Agama Paangkatan: Sebuah Reportase Ibadah Padi Dayak Meratus

Oleh Devi Damayanti

Saya yakin kita sudah biasa mendengar istilah “bekerja adalah ibadah”. Frase ini memberi semangat dan dorongan agar kita tidak memandang pekerjaan sebagai sebuah keharusan semata untuk mencari nafkah dan memenuhi semua biaya kebutuhan hidup. “Bekerja adalah ibadah” ataupun “bekerja sebagai panggilan” memberi kita makna dan kelegaan bahwa bekerja adalah bagian dari ibadah sehingga kita bisa menjalaninya dengan rela.

Bagi orang-orang suku Dayak Meratus di pelosok Kalimantan Selatan yang mata pencaharian utamanya adalah bertanam padi ladang, bekerja menanam padi saya amati ternyata merupakan inti dari seluruh ibadah mereka. Orang Dayak Meratus memiliki kepercayaan “Agama Paangkatan” yang lebih popular dikenal dengan nama “Baaruh” ataupun “Bawanang”, yang dalam video-video populer yang saat ini sudah semakin banyak dibuat, kebanyakan memakai istilah “Aruh Ganal” untuk menggambarkan acara syukur panen padi di Meratus.

Orang Meratus tidak mengenal jam-jam doa rutin maupun ibadah mingguan seperti dalam agama-agama yang kita kenal, namun proses menanam padi itu sendiri yang menjadi ibadah. Jadi, sesungguhnya acara tahunan baaruh atau bawanang atau aruh ganal ini mereka selenggarakan sebagai puncak kemenangan mereka memelihara padi sejak masih benih hingga menjadi sumber makanan bagi semua orang.

Untuk memahaminya, mari kita lebih dulu mengenal religi orang Meratus supaya kita bisa lebih mudah memahami konsep menanam padi sebagai ibadah. Berdasarkan mitologinya, orang Meratus yakin bahwa leluhur mereka berasal dari Nabi Adam dan Siti Hawa. Dunia dulu masih sangat kecil dan sempit sehingga kalau Nabi Adam tidak dipindahkan ke dunia maka dunia tetap hanya seukuran batok kelapa, air hanya setetes, angin hanya sepotong, tidak akan ada matahari, dan juga tidak ada bulan. Ketika Nabi Adam kesepian seorang diri di dunia, Tuhan menyuruh Nabi Adam menciptakan perempuan sebagai pasangannya. Lalu terciptalah Siti Hawa. Nabi Adam dan Siti Hawa pun berkejar-kejaran sehingga dunia menjadi luas dan langit menjadi tinggi di atas bumi. Pekerjaan pertama mereka adalah menjaga kebun buah yang di dalamnya ada pohon kayu besar.

Pohon kayu besar adalah penghubung langit dengan bumi. Banih atau padi berasal darinya. Itulah rajaki yang diciptakan oleh Tuhan dan nabinya bagi umat manusia. Padi adalah sumber kehidupan. Padi melalui proses yang panjang sejak ditanam hingga dituai. Itu sebabnya menanam padi harus dimulai dengan upacara (bapamataan), agar berhasil tumbuh menjadi rezeki bagi kelangsungan hidup manusia. Ketika selesai dituai pun nantinya akan diakhiri dengan syukuran (bawanang) bahwa untuk setahun ke depan kecukupan makanan akan terjamin. Di setiap balai saat bawanang selalu ada tihang basar, yang melambangkan tiang penghubung dunia, asal banih, sumber rajaki. Padi adalah dasar ritual dan festival bagi orang Meratus.

Salah seorang sesepuh kepada saya mengatakan istilah ‘Agama Paangkatan” berasal dari kegiatan mengangkat-angkat sesaji dalam acara bawanang. Bawanang adalah festival syukuran potong tahun. Perjalanan tumbuhnya padi sejak berawal dari benih yang ditanam di tanah hingga menghasilkan bulir-bulir padi yang bernas dianggap memakan waktu satu tahun. Satu tahun bagi orang Meratus adalah satu masa tanam padi ladang, bukan tahun dalam arti 12 bulan peredaran bumi terhadap matahari atau peredaran bulan pada bumi. Potong tahun dapat diartikan sebagai tahun baru karena setelah padi dituai tentu nantinya akan disambung dengan tanam padi lagi. Itulah yang akan menjadi tahun baru selanjutnya.

