Berjalan Bersama Karl May

Oleh Tulus Wijanarko

Saya sudah merasa begitu lelah, padahal padang ilalang ini begitu luasnya. Matahari jam dua siang ini sebenarnya tak begitu menyengat. Tetapi bersepeda sejak pagi tadi menjelajahi kampung-kampung di pinggiran Bekasi yang lumayan perawan ini cukup menguras tenaga. Sambil menarik nafas berat, kujatuhkan pandanganku ke garis horison yang dibatasi gerumbul-gerumbul semak. Betapa masih jauhnya aku dari tujuan akhir–sebuah tempat belasan kilometer di balik semak itu. Kuatkah mencapainya?

Keletihan ini sebenarnya cukup menjadi alasan untuk menghentikan ”petualangan” kecil itu. Tetapi di padang ilalang, di bentangan luas alam ini, dengan embusan angin yang mengusap wajah, dan suara lirih serangga serta burung-burung di indera pendengaran, tiba-tiba melemparkan anganku ke padang-padang prairi yang digambarkan dalam buku-buku Karl May. Ya, buku-buku lawas terbitan PT Pardnya Paramita yang belakangan kubuka kembali–setelah sekian lama semedi di rak. Khayalan Karl May tentang Barat-Liar (wild west) di lembaran-lembaran kertas buram itu, kini tiba-tiba terbentang di depan mata kepalaku. Demikian nyata dan menakjubkan. Uf!

Sudah kepalang basah. Mumpung tengah di padang prairi, sekalian saja kubayangkan diriku sebagai Old Shatterhand dan sepeda gunung yang kutunggangi ini sebagai Hatatitla, kuda andalan pemburu masyhur itu. Sementara di depan, seorang teman yang sudah lebih dulu melaju kuanggap saja ia sebagai Winnetou, Ketua Suku Apache, sahabat sejati Old Shatterhand. Dengan imaji dadakan itu, kuempos sisa tenagaku melintasi ”padang perburuan” ini.

Memang menakjubkan. Setelah membacanya pertama kali sejak masih bocah puluhan tahun silam (saat itu masih SD), hari-hari ini masih saja aku terpukau menyimak kembali serial petualangan Old Shatterhand dan Winnetou. Daya pukau itulah yang terus mengendap di dalam diri, dan sewaktu-waktu ”terpanggil” keluar di saat yang tepat. Kali ini ia keluar untuk membakar semangatku hanya dengan membayangkan diri sebagai tokoh dalam karangan Karl May itu.

Sungguh, tak banyak buku yang menyimpan daya pukau demikian langgeng seperti karya si tukang dongeng dari Jerman tersebut. Tentu saja hal semacam ini begitu personal sifatnya. Dus, setiap orang sah belaka memiliki buku masing-masing yang mempengaruh dirinya. Bagi saya aksiomanya sederhana saja: Buku yang setiap kali membacanya –di masa yang berbeda— selalu memberikan tambahan pengalaman dan pemahaman baru, pasti memiliki kemampuan sihir tersebut. Dan, Karl May, lewat petualangan kedua pemburu kenamaannya di daerah Barat-Liar itu, menyimpan sihir demikian berlimpah.

Sebagai bocah tanggung yang keranjingan kegiatan alam bebas, waktu itu saya menangkap sisi terpenting buku Karl May adalah aksi-aksi petualangannya. Membaca jejak, menfsir isyarat asap, mengintai musuh, merayap hati-hati, membaca arah angin menghindari endusan lawan, membidik musuh dalam posisi seolah sedang tidur terduduk, dan aksi-aksi lainnya sungguh mengumbar imajinasi petualangan remaja tanggung.

Terinspirasi Old Shatterhand, suatu malam saya pernah melemparkan pisau belati ke arah kelebat sebuah bayangan saat berkemah Pramuka. Tetapi lalu saya menahan malu, ketika bayangan yang saya kira seekor kelinci itu cuma selembar tas plastik kresek dihembus angin dalam kegelapan. Pshaw!

