Eko Fangohoy

Bermain-Main dengan Waktu: Alur Cerita yang Tidak Patuh dalam Dua Film Christopher Nolan

Oleh Eko Fangohoy

You want to go see a film that surprises you in some way. Not for the sake of it, but because the people making the film are really trying to do something they haven’t seen a thousand times before themselves. . . I give a film a lot of credit for trying to do something fresh—even if it doesn’t work.

Christopher Nolan

Dalam karya sastra, di samping ada berbagai bumbu cerita dan penggerak plot, ada beragam teknik narasi (plot device) yang biasa digunakan untuk menggerakkan jalannya cerita (dan membuat cerita menarik). 

Salah satu teknik atau device yang biasa digunakan adalah device waktu. Beberapa teknik yang tergolong di sini adalah: flashback (kilas balik), flashforward (kilas depan), backstory, foreshadowing, in media res, dan sebagainya— bahkan flashside ways (kilas samping/sejajar?) dan time travel (perjalanan lintas waktu). Dengan teknik tersebut, penulis mencoba memperkuat jalannya cerita dengan memperjelas atau mendramatisasi suatu (atau semua) aspek dalam cerita melalui penyisipan episode masa lalu atau masa depan pada alur yang sedang berjalan—atau penyisipan teknik lain seperti antara lain yang disebut di atas.

Teknik yang sama digunakan pula dalam karya visual alias film (televisi atau bioskop), seperti yang sudah dipraktikkan sejak lama. Salah satu kekuatan film adalah bahwa penggunaan teknik ini memberikan efek yang kadang terasa lebih mendalam karena media yang digunakan adalah visual. 

Namun, di samping efek visual yang memberikan kesan mendalam, yang perlu digali adalah bagaimana penggunaan teknik ini berbeda dengan yang digunakan pada karya sastra dan juga bagaimana para penonton bisa tetap menikmatinya. Kita akan mencoba menganalisis penggunaan teknik ini pada beberapa film Christopher Nolan.

Foto Christopher Nolan

Christopher Nolan

Penggunaan Teknik Ini pada Umumnya

Sebelum masuk ke dalam penggunaan teknik ini pada film-film karya Nolan, harus diulas lebih jauh bagaimana dan tujuan sebenarnya teknik ini digunakan secara umum, terutama pada karya sastra atau karya tulis pada umumnya. Ada beragam teknik narasi dalam karya sastra, seperti setting, plot, perspektif, gaya, tema, karakter, dan lain sebagainya. Biasanya, teknik yang menggunakan device waktu termasuk ke dalam teknik plot, yaitu teknik yang mencoba mengeksploitasi dan memainkan unsur waktu dalam cerita. 

Teknik yang paling sering digunakan terkait unsur waktu ini adalah kilas balik (flashback) dan kilas depan (flash forward). Bersama dengan kedua teknik itu, beberapa teknik terkait juga digunakan seperti foreshadowing, backstory, dan in media res. Foreshadowing, yang biasanya dianggap varian dari kilas depan, merupakan teknik yang melaluinya penulis entah implisit atau eksplisit secara sengaja menyiratkan suatu kejadian di masa depan dalam proses cerita yang sedang berjalan. Sementara itu, backstory, yang biasanya dianggap varian dari kilas balik, merupakan hal sebaliknya: penulis menjelaskan latar belakang kisah. In media res adalah teknik penceritaan di mana kisah diceritakan mulai  di tengah kisah. Lalu, setelah itu, cerita akan berjalan dengan menceritakan back story atau kilas balik.

Dengan kilas balik, penulis biasanya menyisipkan suatu episode masa lalu yang menjelaskan atau mengejutkan pembaca terkait kejadian atau tokoh pada masa kini. Episode itu boleh jadi menyingkapkan suatu rahasia yang tidak disangka-sangka dari kenyataan pada masa kini, yang entah membuat pembaca mempertanyakan atau menjungkirbalikkan pemahamannya atas motif atau alur yang terjadi pada masa kini. Hal ini berlaku juga untuk kilas depan. Ada suatu episode di masa depan yang membuat pembaca melihat kejadian masa kini dengan perspektif berbeda atau membuat mereka kaget dengan perkembangan yang terjadi.

Para penulis menggunakan teknik ini dengan beberapa cara, seperti menyisipkan begitu saja kilas depan atau kilas balik di tengah cerita. Teknik ini, biasanya dipakai dalam genre drama pada umumnya, kedua kilas muncul dalam arus kesadaran karakter utama (atau karakter lain) atau muncul begitu saja dalam cerita (biasanya dalam bab atau seksi tersendiri dalam tulisan), apalagi jika teknik bercerita menggunakan orang ketiga (reliable narrator).