Banyak sesaji yang disiapkan untuk acara bawanang juga aneka macam hiasan dan perlengkapan upacara lainnya. Hampir semua orang dewasa sepertinya mendadak jadi seniman yang kreatif menciptakan aneka macam dekorasi dan kerajinan tangan dari bunga, daun, kain, bambu maupun kayu dengan bentuk, pola, dan motif yang sama seperti sejak zaman nenek moyang mereka. Segala jenis perlengkapan upacara memiliki nama-nama metafora yang indah, misalnya sangkar buluh tangkalak, sangkar hawur, sangkar buluh hijau, sangkar ciri-ciri, sangkar tamiyang salah, sangkar tabus salah, sangkar buluh kuning susungkulan, sangkar kiciri, sangkar tihang bakambang, sangkar tihang babuah, luludung sabuk, dan layar. Semuanya dibuat bagus-bagus dan berwarna-warni karena inilah festival tahunan yang ditunggu-tunggu.

Pada malam hari, balian (dukun / shaman dalam religi Meratus) atau para balian mulai mengundang semua pahlawan gaib, para leluhur keramat, dan roh-roh penjaga untuk hadir. Festival bukan hanya bagi semua keluarga yang telah bekerja keras merawat padi selama setahun maupun para tamu dari kampung-kampung yang dekat dan yang jauh saja, tetapi terutama bagi para makhluk yang tak terlihat. Semua diundang untuk menikmati makanan pesta yang telah dipersiapkan. Para makhluk sakti yang ada di gunung-gunung dan tempat-tempat keramat, roh-roh leluhur, penguasa-penguasa bukit, batu, sungai, jeram, muara, tokoh-tokoh penting, pahlawan-pahlawan, semua orang halus dan para penjaga umat, semuanya diundang, semuanya dipanggil untuk menerima sesaji dan makanan yang sudah dipersiapkan bagi mereka.

Mengundang para makhluk yang tak terlihat ini diibaratkan sebagai suatu perjalanan semalam suntuk. Balian-balian memutari rimbunan dan memanggil nama-nama mereka satu per satu sesuai urutan dan jabatannya. Tempat-tempat yang ada di seputaran kampung hingga yang jauh-jauh sesuai pengetahuan geografis orang Meratus, dan tak lupa juga tempat-tempat yang tak kasat mata, semuanya seolah-olah sedang didatangi para balian. Semua penjaga tempat itu disebut namanya dan diundang datang dengan cara mengangkat sesaji agar mereka semua melihat bahwa sungguh ada pesta. Setiap pahlawan-pahlawan gaib dan roh-roh yang diundang mempunyai menu sesajinya masing-masing, ada yang berupa bunga wangi, lamang, kue cucur, beras, dan ada juga yang mendapat cermin, ringgitan (anyaman daun) atau palita (lilin madu kecil dari sarang lebah).

***

Selama tinggal di sana saya mengamati ada macam-macam model babalian Antara lain balian alai atau balian mamutir, balian diwa susuran yang mendirikan ancak. balian diwa balahan walu, balian darat, dan balian dudukun atau balian raja. Selama di Dayak Meratus saya mencatat model-model babalian ini. Beberapa akan saya jelaskan di bawah ini.

Pertama, Balian Diwa Susuran. Pada model babalian diwa susuran, acara bawanang harus didahului dengan baharin. Baharin adalah upacara pendahuluan sebelum bawanang, kira-kira 2 bulan sebelumnya. Baharin bermaksud memohon keselamatan pada Yang Kuasa supaya nanti umat bisa bawanang. Bawanang dilakukan beberapa hari tapi jumlahnya harus genap, misal 2, 4, 6, dst, maksimal 12. Penentuan jumlah hari bawanang bergantung pada keselamatan yang dialami umat selama setahun. Kalau lancar, banyak rejeki, ayam berkembang biak, orang-orang sehat, maka jumlah hari bawanang bisa banyak.

