DESA SEBAGAI MOSAIK PERADABAN NUSANTARA

Pembukaan Lokakarya Jurnalisme Arkeologis BWCF 2023
Desa Ngadas, Bromo, 1 Juni 2023

 

Oleh: DR. G. Budi Subanar*


Pengantar

Lokakarya yang diselenggarakan Borobudur Writer Cultural Festival (BWCF) 2023 ini merupakan Workshop/ Lokakarya Jurnalisme Arkeologis – berarti memusatkan perhatian pada situs dan artefak peninggalan peradaban (Nusantara). Mulai tahun 2022, penyelenggaraan tempatnya digeser dari kompleks candi Borobudur di Jawa Tengah, kompleks Candi di seputar dataran Dieng dan Liangan, 2023, menuju kompleks Candi Jawa Timur. Dari keduanya, kita dapat berbicara sejumlah hal khusus dari penyelenggaraan lokakarya ini.

Konsentrasi perhatian pada situs dan artefak peninggalan peradaban (Nusantara) memungkinkan untuk kembali kepada akar (back to the root), untuk tidak menggunakan istilah back to basic.  Paradigma dan metafor gerak dan pertumbuhannya lebih menggunakan paradigma pertumbuhan organik, risomatik, daripada rekayasa teknokratik. Dan pergeseran lokasi, memungkinkan adanya penekanan (pengalaman) baru, apalagi ditunjang dengan riset atau pengamatan lapangan yang diberikan atau dilatihkan dalam kesempatan selama lokakarya berlangsung.

Dalam satu dasa warsa BWCF, penyelenggaraannya berpusat di Jawa Tengah, bukan berarti Jawa Timur tidak (di)hadir(kan) dalam perhelatan yang telah berlangsung selama ini. Sejak BWCF #1, sejumlah tema pembicaraan mengangkat sejarah Gajah Mada, Majapahit dan sekitarnya. Di samping itu, beberapa tokoh intelektual dan sastrawan dari Jawa Timur sudah hadir secara vokal. Ada alm. Agus Sunyoto, Langit Kresna Hariadi, Anuff Chafidy (Viddy AD Daery), Hadi Sidomulyo. (Memori dan Imajinasi Nusantara, 2015) Pada BWCF #4, ada alm Bapak Ayu Sutarto yang mengangkat Tengger,dan Bapak Hadi Sidomulyo yang mengangkat Candi Penataran. (Gunung, Bencana dan Mitos di Nusantara, 2015) Bahkan Bapak Hadi Sidomulyo juga telah mendapat penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan Award.

Suasana Opening Workshop Jurnalisme dan Arkeologi, BWCF 2023. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Beberapa Perspektif yang Mengemuka

Kita dapat mengemukakan beberapa upaya alternatif yang ditawarkan melalui Lokakarya Jurnalisme Arkeologis ini. Beberapa hal dapat diketengahkan di sini. Pertama, Perubahan paradigma ideologis yang mengemuka dalam era pasca reformasi. Lebih mengetengahkan proses demokratisasi, menggantikan konsentrasi ideologi pembangunan (development) dari era orde baru. Kalau dalam era pembangunan yang ditekankan adalah angka pertumbuhan (growth), sedangkan dalam era demokratitasi semestinya yang lebih ditekankan adalah unsur partisipasi, pemerataan, dan keberlanjutan (sustainability). Namun demikian, secara umum, berbagai ukuran tetap menggunakan angka pertumbuhan, dan pada unsur angka-angka pertumbuhan ekonomi. Lokakarya Jurnalisme Arkeologis ini menawarkan cara pandang berbeda daripada yang berlaku pada umumnya.

Kedua, paradigma untuk bernalar dari pinggiran, bukannya paradigma berpikir yang bertumpu pada sistem kekuasaan hegemonik yang berangkat dari pusat. Tentu ini mengandung konsekuensi yang tidak sederhana karena keseharian kita yang lebih menekankan unsur pendekatan kekuasaan dari pusat. Cara pandang organik, risomatik lebih mengemukakan sistem jaringan yang ada di dalam simpul-simpul masyarakat (pinggir) untuk menggantikan cara pendekatan kekuasaan.

