatu yang dipelajari.  Suatu sikap dapat berubah dari waktu ke waktu, bergantung pada kondisi internal dan eksternal individu. Dengan demikian, untuk melunakkan paham radikal bisa dilakukan dengan cara memberikan pemahaman ulang misalnya melalui reedukasi yang merupakan bagian dari deradikalisasi. Hal ini dperlukan agar eks napiter tidak mengulangi perbuatan. Dan ini bisa menyasar langsung pada upaya deidiologisasi. Dengan pendekatan literasi ini juga sangat penting untuk upaya Counter Violance Extrimism (CVE) dan Preventing Violance Extrimism (PVE) yang saat ini tengah digencarkan oleh berbagai pihak.

Tradisi Literasi dan Perlunya Konsistensi 

Mengelola komunitas literasi seperti Rudalku ini memang butuh konsistensi, kesabaran dan ketelatenan. Sebenarnya banyak agenda kegiatan yang ingin diwujudkan. Saat ini, yang bisa diwujudkan baru pengiriman buku secara berkala, pengajian bulanan serta kegiatan mentoring dengan mendatangi ke rumah masing-masing mereka. Selama ini, Rudalku bergerak secara mandiri-berdikari. Bagi penggiat Rudalku, ini tantangan yang indah nan mengasyikkan..

Dalam kemandirian akan melahirkan kekuatan. Yah, kekuatan yang lahir dari gagasan justru lebih dahsyat manghasilkan inovasi dan kreasi. Indonesia saat ini membutuhkan insan-insan anak bangsa yang kreatif, inovatif dan mandiri untuk memberikan sumbangsihnya bagi masyarakat dan negara.

Berabad lamanya, telah mewarta ‘tuntutan langit’ agar kita mau “iqra”, membaca secara holistik. Tuntutan mulia ini perlu dibumikan melalui mobilisasi untuk mendidik dan mencerdaskan masyarakat. Sehingga siapapun tidak lagi mudah terpancing oleh berita dan pengetahuan ekstrem karena terbentengi tradisi literasi cerdas.

Tak pelak, kita perlu melahirkan lebih banyak ‘jihadis literasi’ yang punya militansi tinggi, ditempa kegigihan dan ketelatenan. Ditengah situasi negeri ini yang terancam oleh bangkitnya irasionalitas dalam rupa ekstrimisme, secercah ikhtiar Rudalku semoga membantu untuk menahan laju kepicikan pikir melalui literasi. Radikalisme yang akarnya juga bersumber dari akibat kurangnya literasi, sudah seharusnya ditandingi dengan menggalakkan gerakan literasi untuk moderasi dan membentengi masyarakat dari pengaruh radikalisme. Yakinlah literasi bisa mengikis radikalisme.

*Penulis adalah Penggiat Literasi Rudalku