Kegiatan baharin ini dilakukan panghulu (kepala balian) sambil duduk sepanjang malam di hadapan satu set perlengkapan upacara. Ada saji, yakni segala jenis makanan kecil-kecil berupa wajit, ketan dibungkus ketupat, kue cucur, darah, kue berbentuk orang-orangan, dan segala jenis hiasan warna-warni yang bentuknya beda-beda, lengkap dengan seekor ayam panggang yang disusun di atas sebuah wadah dari besi. Di atas cobek diletakkan piring keramik, sarung, dan bakul-bakul (tempat beras kecil dari anyaman bambu) disusun bertingkat dengan isi beras, beras ketan, dan rokok. Semua bakul ini diikat kain putih bersama dengan serai dan kunyit yang daunnya tinggi. Juga ada lampu duduk (lampu dari kaleng bekas berisi minyak tanah yang diberi sumbu) dan batapung tawaran yaitu seikat bunga dan dedaunan yang dipakai untuk memercik. Saji itu diperuntukkan bagi orang-orang halus, raja-raja gaib.

Pada acara aruh atau bawanang dengan model balian diwa susuran ini, semua mantra yang diucapkan dan saji yang disiapkan kurang lebih sama dengan baharin. Hanya saja ketika bawanang sang balian tidak lagi sendirian melainkan didampingi oleh patatih (perempuan pasangan balian, biasanya istrinya) dan mereka mengelilingi ancak sambil menyanyikan ucapan-ucapan. Patatih juga menolong balian yang secara berkala suka kerasukan sebentar. Bentuk pertolongannya adalah dengan menarik-narik selendang (stola) si balian hingga sadar kembali. Kalau balai itu memiliki alat musik yang terdiri dari gung, gandang, dan sarun lengkap dengan para pemainnya, maka musik akan dimainkan setiap malam sepanjang kegiatan bawanang. Musik ini berfungsi untuk mengiringi nyanyian para balian. Kalau tidak ada alat musik, minimal harus ada gandang dan para panggandang bergantian memukul gendang sepanjang malam.

Pada hari terakhir kegiatan dimulai sejak pagi hari. Didirikanlah tiang-tiang berhias rangkaian janur yang menjuntai hingga ke tanah. Segala sajian juga dipindahkan ke luar. Setelah melakukan tarian berkeliling sambil bersahut-sahutan dengan para patatih, akhirnya para balian dengan membawa parang melakukan tarian sambil mendekati kambing yang sudah diikat sejak sebelum acara. Kemudian kambing disembelih, begitu juga dengan ayam-ayam putih. Darah hewan-hewan itu ditaruh dalam mangkuk untuk kemudian dicipratkan ke sekeliling. Setelah semua ritual usai dan para peserta beramai-ramai mengambil minyak sesaji untuk dioleskan ke rambut dan ke wajah, acara selanjutnya kembali pindah ke dalam balai. Di balai, aneka bentuk uunduran dari rangkaian daun sudah dideretkan di atas palang. Setelah semua gerakan dan ucapan ritual dilakukan, semua uunduran yang mirip kapal-kapalan berisi sebuah lilin madu itu dihanyutkan ke sungai.

Kedua, Balian Darat.Balai yang memakai model balian darat tidak mengenal baharin, tetapi ada manyanggar buana yang dilakukan setelah selesai bawanang. Saya pernah mengamati berbagai perlengkapan upacara yang memakai model Balian Darat ini. Berikut di bawah ini adalah pengamatan saya pada bawanang hari terakhir di sebuah balai di Meratus Timur yang memakai model balian darat.

Dekorasi balai. Hari pertama orang memasang rimbunan (papan-papan) dan ringgitan (dari daun enau) 10 tingkat dari papan halus. Tihang basar yang dibuat dari kayu pulayi baru dibuat pada siang sebelum bawanang hari terakhir. Balian sebagai pangurus ka Pangawasa ada bermacam-macam: balian lamping, balian tanggung, balian putir, balian dewata, dan balian layar. Dari posisi pintu masuk ke dalam balai ada tiang-tiang bambu yang disusun segi empat, yang paling depan dinamakan balian dewa (dibuat pada hari kedua), yang tengah dinamakan balian darat (dibuat pada hari pertama), yang terletak paling dalam dinamakan rimbunan tihang basar (dibuat pada hari ketiga) Tapih (sarung) yang ada di tihang basar dinamakan bandang, sedangkan sarung yang di atas bandang yang disusun satu-satu dinamakan sangkar.