 Ketiga, sebagai sebuah upaya yang berangkat dari pinggiran, tentu hal ini akan menyajikan cara bernalar yang lain dari sistem penggunaan perangkat teknologi, lebih spefisik teknologi informasi komunikasi (ITC) yang berlaku yang ada, sebagaimana kita lebih dikuasai dengan diskursus disrupsi, revolusi 4.0 dengan muatan pengaruh perkembangan Artificial Intellegence (AI) dengan temuan mutakhir chat GPT nya. Dengan menempatkan prinsip “holding the global locally, dan promoting the local globally” kita tidak terkooptasi oleh tendensi gerak global. Melainkan berproses untuk terlibat dalam partisipasi kewargaan global (global citizenship).

Dalam suatu tabel perbandingan antara sustaining innovation dan disruption innovation, digambarkan sebagai berikut (Rhenald Kasali, Disruption, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2017, h. 151) :

sustaining innovation disruption innovation
Permasalahan dapat dipahami dengan baik (seluruh mata rantai sudah ada dan terbentuk) Permasalahannya tidak atau belum dipahami dengan baik. Banyak teka-teki yang belum jelas jawabannya. Berada dalam lingkungan yang dinamis
Pasarnya sudah ada, existing market. Pasarnya baru. Menciptakan pasar baru.
Inovasi mengikuti performa, harga yang lebih rendah atau lebih mahal, branding yang kuat untuk membentuk kesetiaan pelanggan, dan perubahan yang inkrimental. Inovasi adalah sesuatu yang dramatis dan mengubah peta permainan, dengan infrastruktur dan mata rantai pelaku yang sama sekali baru. Bahkan konsumen pun bisa menjadi mata rantai produksi.
Konsumen adalah mereka yang setia dan percaya pada pencitraan merek. Konsumen tidak dan belum diketahui seperti apa perilakunya.
Pasarnya mudah diprediksi. Pertambahan kelas menengah, pendidikan, pendapatan, dan pertambahan ekonomi menjadi acuan. Pasarnya tidak mudah diprediksi. Berlaku hokum Besi evolusi: Hanya satu dua bertahan sampai kemudian hari.
Metode bisnis dan pemasaran telah dirasa cukup. Peubahan perlahan-lahan (evolutif) cukup untuk mengejar ketertinggalan. Metode bisnis dan pemasaran tradisional telah terbukti gagal,

Perbandingan-perbandingan yang dikemukakan di atas perlu dikritisi lagi untuk menemukan sebuah makna baru dalam gerakan yang diperjuangkan dan disuarakan.

Keempat, dalam sebuah tinjauan perkara ketidakadilan, kapitalisme dan demokrasi yang telah berlangsung di Indonesia, Jawa Timur memang menduduki beberapa angka statistik ranking di atas untuk perkara buruh migran, penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA). (Dominggus Elcid Li dan Sujarwoto (ed.), Ketidakadian Sosial Kapitalis dan Demokrasi. Catatan dari Penjuru Indonesia Tahun 2021, Indonesian Social Justice Network, 2022, 285-308). Dalam sebuah cara lain, sejumlah seniman memperlihatkan secara simbolik, bagaimana para pekerja migran adalah para pelintas batas yang harus mengalami konsekuensi konflik dan kekerasan atas nilai-nilai kemanusiaan yang harus ditanggung. (Katalog Pameran Kelompok Seni Tritura, …) Dengan demikian, dalam hal ini, artinya ada hal-hal yang perlu dicermati terkait dengan mata pencaharian dan modal-modal yang ada di lingkungan Jawa Timur. dinamika pekerjaan (penanaman modal, dan migrasi – pengangguran), dan ekspresi serta pengalaman hidup warganya.

Kelima, Dengan Jurnalisme arkeologis, kita dapat menempatkan pada suatu subyek langsung yang terkait dengannya. Yakni ruang lingkup desa yang secara geografis sekarang menjadi tempat atau lokasi peninggalan arkeologis itu berada, dengan berbagai artefak benda peninggalannya, maupun juga jejak-jejak praktik kehidupan yang hingga sekarang masih secara aktif dilibati. Pada sisi lain, kita dapat menelusuri kaitannya dengan berbagai produk hukum, dasar-dasar yuridis di mana desa ditempatkan. Tentu hal ini juga akan terkait dengan politik anggaran, yang memungkinkan hal-hal ideal tersebut menjadi operasional. Bahayanya, memang desa akan menjadi etalase bagi berbagai kalangan birokrasi yang akan memanfaatkan kucuran dana operasionalnya. Untuk itu kita perlu mencermati Undang-undang Desa (UU No 6/ 2014) dari produk Kemendagri, mau pun konsekuensi dari UU Pemajuan Kebudayaan (UU No 5/ 2017) yang dikerjakan oleh Kemendikbud dan Kemenparekraf. Hal-hal demikian akan menjadikan desa yang dalam lokakarya ini merupakan situs peradaban Nusantara, ternyata (sekaligus) menjadi etalase kegiatan dari berbagai lembaga birokrasi  yang menaungi situs, dengan payung hukumnya UU Desa dan UU Pemajuan kebudayaan.

