Nasib Sejarah (Seni) dalam Bayang-Bayang Kampus (Seni)

Oleh: Rio Aji

 

Mendengar diskusi beberapa waktu lalu dengan tajuk “Membaca Ulang Historiografi Seni Rupa Indonesia,” membuat saya kembali membaca esai-esai yang pernah saya temukan dalam perselancaran di media sosial. Seperti press-release yang dihadirkan, bahwa diskursus mengenai sejarah seni rupa Indonesia masih relevan diperbincangkan hingga sekarang (1), saya pikir sebagai mahasiswa manajemen (seni), yang dipersiapkan untuk mengisi ruang-ruang dalam mempermudah jalan nya kesenian, dan tidak dipersiapkan untuk jadi seorang seniman. Bergumul dalam kajian-kajian seperti itu, sangat penting untuk selalu dihadirkan.

Tentu para “publik seni rupa” masih ingat dengan polemik yang terjadi di pertengahan pandemi covid 2021 lalu, yang mana Aminuddin TH Siregar menghadirkan sebuah tulisan dalam laman Kompas: “Takjub Ajoeb: Kepada Bung Hendro Wiyanto,” dan tanggapan dari Hendro Wiyanto: “Jurus Gerhana Aminudin TH. Siregar,” lalu diikuti dengan tulisan Yuswantoro Adi dan Asmudjo J Irianto, serta tulisan-tulisan lain yang ikut nimbrung dan mencoba menarasikannya lewat bungkus BWCF (Borobudur Writers and Cultural Festival).

Disclaimer-nya, saya tidak bermaksud untuk memperpanjang atau ikut-ikutan membahas persoalan tadi. Selain rentan waktu yang sudah terlampau dua tahun lamanya, saya juga terlampau dini untuk masuk dalam pembahasan tersebut. Mencermati, meninjau kembali, dan menelaahnya dengan kondisi “awas” sudah cukup bagi saya.

Setelah mengamati persoalan sejarah seni rupa Indonesia beserta problematikanya, saya sampai pada titik—belum tahap menyimpulkan—bahwa goresan sejarah seni ini belum benar-benar selesai dan masih jadi perdebatan. Ini merupakan hal wajar, mengingat sejarah memang perlu untuk diperluas, baik dari perspektif atau ide pemikirannya, bahkan direvitalisasi dan dikontekstualisasikan dengan kondisi sekarang (2). Namun, masalahnya, bagaimana cara menceritakan sejarah seni yang belum fasih ini dalam forum kelas alias kampus? Mereka (para akademisi dan anteknya), tahu betul jika cerita sejarah seni Indonesia masih belum benar-benar khatam dalam pengembaraanya. Lalu bagaimana cara mereka menyikapi hal tersebut?

Staf Pengajar, yang Hanya “Mengajar” Bukan “Mendidik”

Sebelum masuk ke pembahasan, penting kiranya untuk melihat kembali tulisan Suwarno Wisetrotomo dalam laman Kompas (2/10/2020) berjudul, Generasi Tunasejarah dalam Pergumulan Kebudayaan. Bagi saya (tanpa menggeneralisir generasi), sejarah yang diajarkan gitu-gitu aja (baca lagi tulisan Suwarno) adalah omong kosong belaka, bahkan terkesan sia-sia. Kenapa? Ya jelas, sejarah yang diajarkan itu hanya berupa pengulangan saja, monoton, tanpa adanya tindak lanjut yang jelas.

Bak gayung bersambut, nyatanya begitulah yang saya rasakan dalam perkuliahan. Pembelajaran sejarah (seni rupa) yang harusnya jadi tonggak awal dalam mengenal medan seni itu, ternyata belum terlalu ramah berkenalan dengan mahasiswa, khususnya mahasiswa manajemen seni.

Mengapa? Sederhana saja, di awal perkuliahan, dosen memberi pengantar singkat tentang sejarah seni rupa Indonesia. Setelah itu, para mahasiswa dibagi dalam kelompok untuk ditugaskan mencari perjalanan seni rupa Indonesia dengan tenggat waktu yang telah ditentukan. Setelah data (seadanya) itu terkumpul, mahasiswa tinggal mempresentasikan, memberi laporan, dan mendapatkan nilai A. Sederhana bukan?

Hal ini tentu sangat menggembirakan bagi mahasiswa yang hanya ingin berkuliah, mendapatkan IP aman, lalu dengan mudah Cumlaude.

Dari sini, apakah saya perlu menjabarkan juga bagaimana seharusnya metode pengajaran yang ideal? Saya pikir bapak-ibu akademisi lebih paham. Memang, jika dibilang Pendidikan formal itu template-template saja berikut aturan-aturannya, saya tidak mengelak jika memang begitu adanya. Namun, disitulah tantangan bagi para tenaga pengajar. Seperti apa yang dikatakan Pak Suwarno, jika dimensi pengajaran yang menuntut kreativitas para dosen merupakan hal penting untuk dipikirkan (3), agar nantinya pemahaman akan sejarah ini tidak hanya sekedar angin lalu saja bagi mahasiswa.

