AHIMSA

Oleh Budi Murdono

AHIMSA atau cara non-kekerasan adalah prinsip pertama ajaran Yoga. Di abad ke 20, prinsip ini menjadi sangat terkenal karena menjadi prinsip dasar sekaligus metode gerakan Mahatma Gandhi dalam memperjangkan kemerdekaan India. Cara non-kekerasan juga diadopsi Dr. Martin Luther King, Jr. dalam gerakan hak sipil yang memperjuangkan persamaan hak bagi kaum kulit berwarna di Amerika. Kata “ahimsa” berasal dari bahasa Sanskerta, akar katanya “himsa” (Indonesia: melukai), mengandung arti “tidak melukai” “tidak mencelakai”, “tidak menyakiti” dan “tidak membunuh”. Prinsip non-kekerasan ini sudah ada dalam kitab-kitab suci Hindu Kuno, meskipun masih belum begitu jelas dan utuh. Kitab-kitab suci Hindu baru menempatkan ahimsa sebagai prinsip kebaikan utama sekitar abad ke 5 SM.

Dalam ajaran Buddha (2500 SM), ahimsa terumuskan dalam prinsip “tidak membunuh” atau “tidak menyakiti”. Prinsip ini menempati urutan pertama dalam lima pedoman hidup Buddhis (Panca Sila). Sila pertama ini diartikan sebagai tidak menyebabkan timbulnya penderitaan pada makhluk lain dengan cara apa pun. Sila ini mengandung makna tidak melakukan segala jenis kekerasan, penindasan dan penyiksaan. Dalam ajaran Buddhis, kekerasan dalam bentuk apa pun tidak dibenarkan, karena kekerasan dilahirkan dari pikiran yang tidak terampil, pikiran yang dipenuhi kebencian. Sebaliknya, prinsip non-kekerasan dijunjung tinggi dan harus diterapkan dalam setiap perbuatan, termasuk perbuatan melawan kejahatan. Melawan kejahatan tidak harus dengan tubuh fisik, karena kejahatan tidak ada dalam tubuh melainkan dalam pikiran, Dalam Buddhisme, non-kekerasan dinilai merupakan senjata yang lebih efektif untuk melawan kejahatan daripada balas dendam. Balas dendam hanya akan menambah kejahatan.

Sebagaimana keempat sila lainnya (“tidak mencuri” “tidak berbohong”, “tidak berbuat asusila” dan “tidak mengkonsumsi minuman yang mengjilangkan kesadaran”), ahimsa (Pali: avihimsa) adalah jalan negatif Buddhis untuk merealisasikan “perbuatan benar” yang merupakan salah satu ruas dari jalan mulia berunsur delapan (sering disebut sebagai delapan jalan kebenaran). Pasangannya (jalan positif) adalah cinta kasih (Sanskrt: maitri, Pali: metta), yaitu kelemah-lembutan yang harus dinyatakan dalam perbuatan. Cinta kasih dalam ajaran Buddha adalah cinta pada semua makhluk yang disertai kegembiraan, keseimbangan emosional dan ketulusan serta pengorbanan untuk menolong makhluk lain, menyelamatkan, mendamaikan, menenangkan dan membahagiakannya.

Ahimsa mendapat tempat yang sangat sentral dalam Jainisme (abad ke 6 SM). Prinsip ini berada di urutan pertama dalam dalam lima sumpah agung umat maupun biarawan dan biarawati Jain (mahavrata atau anuvrata), sebelum asetya (tidak mencuri), satya (kejujuran), brahmacarya (pengendalian akvtitas seksual) dan aparigraha (tidak serakah).

Dalam Jainisme, ahimsa dipahami secara radikal, terinci dan komprehensif sebagai tidak adanya keinginan untuk mencelakai atau menyakiti setiap makhluk hidup, dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan. Praktik ahimsa ditunjukkan dengan perilaku non-kekerasan mulai dari yang paling mudah, seperti menjadi vegetarian, tidak melukai atau membunuh setiap hewan yang hidup, hingga tekad yang kuat untuk tidak melukai setiap makhluk yang bernyawa, sengaja maupun tidak sengaja. Ahimsa tidak hanya diterapkan terhadap manusia dan mamalia lainnya, tetapi juga serangga, tanaman, dan mikroba

Patanjali tampaknya mengadopsi kelima sumpah agung Jain itu. Yama yang merupakan tahap pertama dari delapan tahap (astanga) dalam Yoga Sutra sama persis dengan kelima sumpah agung Jain. Karena itu ahimsa juga merupakan prinsip pertama dari lima landasan etis Raja Yoga. (Begitu juga dalam Hatha Yoga Pradipika karya Svatmaratma, ahimsa merupakan prinsip pertama dari sepuluh landasan etis Hatha Yoga).