Kunjungan ke Punden Sanggaragung Desa Ngadas. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Kunjungan ke Vihara Paramita Desa Ngadas, dengan Topik Sejarah Umat Buddha di Desa Ngadas. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)


Menempatkan Desa Sebagai Subyek

Pada era Orde Baru, rezim penguasa secara massif mempergunakan jaringan media radio dan televisi untuk melancarkan penguasaannya atas warga desa dan wilayahnya yang dihuni. Para petani diorganisir dalam kelompok yang disebut dengan istilah klompencapir – kelompok pembaca (koran), pendengar (radio) dan pemirsa (televisi).  Radionya di bawah naungan jaringan Radio Republik Indonesia (RRI), dan televisinya dalam naungan jaringan Televisi Republik Indonesia (TVRI). Ketiga media tersebut – radio, televise dan koran – semua perijinannya diatur dan dikontrol dengan SIUPP (Surat Injil Penerbitan dan Penyiaran) ada di bawah Departemen Penerangan RI. Dan menterinya, akan selalu menggunakan ungkapan “ … menurut petunjuk Bapak Presiden …”

Sebagai gending (lagu) pembuka yang mengawali acara radio dan televisi untuk program pembangunan (pe)desa(an), siaran radio atau televisi akan memperdengarkan sebuah gending Jawa berjudul “Modernisasi Desa”. Selama Orde Baru, gending tersebut tidak pernah diperkenalkan siapa penciptanya. Dalam penulisan sejarah seni karawitan diketahui bahwa pencipta gending tersebut adalah Ki Tjakrawasita. Seorang empu karawitan kaliber dunia yang pernah selama 22 tahun mengajar di California Institute of Art, USA. Dan, salah satu karya gending ciptaannya dimuat dalam piringan emas yang ditempatkan bersama karya-karya komponis dunia seperti J.S. Bach dalam pesawat tanpa awak “Voyager” yang telah diluncurkan sejak 1974. (St. Sunardi et.al. (ed.), Elo, elo lha endi Buktine. Seabad empu Karawitan Ki Tjakrawasita, Yogyakarta, Masyarakat Karawitan Jawa, 2004.)

Untuk memberikan gambaran bahwa gending Modernisasi Desa menjadi alat ampuh untuk penanaman idologi pembangunan desa, berikut adalah syair lengkapnya:

Ayo-ayo, kanca tilingana                   – ayo teman,kita perhatikan
Kanca miyarsakna                               – Mari kita dengarkan
Enggal katindakna                              – Mari cepat kita kerjakan

Desa kuwi wit kuna wis mesti          – sejak awal keberadaannya, desa selalu
Tansah jadi obyek                               – menjadi obyek
ning saiki ganti                                    – sekarang sudah berubah.

Modernisasi desa,                                – Ada modernisasi desa
pembangunan desa                             – (ada) pembangunan desa
Lan tegese kuwi (kan)ca                    – dan artinya

Kudu dadi subyek                                – harus menjadi subyek
Melu nemtoake ing                              – ikut menentukan
Bab politik, ekonomi, lan sosial, lan – bidang politik, ekonomi, social, dan

Kabudayaan duwea ta aktivitas mring                       – kebudayaan yang aktivitasnya
Kang tundone kanggo mbrantas pengangguran      – terarah memberantas pengangguran

Modernisasi desa – modernisasi desa – modernisasi desa
Sa Indonesia …

 