Prof Burhan dalam seminarnya di Historigrafi kemarin juga menyampaikan, jika konstruksi yang ada haruslah diikuti dengan reasoning/eksplanasi lebih lanjut, agar pemahaman yang sifatnya common sense itu, tidak langsung diterima secara taken for granted oleh mahasiswa, karena sumber yang ada (dalam hal ini sejarah seni Indonesia) memiliki makna yang luas dan masih perlu pengkajian lebih dalam (4).

Bukan malah mengaminkan dirinya leterlek sebagai tenaga staf pengajar, yang hanya memberikan pengajaran tanpa sekaligus mendidik. Yang mana setelah mengajar ya pulang,

masih banyak urusan “dapur” yang harus diselesaikan. Lalu setelah berada dalam forum kelas, tiba-tiba melemparkan topik tertentu dengan harapan mahasiswanya langsung mudah nyambung dalam pembahasan itu (5). Padahal, materi yang diberikan hanyalah hasil pemindahan dari buku saja, tanpa adanya reasoning mendalam.

Ya begitulah. Paling tidak, mahasiswa sudah pernah dengar istilah itu, lalu sedikit browsing mengenai sosoknya, itu sudah cukup untuk menjadi “target kesuksesan dosen dalam mengajar”. Lalu jika dirasa masih kurang puas, tinggal lanjut saja ke tingkat S2 (Magister).

Bagi saya, di luar tugas administrasi yang membelenggu dosen, pekerjaan itu merupakan hal mulia yang menitikberatkan pada pengabdian. Sehingga apapun kendalanya, seharusnya tak mengurangi daya kreativitas dosen dalam hal mengajar di kelas.

Pengelola Seni Harus “Sadar” Sejarah Seni

Tak dapat dipungkiri jika TKS (Tata Kelola Seni) akhiran ini sangat harum namanya. Terlihat dari banyaknya mahasiswa aktif maupun alumni yang ikut berpartisipasi dalam kerja-kerja kebudayaan, baik skala kecil maupun besar, khususnya di Jogja—bahkan sampai di daerah lain. Sebut saja Artjog, Biennale, FKY (6), dan masih banyak lagi. Saya yakin, mereka (tanpa perlu menyebutkan nama) berdarah-darah untuk sampai di titik itu.

Namun, dari sekian banyak anak TKS, baik mahasiswa aktif maupun alumni, apakah mereka semua (termasuk saya) yakin jika paham betul dengan medan seni saat ini? Apakah mereka benar-benar menguasai bidangnya? Atau mereka masuk dalam kerja-kerja kebudayaan melalui faktor eks; sering nongkrong, orang dalam, atau bahkan parasnya? Bukan karena pemikiran dan daya kreatifnya?

Terlepas dari itu, bukankah sejarah seni merupakan salah satu elemen penting bagi pengelola seni? Terlebih, sebagai sarjana dengan basic manajemen seni beserta ruang lingkupnya, sejarah seni merupakan landasan awal untuk memahami kondisi sekarang.

Namun sangat disayangkan, dari penjelasan saya diatas, materi sejarah seni yang disampaikan dalam kelas memang masih tergolong dangkal, bahkan terkesan mentahan. Tak ada yang lebih dalam, selain memindahkan sumber dari buku/lainnya ke dalam kelas, tanpa adanya buah-buah pemikiran baru (7).

Atau memang perlu membuka jurusan sejarah seni dulu agar dapat lebih memperdalamnya. Seperti apa kata Yuswantoro Adi (8), yang kelak jurusan ini akan mencetak

sarjana Art Historian. Saya membayangkan, jika benar (kelak) jurusan sejarah seni dibuka keperawanannya, kira-kira materi apa yang akan dipelajari, terlebih dengan sejarah seni Indonesia yang sampai hari ini masih bapak-bapak perdebatkan itu.

Memang, tak semua mahasiswa TKS mempunyai minat yang dalam terhadap sejarah seni. Namun, lagi-lagi, sebagai seorang pengelola seni, kita dituntut untuk peka terhadap kondisi seni terkini. Maka dari itu, pengetahuan akan sejarah seni sangat dibutuhkan. Jangan sampai, pengelola seni yang diharapkan dapat memajukan ekosistem seni ini tak “sadar” akan vitalnya sejarah seni.