Namun, kedua kilas bisa dimunculkan dengan cara lain yang membuat cerita semakin menarik, misalnya, dengan membawa karakter utama “meloncat” ke masa depan atau ke masa lalu. Ini dilakukan Charles Dickens dengan “menarik” tokoh utama dalam ceritanya, “A Christmas Carol” (1843), ke masa depan dan masa lalu melalui perjumpaan dengan “Ghost of Christmas Past” dan “Ghost of Christmas Yet to Come”. 

Hal yang Dickens lakukan bisa diamati pula pada karya H.G. Wells, “The Time Machine” (1895). Karakter utama dibawa ke kilas depan dengan suatu mesin waktu. Wells menggunakan teknik ini untuk membuat pembaca berimajinasi bukan hanya pada bagaimana rupa masa depan, melainkan juga untuk berspekulasi mengenai suatu alat atau teknologi yang bisa membawa manusia mondar-mandir melintasi waktu.

Jelas, ada perbedaan antara Dickens dan Wells. Pada “Christmas” Dickens, kilas depan adalah suatu episode masa depan yang belum terjadi dan masih bisa “tidak terjadi”, tergantung pilihan dari karakter utamanya. Sementara itu, pada “Machine” Wells, kilas depan adalah suatu kenyataan yang bisa dimasuki oleh karakter utama tanpa memengaruhi masa lalunya. Kilas depan adalah suatu kenyataan objektif yang di dalamnya orang bisa keluar-masuk atau datang dan pergi.

Perbedaan keduanya bukan hanya bahwa pada Dickens cerita lebih bergenre supranatural sementara pada Wells lebih bergenre fiksi sains, melainkan keduanya mewakili metode-metode berbeda dalam menggunakan teknik narasi waktu. Keduanya menggunakan kilas balik dan kilas depan secara berbeda. Di luar cara-cara itu, masih banyak cara-cara lain yang biasa dipakai oleh para penulis, termasuk perbedaan di dalam genre karya-karya mereka.  Cara-cara unik seperti yang digunakan Dickens dan Wells biasanya tampak pada genre supranatural, fiksi sains, horor, dan sebagainya. 

Dalam film-film seri televisi, kita bisa menyaksikannya dalam beberapa film seri mutakhir Amerika, seperti Lost, atau yang lebih klasik seperti Star Trek. Contoh dari kedua film seri ini memperlihatkan bagaimana teknik narasi waktu bisa digunakan secara efektif dan kreatif, entah sebagai plot utama atau sebagai plot pendukung. Tentu, teknik yang digunakan bukan hanya kilas depan atau kilas balik, melainkan bagaimana konsep-konsep ini dipadu dengan konsep lain sesuai dengan karakter film. 

Film Startrek

Film Star Trek

Dalam Star Trek, misalnya, metode seperti dalam cerita Wells tadi diperluas dan dipertajam. “Mesin waktu” hadir sebagai konsep yang luas dikaitkan dengan konsep-konsep (pseudo) fisika. Dengan begitu, kala depan, kala kini, dan kala lampau lebih merupakan konsep yang cair. Masalahnya bukan bagaimana orang bisa melintasi waktu atau berbagai dimensi waktu bisa dialami para karakter, melainkan: mengapa dan apa tujuannya. Dengan begitu, episode-episode Star Trek, selain membuat terpesona para penggemarnya terkait dengan “lintasan waktu” ini, juga sering menyibukkan diri dengan alasan-alasan mengapa para tokoh dalam filmnya melakukan suatu pilihan dalam tindakan. Hampir semua film fiksi sains yang futuristik sudah berangkat sampai ke pertanyaan filosofis mengenai eksistensi manusia, bukan lagi soal masa depan atau masa lampau.

Sebaliknya, dalam Lost, penonton disuguhi dengan konsep yang berbeda. Permainan kilas depan dan kilas balik muncul juga seperti dalam karya sastra lazimnya. Namun, kekuatan film seri ini adalah bagaimana unsur-unsur yang bahkan sering berbau supranatural atau fiksi sains tetap berdampingan dengan genre film seri ini: drama. Jadi, bahkan jika ada unsur time travel, penonton tetap disuguhi dengan wacana yang penuh drama terkait para tokohnya. Permainan kilas depan, kilas balik, kilas samping, dan time travel adalah bumbu yang menghebohkan, tetapi film seri ini tetaplah film drama yang ingin menonjolkan karakter dan nasih para tokohnya. 