Old Shatterhand pasti akan terkekeh melihat ulah saya yang bahkan lebih bodoh dari greenhorn (plonco) di padang prairi itu. Saya kira, saya juga tak akan berani menatap mata kedua putra Kepala Suku Mimbrenyo yang berusia belasan tahun, tetapi mampu mendapatkan nama harumnya lewat serangkaian tindakan gagah itu. Uf! Uf!

Imaji petualangan bebas semacam itu masih menetap hingga kini. ”Metamorfosis” dari seorang penunggang sepeda gunung amatiran menjadi Old Shatterahand seperti cerita di atas, jelas munujukkan hal itu. Tetapi, waktu telah berbaik hati agar saya tak terjebak hanya menjadi pengagum yang kenes. Membaca ulang beberapa buku Karl May, akhirnya juga memberikan ”sandaran ideologis” atas kegemaran-ku keluyuran di alam bebas. Dan, itu baru saya pahami belakangan ini.

Karl May meletakkan dasar-dasar ideologis itu, antara lain, lewat ucapan sahabat Old Shatterhand, Dick Hammerdull (dalam episode Gunung Setan di Rocky Mountains). Ia mengatakan, ”Tuhan sudah menyediakan musik alam bagi yang mau mendengarkan, yaitu desir angin dan suara lembut rimba raya.”

Kata sakti dari kalimat itu adalah ”mau mendengarkan”. Kukira itu juga bisa diartikan mau mempedulikan alam dan lingkungan. Dan peduli, setidaknya, menyimpan niatan ingin merawat.

Kalimat Hammerdull itu memang sangat ringkas. Tetapi aku yakin, dengan sebuah eksplorasi intelektual yang tak terlalu berat, titah pendek Karl May itu bisa dibangun menjadi sebuah rumusan ideologi yang paten.

Mohon maaf, aku mungkin tak mampu membangun rumusan dimaksud. Tetapi kebenarannya sudah telanjur kuyakini sepanjang interaksiku dengan alam-raya selama ini. Jelek-jelek, aku telah mendaki beberapa gunung di Pulau Jawa. Menyusuri arus liar sungai di Jawa Barat. Juga akhir-akhir ini bersepeda blusukan ke kampung-kampung yang jauh dari kota. Mengalami itu semua, hanya kebenaran belaka yang kujumpai dalam ”sabda” Karl May tersebut. Dan untuk itu saya tak keberatan menjura kepadanya.

***

Karl May di era kini, adalah Karl May yang mengajarkan humanisme dan egalitarian kepadaku. Ia mengajarkan itu di tengah perjalanannya ke Llano Estacado, hinga disela perseteruannya dengan Mustang Hitam sang Kepala Suku Comanche yang bengis. Ia “berpidato” tentang semua itu dalam pembacaan ulangku terhadap serial buku yang halamannya mulai menguning itu.

Semula, belasan serial Old Shatterhand edisi lama itu saya beli untuk anakku. Lama sekali buku-buku itu membeku di rak, karena anakku belum juga mau menyentuhnya. Dan saya sendiri merasa terlalu jumawa untuk membacanya lagi karena merasa sudah menguasai seluruh jalan cerita. Tetapi sebuah rasa bosan –bingung mau baca apa–, membuat tanganku begitu saja meraih ”Mustang Hitam”. Lalu aku berkenalan lagi dengan dua bersaudara Timpe, Hobble-Frank, Bibi Droll, Ik Senanda, Tokvi Kava, dan tentu saja sepasang sahabat abadi Old Shatterhand dan Winnetou.

Halaman-halaman pertama buku ini langsung menyuguhkan interaksi tokoh-tokoh berbagai kebangsaan dan etnis: kulit putih, Jerman, Mestis (blasteran Indian-Kulit Putih), Cina, dan sebagainya. Rasanya ini memang khas Karl May. Berbagai etnis dan suku bangsa juga muncul di judul-judul lainnya. Pada episode Menuju Daerah Silver Lion bahkan muncul tokoh yang bernama Dshafar, seorang Parsi beragama Islam. Dengan menciptakan wakil dari berbagai bangsa itulah Karl May bak menulis esei-nya soal humanisme dalam kemasan kisah petualangan yang mempesona.

