Melihat adalah Melepaskan

Oleh Adi Prayuda

Emosi pada dasarnya adalah sensasi fisik dengan bungkus drama pikiran. Tanpa selubung drama pikiran itu, emosi adalah sensasi fisik, getaran-getaran halus/kasar yang terasa di tubuh kita. Menghadapi emosi tidak bisa dikatakan mudah, apalagi untuk emosi-emosi yang sudah bertahan lama di tubuh kita, memiliki kekuatan yang cukup besar, sampai-sampai bisa mengakibatkan abreaksi. Dalam meditasi, emosi didekati bukan dengan menahan, mengekspresikan, menekan, melawan, mengubah, namun menyadari. Pendekatan yang mungkin tidak begitu populer karena tidak menyajikan teknik spektakuler dengan hasil yang cepat dan dahsyat. Emosi disadari sampai kepada esensinya. Tentu butuh keberanian untuk, pertama-tama, “berjarak” dengan emosi, kemudian “menembusi” emosi tersebut.

Berjarak artinya mengamati emosi ketika emosi tersebut muncul. Emosi apapun, baik itu marah, kecewa, dendam, sedih, disadari kemunculannya. Dengan menyadari seperti ini, ada “jarak imajiner” antara yang menyadari dengan emosi tersebut. Artinya, kita bukanlah emosi karena emosi masih bisa disadari. Apa yang bisa dilihat atau disadari berarti tidak saling menyatu dengan yang melihat atau menyadari. “Jarak imajiner” ini menciptakan ruang, sehingga daya hantam dari emosi ini tidak begitu besar, walaupun sangat mungkin “hantamannya” masih terasa untuk emosi-emosi yang kuat. Di tahap ini saja sudah cukup menyelamatkan. Kita menjadi tidak terlalu “melekat” atau “teridentifikasi” dengan emosi. Kita sadar bahwa kita dan emosi terpisah.

Menyadari bukanlah tindakan sepele. Menyadari memiliki kekuatan luar biasa. Bisakah kita hanya menyadari emosi yang muncul? Hanya mengijinkan emosi itu ada, tanpa berlari, tanpa menghindari, tanpa melawan, tanpa menekan, tanpa mengekspresikannya. Menyadari seluruh cerita atau drama yang ada di sekeliling perasaan itu, tanpa meletakkan penghakiman apapun, tanpa menilai bahwa ocehan pikiran ini benar atau salah atau bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Sekali kita bernegosiasi dengan ocehan-ocehan itu, perhatian akan terjebak di sana. Terkurung dan terhanyut dalam energi pikiran. Sulit untuk melihat emosi secara jelas karena terhalangi oleh persepsi-persepsi yang ada di sekelilingnya, tentang pembenaran-pembenaran, alih-alih kebenaran.

Ketika energi dari drama pikiran itu hanya kita sadari, perhatian tidak terjebak di sana, kita bertemu energi dari emosi yang kasar yang ternyata adalah sensasi fisik. Emosi yang sudah kehilangan bungkus dualitas baik-buruk atau positif-negatif menyisakan sensasi fisik yang netral, berupa getaran, baik halus maupun kasar, dan suhu tertentu di area tubuh tertentu. Ijinkan seluruh getaran dengan suhu tertentu ini ada. Lihat dengan jernih, tanpa keinginan untuk mengubahnya atau mengusirnya atau bahkan menghilangkannya. Seperti sebuah Ruang Yang Tau, ruang yang memiliki mata. Namun, bukan mata yang sinis, bukan mata yang punya agenda tertentu dibalik tatapannya. Tidak ada keinginan apa-apa selain menyediakan dirinya sendiri bagi sensasi itu untuk ada.

Dengan melihat seperti ini, kita melepaskan emosi, bukan dengan berusaha melepaskan. Tidak ada daya apapun yang diberikan kepada emosi ini, tidak ada cengkeraman apapun, tidak ada penolakan apapun, sehingga tanpa asupan energi apapun, emosi ini pelan-perlahan meluruh kepada sumbernya. Tidak perlu ditunggu. Menunggu artinya juga memberikan energi. Ada harapan terselubung yang terpancar dan berinteraksi dengan energi emosi. Hanya sadari saja. Melihat yang seperti ini adalah melepaskan. Membiarkan emosi kehilangan energinya sendiri dan kembali kepada pembentuknya, yang adalah Ruang yang Tau.

*Penulis adalah pengasuh “Ruang Jeda”