Analisis atas Beberapa Film Christopher Nolan

Christopher Nolan sebenarnya seorang sutradara “baru” di lingkaran insan perfilman Hollywood. Tercatat, setelah menyutradarai beberapa film pendek, film besar yang disutradarainya baru muncul pertama pada tahun 1998, yaitu Following. Film-film lainnya baru muncul pada dasawarsa 2000-an, terutama film-film populernya seperti Batman Begins dan sekuel-sekuelnya.

oker dalam film Batman

Joker dalam film Christopher Nolan, Batman

Salah satu hal menarik yang bisa diamati dari Nolan adalah karya-karyanya dianggap unik (kalau tidak bisa dibilang: luar biasa—setidaknya oleh para penggemarnya). Ia dianggap membawa gaya, karakter, dan teknik yang tidak biasa dalam penyutradaraannya. Ia pun sangat perhatian dengan jalan cerita kisah film-filmnya. Gaya penulisan kisahnya memadukan sejumlah teknik narasi, antara lain teknik kilas balik, juga perubahan/pergeseran sudut pandang, dan unreliable narrator. Adegan-adegan dalam filmnya sering “diinterupsi” oleh gaya editing atau pengambilan gambar yang non-konvensional. 

Di samping genre superhero seperti trilogi Batman, genre film yang dianggap melekat pada sutradara asal Inggris ini adalah fiksi sains, terutama seperti The Prestige, Inception, dan Interstellar—di dalam semua filmnya yang dianggap unik, Nolan juga muncul sebagai penulis skenario, sehingga bisa dibayangkan bahwa kisah-kisah dalam film tersebut memang sangat diwarnai oleh selera pribadinya. Dengan demikian, pendekatan yang diambil pada film-filmnya bisa dibandingkan seperti seorang seniman yang mengendalikan seluruh aspek karya yang sebenarnya dikerjakan oleh banyak orang. Ia mengambil alih tanggung jawab sepenuhnya atas gaya dan penyajian karyanya . Karya-karyanya menjadi “proyek pribadi”.

Film Inception

Film Inception

Film-film bertema thriller dan fiksi sains sering menjadi sarana ekspresi seni Nolan bukanlah hal yang kebetulan. Kedua genre itu kerap menyediakan plot atau kerangka cerita yang bisa mewadahi eksperimen dalam penggunaan teknik narasi yang tidak biasa (atau secara tidak biasa). 

Nolan sering meminjam konsep dari fisika atau matematika, atau bidang ilmu yang lain. Misalnya, ia menggunakan konsep “tesseract” dalam Interstellar atau “tangga penrose” dalam Inception. Kadang, konsep itu memang tidak lebih digunakan secara populer, bukan digunakan berdasarkan konsepnya dalam fisika/matematika. Itulah yang terjadi dalam Tenet, karyanya yang mutakhir.

Film Tenet (2020) tergolong ke dalam genre thriller dan fiksi sains sekaligus. Dengan latar belakang dunia spionase/agen rahasia, Nolan seolah mendapatkan kesempatan untuk bermain-main dengan teknik narasi yang biasa secara tidak biasa. Ia bermain-main dengan konsep entropi dalam hukum fisika serta memadukannya dengan kemungkinan mengubahnya, terutama terkait dengan konsep waktu. Alhasil, konsep kilas balik dan kilas depan menjadi sesuatu yang melampaui sekadar pemaparan suatu aspek di masa lampau atau masa depan cerita, tetapi menjadi sesuatu yang “dimain-mainkan” dalam aras masa sekarang, seperti suatu alat yang bisa digunakan sehingga film ini, secara visual, menyuguhkan sajian adegan yang unik ketika karakter-karakter berkelindan dengan dirinya sendiri (atau karakter lain) yang bergerak dari belakang ke depan (backward).

Film Tenet

Film Tenet

Adalah seorang agen CIA tanpa nama, yang disebut sebagai Protagonis (John David Washington). Ia direkrut oleh organisasi “masa depan” berlabel “Tenet”. Ia menyelidiki suatu ancaman dari masa depan berupa alat bernama “Algoritma” yang akan digunakan untuk membalikkan hukum entropi seisi planet ini. Jika diaktivasi, alat ini akan menyebabkan segala sesuatu “berbalik”, menghapus masa lalu dan waktu, termasuk semua orang yang pernah hidup dan akan hidup. 