Ahimsa-pratisthayam tat-samnidhau vaira-tyagah” (dengan berpegang teguh pada prinsip non-kekerasan, ancaman serangan dan permusuhan pun akan lenyap), begitu sabda Patanjali. Beberapa komentator Patanjali mengartikan ahimsa sebagai praktek pengembangan kemampuan untuk mengalahkan atau menghentikan kejahatan. Terbukti, tubuh orang yang telah mengembangkan ahimsa memancarkan aura cinta dan belas kasih. Jika ada orang yang penuh kebencian atau makhluk buas yang akan menyerangnya, seketika orang atau makhluk itu mendekat seketika itu juga orang atau makhluk itu menghentikan serangannya. Vibrasi cinta dan belas kasih akan meluluhkan vibrasi yang muncul dari kebencian dan kekerasan. Bahkan hewan buas pemangsa pun akan menjadi jinak dan tidak membahayakan.

Praktik ahimsa dalam Yoga, dimulai dengan tidak melukai secara fisik makhluk lain (manusia, hewan, tumbuhan dan makhluk-makhluk lainnya) serta tidak mencederai atau mencemarkan lingkungan yang menjadi habitat makhluk-makhluk itu. Ahimsa juga berarti tidak melukai perasaan orang lain dengan cara tidak mencaci, mengejek, menyindir atau menggunjingkannya, menipu atau membohonginya. Namun, praktek ahimsa yang paling efektif adalah ahimsa dari dalam pikiran dan batin kita. Caranya adalah dengan mengembangkan cinta kasih dan ketenangan. Pikiran yang tenang dan batin yang penuh cinta kasih tidak lagi memiliki kebencian, tidak lagi memendam kemarahan atau dendam dan sakit hati, serta tidak lagi memiliki perasaan iri dan dengki.  Karenanya, tidak lagi memiliki keinginan untuk melukai baik secara fisik maupun verbal (mencaci, mengejek atau menyindir). Ahimsa dari dalam batin dan pikiran adalah dasar bagi praktek ahimsa yang positif. Di sini ahimsa tidak lagi bersifat pasif, sekadar “tidak melukai” tetapi juga aktif, menghilangkan luka dan penderitaan. Praktik ahimsa secara aktif adalah melalui tindakan melindungii makhluk yang terancam keselamatannya dan penyembuhan bagi mereka yang  mengalami penderitaan (sakit, luka dan duka  dan sedih).

BKS Iyengar mengatakan, kekerasan lahir dari ketakutan, kelemahan, kebodohan dan kegelisahan. Karena itu, untuk mengendalikan kekerasan diperlukan kondisi mental yang bebas dari ketakutan. Untuk mencapai kebebasan itu, diperlukan perubahan pandangan hidup dan reorientasi mental. Karenanya, di samping ahimsa, perlu didalami juga “abhaya” (bebas dari ketakutan) dan “akrodha” (bebas dari kemarahan). Bebas dari ketakutan adalah kondisi mental yang hanya dimiliki mereka yang menapaki jalan kemurnian. Para yogi tidak takut pada apa pun dan tidak ada sesuatu yang ditakutinya, karena ia menjalani pemurnian dengan mempraktekkan “svadhyaya” (perenungan diri). Bebas dari kemarahan oleh para yogi ditunjukkan dengan kelembutan. Para yogi dapat bersikap tegas jika menyangkut dirinya, tetapi lembut terhadap orang lain. Dengan begitu kehadirannya menghilangkan segala permusuhan.

***

Dalam berlatih asana, penerapan prinsip ahimsa dilakukan, antara lain, dengan tidak memaksakan diri untuk melakukan postur tertentu yang sulit dikuasai, sehingga menyebabkan tubuh sendiri cidera. Di posisi lain, ahimsa harus diterapkan para guru, pengajar atau instruktur yoga dengan tidak mengeluarkan kata-kata yang dapat menyakiti peserta latihan. Ahimsa dari dalam pikiran atau batin diterapkan dengan menanamkan kesadaran bahwa yoga asana bukanlah ajang kompetisi, Tidak ada persaingan dan tidak ada perasaan tersaingi atau yang menyangi dalam latihan asana. Karenanya, tidak ada perasaan iri, cemburu atau sakit hati jika praktisi lain mampu menguasai pose dengan lebih sempurna. Sebaliknya, para praktisi yoga harus menanamkan kesadaran mudita (ikut berbahagia dengan keberhasilan orang lain).

*Penulis adalah pengajar yoga-meditasi freelance