Tjahjono Widarmanto

Puisi-Puisi Tjahjono Widarmanto

MEGATRUH

sama dengan bangkai ia sekejap akan sirna mungkin melesak
dalam kerak paling palung di tanah paling liat dan hitam
atau melesat ke angkasa, menabrak dan mengguncang pepohonan
sebelum lenyap jadi butir-butir molekul seperti gerimis tipis

seperti juga sama dengan semua mayat yang tak pernah tahu dalamnya neraka
ia tak akan lagi merapal ayat-ayat. segenap mantra dan jampi-jampi kidung suci
berubah menjadi serabut-serabut yang ringkih seperti putik merambat menuju layu

“hai, tak perlu kau menoleh ke belakang untuk mengingat-ingat apapun.campakkan ingatan
bergegaslah kau telah di tunggu kereta dihela delapan lembu melenguh tanpa henti!”

maka, engkau pun berjalan sendiri dengan berdebar-debar mendengar lenguh itu.
cemas sendiri tanpa siapa-siapa, bahkan tanpa nama

: engkau jadi anonim

2019

 

SERAT PAMBUKA SULUK SIDHAYATRA
: SULUK HITAM PERJALANAN HITAM MUSAFIR MAJNUN

Sun, berucap Semilah manteg aji. mring Yang Kuasa

Inilah kitab suluk sidhayatra; suluk hitam perjalanan hitam musafir majnun
suluk yang disingitkan sebab wingitnya meruwat semesta
suluk yang dijaga para datu dan lelembut
suluk yang dirumat para wali penjaga sungai dan penunggu lembah
suluk yang disingitkan di antara jagat langit dan jagat bumi
tersembunyi dan beranak-biak di antara pepohonan rimba,
rerimbun semak, lancip ranting meruncing, daun pupus, pupil kuntum
dan yang berserak di tanah coklat.
mengalir di ricik arus sungai menuju muara, berserak di awang-awang
bergelayut di segenap sayap burung-burung: apabil, phoenik, bud-bud, mliwis dan murai.

Suluk yang dilantun di tengah pelataran, di sudut-sudut surau, di bilik-bilik kuil,
di latar-latar candi, di sudut-sudut kastil, di halaman gereja dan di tengah hiruk-pikuk pasar dan hening napas para penembang yang menggoyang cahaya terang blencong
menghidupkan kelir dengan bebayang yang bergetar sakral.

Dengan suluk ini Sun, satukan dunia semesta dua jagat, yang besar dan yang alit
yang hidup dan yang kekal, yang di sana dan di sini,
yang ada dan yang muskil, yang kasat mata dan yang maya,
Sun, genapkan dan satukan sedhulur papat lima pancer,
arahkan delapan penjuru mata angin, kiblat papat pancer lima,
masa lalu dan masa depan pun zaman yang tak sempat dilahirkan.

Sun, mengucap semilah, sambil manteg aji
maka segala roh, segala gaib jangan usik,
tunggal guru jangan ganggu
biarlah segala jampi, semua mantera, seluruh suwuk
terkumpul dalam kendil mukjizat jadi sembur tolak balak

Sun, mengucap semilahhirroman nirokhim
akan mewedar suluk sidhayatra
suluk hitam perjalanan hitam
riwayat para pejalan dan penziarah
para pengelana serupa musafir majnun
dikutuk menggendong risau seperti lembu beban
terseok seberangi segala savana, menuruni seluruh lurah dan lembah,
mendaki tiang tebing dengan phalus-phalus yang tegak meruncing,
menelusuri suh-suhing angin.sarang rahasia setiap misteri

duh, duh, Gusti, suluk hitam ini perjalanan hitam musafir majnun
sarat luka. segala abjad dan aksara mengumpulkan seribu satu tanya
tanpa ada jawabnya, serupa dengung lebah mengetuk-ngetuk gapura langit.

Suluk hitam perjalanan hitam mencatat segala resah segenap kenang semua amsal
seluruh riwayat. Suluk perawi setiap ziarah dan perjalanan yang memang harus dicatat

Semilah sun memulai catatan-catatan itu.