Konsep unik yang diletakkan Nolan pada cerita film ini adalah bagaimana ia mengolah kilas balik dan kilas depan secara tidak biasa. Dengan mengeksploitasi hukum entropi dan pembalikannya, ia memperlihatkan bahwa Protagonis dan Sator, sang antagonis (Kenneth Branagh) ternyata bisa mengubah arah gerakan suatu benda, alias membalikan hukum entropi. Penonton disuguhi dengan visualisasi ala CGI yang unik —walaupun sebenarnya tidak terlalu luar biasa karena dilakukan juga oleh film lain—seperti bagaimana ada orang bergerak normal dan ada yang bergerak “tidak normal”, alias bergerak terbalik melawan hukum entropi. 

Di dalam Tenet, ada beberapa penonjolan yang menggunakan visualisasi ini, seperti adegan di Bandara, adegan kejar-kejaran, dan adegan puncak di markas antagonis, di suatu tempat di Uni Soviet. Rupanya, visualisasi unik ini menjadi simbolisasi dari pembalikan hukum entropi yang justru tidak divisualisasikan: bagaimana tokoh utama sebenarnya, tanpa disadari penonton (karena tidak divisualisasikan dalam film), menjadi pelaku utama di belakang organisasi Tenet. Nolan secara licik meletakkan plot ini tetap tersembunyi, tidak pernah muncul dalam film: Protagonis (masa depan)melakukan pembalikan waktu, dan ia kembali ke suatu waktu—sebelum narasi film dimulai—untuk mengatur supaya orang-orang tertentu di masa lalu membantu dirinya sendiri (Protatonis masa kini) memecahkan dan menghentikan ancaman dari masa depan. 

Ini barangkali memang seperti film “Terminator”, tetapi minus Arnold Schwarzenegger (sebagai karakter masa depan) yang muncul dari awal sampai akhir film. Dalam Tenet, justru itulah twist plot yang baru diketahui—atau malah tidak diketahui oleh penonton yang tidak jeli—pada akhir film. Penonton disuguhi oleh satu-satunya Protagonis yang mereka lihat secara visual di layar, yang bergerak dari depan ke belakang (forward), dari awal film sampai akhir film, Protagonis yang berbeda dengan Protagonis tersembunyi di balik layak film (yang bergerak terbalik—bukan ala time travel, tetapi berdasarkan konsep pembalikan hukum entropi). 

Jika dibuat diagram, demikianlah kira-kira penggunaan teknik narasi waktu dalam Tenet.

Pada tahun 2000, Nolan menyutradai Memento, suatu kisah detektif neo noir yang ditulisnya bersama saudaranya Jonathan Nolan. Berbeda dengan Tenet, tidak ada “sulap” fiksi sains dalam film ini. Namun, Nolan bermain-main dengan visualisasi cerita yang tidak urut. Ia memvisualisasikan film secara terbalik: adegan terakhir ditempatkan di depan, bergantian dengan adegan pertama, lalu berikutnya adegan sebelum adegan terakhir, dan lalu berikutnya lagi, adegan kedua (setelah adegan pertama). Andaikan memiliki 15 adegan, jika dibuat diagram, Memento berjalan seperti ini.

Dalam Memento, permainan kilas depan dan kilas balik Nolan sangat terperinci dan diperhitungkan. Kilas depan disusun sedemikian rupa, secara kronologis dari awal sampai tengah (dengan arah panah terputus—dan dalam film divisualisasikan black and white), bergantian dengan kilas balik yang disusun secara kronologis-terbalik, dari belakang sampai tengah (dengan garis tidak terputus dan dalam film divisualisasikan secara colour). Di akhir film, kedua timeline tersebut menyatu dalam adegan tengah (adegan nomor 8), persis di tengah-tengah cerita yang menjembatani kedua timeline yang awalnya terpisah. Adegan nomor 7 yang black and white berubah menjadi berwarna dalam adegan nomor 8.

Film Memento

Film Memento

 Memang, penonton akan melihat bahwa sebenarnya tidak ada kilas balik atau kilas depan. Film ini, dari ceritanya, yang disebut  “kilas depan” adalah kejadian yang terjadi pada awal kisah, sementara yang disebut “kilas balik” hanyalah penceritaan kisah secara terbalik, mulai dari adegan terakhir, bergerak ke adegan sebelum adegan terakhir tersebut, dan seterusnya. Sepintas, Nolan menjungkirbalikkan konsep kilas depan dan kilas balik. Yang kita kira sebagai kilas depan (apalagi dengan layar black and white) ternyata justru terjadi pada awal kisah.