Sumur minyak. Terdiri dari sepuluh buah botol berisi minyak, tarai (semacam baki yang di atasanya ada beberapa pisin berisi minyak), agung (seperti canang), ringgitan, kambang, giring-giring (gelang yang berbunyi gemerincing), sarai (sereh), janar (kunyit), mayang, bawang, dan kelapa. Di tihang basar harus ada ayam putih yang berjengger merah, satu ayam warna merah, dan satu babi yang semuanya disembelih setelah para tamu pulang, tetapi kambing untuk balian darat sudah dipotong sore sebelumnya. Balian putir mengupacarai sumur minyak. Awalnya dia berkeliling-keliling mengitari tikar yang di atasnya terdapat semua perlengkapanitu kemudian satu per satu barang juga diangkatnya sambil berkeliling.

Banajat. Membawa lamang ke tihang basar disebut banajat. Banajat hanya dilakukan oleh laki-laki yang mewakili umbunnya. Satu umbun terdiri dari pasangan suami-istri dan anak-anak. Kalau dalam umbun tidak ada laki-laki maka tidak ada yang banajat. Pasangan awat-apih (kakek-nenek) tetap dianggap satu umbun tersendiri kecuali salah satunya sudah mati, yang hidup boleh bergabung dengan umbun anaknya. Banajat adalah mendatangi tihang basar sambil membawa lamang lalu berdoa mengucapkan kata-kata yang menyerupai mantra. Intinya adalah meminta umur panjang, keselamatan, dan rezeki. Ketika banajat orang menyalakan lilin madu (lilin buatan sendiri dari sarang madu yang direbus) sekaligus membawa kambang babau, ikan, dan pisang yang semuanya ini dinamakan paninian.

Manuyuakan janji. Terdiri dari 1 piring wajit dan 1 mangkok besar wajit, 3 piring air masing-masing berpewarna merah, hijau, dan kuning, 1 piring adonan tepung yang diolesi warna hijau dan merah dengan 2 butir telur di atasnya, 1 piring berisi orang-orangan (dari adonan tepung) diolesi warna merah dengan posisi duduk menjulurkan kaki, 1 baskom berisi sarai, 1 ruas lemang yang ujungnya diikat merah, giring-giring, 1 bakul beras, 1 botol minyak, dan 1 helai sarung. Orang-orangan itu adalah tanda janji dari orang-orang yang sudah sembuh setelah dihiyaga padahal sebelumnya sempat sakit gawat . Sepanjang tahun silam banyak warga yang dihiyaga. Dulu mereka pernah bernazar dan sekarang semuanya dikumpulkan sekaligus untuk dibaliani.

Bagi lamang. Pada hari terakhir, para peserta bawanang membagi-bagikan lamang kepada para tamu yang datang (yang bukan peserta aruh di balai itu). Masing-masing mereka sebelumnya telah membakar banyak lamang untuk dibagikan kepada siapapun yang ingin diberi. Tidak heran bila para tamu dari jauh bisa mendapat banyak sekali lamang. Bila lamang sudah dimakan berarti sudah jumpuh (selesai). Selain lamang, mereka juga membagikan semangkuk beras pada setiap tamu. Jadi tamu juga bisa pulang membawa cukup banyak beras.

Batamat. Selama bawanang, para peserta dan umbunnya tidak boleh bekerja apa-apa, mencari gangan (lauk untuk makan) juga tidak. Makanan disajikan di balai dan semua orang diperbolehkan makan sekenyangnya. Selesai bawanang para peserta harus batamat selama tiga hari, tidak boleh melakukan kegiatan apapun termasuk tidak diperbolehkan mandi.

Manyanggar Buana. Manyanggar buana dilakukan pada hari kedelapan setelah aruh berakhir. Tidak ada undangan untuk para tamu sebab acara ini hanya untuk warga setempat. Ada langgatan (anyaman daun yang digantung) yang isinya buluh dan tangkal untuk upacara mandiwa. Ada uunduran yang besok pagi selesai manyanggar akan dibawa dan diletakkan di hutan. Banunung adalah bercerita kepada Yang Kawasa di tihang basar. Kali ini yang dikisahkan adalah banyaknya warga yang sakit setelah aruh kemarin karena mungkin saja ada yang membuat kesalahan atau terjadi kesalahan dalam proses bawanang. “Amun ada kasalahan, amun ada kaluputan, maminta ampun ka Urang Kuwasa.” itulah doa para balian.