Dalam wilayah akademik, mengimbangi para ekonom yang menjadi teknokrat – memimpin birokrasi dengan pemikiran dan konsep-konsepnya dioperasikan dalam kebijakan, pada wilayah ilmu-ilmu sosial dan ekonomi kerakyatan, hadir para pemikir yang mengkaji keberadaan desa dengan para petaninya. Dalam lanskap pemikiran tersebut, pemahaman tentang dunia pertanian dan unit-unit desa dipahami secara komprehensif, dan dikemukakan kebutuhan, dan eksistensi warganya. Dengan demikian, hal tersebut menjadi suara alternatif yang perlu dipertimbangkan dalam pendekatan ekonomi makro dalam pembangunan rakyat Indonesia. Dapat disebut beberapa tokoh yang mengkaji para petani dan lingkungan pedesaaannya. Sediono MP Tjondronegoro, Syamsoe’oed Sadjad, dan Prof Sayogyo (St Sularto, Sosok-sosok Inspirasi Keteladanan, 2022)

Desa yang semula menjadi ujung tombak (front line) dalam pembangunan Indonesia, selanjutnya menjadi wilayah yang menjadi obyek kebijakan revolusi hijau – untuk mengejar hasil intensifikasi pertanian dengan pupuk-pupuk pestisida yang telah merusak kestabilan kesuburan tanah. Di samping itu, dalam perkembangan selanjutnya pengembangan wilayah industri telah membuat konversi penggunaan lahan subur pertanian menjadi wilayah industri pabrik dengan berbagai pencemarannya.

Di sisi lain, dalam ruang lingkup sejarah, Prof Sartono Kartodirdjo, menjadikan pemberontakan petani di Banten sebagai upaya untuk memperlihatkan kajian sejarah yang indonesiasentris menggantikan sebuah paradigma kolonial yang eropasentris. Jelas dalam hal ini, Prof Sartono Kartodirdjo merintis untuk menempatkan petani sebagai rakyat Indonesia sebagai subyek sejarah yang tidak bisa diabaikan. Bahkan perlu ditempatkan dalam posisi sentral. (Prof Sartono, Ratu Adil)

Sejalan dengan pemikiran tersebut, melalui kajian karya seni rupa sebagai bahasa simbolik, sejarawan Ong Hok Ham menyebutkan bahwa di dalam karya mooi indie, ada semak-semak gerumbul yang ditempatkan hanya melengkapi keindahan lukisan yang tercipta. Tetapi para perupa mooi indie tidak menyadari bahwa dari balik gerumbul tersebut justru muncul para pemberontak yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Gerumbul yang menjadi pelengkap keindahan, telah diubah keberadaannya dengan cara pandang yang lain sebagaimana dikemukakan Ong Hok Ham. (Onghokham, “Hindia yang dibekukan: Mooi Indie dalam seni rupa dan ilmu sosial”, hal. 65-73)

Pada periode tahun 60-an, seorang pemikir bidang filsafat dan pendidikan Prof N. Drijarkara berusaha menjelaskan konsep dan praktik Demokrasi Terpimpin pada era pemerintahan Presiden Sukarno di hadapan audiens di USA. Dalam penjelasan tentang demokrasi (terpimpin), Drijarkara menunjuk praktik demokrasi yang ada di pedesaan sebagai embrio munculnya demokrasi di Indonesia. (Oase Drijarkara, Tafsir Generasi Muda Masa Kini, 2013 )

Hal-hal yang telah disebut di atas telah menempatkan desa dan para penghuninya menjadi wilayah penting, sekaligus sebagai aktor, pelaku yang memiliki kesadaran, membangun paradigma dalam cara bernalar, dan berperan aktif dengan partisipasinya dalam membangun keberadaan Indonesia dari era kolonial sampai pada keadaan saat ini. Ada satu hal laten dalam cara pandang “desa kala patra”, “manca pat” sebagai paradigma cara bernalar yang perlu diperhatikan dalam jejak-jejak peradaban yang ada. Komposisi berbagai letak pemukiman, atau berbagai unsur lain, Ini merupakan unsur-unsur yang perlu kembali digali. Sebagian dari hal tersebut telah terhapus oleh ideologi pembangunan  era Orde baru. Antara lain menghadirkan rumah dan tembok batu keliling rumah, atau pembangunan salon di desa-desa sebagaimana telah ditemukan di daerah Resapombo, daerah Blitar. Politik eufemisme (mengemukakan hal secara bahasa semu) untuk mengelabui rakyat yang dilakukan rejim Orde Baru, telah direproduksi oleh rakyat sendiri dalam kehidupannya. (Kisah Seribu Cermin Emmanuel Subangun)