Twist plot-nya? Penonton tidak menduga motivasi dan isi kepala Leonard Shelby (Guy Pearce). Apakah ia bisa dipercaya atau tidak? Sebagai karakter yang digambarkan sebagai penderita anemsia jangka pendek (anterograde amnesia), Leonard Shelby menjadi alat efektif Nolan dalam mengelaborasi konsepnya, sekaligus membuat penonton mempertanyakan “kewarasan” mereka sendiri ketika menonton film ini.

Catatan Penutup

Baik di dalam Tenet maupun Memento, Nolan jelas memperlakukan teknik narasi standar secara berbeda. Ia tidak menyisipkan “suatu” kilas balik atau kilas depan bergantian dalam alur cerita masa kini. Di dalam Tenet,  “kilas balik” utama justru tidak muncul dalam film, sementara “kilas depan” dalam film yang terlihat oleh penonton merupakan penajaman (atau malah pendefinisian ulang) konsep kilas depan yang lazim. Kilas depan bukan lagi suatu kejadian di masa depan yang disisipkan pada masa kini, tetapi suatu pembalikan arah gerakan (secara harfiah!) yang berdampingan dengan alur masa kini yang  bergerak maju dengan gerakan normal. 

Sebaliknya, Memento, justru tidak bermain-main dengan konsep “kilas balik” dan “kilas depan”. Penonton “ditipu” oleh Nolan dengan cara penempatan adegannya yang tidak lazim. Saat mereka masih mengira-ngira apakah mereka  sedang melihat kilas depan atau kilas balik dalam warna black and white, mereka juga dicekoki oleh adegan-adegan yang dipotong-potong dan disusun terbalik, dari adegan terakhir film yang bergerak mundur (dalam warna colour). Kilas balik dan kilas depan justru menjadi kabur karena Nolan hanya sekadar “mengocok” adegan-adegan filmnya dan menyusunnya sedemikian rupa untuk membingungkan penonton mengenai setting waktu adegan yang sedang ditonton.

Nolan tidak peduli dengan definisi kilas balik dan kilas depan yang standar—atau lebih tepat: ia menggunakan prapaham konsep waktu penonton dan menghancurkannya begitu saja. Ia lebih peduli bagaimana menyajikan kisahnya secara baru atau secara tidak biasa. Di dalam kedua film itu, penonton boleh jadi merasa bingung dengan jalannya alur cerita. Itulah yang menjadi pertanyaan: mengapa penonton masih tetap bisa menikmatinya—atau minimal menyukainya?

Salah satu yang bisa dipakai untuk menjelaskan fenomena ini adalah bagaimana otak manusia bekerja dalam mencerna informasi. Otak manusia memiliki kemampuan memproses petunjuk yang diperoleh dan mengolah serta menyusunnya untuk memperoleh pemahaman yang utuh. Ini terjadi sepanjang waktu dalam hidup manusia, termasuk ketika menonton film. Ketika menonton film, otak bekerja tidak melihat atau mengamati “kisah”. Sebaliknya, penonton melihat adegan per adegan. Dari adegan-adegan ini, otak mengumpulkan petunjuk dan menyusun suatu “kisah” berdasarkan potongan-potongan petunjuk itu di dalam pikiran. Ini berlaku ketika petunjuk-petunjuk itu disajikan secara kronologis atau tidak (seperti dalam Memento atau Tenet). Ketika otak disajikan suatu narasi yang tidak kronologis, otak akan secara cepat menyusunnya, seoptimal mungkin, secara kronologis, untuk membuatnya masuk akal atau bisa dipahami. 

Jika penonton keluar dari bioskop, setelah menonton film-film Nolan, tetap tidak bisa memahami ceritanya dengan merangkai petunjuk-petunjuk yang diperoleh, mereka tidak perlu menyalahkan otak mereka. Mungkin, memang itulah tujuan Christopher Nolan membuat filmnya: membuat penonton filmnya mempertanyakan batas kemampuan (atau bahkan kewarasan) mereka dalam memahami alur cerita filmnya.***

 

*Penulis adalah chief editor buku populer-humaniora di sebuah penerbit. Cerpennya berjudul “Omongan” terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik dalam Lomba Cerpen Nasional Bertemakan Bebas oleh Rumahkayu Publishing. Terbit dalam buku “Tarian Hujan: Kenangan yang Terus Bersemi” (Rumahkayu Publishing, 2015).