Sujud Pasrah Sumarah: Perlukah “Laku”?

Oleh Dr. Amos Setiadi

Ditulis untuk Buletin WENING, Dinas Kebudayaan DIY (Kundha kabudayan), 2021

Artikel ini disusun dengan menggunakan pendekatan kajian kepustakaan, dimana penulis dalam menjelaskan dan menyimpulkan merujuk pustaka yang relevan sebagai pemahaman umum. Meski demikian, rujukan tersebut terefleksikan dengan apa yang penulis alami sehingga bagi penulis artikel ini merupakan kebenaran yang bersifat substantive (kebenaran yang berangkat dari empiri, spesifik, pengalaman sehari-hari). Artikel ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian Pertama menjelaskan judul apakah Sujud Pasrah Sumarah itu dan apa yang dimaksud dengan laku? Bagian kedua berisi penjelasan lebih lanjut bagian pertama.

Bagian Pertama

Sujud Pasrah Sumarah kepada Allah adalah budaya rohani sinau pasrah berserah kepada Allah. Merupakan pelaksanaan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam azasnya yang murni dengan tidak membedakan antar aliran kepercayaan, golongan maupun agama. Sujud Pasrah Sumarah kepada Allah dilakukan dalam bentuk “berdiam diri dengan tenang dan tenteram”. Artinya berdiam diri yaitu suwung. Tenang dan tenteram yaitu dalam kondisi mengistirahatkan pancaindera dengan terus menerus berkeblat kepada Allah. Lenggah (“duduk”) sujudnya di dalam sanubari yang arahnya di dalam dada. Jika “duduk” sujudnya dalam sanubari sudah betul maka ada tandanya. Tanda tersebut merupakan pengaruh dari purba (kuasa) Tuhan (terkait tanda ini dapat dibaca dalam artikel Sumrambah). Sedangkan laku yaitu syarat apa yang harus diwujudkan melalui tindakan bagi siapa saja yang bermaksud mencapai sesuatu, serta harus dipraktikkan selamanya.

Bagian Kedua

Dari pengertian diatas, maka laku bersifat memuat motif, mengandung permintaan dan permohonan sesuatu yang kita lakukan dalam bentuk perbuatan baik secara lahir maupun batin. Maka laku dapat ditafsirkan sebagai suatu syarat dalam bentuk tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang belum mempunyai sesuatu yang ingin dicapai atau belum mendapat sesuatu yang ingin dicapai. Jika seseorang sudah mendapatkan sesuatu yang ingin dicapai, umumnya tidak lagi mempraktikkan laku, tidak lagi memohon dan meminta. Dalam laku, didalamnya terkandung harapan supaya mendapatkan sesuatu dan berisi permohonan serta permintaan supaya memperoleh sesuatu (mengandung keinginan). Keinginan umumnya berpangkal dari “aku” sehingga laku yang demikian mengandung pamrih. Doa yang berisi permintaan dan permohonan merupakan salah satu “laku dalam niat” (Tanpoaran, 1988).

Oleh sebab itu, jika “aku” masih menjadi pangkal dari kehidupan budaya rohani seseorang, maka sangkan paraning dumadi budaya rohani seseorang tersebut masih dalam taraf laku karena belum memiliki “kekosongan aku” (suwung). Selama seseorang masih menjalani laku, masih berpangkal pada motif, permintaan dan permohonan, maka budaya rohani seseorang tersebut masih “terbungkus” harapan dan tujuan, serta masih dipenuhi keinginan (karep), belum suwung.

Sujud Pasrah Sumarah kepada Allah dilakukan dalam kesadaran, yaitu kesadaran untuk tidak memerlukan motif dan tujuan, apalagi permintaan dan permohonan karena yang diperlukan hanyalah kesadaran akan kehampaan “aku” (suwung). Dalam mempraktikkan Sujud Pasrah Sumarah kepada Allah yang perlu disadari adalah sikap jiwa yang mengerti kalau “permintaan dan permohonannya” nanti terjawab oleh Tuhan. Sujud pasrah sumarah punika mboten dipun pari ngi kitab tuwin donga jalaran Allah punika Maha Wikan, Maha Priksa saha Maha Mangertos sedaya obah mosiking umat manungsa. Sampun malih ingkang sok ndedonga lan sapiturutipuin, saweg wonten krenteg badhe nyuwun pirsa kemawon sampun angsal wangsulan saking Allah awujud pangertosan murih wilujeng ing sedayanipun. Amargi kangge para kadhang sujud pasrfah sumarah punika ingkang dipun ugemi naming kasunyatan, tanpa syarat, naming mligi sumarah kemawon (DPP Paguyuban Sumarah, 1992).

Berbeda dengan laku yang memiliki motif, pemintaan dan permohonan yang tidak didasari oleh kesadaran dan pengertian tentang bagaimana Tuhan menjawab permintaan dan permohonan tersebut. Praktik rohani yang demikian adalah laku yang tidak wajar dalam budaya rohani karena masih “dibungkus” oleh “aku”. Laku yang demikian juga tidak berlandas pada “kekosongan aku”, bahkan memupuk rasa “aku” yang semakin menonjol (nafsu ingin dan karep).