Mari kita dengar beberapa petikan ajarannya. Bagi Karl May ukuran yang membedakan satu dengan lain orang adalah kejujuran. Suatu saat Old Shatterhand mendatangi sebuah perkemahan pekerja pembuat rel kereta api di Firewood. Kepala perkemahan yang takjub dengan kemasyhuran Shatterhand memohon dia tidak duduk di ruangan yang sama dengan pekerja. ”Di daerah Barat ini orang yang jujur berdiri sama tegak,” kata Shatterhand menolak permintaan itu.

Salah satu titah humanisme ajaran May adalah setiap orang berhak menghargai hidup—bahkan bagi bajingan paling bengis sekalipun. Old Shatterhand, misalnya, tiga kali melepaskan Old Wabble, musuh beratnya dalam Gunung Setan di Rocky Mountains, yang sejatinya layak dihukum mati. Menurut Shatterhand, bagi orang macam Wable itu hidup atau mati sama saja. ”Tapi akan saya beri kesempatan dia untuk merasakan, bahwa tiap detik hidupnya di dunia ini masih ada harganya.”

Bagi May, kejahatan atau kebaikan tidak bergantung pada warna kulit. Tokoh yang super jahat, dan sebaliknya tokoh baik, bisa datang dari mana saja. Stereotip bahwa Indian adalah kejam, buas, dan biadab, dilumerkannya dengan elegan. Kompleksitas tokoh-tokohnya dengan serta merta telah mementahkan kalimat beracun yang kerap muncul dalam komik-komik dan film koboi rasis, “Indian yang baik, adalah Indian yang mati.”

Tetapi sesungguhnya pesan persamaan paling memikat yang disampaikan Karl May, bagi saya, ditunjukkan dalam jalinan persahabatan Old Shaterhand dan Winnetou sendiri. Kedua orang ini digambarkan demikian satu hati dan jiwa, hingga hanya dengan saling memandang saja sudah memahami pikiran masing-masing. Maka, mereka adalah tunggal. Old Shatterhand adalah Winnetou. Kulit putih adalah kulit merah. Dan sebaliknya. Mereka tak berbeda.

***

Hari-hari ini dengan rasa bergetar aku masih terus menuntaskan judul-judul yang tersisa. Dari Raja Minyak, lalu Winnetou Gugur yang membuat ait mata ibuku menitik saat membacanya dulu, hingga Mohawk Yang Terakhir. Aku begitu bergairah untuk menyerap hal-hal baru dalam berbagai kisah petualangan itu.

Jika oleh karena kualitas editing dan penerjamahan ala kadaranya membuat buku-buku lawas itu sulit masuk kategori sastra, hal itu dengan gembira kuabaikan. (Pshaw, aku jadi ingat sikap kekanakan para priyayi sastra Indonesia yang enggan membaca Ayat-Ayat Cinta karena mereka menganggap novel itu bukan sebuah karya sastra. Katanya, sastra harus menunjukan eksplorasi bahasa yang dahsyat). Entah kenapa, penerjemahan yang lugu, dan plot cerita yang cenderung lurus, tak mengurangi keasyikanku menjelajahi makna ”ajaran” Karl May.

Dengan rasa bergetar macam itulah terus kukayuh sepeda gunungku menjangkau tepi-tepi savana. Hari sudah semakin sore ketika itu. Langit berwarna tembaga di beberapa sudut. Menara Telkom di kejauhan itu, ingin sekali kulihat sebagai isyarat asap dari saudaraku Winnetou, bahwa tujuan kami sudah dekat dan segera berakhir.

Tetapi lalu aku berfikir, bagi seorang pejalan, benarkah setiap perjalanan akan menemukan akhir? Benarkah pembacaan ulang atas buku-buku hebat akan usai di halaman terakhir? Aku tak tahu. Tetapi kukira saat menjalani semua itu pasti akan mengasyikan. Aku yakin, sesiapa orang berhak merasakan bahwa setiap detik dalam perjalanan (hidup) nya selalu memiliki harga. Howgh!

*Penulis adalah jurnalis dan penyair