Darma Kampus (Seni) Terhadap Sejarah (Seni)

Semenjak saya masuk kampus (ISI) di pertengahan tahun 2021, diskusi-diskusi mengenai sejarah seni di ranah kampus memang sukar terdengar. Maklum, ketika itu memang masih masa transisi pandemi ke era normal baru. Namun, ketika semuanya sudah dapat berkumpul dan berjumpa lagi, kok ya masih jarang. Sekalinya ada, itu pun hanya dalam rangka tertentu saja, yang mana acaranya cuma setahun sekali.

Padahal, dalam kasus ini, perguruan tinggi (seni) yang memiliki marwah mengembangkan ilmu pengetahuan, mau bagaimanapun, memiliki tanggung jawab besar atas produksi pengetahuan/pewacanaan sejarah seni. Sehingga, mestinya lebih peka untuk membuka banyak ruang-ruang diskusi tentang pengetahuan sejarah seni itu sendiri.

Jika melihat keadaan seni rupa (khususnya) di Jogja akhir-akhir ini, hubungan keterkaitan dengan sejarah seni sangatlah kuat. Terlebih setelah adanya seminar “Satu Abad Gagal Paham” yang propagandanya membosankan itu, dan seminar “Membaca Ulang Historiografi Seni Rupa Indonesia”, merupakan sebuah bukti konkrit, jika sejarah seni Indonesia masih sangat diperhitungkan—dan tetap akan diperhitungkan.

Walaupun, kata Prof Burhan sejarah seni Indonesia masih ibad-ibid terus karena kurangnya sumber data primer (9), dan orang yang datang itu-itu saja, seniman-seniman itu juga, dan para pewacana-pewacana seni yang nama dan wajahnya sudah tak asing lagi. Tapi, setidaknya itu lebih baik, daripada tidak ada diskusi yang terjadi sama sekali.

Akhir kata, saya kembali ingin mengaminkan perkataan Pak Warno, bahwa generasi ”tunas” akan tetap kritis, akan tetap melacak akar, bertumbuh menjadi pohon yang rindang, kokoh, penuh buah, berguna bagi makhluk sekitarnya (10).

Maka dari itu, generasi “tunas” akan terus mengecam pupuk-pupuk yang sembarangan ditabur, agar tetap tumbuh subur, menjulang tinggi, penuh buah, dan berguna bagi banyak makhluk hidup di sekitarnya.

Catatan

1 Lihat press-realese seminar “Membaca Ulang Historiografi Seni Rupa Indonesia”.

2 Lihat https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/03/04/memberi-makna-kontekstual-estetika-nusantara

3 Lihat https://www.kompas.id/baca/opini/2020/10/17/generasi-tuna-sejarah-dalam-pergumulan-kebudayaan

4 Lihat https://www.youtube.com/live/bwzhCTgLfFw?feature=share

5 Lihat https://www.kompas.id/baca/opini/2020/10/17/generasi-tuna-sejarah-dalam-pergumulan-kebudayaan

6 Festival Kebudayaan Yogyakarta.

7 Lihat https://www.youtube.com/live/bwzhCTgLfFw?feature=share

8 Lihat https://www.kompas.id/baca/opini/2021/06/27/sketsa-setelah-dua-gerhana-tanggapan-sekaligus-berita-baik-untuk-aminudin-th-siregar-dan-hendro-wiyanto

9 Lihat https://www.youtube.com/live/bwzhCTgLfFw?feature=share

10 Lihat https://www.kompas.id/baca/opini/2020/10/17/generasi-tuna-sejarah-dalam-pergumulan-kebudayaan

Kepustakaan

Suwignyo, Agus. 2021. Pendidikan dan Pelibatan Politik. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Wisetrotomo, Suwarno. 2020. Ombak Perubahan – Problem Sekitar Fungsi Seni dan Kritik Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Nyala.

Wisetrotomo, Suwarno. “Generasi Tunasejarah dalam Pergumulan Kebudayaan,” Oktober 17, 2020. https://www.kompas.id/baca/opini/2020/10/17/generasi-tuna-sejarah-dalam-pergumulan-kebudayaan

Adi, Yuswantoro. “Setelah Dua Gerhana (Tanggapan Sekaligus Berita Baik untuk Aminudin TH Siregar dan Hendro Wiyanto),” Juni 20, 2021. https://www.kompas.id/baca/opini/2021/06/27/sketsa-setelah-dua-gerhana-tanggapan-sekaligus-berita-baik-untuk-aminudin-th-siregar-dan-hendro-wiyanto

Andra Purnawan. “Claire Holt dan Makna Kontekstual Estetika Nusantara,” Maret 12, 2022. https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/03/04/memberi-makna-kontekstual-estetika-nusantara

Nahnu TV. (2023, Mei 29). Membaca Ulang Historiografi Seni Rupa Indonesia. [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/live/bwzhCTgLfFw?feature=share

 

*Mahasiswa aktif Tata Kelola Seni, ISI Jogja. Tergabung dalam komunitas Radio Buku