Dalam budaya rohani, selama seseorang masih meminta dan memohon, maka ia masih belum dewasa secara rohani meskipun telah usia lanjut. Siapa yang masih meminta maka ia belum mengerti dan sadar bagaimana caranya usaha. Sebaliknya, seseorang yang sudah dewasa secara rohani, ia akan mengerti bagaimana caranya usaha dan selanjutnya memasrahkan apa yang telah ia usahakan itu (suwung lan sumarah ing karep), bukan meminta. Pada titik inilah perbedaan antara sinau Sujud Pasrah Sumarah kepada Allah dengan laku yang memuat motif, permintaan dan permohonan.

Sujud Pasrah Sumarah kepada Allah adalah sinau pasrah, yaitu belajar berserah memasrahkan kepada Allah atas apa yang telah diusahakan (karya). Usaha apa? Mengusahakan perbuatan sehari-hari yang berlandas kesadaran sebagai penunaian kewajiban. Kewajiban menghidupi kehidupan itu sendiri. Kewajiban menghidupi kehidupan inilah yang seharusnya dijadikan kebiasaan. Bukan kebiasaan laku berlandas motif, meminta dan memohon yang masih lekat dibungkus oleh “aku”. Selubung “aku” membuat seseorang menjadi “buta” terhadap kewajibannya menghidupi kehidupan. Bahkan selubung “aku” tersebut menjadikannya tidak menyadari bahwa permintaannya sudah terjawab oleh Tuhan. Apakah jawaban Tuhan itu? Jawaban Tuhan dalam bentuk kesadaran tentang relasi. Relasi diri kita dan alam sekitar sesungguhnya sudah merupakan jawaban Tuhan. Duwe rasa urip (punya rasa hidup), rumangsa ana sing nguripi (merasa ada yang menghidupi), ngrumangsani preluning nguripi (sesanggeman menghidupi kehidupan) (Untung Murdiman, 2019).

Inilah kewajiban menghidupi kehidupan yang tidak berpangkal dari “aku”. Menyadari arti kehidupan dan menghidupinya. “Hidup kekal” semestinya kita sadari melalui kehidupan sehari-hari dalam bentuk relasi diri dan alam sekitar serta realitas kehidupan. Selama budaya rohani seseorang masih belum memiliki kesadaran demikian, maka ia tidak sadar jika masih dalam balutan “aku” (belum sumarah ing karep), serta masih lebih sering meminta dan memohon. Laku yang masih memuat motif, permintaan dan permohonan yang paling sering dilakukan umumnya dalam bentuk doa. Namun semestinya doa tidak hanya berhenti dalam bentuk doa lahiriah. Jika demikian, maka doa tersebut masih merupakan laku dalam niat. Oleh sebab itu, diperlukan kesadaran dan perbuatan (usaha) (Tanpoaran, 1988). Tiap manusia berbeda-beda dalam tingkat kesadaran kekosongan “aku” (suwung). Syarat kekosongan “aku” hanyalah sinau Pasrah Sumarah kepada Allah disertai ketenangan jiwaraga.

Ketenangan jiwa-raga yaitu memusatkan angan-angan, rasa dan budi di sanubari yang arahnya di dalam dada disertai ingat kepada Allah (eneng, ening, eling). Kondisi eneng, ening, eling akan disertai tanda yang bisa dirasakan yang asalnya dari purba (kuasa) dari Allah. Tidak ada seorangpun yang dapat langsung dewasa secara rohani. Ia memerlukan proses pendewasaan. Syaratnya hanya tekad (saking sakedhik, inggih sasaged-saged kita, sadumugidumuginipun, namung ingkang prelu punika adjegipun tuwin tansah enget, kulina) (Sutadi, 1955).

Namun yang perlu selalu disadari yaitu laku bukanlah alat dan tujuan. Jangan menjadikan laku atas dasar motif, permintaan dan permohonan sebagai kebiasaan. Namun berkaryalah dalam kesadaran tentang arti kehidupan. Berkarya dalam kesadaran supaya arti kehidupan itu menjadi nyata sebagai kewajiban dalam suwung.

Sujud Pasrah Sumarah kepada Allah merupakan praktik kesadaran untuk eneng, ening, eling melalui bersatunya angan-angan, budi dan rasa dalam sanubari (purba ing gesang). Sinau memasrahkan diri dalam suwung. Memasrahkan apa yang diusahakan, yaitu usaha menghidupi kehidupan. Praktik kesadaran yang demikian mudah sekaligus sulit. Mudah kalau hatinya dapat menerima, sulit jika tidak dapat menerima (DPP Paguyuban Sumarah, 2009).

————

Kepustakaan

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1974, Sumarah V, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Jakarta.
Sutadi. H, 1955, Santapan Rochani, RRI Surakarta.
Tanpoaran, 1988, Sangkan Paraning Dumadi, Yayasan Djojo Bojo bekerjasama dengan Paguyuban Sosrokartanan, Surabaya.
Tim DPP Paguyuban Sumarah, 2009, Kumpulan Wewarah, Tidak dipublikasikan.
Untung Murdiman, 2019, Rekaman Wawancara (tidak dipublikasikan).

 

*Penulis anggota Paguyuban Sumarah, mengajar di Universitas Atma Jaya Yogyakarta