Mengenang Van Hoevell dan Gerakan 22 Mei 1848

Oleh Imran Hasibuan

Max Havelaar, maha karya Eduard Douwes Dekker alias Multatuli, kita semua tahu telah menginspirasi banyak penulis dan menggerakkan berbagai peristiwa penting di dunia, terutama di Indonesia. Tapi, tak banyak yang tahu bahwa salah satu sumber inspirasi Douwes Dekker adalah  W.R. van Hoëvell (1812-1879).  Jauh sebelum politik etis digaungkan di awal abad 20, van Hoëvell telah berpikir dan bertindak sebagai tokoh etisi terkemuka. Hari ini, 22 Mei dua abad yang lalu, terjadi peristiwa yang dikenal sebagai “Gerakan 22 Mei 1848” yang dimotori van Hoevell.

Wolter Robert van Hoëvell lahir di Deventer, Belanda, 15 Juli 1812 dari kalangan salah satu keluarga bangsawan tertua di Belanda. Ayahnya adalah Gerrit Willem Wolter Carel, Baron van Höevell, dan ibunya bernama Emerentia Luthera Isabella, Baroness van der Capellen. Salah seorang saudara ibunya tak lain Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda (1816-1826)

Di tahun 1836, van Hoevell lulus dengan summa cum laude studi teologi dari Universitas Groningen. Setahun kemudian, ia sudah berada di Batavia, Hindia-Belanda, untuk bekerja sebagai pendeta di jemaat berbahasa Melayu. Dimasa itu, jemaat berbahasa Melayu tidak hanya terdiri dari orang-orang pribumi, melainkan bahkan bagian terbesar, atas orang-orang keturunan Eropa atau Indis/Indo. Masa itu, dalam tatanan masyarakat Hindia-Belanda, kaum Indis  menyerupai trapezium yang dasarnya meluas diantara orang-orang pribumi, sedangkan atapnya tidak terlalu jauh terangkat ke atas, masih dekat dengan orang Indonesia asli. (Hartoko, 1985)

Di  paruh pertama abad 19 itu, bagi anak-anak Indis, apalagi kaum pribumi, tidak tersedia sekolah atau lembaga pendidikan  modern. Adapun kaum Eropa totok di Hindia-Belanda lebih memilih mengirimkan anak-anak mereka bersekolah ke Eropa/Belanda, demi kadar ke-Eropa-annya dan demi karir. Karena hanya pemuda-pemuda berijazah Eropa yang bisa bekerja di pemerintahan kolonial. Ini berarti hanya anak-anak keluarga Eropa kaya, yang mampu menyekolahkan anaknya ke Eropa, yang bisa masuk dan bekerja sebagai aparat pemerintah kolonial. Sedangkan golongan yang tidak berada, terutama anak-anak kaum Indis, menjadi semacam proletariat di pinggiran kampung.

Menyaksikan ketidakadilan ini, Van Hoevell menulis surat-surat dan karangan yang menuntut perlakuan layak dan adil bagi kaum Indis tersebut. Hanya itu yang bisa dilakukannya, hingga tahun 1848, yang di Eropa dikenal sebagai “tahun revolusi”. Pada Februari tahun ini kaum liberal Perancis berhasil meletuskan Revolusi Perancis, merombak “parlemen sandiwara” menjadi dewan perwakilan rakyat yang sejati. Di Belanda, Raja Willem II terpaksa menerima sistem demokrasi parlementer. Dan pada 14 Mei tahun itu, Menteri Jajahan yang ultra-konservatif, J.C. Baud, turun dari takhtanya.

Terinspirasi “Revolusi Perancis”, van Hoevell menggalang gerakan untuk mengangkat nasib kaum Indis Hindia-Belanda. Sejak 17 Mei, van Hoëvell dan kawan-kawan berkali-kali bertemu dengan Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen untuk mendiskusikan jenis pertemuan apa yang akan diadakan dan tuntutan apa yang akan diajukan. Van Hoevell juga menggalang pertemuan-pertemuan dengan tokoh-tokoh kaum Indis, semula di rumah pribadinya kemudian ke aula utama  Harmonie Societeit.

Dalam rapat umum tanggal 22 Mei 1848 di  Harmonie Societeit, yang dihadiri ratusan tokoh-tokoh kaum Indis, van Hoevell secara aklamasi ditunjuk sebagai ketua. Rapat umum yang berlangsung seharian itu berhasil menyusun sebuah petisi yang ditujukan kepada Raja Belanda, berupa permohonan agar peraturan-peraturan yang mendiskiriminasi kaum Indis dihapuskan. Sesudah petisi dibacakan dan diterima peserta rapat umum, van Hoevell menutup rapat dan meninggalkan tempat pertemuan. Tapi, sejumlah peserta belum merasa puas, dan mengusulkan dua petisi lain yang lebih keras tuntutannya.

Rupanya pemerintah Hindia-Belanda merasa kebakaran jenggot dengan petisi-petisi yang dikeluarkan rapat umum itu. Rapat di Harmonie Societeit  itu kemudian dibesar-besarkan sebagai  gerakan politik, atau semacam komplotan untuk menggulingkan pemerintah yang sah. Lantas, van Hoevell dijadikan kambing hitam sebagai penggerak gerakan tersebut. Ia pun dipecat dari kongregasi gereja, dan diusir dari Hindia-Belanda.

Tapi, pemecatan dan pengusiran itu tak membuat karir van Hoevell tamat. Beberapa bulan setelah kembali ke negeri Belanda, ia sudah dihubungi Thorbecke, pemimpin kaum liberal yang telah diangkat sebagai Perdana Menteri Belanda. Thorbecke memerlukan orang yang memahami kondisi di tanah jajahan. Selanjutnya, van Hoevell diangkat sebagai anggota parlemen Belanda dari Partai Liberal. Tapi, sejatinya ia bukanlah seorang politisi, melainkan seorang etisi yang meneropong setiap masalah dari sudut moral. Itulah sebabnya ia menyerang “culturstelsel” (sistem tanam paksa),  yang sangat menyengsarakan kaum pribumi Hindia-Belanda, dengan keras dan tak kenal ampun.

Van Hoevell, seperti tercantum dalam buku Bianglala Sastra: Bunga Rampai Sasta  Belanda Tentang Kehidupan di Indonesia (Dick Hartoko, Djambatan, 1985) juga menulis sejumlah karangan yang bernada kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah kolonial. Yang paling terkenal terangkum dalam kumpulan Het Indische Leven (Serba-Serbi Kehidupan di Hindia) dan yang dimuat dalam Tjidschrift voor Neerlands Indie (Majalah untuk Hindia-Belanda). Salah satu tulisannya tentang pemahat batu Jepang, kemudian oleh Multatuli dimuat dalam Max Havelaar. Nada tulisan itu mengkritik cara hidup orang Belanda di Betawi  yang terus-menerus mengejar kekayaan. Sebaliknya, ketika Max Havelaar terbit di tahun 1860, van Hoevell cukup gencar mempromosikan novel yang menggetarkan dunia kolonial itu.

*Imran Hasibuan adalah penulis dan produser