Ngawi, 2021

 

OMBAK TERAKHIR

Nala, lanang sejati tak akan lari dari ombak.

itukah suara terakhir dari semula yang riuh lantas terhempas di karang sepi
namun lelaki sejati tak pernah menyesali guratan tapak tangannya sendiri
tak akan menangisi segala kompas yang patah jarumnya tinggal angka-angka ganjil
tak bakal tergoda meralat hidupnya hanya sebab peta-peta yang sobek

setiap debur seperti sirip hiu memburu arah lingsir lintang gubuk penceng
itulah kitab para lelaki yang tak gentar menuju malam yang selalu condong ke selatan

debur itu iguan serupa tanda seru yang digumamkan mulut angin
seperti notasi megatruh dengan gesek rebab. dinginnya meraba kuduk

kami memang para lelaki yang tak gampang percaya pada ramalan dan kutuk hari hitam
kami gerombolan pembangkang keras kepala merasa pewaris yunus pengendara paus

kami tetap saja membentang layar. arah sama saja: utara-selatan, timur-tenggara
sama menuju ombak terakhir yang tak lagi biru apalagi ungu.ugu yang jadi petir

ombak terakhir. gesek rebab dengan megatruh ungu. gubuk penceng yang tersesat
hanyalah sebagian kecil dari takdir kami yang panjang: lelananing laut yang mahir!

Nala, ombak terakhir itu kado paling mulia bagi lanang sejati!

2019

 

SINGIR KUBUR

engkaulah, penghuni peti itu!

aku tak bisa menolak sabdamu
sebab aku terlahir dari tanah, dendam dan kutukan
wujudku akan selalu mengelupas di tiap hitungan
jauh sebelum debu mengabarkan kelahiran
jauh sebelum mantra didengungkan sebagai suluk

jangan berharap engkau tuan rumah abadi bagi petimu!

sejak ari-ari lepas melompat dari ketubannya
seperti planton melayang keluar dari ceruk kawah
selalu berseteru dengan musim yang selalu bergegas
melambaikan sayonara pada keriput waktu
tak pernah jadi hantu yang abadi
cuma segugus warna abu-abu serbuk tulang

sedang roh diam-diam mengendap pergi tinggalkan peti
tanpa kata-kata permisi

akulah khianat itu, penjarah pohon yang sehurusnya kurawat !

maka akan kuterima peti penjara itu
tempat tubuhku dirajam panah
luka-luka terbuka dihisap nanah

akulah khianat itu, maling terkutuk itu1

telah kurangkai riwayat sendiri, bunga-bunga mimpi sendiri
saat ada yang berdesis merayu: betapa eloknya bugil itu
maka cahaya itu lunar dalam tubuh
maka terang itu pun jadi lampu kubur
saat jasad ditipu roh yang diam-diam beringsut pergi
saat belatung dan ulat beranak pinak pada kelamin
persis seperti bugil penggoda itu

dan dengarlah ratapan itu
angin yang menggergaji tulang jadi debu

akulah maling yang harus dikerangkeng di peti itu
akulah, pendosa yang dirajam di peti itu
pengkhianat yang dimakan kutuk dan larva
harus menungging dalam peti pengap itu
sebelum menjadi babi yang ditusuk duburnya.

2019-2020

 

*Penyair, tinggal di Ngawi. Meraih gelar sarjananya di IKIP Surabaya (sekarang UNESA) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, sedangkan studi Pascasarjananya di bidang Linguistik dan Kesusastraan diselesaikan pada tahun 2006, pernah studi di program doktoral Unesa. Buku puisinya “Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak” menjadi salah satu penerima anugerah buku puisi terbaik versi HPI di tahun 2016. Buku puisinya yang telah terbit diantaranya adalah Biografi Cinta (2020), “Kitab Ibu dan Kisah-Kisah Hujan” (2019, dan menjadi salah satu buku puisi terpuji versi HPI tahun 2019),Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru (2018, dll. 

Adapun buku-bukunya yang lain, yang bergenre nonfiksi diantaranya, “Kata dan Bentuk Kata dalam Bahasan Indonesia” (2019), “Yuk, Nulis Puisi” (2018), “Pengantar Jurnalistik: Panduan Penulis dan Jurnalis (2016), Marxisme dan Sumbangannya Terhadap Teori Sastra: Menuju Sosiologi Sastra” (2014).

Sebagai penulis dan sastrawan ia juga telah  mendapat berbagai penghargaan, diantaranya Penghargaan Lima Buku antologi Puisi Terbaik Tingkat Nasional versi HPI 2016, Penghargaan Sastrawan Pendidik Tingkat Nasional dari Pusat Bahasa 2013, Penghargaan Guru Sastra Berdedikasi dari Balai Bahasa Jatim 2014,

Selain menulis juga pernah bekerja sebagai Pembantu Ketua I dan Dosen di STKIP PGRI Ngawi (1992-2020), menjadi guru di  SMA 2 Ngawi.