Prosesi Upacara Penyambutan Peserta Workshop Jurnalisme dan Arkeologi BWCF, oleh pemangku adat dan tokoh agama Desa Ngadas. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Kerangka Dasar Untuk Menempatkan Pengalaman dan Latihan

Jejak arkeologi yang sedemikian kaya dan berlapis-lapis, perlu digali dan dimunculkan kembali. Bahkan perlu interpretasi baru, perlu upaya mendialogkannya dengan konsep keilmuan barat yang menempatkan subyek dan cara pembacaannya. Hal-hal semacam ini kerapkali tidak diperhitungkan, diabaikan bahkan tidak dipahami karena cara pikir baru yang diimpor dari cara pikir barat, dari luar yang dibawa oleh agen perubahan digunakan secara semena-mena.

Sejalan dengan tema “Visual, Ritual Desa Ngadas, Bromo” pada Workshop Jurnalisme Arkeologis BWCF 2023, di sini dikemukakan 2 (dua) kerangka dasar yang ditujukan sebagai alat bantu untuk memahami dan menempatkan pengalaman dan latihan yang dijalankan selama workshop ini berlangsung. Konsep pertama, menempatkan 3 (tiga) unsur mitos (kisah kudus yang mendasari keyakinan), ritus (tata upacara dengan berbagai praktiknya) komunitas (kelompok masyarakat di mana kepercayaan diyakini, dan praktik dilaksanakan). Ketiga unsur dimanfaatkan untuk memahami hubungan timbal balik ketiganya, yakni keberadaan kelompok masyarakat yang memegang kepercayaan religius terrtentu, berada di suatu wilayah tertentu,  dengan nilai-nilai hidup orientasinya, dan praktik religius yang dijalankan. Hari Raya Kesada yang akan dirayakan masyarakat Tengger (tersebar di desa-desa Kabupaten Pasuruan, Probolinggo, dan Malang) di puncak Bromo, 4 Juni 2023 dapat dipahami pada dinamika ketiga unsur yang disebut di atas. Dimulai dengan pengumpulan air suci dari berbagai sumber mata air yang tersebar di beberapa tempat seputar Bromo dan Semeru sebelum Hari Raya Kesada, dilanjutkan berbagai rangkaian acara selanjutnya.

Keberadaan Desa Ngadas dengan kepala desa dan perangkatnya, serta masyarakatnya yang terbagi dalam beberapa komunitas keagamaan, seakan seperti desa-desa lain pada umumnya. Ternyata memiliki kekhususan tersendiri dilandasi keyakinan dan praktik masyarakat Tengger. Kepala desa tidak perlu berkampanye, tapi akan dipilih masyarakat, dan didatangi untuk dimintai kesediaannya memimpin. Selain itu, untuk warga ada praktik “petekan” untuk menjaga kemurnian janda dan gadis remaja, untuk menghindar dari akibat hubungan di luar nikah. Perayaan “unen-unen” setiap (5) lima tahun sekali untuk melakukan koreksi atas pergeseran kalender bulan dan matahari. Dan sebagainya.

Kehadiran desa di seputar Bromo dan Tengger, antara abad X – XV memang tercatat di dalam sejumlah prasasti dan peninggalan arkeologis yang telah terlacak. Sebagaimana penelitian arkeologis yang dilakukan Bapak Ismail Lutfie atas beberapa prasasti yang ditemukan di berbagai tempat di lereng Bromo dan Semeru.

Keberadaan prasasti pertama yang menggunakan candra sengkala di candi Canggal di Gunung Wukir, Jawa Tengah perlu ditempatkan sebagai paradigma berpikir. Shruti indriya rasa sebagaimana tertulis dalam prasasti Canggal di gunung Wukir sebagaimana dideskripsikan oleh Prof Poerbatjaraka dalam bukunya Riwayat Indonesia, bukan hanya melulu sebagai penunjuk angka tahun 654 Saka. (Poerbatjaraka, Riwayat Indonesia I, 1952) Apalagi penulisan candra sengkala telah menggunakan konsep cermin, membaca secara terbalik. Ada konsep yang mendasari sebagai penyusun paradigma. Shruti – teks yang telah dibaca, dinterpretasikan oleh subyek pembaca. Untuk membedakan dengan smriti, teks seperti adanya. Indriya – ilmu-ilmu bantu yang diperoleh dari hasil pengamatan: antropologi, sejarah, sosiologi, dan lainnya. Rasa – nalar yang ditopang oleh dua dasar; shruti, dan indriya. Shruti indriya rasa – membangun paradigma nalar rasa (the logic of sense).

