Puisi-Puisi Wendoko 

NYANYIAN UNTUK TUAN TAN 

bertumpuk dalam di ingatan, hidupmu
lamur oleh arus timbul dan tenggelam
masa yang lewat, dan waktu yang hanyut
untukmu, kusiapkan cawan
dan seguci anggur 

siapa mengira, setelah 10 tahun
kau menjejak pekarangan dan beranda
dan mengetuk lagi pintu pondokku

rumpun krisan di pekarangan pondokku
katamu, seindah taman gerbang kota
saat petang ketika langit luluh

kita suntuk bercakap di beranda itu
sampai larut, tentang tahun-tahun yang lewat
sekali kau tercenung, lalu merenung

lama kau diam di depan cawan itu
tapi tak kau minum, kau tepekur diam
kenapa sobat, apa yang mengganggumu 

pekarangan lalu bercahaya redup
berbayang redup, dedaunan rehat
setelah diguyur terik sehari penuh
untukmu, kusiapkan cawan
dan seguci anggur 

kataku, di bukit itu, di tempat burung
mendengkur, tinggal runtuhan dan ilalang
adalah pondokmu pada masa yang lalu

dan kita mengingat malam di pondokmu
ketika di langit berserakan bintang,
seolah kunang-kunang di kerumun sorgum 

katamu, manusia seperti burung
tak putus terbang, tak jelas tujuan
hingga saatnya lenyap tertelan waktu 

petang, kuhidangkan buah prem yang ranum
malam, nasi dengan lauk kari kijang
di pekarangan malam terhalang kabut 

kau tercenung dan merenung, dalam tepekur
sementara lengang di sekitar beranda
angin cepat menggerus, merontokkan daun
untukmu, kusiapkan cawan
dan seguci anggur 

dan kita mengingat masa yang sengkarut
tahun-tahun yang rawan, dan bergolak
lalu kedamaian datang tapi tak utuh 

kita duduk diam, seolah menunggu
cahaya bulan jatuh ke beranda,
dan senyap meruah di tiap teguk anggur 

kau bercakap tentang samudra di timur
tentang gurun di utara, perbukitan
di barat, lalu selatan yang merabuk 

sekarang aku bagai burung, katamu
tak bersarang, hanya sedikit mengingat
kawan-kawan telah pergi satu per satu 

tapi bulan, kerlip embun di rumput
rimbun krisan dan pekarangan yang tenang
adalah keindahan, saat malam larut
untukmu, kusiapkan cawan
dan seguci anggur 

kau terbahak, lalu menyentuh rambutmu
kataku, tak apa sejenak mengigau
meski rambut sudah beruban salju 

larut malam, kau sepenuhnya mabuk
kau tersedak, diam, lalu meracau
lama kita tak pernah sebahagia itu 

jika nanti cawan telah tandas, katamu
mari limpahi hidup dengan keriuhan,
lambat-lambat seekor kuau melengkur 

dan kita suntuk mengenang masa lalu,
kau akan pergi setelah langit rengkah,
kapan kita sekali lagi bertemu 

entah setelah berapa cawan anggur
bintang memucat, langit berubah warna
tapi jangan pergi, masih ada waktu
untukmu, kusiapkan cawan
dan seguci anggur 

 

MONTASE EMPAT MUSIM 

# 

hari yang berkabut
bayang-bayang menyatu dalam kabut
sebuah terusan, menyusur sampai jauh 

# 

jikalau musim semi tiba, dedaunan
menghijaukan kota, burung terbang mengerumun
sebentar lagi mereka berpisah 

# 

cuaca terang, tak tampak akan hujan
angin datang, lalu bungkalan awan
bergulung sejenak, sebelum turun hujan 

# 

rumput purun menghijau di paya
menunduk dalam angin, di air paya
kucup teratai rekah, bergoyang dalam angin 

# 

cahaya petang tersangkut di perbukitan,
tapi siapa yang mencelup biru langit di sana
dengan warna kemerahan 

# 

ketika mencapai pesisir,
ketika angin mendesir
lagi, kita menyesap aroma anyelir 

# 

alang-alang meninggi
pohon murbei membungkukkan ranting,
burung layang-layang terbang terdorong angin 

# 

musim gugur, kucica bermain petak umpet
di gerombol sorgum, kabut menutupi rumput
dan di dangau engkau tertidur 

# 

perahu tak beratap itu terceguk-ceguk
meluncur mengikut arus kayuh,
di tepi sungai sisa cahaya melamur 

# 

angin berhamburan ke daun-daun
gerisiknya menyesaki udara petang itu,
di sela ingar burung-burung yang gaduh 

# 

ketika hari rebah,
rumput purun di pinggir kali
mengayun pucuk-pucuknya dan menari 

# 

di jendela terbuka, dalam gebalau cuaca
malam senyap, di kamarku yang temaram
kudengar rintik, kudengar hujan merintik 

# 

burung-burung pulang selewat petang
berpasangan melintas pekarangan, di setapak berbatu
kabut tebal tersaruk-saruk 

# 

tekukur menunduk lesu,
mengantuk dan kuyu
di kejauhan, matahari yang redup 

# 

badai salju sehabis petang
batang bakau patah, dan melayang
dalam gigil dan angin, camar tergagap 

# 

sungguh, lanskap yang memesona
ketika petang jatuh
dan matahari mengilaukan sisa salju 

 

*Wendoko menulis puisi dan cerita. Sejumlah puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan terbit dengan judul Selected Poetry (Second Edition, 2018) dan Notes of the Drunkard (2018).