Tihang basar tidak akan diganti maupun dipindahkan tetapi akan tetap terletak di balai sampai di kampung ini ada yang meninggal. Tiang-tiang bambu di tengah rimbunan (untaian janur) adalah balian darat, sementara yang satunya lagi yang diberi ayam dua ekor adalah balian dewa Salah satu kalimat yang terdengar dari doa para balian adalah ”jagai alam dunia”. Keesokan paginya sekitar jam delapan, sekelompok laki-laki menemani pangulu (balian kepala) berdoa di depan tampah/nyiru sambil mencuil-cuil makanan yang ada di situ. Itu namanya mandukung pangulu berdoa memohon keselamatan, yang disebut du’a baduduk. Kemudian ayam dipotong, darahnya yang di dalam mangkok itu kemudian dicolek dan dilempar ke arah belakang badan oleh beberapa orang tertentu.

Banunung. Bagi orang yang tidak mampu bawanang, misalnya karena hasil panennya sedikit saja atau tidak punya uang untuk ikut patungan mengadakan bawanang, ada solusinya. Orang yang tidak ikut bawanang diperbolehkan berdoa sendiri di depan sebakul beras baru lengkap dengan kambang dan palita. Doa pribadi ini dinamakan banunung atau bamamang. Masyarakat Dusun Halong di sebelah barat menyebutnya manjangking.

Perempuan dalam keluarga boleh melakukannya, tidak selalu harus laki-laki. Orang mengucapkan doa dan mantra sambil memohon agar selalu diberi rajaki. Setelah banunung, beras baru hasil panen tahun itu sudah boleh dimakan. Kalau punya uang yang lebih kecil jumlahnya dari standar patungan bawanang, boleh juga bawanang di rumah sendiri. Sesaji tidak perlu selengkap di balai namun tetap memanggil seseorang yang mampu untuk baucap-ucap di depan sesaji.

***

Semua pengamatan tentang bawanang di atas, saya lakukan saat tinggal bersama orang Meratus pada sepuluh tahun lalu (2010-2012). Hingga kini, satu dasawarsa kemudian, tradisini ini tetap berlanjut. Setiap musim hujan, orang Meratus selalu membersihkan lahannya yang bias jadi berbeda dari tahun lalu, lalu mesnyiapkan diri untuk manugal (menabur benih) yang dilakukan bersama-sama. Mereka akan menjaga ladangnya dan membersihkan rumputnya sambil mengusir burung-burung yang datang. Beberapa bulan kemudian, saat awal musim kemarau, padi menguning dan siap dipanen. Festival tahunan mereka selenggarakan lagi sebagai wujud syukur padi yang telah mereka pelihara baik-baik sudah menuntaskan pertumbuhanya sebagai sumber kehidupan bagi mereka yang telah mengusahakannya.

Di masa pandemi covid-19 seperti ini, orang Meratus tidak akan pusing dengan segala macam aturan pembatasan sosial dan jaga jarak. Di pedalaman Meratus mereka memang tinggal di pondoknya masing-masing, yang didirikan di atas ladang yang luas dan cukup berjauhan dengan tetangga. Setiap keluarga punya persediaan padinya sendiri di lumbung-lumbung bahkan sejak panen beberapa tahun lalu. Jamur putih yang lezat akan bermunculan di batang-batang kayu lapuk pada musim hujan, segala macam buah-buahan akan berbuah pada musimnya, sedangkan sayuran hutan, daging buruan, dan ikan sungai bisa diusahakan sepanjang musim. Satu-satunya ancaman mereka adalah pembukaan hutan yang masif dengan alasan pembukaan lahan sawit dan segala macam izin usaha pertambangan, yang bukan hanya mengancam kehidupan orang Meratus namun juga sekuruh ekosistem hutan tropis Meratus yang semakin sedikit tersisa.

 

*Penulis adalah pekerja sosial yang pernah menerbitkan buku berjudul Meratus, Nyanyi Sunyi di Pegunungan Borneo (Yogyakarta: Lamalera, 2016) . Dengan kata pengantar ditulis oleh Prof. Bernard Sellato Ph.D, seorang antropolog pengamat budaya Dayak dari Perancis.