Dengan paradigma nalar tersebut, berbagai hal terkait situs dan artefak yang ada di berbagai desa di wilayah Nusantara, beserta masyarakat yang menghidupinya, memang perlu dikaji dan diketengahkan kembali. Bukan melulu sebagai pengetahuan  alternatif di era banjir komunikasi jaman ini. Sekaligus, perlu menjadikannya sebagai tonggak untuk mengurai berbagai kebuntuan berpikir di tengah masyarakat Indonesia jaman kini. (Membaca Ulang Serat Centhini, 2018).

Suasana Kelas “Prasasti-Prasasti yang menyebut adanya Karsyan-Karsyan (pertapaan) di kawasan Bromo-Semeru. Dari Prasasti Walandit sampai Prasasti Pasru Jambe. Pentingnya Kawasan Bromo dan Semeru dari sisi arkeologi”, bersama Dr. Ismail Lutfi. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)


Penutup

Di sinilah Lokakarya Jurnalisme arkeologi ini mendapatkan tantangannya.  Fenomena yang ada di lapangan dengan berbagai peninggalan yang ada (dalam cerita, atau situs, dan benda peninggalan), perlu digali dan diketengahkan secara seksama, cermat, dan mendetil. Tidak bisa secara gegabah untuk melakukan klasifikasi, dan penilaian. Karena ada lapis-lapis harta warisan berabad-abad yang menjadi peninggalan berharga. Kita belum tahu bagaimana memperlakukannya. Setidaknya mengalami dalam pengalaman dan pengamatan yang masih sangat terbatas, mencatatnya secara cermat, dan teliti. Pada gilirannya akan memunculkan kekaguman. Tidak tersesat untuk mengadili dalam keterbatasan pengetahuan yang kita miliki. Ini merupakan langkah awal untuk merekam dalam ingatan, menghormati warisan, dan mencermati pada tahap dan kesempatan berikutnya.

Selamat mengalami, dan menjalani lokakarya jurnlisme arkeologis ini dengan semangat keterbukaan. Belajar menjadi murid yang berani mengajukan pertanyaan, dan menunda untuk menemukan jawaban.

Foto Bersama Peserta Workshop Arkeologi dan Jurnalisme di Kawah Bromo. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Foto Bersama Peserta Workshop Arkeologi dan Jurnalisme di Lautan Pasir Bromo. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Bujono, Bambang – Wicaksono Adi (eds.), Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai, Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta, 2012

Elcid Li, Dominggus dan Sujarwoto (ed.), Ketidakadian Sosial Kapitalis dan Demokrasi. Catatan dari Penjuru Indonesia Tahun 2021, Indonesian Social Justice Network, 2022

Kasali, Rhenald, Disruption, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2017

Katalog Pameran Kelompok Seni Tritura, …

Poerbatjaraka, Riwayat Indonesia I, Jakata, Penerbit Pembangunan, 1952

Rosa Herliany, Dorothea, dkk., ed., Memori dan Imajinasi Nusantara, Yogyakarta, Penerbit Ombak, 2015

Rosa Herliany, Dorothea, dkk., ed., Gunung, Bencana dan Mitos di Nusantara, Yogyakarta, Penerbit Ombak, 2015

Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil

Subanar, Budi, ed., Oase Drijarkara, Tafsir Generasi Muda Masa Kini, Yogyakarta, Penerbit USD, 2013

Subanar, Budi, ed., Membaca Ulang Serat Centhini, Yogyakarta, Penerbit USD, 2018

Sularto, St., Sosok-sosok Inspirasi Keteladanan, Jakarta, Penerbit KOMPAS, 2022

Sunardi, St., dkk., (ed.), Elo, elo lha endi Buktine. Seabad empu Karawitan Ki Tjakrawasita, Yogyakarta, Masyarakat Karawitan Jawa, 2004

Nugroho, Primanto, ed., Kisah Seribu Cermin Emmanuel Subangun, Yogyakarta, Penerbit Abhiseka Dipantara, 2018

 

*Penulis adalah Rohaniawan dan Pengajar Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.